Sejak kejadian memalukan dua hari yang lalu, Yasmin tidak pernah datang lagi ke resto. Rasa malu dan kesal yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dimana dirinya telah tanpa sengaja jatuh di atas tubuh Jaja, karyawannya. Yang lebih memalukan lagi, lelaki brondong itu malah pingsan karena tertindih oleh tubuhnya yang montok.Yasmin menepuk-nepuk jidatnya, kenapa ingatan kejadian memalukan itu selalu saja datang di kepalanya?. Apa dia segendut itu? sehingga mampu membuat lelaki itu pingsan. Yasmin menoleh ke arah cermin yang tepat berada di depan ranjangnya. Mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.Sepertinya tidak gemuk apalagi gendut, dengan memiliki tinggi 170cm dan berat 65kilogram. Ia rasa ia hanya montok saja. Aah...pusing-pusing."Amih kenapa?pusing?" Tanya Reza saat melihat ibunya menepuk-nepuk kening di atas ranjang."Iya, Bang. Sedikit kok!" Sahut Yasmin, sambil menarik tangan Reza agar duduk di dekatnya."Ada apa sayang?""Abang mau beli buku, Amih. Buku dinosaurus.""Oh, gitu. Oke! Seka
Hening, tidak ada yang mengeluarkan suara dari kedua orang dewasa yang berdiri di dekat Reza ini. Bahkan seketika kepala Yasmin seakan berputar. Sedangkan Jaja dengan refleks memegang tengah celananya."Segini, nih!" Reza mengangkat sebelah lengannya ditekuk. Mata Yasmin melotot, ia hanya mampu menelan salivanya."Eh, kurang ... kurang ... segini." Reza mengangkat sebelah lagi lenganya, membawanya berdempetan. Kanan dan kiri.Yasmin dan Jaja semakin melotot. Yasmin yang air wajahnya berubah merah, berusaha menahan tubuhnya agar tidak limbung."Ehm ... kami permisi ya, Ja." Yasmin langsung menarik lengan Reza yang masih saja terangkat menirukan besarnya titit abang Jaja. Jaja hanya melongo tanpa mampu berkata-kata. Wajahnya sudah seperti atap gosong. Ya Allah malunya. Jaja memijat pelipisnya, berarti saat di toilet tadi, Reza melihat miliknya yang memang lebih gede dari ukuran asli indonesia."Dah, Abang Jaja." Reza melambaikan tangannya sambil tersenyum riang, langkahnya mengikuti Yas
Nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan sosis bakar, sebagai menu sarapan Yasmin dan juga Reza, sudah tersedia di atas meja. Seteko teh manis hangat tertata di samping kerangjang buah di atas meja makan. Anak lelaki yang berusia lima tahun menjelang enam tahun itu, masih asik dengan legonya. Sambil menunggu amihnya keluar dari kamar."Makan duluan aja, Bang. Nanti abang telat," ajak Bik Narsih sambil mengambilkan nasi dan juga teman-temannya ke dalam piring Reza."Gak ah, Bik. Abang tunggu Amih aja," sahut Reza sambil memainkan legonya.Yasmin keluar dari kamar dengan rambut basah yang sepertinya baru saja dikeringkan dengan menggunakan hairdryer. Dengan menggunakan kemeja bewarna biru tua dan celana bahan bewarna putih tulang, penampilan Yasmin tampak memesona dan terlihat segar."Cuci dulu tangannya, Bang! Setelah itu mainannya dirapikan," titah Yasmin sambil menarik kursi tepat di depan Reza duduk. Anak kecil itu mencuci tangan di wastafel dapur, setelah menaruh kembali mainanny
Dengan peluh masih bercucuran, Jaja terus saja mengemudi mobil Yasmin dengan kecepatan sedang. AC mobil seharusnya membuat Jaja menggigil, namun tidak kali ini. Hawa dingin berubah menjadi panas, apalagi tangan telapak tangan Yasmin masih berada di atas milik Jaja. Sedangkan tubuh Yasmin miring ke kanan menghadap Jaja dengan mata tertutup. Benar-benar pulas, bahkan tidak ada gerakan refleks sama sekali.Jaja mengambil beberapa lembar tisu yang ada di dashboard. Mengelap keringatnya yang semakin bercucuran. Tanpa sadar, jemari Yasmin bahkan menggaruk milik Jaja. Membuat Jaja melotot dan menahan nafas. Ada rasa geli sekaligus tegang, ia yakin sepuluh detik lagi si untung akan terbangun, jika Yasmin terus saja menggaruk bagian risleting celananya.Untung saja sudah sampai di gerbang rumah Yasmin."Bu, maaf, sudah sampai!" Jaja berusaha membangunkan Yasmin dengan suaranya, namun Yasmin tetap terlelap, begitu nyenyak. Jaja tidak berani menyentuh lengan atau tangan Yasmin, ia tidak ingin di
Bu Ambar tidak bisa tidur, karena Jaja belum juga pulang. Padahal sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Biasanya paling malam Jaja pulang jam sebelas, itu pun pasti memberitahu bu Ambar terlebih dahulu.Berkali-kali ia keluar di teras, menatap ujung gang sepi yang belum ada tanda-tanda anak lelakinya pulang. Malah suaminya yang terlihat berjalan sempoyongan menuju rumah. Cepat bu Ambar masuk, lalu naik ke kasur dan berpura-pura tidur . Yang pulang, malah yang tidak diharapkan.Krreeekk...Terdengar suara pintu rumah dibuka. Bu Ambar masih memejamkan mata berpura-pura tidur."Bangun lu!" Teriak pak Jamal pada istrinya.Bu Ambar pura-pura terlelap."Kebo nih perempuan! Hei...bangun!" Teriak pak Jamal tepat di telinga bu Ambar, bau alkohol begitu menyengat. Membuat bu Ambar enneg ingin muntah.Uuueekk..."Bagi sini duit, gue pinjem dulu.""Ga ada, Pak!""Jangan boong lu, mana kunci lemari?" Sempoyongan pak Jamal mencari-cari kunci lemari yang biasa diletakkan istrinya di atas lemar
Sekejap Yasmin dapat melupakan masalah dan kegelisahan hatinya. Berkumpul bersama-sama teman adalah salah satu terapi hati dan emosional, agar dapat lebih rileks dan optimis dalam menjalani hidup. Tidak mudah memang, melupakan lelaki yang menurutnya hampir sempurna. Pendidikan, harta, jabatan, silsilah keluarga, sholeh, baik, romantis serta tampan.Takkan mudah untuk mendapatkan lelaki seperti almarhum suaminya. Lelaki yang mampu menyenangkan hatinya dan tidak pernah sekalipun bernada tinggi saat bicara dengan dirinya."Tuh,kan. Melamun lagi," tegur Disti pada Yasmin yang terlihat bengong."Eh, nggak kok. Lagi inget Reza aja di rumah," sahut Yasmin sambil tersenyum.Lelaki tampan yang bernama Alex, sedari tadi memerhatikan dirinya, Yasmin tahu itu. Sehingga membuatnya sedikit kikuk. Untuk saat ini ia tidak ingin dan belum siap membuka hati untuk siapapun. Sebisa mungkin Yasmin menjaga ucapan dan sikapnya, agar Alex tidak salah paham. Berbeda dengan Disti, Maria, dan Amel. Mereka ber
Jaja masih asik membetulkan laptop Maya, ditemani semangkuk kecil cilok bumbu kacang dan segelas teh manis. Hujan rintik-rintik sehabis magrib, membuat suasana semakin syahdu. Malam ini rencananya, Jaja akan menyelesaikan laptop Maya. Hanya koslet di beberapa bagian saja, untuk keseluruhan masih aman. "Belum beres juga laptop, Maya?" Tanya bu Ambar sambil mengiris tempe, untuk teman nasi uduk, yaitu tempe orek. Bukannya di dapur, namun ia menyiapkan semua masakan di ruang depan sambil menemani Jaja."Dikit lagi, Mak.""Mamah.""Lidah Jaja susah nyebut mamah, Mak. Efek makan telur tiap hari ini." Jaja terkekeh sambil melirik ibunya."Kalau gue masak ikan, ntar yang paling banyak makan bapak lu, Ja. Jadi gue masak telur aja. Biar dia ga nambah mulu kalau makan. Sayang beras.""Hahahahahha... emak Jaja kadang pinter juga." Jaja terbahak begitu juga dengan Bu Ambar."Yaelah, mamak lagi. Serah lu dah!" Bu Ambar manyun, berjalan ke dapur membawa baskom berisi tempe orek dan irisan bumbu.J
Pagi menjelang, Jaja sudah bangun dari sebelum shubuh, membantu ibunya berjualan nasi uduk. Lelaki itu terlihat lemas dan banyak melamun."Asem banget wajahnya, Ja. Habis diputusin pacar ya?" celetuk Bu Dina saat membeli nasi uduk. Jaja hanya tersenyum tipis."Udah sana ke rumah Maya, ini biar gue yang nerusin," titah Bu Ambar, menatap iba anaknya.Jaja mengangguk. Dengan langkah gontai dan jantung yang berdegub kencang, Jaja berjalan menuju rumah Maya. Dan benar saja, Maya histeris saat tahu laptop kuliahnya dibawa kabur oleh pak Jamal. Maya bahkan menangis tersedu di ruang tamu, sambil menutup wajahnya."Ada banyak file tugas kampus di sana, Ja. Ya Allah, hiks ..." Maya terisak, ia benar-benar sedih karena kehilangan laptopnya. Bahkan Bu Mala, ibu Maya memarahi Jaja dengan kata-kata kasar."Maafkan saya, Bu. Saya berjanji dalam dua hari akan mengganti laptop Maya.""Darimana lu duit?kerja aja kaga. Bapak sama anak sama aja nasibnya, blangsak!!Pokoknya laptop anak gue harus lu ganti.
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman sekolah Amira, dan tentu saja belum lagi tamu dari pihak keluarga R
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Bagaimana bisa?"Bang Reza, Om, Tante, jangan bin
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan senyuman tersungging di bibirnya. Diraihnya tangan sang istri untuk duduk mendekat
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertemu Amira. Sepertinya Amira yang masih malu-malu," ujar Reza deng
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi. Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis."Papa baik-baik aja. Cuma agak lebay!" belu
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira. Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Bohong dosa loh, Mira," balas Andini."Ish, gak percaya
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan kalimat selamat hari per
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya. "Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah memendam rindu, ia dapat mendengar suara itu. Suara yang membuatnya meleleh seperti hari ini. CupAmira mencium ponse
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah. "Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira yang berdiri di sampingnya.