Setelah selama 30 menit Rafan berada di rumahnya, gebrakan meja terdengar begitu keras. Terlihat jelas dari wajahnya bahwa amarah sedang menguasai dirinya. Setan-setan sedang berkumpul dalam hati dan pikirannya untuk membuat kekacauan dalam situasi yang menyedihkan ini. Begitu mengetahui CCTV bahwa Bi Sumi melarikan diri sejak sebelum ia pulang membuat darahnya seketika mendidih. Tak mau buang waktu, ia segera menghubungi seluruh pekerja lapangan keluarga Bimantara untuk mencari keberadaan Bi Sumi dan menyeretnya ke tempat biasa ia menyekap para orang-orang yang bermasalah dengannya. Tak lupa ia mewanti-wanti sang ayah untuk memastikan bahwa Danish tetep berada di rumahnya. °°°Di rumah sakit, Yuan terus menangisi kehilangan yang begitu mendalam. Pelukan Bu Veronica mencoba memberikan sedikit kenyamanan, namun luka yang dirasakan oleh Yuan begitu dalam. Setiap air mata yang jatuh seolah mencatat perjalanan perjuangan dan kehilangannya.Wanita itu menguraikan dengan detail betapa sul
Wajah Bi Sumi seketika membeku, terperangkap dalam ambang kebingungan yang mendalam. Tidak satu pun yang ingin merasakan dinginnya jeruji penjara, tapi memohon, merayu, atau bahkan menangis, sepertinya menjadi pilihan yang tak etis dan hampir pasti sia-sia, mengingat sikap tegas Rafan yang tak tergoyahkan. Dalam kebimbangan ini, Bi Sumi merenung, mencoba mencari jalan keluar yang cerdas dari labirin konsekuensi yang tak terelakkan.Berputar di dalam benaknya, pikiran Bi Sumi mencari strategi untuk menyelamatkan diri tanpa harus menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Bagaimana caranya menjadi korban, berperan seolah-olah lupa pada alasan yang baru saja disampaikan kepada Rafan beberapa menit yang lalu. Tentu saja ini bukan hanya sekadar menemukan alasan, tapi melibatkan seni memainkan peran dalam drama yang semakin menggigit.Bi Sumi, tanpa diduga, merubah arah rencananya. Beliau memutuskan untuk mengambil jalur emosional. Dengan wajah iba, beliau mencoba membangun citra diri sebagai sosok
Keesokan harinya, Bi Sumi kembali digelandang oleh pekerja keluarga Bimantara menuju kantor kepolisian. Wanita itu semalaman tak dapat diam, terus berulah dengan berbagai upaya untuk melarikan diri. Keputusasaan dan ketegangan menciptakan suasana yang semakin tegang di sekitar Bi Sumi.Pekerja keluarga Bimantara, yang telah merasakan kesulitan dalam menjaga Bi Sumi semalaman, akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan tegas. Dalam upaya terakhir untuk memastikan keamanan dan ketertiban, mereka memberikan suntikan obat tidur kepada Bi Sumi. Keputusan ini diambil agar semuanya dapat istirahat sejenak sebelum menghadapi tugas yang sulit besok."Pak, tolonglah jangan bawa saya ke kantor polisi. Orang saya ini juga korban. Saya diancam kalau nggak mau nurut keluarga saya yang dibunuh," pintanya dengan nada penuh urgensi, menciptakan alur kebohongan baru. Bi Sumi tak ingin terjerat lebih dalam di dalam lingkaran konflik ini.Pekerja keluarga Bimantara menatapnya dingin, kesadaran akan tuga
"Rafan, kau pulanglah. Untuk urusan Danish biarkan Ayah yang mengurusnya. Ayah janji akan mengurusnya sampai tuntas, kau urus saja istrimu. Dia lebih membutuhkanmu dari pada kasus ini. Barusan Ibu ngasih kabar ke Ayah kalau dia udah sudah diperbolehkan pulang. Ponselmu tidak bisa dihubungi, kenapa?""Kehabisan baterai. Ya sudah kalau begitu aku ke rumah sakit sekarang. Aku titipkan ini ke Ayah, aku tidak mau kedua manusia itu berkeliaran di alam bebas. Berapa lama pun mereka mendekam di penjara akan aku terima."Sebenarnya jika boleh meminta, Rafan ingin sekali kedua manusia itu di penjara seberat-beratnya. Dihukum sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan. Melenyapkan nyawa bukankah urusan yang sepele, bukan? Setelah Pak Jo berhasil meyakinkan Rafan bahwa semuanya akan beliau urus, pria itu beranjak dari kantor polisi dan menuju ke rumah sakit untuk menjemput istrinya dan juga ibunya yang sejak semalam menemani wanita itu. Untunglah ia punya keluarga yang begitu mengerti dirinya d
Hari demi hari berlalu, tak ada yang berubah dari keadaan Rafan dan Yuan selain perkembangan kasus Danish yang sudah ada kemajuan dan arah yang jelas. Seperti yang sudah-sudah, pria itu tetap santai meski mendekam di tahanan selama proses pemeriksaan berlanjut. Sikap Danish yang santai dan seakan tak terjadi apa-apa berbanding terbalik dengan Bi Sumi yang nampak semakin terpuruk dengan kondisi dan keadaannya. Beliau sudah pasrah dengan keputusan persidangan yang akan di gelar hari ini. Di dalam ruang sidang yang penuh dengan hening dan tegang, persidangan Danish dan Bi Sumi dimulai. Hakim duduk di podium, sementara pengacara dan jaksa penuntut duduk di meja mereka masing-masing. Rafan sebagai pelapor dan saksi duduk dengan tegang.Semua keluarga Bimantara hadir di sana. Wajah-wajah kekecewaan turut menyertai persidangan hari itu. Bu Veronica adalah manusia kedua setelah Feli yang sebenarnya tak ingin Danish meratapi akhir perbuatannya di sel tahanan. Tapi tak mungkin juga bagi belia
Dengan langkah berat, Feli dan kedua mertuanya mendekati Danish yang diapit oleh petugas lapas. Danish juga melangkah menuju mereka. Suasana hening memenuhi ruang di antara mereka, dan ketika jarak sudah dekat, langkah mereka berhenti, menciptakan keheningan yang terasa begitu berat.Feli menatap mata Danish dengan ekspresi penuh kesedihan. Mata Feli sejak tadi mengalirkan air mata tanpa henti. Seolah-olah hari terakhirnya untuk melepaskan semua kepedihan yang terpendam.Pandangan Danish meski tetap tegar, tak dapat menyembunyikan kepedihan yang ia rasakan. Mata Danish tertuju pada wajah ayu istrinya yang kini sembab dan terlihat berantakan. Dalam alam pikirannya, kenangan beberapa waktu lalu merebak. Kenangan di mana istrinya sudah berulang kali mengingatkannya untuk tidak lagi mengusik keluarga sang kakak. Namun, rasa sakit yang merayap di dalam dirinya, menggerogoti jiwa warasnya, dan keinginan dendam yang tak kunjung reda membuatnya terpaku pada jalur yang salah dan tak berkesudah
Yuan memulai paginya dengan mencoba merangkai kembali kehidupannya. Ia membersihkan diri dan berjibaku di dapur, berusaha memulai aktivitas yang dulu sering dilakukannya. Beberapa minggu terakhir, ia lebih sering menghabiskan waktu dalam kesendirian, duduk diam di kamar dan tempat-tempat lain yang menurutnya nyaman untuk merenungi nasibnya yang seakan terputus.Namun pada pagi ini, Yuan memutuskan untuk menghadapi dunianya kembali. Meskipun langkahnya masih terasa berat, ia berusaha menemukan keseimbangan dan merangkai kembali potongan-potongan kehidupannya yang hancur. Pandangannya terkadang terhenti pada bayangan semasa ia mengandung meski hanya ia nikmati kurang dari satu minggu. Kepingan momen itu membuat Yuan kembali tenggelam dalam lamunan dan tanpa sadar jarinya terluka lantaran pisau yang menggores kulit halusnya. "Aw.""Apa yang terjadi, Sayang? Jarimu terluka?" Rafan datang tepat di saat Yuan merasakan perih di jarinya. Dengan cepat pria itu memasukkan jari sang istri ke d
Danish menatap piring di depannya, merenung sejenak sebelum akhirnya menghela napas. Satu porsi nasi dan sayur yang entah diolah menjadi makanan seperti apa yang tidak ia pahami. Aroma bau lapas yang khas dan suasana kurang nyaman membuat selera makannya semakin hilang. Ada satu ekor ikan lele dan sambal di ujung nasi, menjadi menu harian yang sangat jauh dari kebiasaannya. Langit-langit yang rendah dan tembok dingin penjara menciptakan suasana yang berbeda dengan rumahnya yang dulu hangat. Danish merasakan getaran kehidupan barunya yang tidak ia inginkan, terjebak dalam rutinitas penjara yang suram. Namun, jika ingat pembalasannya sudah terbalaskan, ia kembali tak mempermasalahkan posisi dirinya sekarang. Hanya saja ia sudah merindukan anak dan istrinya saat ini. "Kenapa tidak kau makan?" tanya Herman yang memperhatikan Danish hanya menatap makanannya. "Apa ini enak? Aku tak biasa makan makanan seperti ini.""Coba saja. Kau tak akan tahu rasanya jika kau tak mencoba. Kau sudah me
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se