Juni kikuk sendiri saat Saga memilih tempat duduk di dekat ujung meja, di sebelah kursinya. Ia menatap pria itu aneh yang dibalas dengan kekeh kecil Saga.
"Di sana terlalu jauh," katanya dengan tatapan intens yang tak putus-putus.
Baru kali ini Juni ingin memaki para pelayan yang belum jua menyiapkan makanan di atas meja.
"Kau terlihat seksi memakai kemejaku."
Spontan wajah Juni memerah mendengar pujian bernada sensual itu. Dengan cepat ia memalingkan wajah menghindari tatapan Saga.
Lelaki itu terkekeh dengan suara berat yang renyah. "Aku tidak tahu, ternyata kau pemalu juga."
Untunglah lima detik kemudian para pelayan menyajikan makanan di depan mereka. Juni tidak tahu mengapa dirinya sekikuk ini menghadapi sisi lain Saga yang tak berkoar-koar murka seperti biasanya. Lelaki itu tampak santai, tak memperlihatkan sisi liarnya yang berbahaya.
Juni makan dalam diam. Kendati ia merasa luar biasa gugup saat merasakan pandangan
Dua hari berselang sejak Rafael meneleponnya dan Juni harus berusaha keras untuk tidak peduli dan melupakan telepon lelaki itu. Saga bersikap biasa padanya. Tidak memaksa apa-apa dan tidak melecehkannya, hanya saja terkadang dia mendadak menjadi dingin atau tak memedulikan sekitar. Lelaki berumur 33 tahun itu terlihat lebih manusiawi. Ia kadang memperlakukan Juni dengan baik bahkan mengajaknya mengobrol hal ringan. Meski begitu, ia terasa sulit didekati seolah menyimpan banyak misteri. Ponsel di tangannya bergetar dengan panggilan dari nomor yang tak dikenal. Jangan bilang dari Rafael lagi. Juni mendecak ketika menyadari kebodohannya yang tidak menyimpan nomor telepon lelaki itu. Ragu-ragu dia menekan tombol untuk menerima panggilan. Dan benar saja di seberang sana suara Rafael terdengar lelah sekaligus penuh harapan. "Kenapa lagi, Rafael?" Juni mendengus jengkel. "Aku masih menunggumu di sini." "Kau tahu aku tidak akan p
Esok paginya setelah Saga berangkat kerja, Juni bergegas keluar dengan niat menemui Rafael, tapi tampaknya tak semudah itu.Arnold menghalanginya di depan pintu. "Nyonya mau ke mana?""Aku mau keluar.""Kalau begitu mari kami antar."Pandangan Juni beredar pada beberapa pengawal yang berdiri tegak berjaga di depan pintu, teras dan di dekat gerbang. Seolah rumah ini adalah istana presiden yang harus diawasi dengan sangat ketat. Tanpa sadar ia meringis."Nyonya?"Juni mengerjap. "Ah, maaf. Aku akan pergi sendiri.""Apa Anda sudah meminta persetujuan Tuan besar?"Kening Juni mengerut tidak mengerti. "Kenapa aku harus meminta persetujuannya?""Nyonya, di luar sana ada banyak musuh Atlanta. Anda tidak bisa pergi ke mana pun dengan bebas.""Aku hanya ke rumah kenalanku, tidak akan lama.""Ini sudah menjadi perintah bagi kami." Pengawal itu menunduk walau wajahnya tetap datar sejak berbicara deng
Mata Juni menyipit. "Sejauh mana kau menyelidikiku?"Juni merasa tidak pernah memberitahukan nama suaminya pada Rafael.Namun, Rafael mengabaikan pertanyaan bernada curiga itu. "Dia tidak baik untukmu. Reputasinya sangat buruk dan dia punya sifat yang—aku takut dia akan menyakitimu."Juni mengangguk samar ketika pandangan Rafael menunduk sejenak. Saga lebih berbahaya dari yang orang-orang tahu. Dia bahkan lebih menakutkan dari iblis sekalipun."Tinggalkan dia dan kembali padaku. Kita bisa memulai dari awal. Aku tidak akan pernah lagi membuatmu menderita dan diinjak-injak oleh orang lain."Rafael meraih tangan Juni yang menggantung. Ah, jemari lentik itu sekarang begitu halus jika dibandingkan saat dulu. Dia berjanji untuk tak lagi membuat tangan yang berada di genggamannya menjadi kasar.Juni melarikan pandangan ke segala arah. Mata indahnya berpendar ragu dan sedih."Aku mohon ... kembali padaku." Dikecupnya tangan
"Makin hari kau makin berani. Sudah bosan hidup?" desisnya. Suara berat yang rendah itu menguarkan aura yang membuat siapa pun akan merinding kala mendengarnya.Sedang Juni masih bersusah payah melepaskan cengkeraman Saga di lehernya. Ia hampir-hampir tak bisa lagi bernapas."Aku benci dengan pengkhianat. Sekarang katakan dengan siapa kau bermain?" Lelaki itu mendekatkan wajah dan berbisik di telinga Juni.Napas Juni megap-megap. Bagaimana bisa dia menjawab jika terus dicekik?Untuk menit yang terasa panjang bagi Juni, akhirnya saga melepaskan cengkeramannya dan menjauh. Membiarkan Juni menata napasnya yang terputus-putus. Ia terbatuk kala pasukan udara menyerbu paru-parunya.Pistol masih terarah padanya dalam jarak yang tak lagi sedekat tadi. Tatapan Saga masih sama, menyeramkan dan penuh amarah yang sepertinya sudah mencapai batas.Ia tak menyangka akan ketahuan secepat ini. Tidak. Juni tidak salah. Dia hanya bertemu dengan Raf
"Ah, kau sangat tampan, putraku."Saga versi sepuluh tahun tersenyum malu ketika sang ibu melontarkan pujian itu sambil mengelus kepalanya. Dengan nyaman ia berbaring di pangkuan Rosalia."Kau tahu kenapa aku melahirkanmu?" Senyum di bibir Saga memudar kala nada suara sang ibu berubah."Agar ayahmu bisa semakin mencintaiku." Rosalia menyeringai. Mata indahnya berpendar ke segala arah. "Supaya dia bisa berpaling padaku dan mencintaiku kembali!!"Saga kecil tersentak mendengar suara tinggi Rosalia. Belaian di rambutnya berubah menjadi tarikan kasar yang sangat menyakitkan."Harusnya kau bisa membuatnya kembali mencintaiku! ANAK SIALAN! Kalau begini percuma saja aku melahirkanmu, Bodoh!"Jambakan di rambut Saga kian kuat hingga anak itu harus meringis. Ia ingin bangun, tapi tangan Rosalia yang satunya mencengkeram lehernya."Ibu ... Khhh—lepaskan aku!" Saga menggertakkan gigi menahan rasa sakit."Apa katamu?! Mel
"Dia hanya syok. Tidak bermasalah dengan kesehatan tubuhnya. Hanya saja perlu beberapa hari untuk beristirahat dan memulihkan diri. Aku akan berikan resep dan tolong ditebus secepat mungkin."Elliot menuliskan resep dengan cepat lalu memberikannya kepada Lenna. Kemudian menoleh kembali pada Juni yang masih terbaring dengan mata nyalang dan tubuh gemetar."Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja," bisiknya pelan."Tidak akan ada yang baik-baik saja jika dia dengan mudahnya mencoba membunuhku."Elliot tertegun mendengar nada suara Juni yang meninggi dan tatapannya yang bengis."Dia sudah berulang kali melecehkan dan merendahkanku, dan sekarang dia ingin membunuhku. Apa aku ini semacam hewan peliharaannya?"Dada Juni kembang kempis dengan tatapan tajam menghunus Elliot."Sepertinya kau belum mengetahui apa yang membuatnya seperti ini," desah Elliot.Juni mengerutkan kening dan Elliot pikir wanita itu akan sediki
Pukul dua tengah malam, Juni memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper besar. Wajahnya datar tanpa ada ekspresi.Setelah kopernya penuh, dengan segera ia menutup benda itu dan menyeretnya keluar kamar. Melewati koridor dengan tatapan lurus dan dingin. Langkahnya anggun, tak terburu-buru dan tak jua ragu.Rumah sudah sepi. Para pelayan dan pekerja sudah beristirahat. Ini saat yang bagus untuk pergi.Tapi ternyata bukan. Saat ia membuka pintu utama, Arnold dan para pengawal yang lain berjaga di depan pintu. Jumlahnya sangat banyak sampai Juni mengerutkan kening.Arnold tampak terkejut saat melihatnya. Tatapannya mengatakan, 'Anda mau ke mana?'Namun, Juni mengabaikan. Ia melangkah melewati Arnold dengan dingin."Tunggu, Nyonya. Anda ingin ke mana?""Pergi." Juni terus berjalan dengan ekspresi dingin disertai raut wajah yang seolah mengatakan, 'jangan menggangguku.'Kala Juni sudah sedikit menjauh, Arnold mengejarnya.
Juni berjalan mondar-mandir di tengah kamar, memikirkan bagaimana cara untuk keluar dari rumah ini karena ternyata dia tidak bisa pergi sesuka hatinya.Apa sebaiknya ia mengatakannya pada Saga? Haruskah ia melaporkan jika ia ingin pergi dari rumah ini?Ah, itu tidak mungkin. Saga tidak semudah itu untuk diajak bicara mengenai hal ini. Juni sudah tahu tabiat lelaki itu.Saga mungkin saja akan kembali melayangkan pistol ke kepalanya atau mungkin mencekiknya sampai mati.Juni mengernyit, menyesal telah berpikiran baik tentang lelaki itu. Dia sama saja. Dia mungkin saja berlaku lembut untuk menarik hati Juni agar tidur dengannya.Dan dengan bodohnya Juni merasa lelaki itu sudah menghargai dan memperlakukan dirinya seperti yang seharusnya.Laki-laki memang sangat sulit dipercaya.BRAK!Pintu digebrak tiba-tiba sehingga Juni terlonjak dan hampir saja terjatuh. Jantungnya seolah hendak melompat keluar.Saga berjalan cepat
Saga tak mampu mengukur kepanikannya saat Juni merintih kesakitan sekalipun dokter sudah menanganinya. Ia tak ingin beranjak sedikit pun dari tempat Juni. Menyaksikan bagaimana Juni berjuang melahirkan anak mereka. Wanita itu kesakitan. Peluh memenuhi wajah dan lehernya. Tangan Saga ia genggam dengan erat. Berkali-kali Juni meliriknya dengan ekspresi yang sekarat, namun matanya menyimpan tekad yang sangat kuat. Saga tak ingin melihat penderitaan wanita yang amat dicintainya. Tapi ia tetap harus berada di tempat ini. Dengan latar belakang suara dokter yang terus menuntun Juni menghela napas dan mengembuskan napas dengan tenang, Saga akhirnya mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang, menggugah hatinya, menciptakan sebentuk perasaan yang tak pernah ia rasakan. "Bayi Anda sudah lahir, Pak. Dia laki-laki." Sang dokter memperlihatkan keseluruhan bayi berwarna merah itu kepada Saga. Perasaan Saga berkecamuk. Ia terpana. Diakah yang sedang
Leticia bergidik jijik saat seorang wanita berambut acak-acakan melewatinya sambil menggaruk kepala. Menggumam sendiri lalu cekikikan tanpa sebab. Uuuhhh ... pakaian macam apa pula yang sedang dia pakai sekarang? Seragam pasien rumah sakit berwarna biru telur asin yang sangat norak. Leticia muak mendengar suara jeritan dan tingkah gila setiap hari. Ia memilih keluar ke taman. Barangkali rumput-rumput hijau segar itu bisa menenangkan sakit kepalanya. "Ahahahaha!" Seorang pria ceking dengan wajah pucat dan rambut setengah botak terbahak di sampingnya. Sial sekali. "Nyam nyam. Enaknya. Steik dari daging premium berkualitas." Lelaki itu mencabuti rumput lalu memakannya. Leticia semakin bergidik. Lelaki itu lalu tengkurap begitu saja dengan sesuatu di kepalan tangannya. "Sekarang kita harus cuci mulut dengan anggur segar ini." Kepalannya ia buka dan seekor katak kecil menggeliat di sana, mencoba untuk kabur. Mata Leticia m
Maria menatap beberapa pramugari yang berlalu lalang semata untuk mengawasi para penumpang dan keadan pesawat yang sudah lepas landas, sebagian membawa troli makanan dan menghampiri kursi penumpang.Dia duduk tenang di kursinya. Mengembuskan napas lalu memejamkan mata. Menikmati deru pesawat yang bertubrukan dengan udara, langkah-langkah para pramugari di sekitarnya dan juga bisikan-bisikan penumpang yang duduk di depan maupun di belakangnya.Samar-samar hidungnya mengendus bau permen karet, wine, dan beraneka ragam pasta dengan saus yang menggugah selera.Maria tak berniat membuka matanya. Meski tak mengantuk sama sekali walau telah menghadiri pesta pernikahan yang jauh, di Jepang. Dia tak tahu dorongan apa yang membuatnya menyanggupi undangan dari Tuan Tanaka itu.Barangkali Maria hanya ingin menghormati hubungan kerja sama yang sempat terjalin di antara mereka atau mungkin ... dia ingin melarikan diri.Melarikan diri dari rasa
"Saya minta maaf."Rafael benar-benar berlutut. Dihadapan Tuan Tanaka yang berdiri memunggunginya, dia bersimpuh dan meminta agar laki-laki paruh baya itu mengizinkannya pergi."Saya tidak bisa terus menyakiti Nazura."Tuan Tanaka tak menjawab. Punggungnya tegak dan kaku."Saya akan pergi jauh."Lama kemudian barulah Tuan Tanaka berbalik setelah menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin mengatakan, Jika kau pergi sekarang, maka seumur hidup kau akan kembali menerima penghinaan lagi. Istrimu tak kau dapat, kau pun kembali miskin. Tolong pakai sedikit logikamu."Embusan napas kasar Tuan Tanaka terdengar. Rafael mengangkat wajah untuk menatap punggung itu."Kau pun menyia-nyiakan putriku yang sangat mencintaimu. Ada aku yang bisa menjadi orang tuamu. Apalagi yang kurang, Rafael? Kau membuang-buang potensimu hanya untuk sebentuk perasaan yang sudah seharusnya kau kubur dalam-dalam."Rafael
Rafael duduk di tepi ranjang, pada kamar hotel bintang lima yang berfasilitas mewah dan tidak tanggung-tanggung. Ia menatap cincin putih polos di jari manisnya. Tatapannya kosong, namun ada penyesalan dan pilu di sana. Ia tak tahu yang mana dari tindakannya yang harus dia sesali. Sekali pun dalam hidupnya, dia tak pernah membayangkan Juni akan menangisi pria lain dan menatapnya penuh cinta, pun mengkhayalkan wanita itu berada dalam dekapan laki-laki lain. Hati Rafael tersayat-sayat. Rasa sesak menggerogoti dadanya. Semakin dipikirkan, semakin dia terjatuh pada luka yang menganga di dalam hatinya. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Nazura yang berbalut kimono tipis berwarna merah muda hadir di sana. Berdiri kaku di depan kamar mandi. Rambut sebahunya sedikit basah dan riasannya sudah tak lagi tersisa. Ekspresinya terlihat canggung. Kimono tipis yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan sebagian besar pahanya membuatnya terlihat tidak ny
Setelah dirawat intensif dan diizinkan pulang, Saga tak henti-hentinya menatap perut Juni dengan pandangan aneh setiap kali Juni ada di dekatnya. Matanya seolah sedang berbicara kepada anak dalam kandungan Juni.Setelah puas memandang sang bayi dari luar perut Juni, Saga akan mengangkat wajah dan bertanya kepada Juni lewat sorot matanya, 'Apa dia baik-baik saja?'"Dia baik-baik saja, Saga. Berhentilah memandangnya terus. Dia bisa ketakutan."Saga tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya masih terlihat garang. "Benarkah? Dia akan takut?"Saga selalu terkesima. Layaknya seorang anak kecil yang baru saja menemukan dunia yang tak pernah dilihatnya. Saga terlihat begitu ingin menyentuh perut Juni yang sudah semakin membesar."Kenapa tidak kau sentuh saja?" Juni mengulum senyum tipis melihat tingkah canggung Saga."Dia akan terluka."Juni terkekeh. Saga mengucapkannya dengan datar, tapi di mata Juni itu terdengar sangat lugu."Ke
Akhirnya tiba juga kita di perjumpaan terakhir dari cerita ini, eit jangan sedih. Akan ada banyak cerita yang akan membuat kita kembali bersua. Terima kasih kepada kalian semua yang sudah mendukung aku dan cerita ini. Aku berharap se-anu apa pun cerita ini, masih ada hal baik yang bisa kita petik bersama-sama. Aku sangat membutuhkan saran, masukan, dan kritik dari kalian guna untuk memperbaiki kualitas tulisan aku di karya-karya selanjutnya. Jangan sungkan untuk menghubungi aku ya, aku aktif di fesbuk 🤭 Mustacis Kim Oh ya, GoodNovel sedang mengadakan event yang keren banget, dan aku bakal mengikutkan karya baru untuk mengikuti event. Mohon dukungannya (lagi) 🙏 Cerita baru aku berjudul KILL MY HUSBAND yang akan terbit pada Desember nanti di web GoodNovel (karena belum terkontrak) Jangan lupa mampir jika sudah terbit dan berikan dukungan. Teri
RAFAEL adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan. Tak ada orang tua, hanya ibu panti dan teman-teman yang senasib dengannya.Baginya tidak dianggap manusia dan diremehkan seperti sampah adalah hal yang biasa. Orang-orang di dunia luar menginjaknya dan meludahinya. Setiap hari ia harus mengorbankan semua kekuatan fisiknya untuk bekerja. Dirinya hanya dipenuhi keringat bau terik matahari. Kemiskinan menggerogotinya dan melenyapkan semua harga dirinya.Tapi, setidaknya ... Rafael pernah mengecap kasih sayang dan hidup aman, walau hanya di bawah atap panti asuhan.SAGA adalah anak yang beruntung. Lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Hidup di rumah yang megah dan memiliki orang tua yang lengkap. Ada banyak pelayan dan pengawal yang melayaninya.Tapi, seperti sebuah kotak berisi mayat tikus yang busuk namun dibungkus dengan kertas berlapis emas dan hiasan pita yang cantik. Hidup Saga seperti di neraka. Setiap malam ia h
Saga mengerjap, lalu terpana. Melihat perut Juni yang bergerak-gerak, seolah bayi di dalam sana meronta-ronta ingin keluar. Ia menendang dan bergerak mencari perhatian Saga saat lelaki itu menempelkan telinganya di atas perut Juni."Dia sangat aktif." Saga terkesima saat kembali menatap Juni. "Banyak gerak sekali."Juni memulas senyum. Saga terlihat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. "Sama sepertimu."Sebelah alis Saga terangkat lalu menatap Juni dengan senyum jail. "Maksudmu banyak gerak di ranjang?"Tak ayal perkataannya membuat wajah Juni merona. Meski belum terlalu pulih sepenuhnya, tapi Saga masih sangat aktif di atas ranjang.Tubuh lelaki itu mendekat, menyiapkan gestur untuk menindih tubuh Juni."Anak kita sedang bergerak-gerak di dalam, dan kau mau melakukan itu?!" Juni melotot. Keningnya berkerut kesal."Baiklah. Aku akan menunggu nanti malam."Juni memutar bola mata."Bukankah hari