"Selamat pagi, Pak." Sapaan itu mengalun lembut begitu kaki Rafan melangkah memasuki lantai kantor menuju ruangan pribadinya.Dengan penuh keramahan, Rafan menjawab sapaan itu, menyertai dengan anggukan dan senyum tipis sebagai bentuk salam hangat. Transformasi perilaku Rafan sejak menikah dengan Yuan menjadi terlihat, terutama setelah beberapa kali mendapat nasihat lembut dari sang istri untuk menjadi lebih ramah terhadap stafnya.Namun, sebelum sempat duduk di kursi eksklusifnya, mata Rafan tertuju pada sebuah kotak yang terhampar di atas meja kerjanya. Kecurigaan dan rasa ingin tahu langsung memenuhi benaknya, menghadirkan tanya besar tentang isi kotak tersebut.Namun, sebelum sempat duduk di kursi eksklusifnya, mata Rafan tertuju pada sebuah kotak yang terhampar di atas meja kerjanya. Kecurigaan dan rasa ingin tahu langsung memenuhi benaknya, menghadirkan tanya besar tentang isi kotak tersebut.Di dalamnya, terhampar secarik kertas berwarna berkilau dengan tulisan indah yang meman
Rafan mengusap wajahnya kasar. Semakin ia pikirkan akan semakin terasa buntu seakan tak ada jalan. Kecemasan ini tak pernah lagi ia rasakan sejak kejadian itu, kejadian yang mengubah dirinya menjadi seperti yang sekarang. Kegundahan dalam hatinya seakan kembali mengingatkan masa lalunya. Dalam kesendirian yang mendalam, Rafan merenung pada kenangan pahit masa lalunya. Keputusan yang menyakitkan, cobaan yang melanda, dan kehilangan yang membekas di setiap langkah hidupnya. Kegundahan dalam hatinya membawanya pada pertanyaan tak terjawab, apakah ia akan mampu melangkah maju atau terus terjebak dalam belenggu masa lalu."Terbelenggu masa lalu bagaimana maksudmu, Rafan? Semua sudah kau tutup dan terkubur, tidak ada masa lalu yang terkuak jika kau hadapi ini dengan tenang. Cari tahu siapa yang sedang bermain denganmu!""Dalam sehari saja dia sudah membuat dirimu kelimpungan tak karuan. Kau yakin bisa mencari tahu dan menyelesaikan ini tanpa ada yang rugi dari dirimu seperti yang kau ingin
"Apa-apaan ini? Apakah dia berpikir bahwa aku akan tertipu dengan kalimat-kalimat seperti ini?" Yuan bergumam seraya berusaha untuk menghubungi pengirim pesan itu, "Sial nomornya sudah tidak aktif," kesal Yuan melemparkan ponselnya ke meja dihadapannya. Kalimat yang keluar dari mulutnya seolah ingin membantah, ingin tidak percaya dengan kalimat-kalimat tidak jelas yang ia terima. Tapi sayangnya, logikanya mengatakan hal lain. Yuan terdiam sejenak, ia menjernihkan pikiran dan memejamkan mata untuk mencoba mengerti apa yang telah terjadi tanpa ia ketahui. Ia melangkah ke jendela ruangannya, memandang ke arah luar seakan mencari jawaban di antara gedung-gedung tinggi. "Dosa? Apakah sesuatu yang sangat aku inginkan ini ada hubungannya dengan dosa Rafan?""Ah tidak-tidak, itu tidak benar. Kami sulit memiliki anak karena ada masalah yang terjadi di dalam tubuhku. Tidak ada hubungannya dengan Rafan. Aku sulit hamil, tidak ada kaitanya dengan dosa di masa lalu Rafan. Apa yang kau pikirkan,
Yuan melempar kotak kado berwarna biru itu. Napasnya seketika kembali memburu ketika melihat isi dari kotak tersebut. Bagaimana tidak terkejut? Begitu ia membuka penutup benda persegi itu terlihatlah isinya yang berupa sebuah foto suaminya yang terpasang di sebuah pigura berukuran sedang dengan berlumuran darah yang sudah mengering. Bi Ijah dan Feli yang melihat itu pun ikut terkejut dan saling tatap untuk sesaat. Pandangan mereka lalu beralih pada Yuan yang dengan perlahan berjalan mundur. Ia seperti kesulitan mengendalikan emosionalnya. "Bi, bisa tolong bawa Dafi pergi dari sini? Biar saya bicara dengan Yuan." Feli memungut foto yang terlempar jauh itu, ia mengamati sesaat dan meletakkannya kembali ke dalam kotak dan menutupnya. Ia berjalan mendekati Yuan yang masih mematung dengan segelas air. "Minum dulu, Yuan. Ini pasti mengagetkanmu." Yuan menatap Feli dalam. Sejurus kemudian, ia menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Ayo duduk. Jangan terlalu dihiraukan, bisa saja itu
"Feli, kau di sini?" Bu Veronica baru saja menginjakkan kaki di lantai rumahnya. Beliau seketika bercengkrama dengan sang cucu. "Hm, aku tadi niatnya ke sini mau nitip Dafi sebentar, baby sisternya lagi sakit, tapi ternyata Ibu nggak lagi di rumah.""Yah, kenapa nggak bilang dulu. Kan, Ibu bisa batalin acara ini. Ya udah biarin Dafi di sini, kau pergilah."Feli bersiap akan beranjak, tak apa ia datang sangat terlambat, masih ada yang bisa ia kerjakan di jam selesai istirahat seperti ini. Belum ia benar-benar beranjak dari tempatnya saat ini, datang Rafan dengan wajah lesunya. Kedatangannya pun terbaca oleh Feli, "Ibu, Rafan," ucapnya lirih seraya mengarahkan dagunya ke arah Rafan yang berjalan dengan lemas. Rasa sakit kepala karena masalah dan kecelakaannya membuat ia sedikit terhuyung saat berjalan. Bu Feli yang mendapati anaknya pulang dengan tempelan kapas dan plester seketika berdiri dan menghampiri, "Raf, kau kenapa? Apa yang terjadi?" tangannya khawatir. Yuan yang tadinya d
Yuan duduk di tepian ranjang seorang diri lantaran Rafan yang tengah berada di kamar mandi. Ia sedang berpikir yang terjadi hari ini sungguh diluar nalar baginya. Ia seakan dibuat terus berpikir apa yang mendasari seseorang melakukan ini. Dalam pikirannya ia ingin berusaha acuh, tapi ternyata ada saja kejadian-kejadian yang membuat dirinya kembali berpikir untuk tidak mengacuhkan persoalan ini. "Apa yang kau pikirkan? Aku sudah katakan aku tidak apa-apa. Jangan membuat kejadian-kejadian aneh ini mengisi kepalamu. Aku tidak mau kalau kau banyak pikiran seperti itu. Kau yang menggebu soal anak, kau juga yang menyulitkannya." Rafan duduk di bagian tempat tidur yang kosong. Ia menarik tubuh sang istri untuk berbaring juga. Ia tahu ini bukan kebiasaan keduanya, tidur di siang hari? Ah sesekali rasanya tak jadi soal. Lagi pula kepala Rafan terlalu berat hari ini, banyak hal yang menyita isi kepalanya, semua seakan ingin berjejal masuk dan berdesakan dalam otak pria matang itu. Yuan hanya
Rafan menggenggam ponsel dengan tegang, matanya menelusuri setiap kata dalam pesan tersebut. Isinya menggetarkan hatinya dengan kilatan-kilatan memori yang kelam. Pesan tersebut mengungkapkan sesuatu yang terkait dengan masa lalunya yang gelap, sesuatu yang mungkin sudah lama ia sembunyikan."Sialan," bisiknya pelan, merasa dunianya hancur berkeping-keping. Rafan mencoba untuk menahan gelombang emosi yang melanda dirinya.Rafan merasa sial dengan nasibnya yang tampaknya tak pernah berpihak padanya untuk meraih kebahagiaan. Seiring berjalannya waktu, setiap langkahnya terasa seperti langkah menuju kegelapan yang tak berujung. Entah itu karena ia kurang bersyukur akan apa yang dimilikinya, atau mungkin kenyataan hidup yang begitu keras bagiannya. Rentetan kejadian yang terus menghampirinya membuatnya merasa sebagai manusia yang paling tertimpa sial di dunia ini.Mengingat masa lalunya, Rafan sering kali terjebak dalam siklus pikiran negatif. Ia merenung tentang semua kesalahannya, semua
"Masa lalu apa? Tidak ada masa lalu yang belum selesai. Selain licik apa kau juga punya bakat mengarang cerita? Jangan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu jika kau sendiri tidak tahu duduk permasalahannya.""Kalau begitu jelaskan pada kami, Rafan! Kalau kau merasa tahu duduk permasalahnya, jelaskan!" sahut Pak Jo. Rafan menghela napas panjang. Ia merasa seperti sedang berada di ruang persidangan dan dijadikan tersangka satu-satunya tanpa adanya pengacara. "Ayah, aku tidak tahu dan aku juga tidak ingin mempermasalahkan persoalan ini, karena buat aku mungkin itu unsur ketidak sengajaan. Tolonglah, masalah ini jangan dibesar-besarkan. Apalagi aku juga tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit, tidak ada yang berkurang dari tubuhku. Bukankah semua orang berpotensi mengalami kecelakaan? Semua orang punya peluang untuk celaka termasuk aku.""Semua orang memang berpotensi kecelakaan, tapi tidak semua orang yang kecelakaan keluarganya mendapatkan pengancaman." Ucapkan dari Pak Jo membuat Rafa
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se