Merdu suara adzan shubuh membuat Yasmin membuka matanya perlahan. Dengan gerakan malas kepalanya menoleh ke kiri. Sepi, tiada siapapun yang menemani. Hanya figura foto suaminya yang tergeletak manis persis di sampingnya.Bbrreeeng...Suara pintu pagar bergeser. Dada Yasmin bergemuruh, ia takut ada orang jahat yang masuk ke dalam rumahnya. Sengaja Yasmin tidak menyalakan lampu, kakinya turun dari ranjang lalu berjalan ke arah jendela kamarnya kemudian menyibak gorden. Matanya menyipit tatkala sosok Jaja yang baru saja keluar dari rumahnya dengan pakaian sholatnya. Sarung, baju koko, dan peci. Tidak lupa sajadah yang ia taruh di pundak. Rupanya Jaja akan melaksanakan sholat shubuh di masjid. Yang membuat Yasmin semakin tersentuh adalah Reza kini juga tengah ikut bersama Jaja ke masjid.Anak lelaki kecilnya itu memakai celana panjang, baju koko dan juga peci. Reza tampak memegang jemari Jaja diantara gelapnya shubuh. Baru kali ini ia melihat Reza begitu antusias untuk pergi ke masjid.Ya
Yasmin memandang laptop di depannya dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana, sejak Reza memberikan pertanyaan pada Jaja, namun hanya dijawab senyuman oleh Jaja.Apakah aku menyukai lelaki muda itu?tapi bukankah sepertinya terlalu dipaksakan. Kami terlalu berbeda dari usia, status dan kehidupan ekonomi. Tapi..Tok...tok...Lamunannya terhenti."Masuk."Malik membuka pintu ruangan Yasmin dengan lebar. Lelaki dewasa itu tersenyum hangat pada Yasmin yang kini tengah memandangnya."Ada apa Pak Malik? ayo silahkan duduk." Yasmin mempersilakan Malik untuk duduk di sofa tamu.Malik duduk dengan cukup kikuk. Berkali-kali ia meremas tangannya. Kening Yasmin berkerut memperhatikan sikap Malik yang tiba-tiba canggung."Ada apa? Pak Malik sakit?" tanya Yasmin sambil ikut duduk persis di depan Malik."Bukan, saya sehat kok. Mmmm...ini..."Yasmin menanti dengan raut tak sabar, ada apa sebenarnya dengan Malik? aneh sekali.Malik mengengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, lelaki itu
"Eh, namanya mirip saya ya, Bu. Bisa kebetulan gitu," sahut Jaja sambil menyeringai. Beruntung sekali Jaja yang dimaksud oleh Yasmin."Karena emang kamu," ucap Yasmin dengan tegas."Apa?!""Maksudnya... ii... iibu... menyukai saya?"Yasmin mengangguk sambil tersenyum. Lalu bangkit dari duduknya. "Aku permisi ya, Ja." Yasmin meninggalkan Jaja yang masih melongo di kebun belakang. Dengan mengulum senyum dan hati yang berbunga-bunga, Yasmin melangkahkan kaki kembali masuk ke dalam pabrik.Plaak! Plak!Jaja menampar kedua pipinya. Mimpikah ia?"Bu Yasmin menyukaiku?"Pandangan Jaja berkunang-kunang, kemudian gelap. Ia pingsan di kebun belakang tanpa siapa pun yang tahu termasuk Yasmin.****Jaja sudah menunggu Yasmin di dalam mobil. Dadanya berdegub kencang, wajahnya bersemu merah. Ia bahkan ingin berteriak sekencangnya saat ini, karena terlalu bahagia.Untung saja Pak Dayat menemukannya di kebun belakang tadi, kalau tidak, sampai sore begini ia masih pingsan di sana. Bahkan menurut penga
Jaja membawa Yasmin ke parkiran mobil. Ia berjalan lebih dahulu karena merasa malu jika berjalan beriringan dengan Yasmin. Matanya memperhatikan area parkir mobil, keningnya berkerut ketika tidak ada mobil Yasmin di sana. Eh, apa di lantai bawah ya?gumam Jaja merasa bingung sendiri."Mobilnya parkir di mana, Ja?" tanya Yasmin yang ikut memperhatikan area parkir."Kayaknya di sini, Bu. Tapi kok tidak ada ya?" Jaja menggaruk rambutnya yang tidak gatal."Coba tekan tombol kunci mobil!" titah Yasmin pada Jaja.Lelaki itu mengeluarkan kunci dari saku celananya."Astaghfirulloh, Bu. Saya tadi tidak bawa mobil ke sini.""Lha, terus kamu naik apa?" tanya Yasmin dengan kening berkerut."Naik motor.""Motor siapa?""Motor Valentino Rosid, Bu. Hehehehe... ya pake motor di rumah ibu." terang Jaja sambil menyeringai."Bukannya motor itu rusak?" Yasmin baru sadar, jika di rumahnya ada sebuah motor matic yang sudah lama tidak terpakai."Sudah saya benerin, Bu. Ayo, kita ke parkiran motor." Jaja meng
Mereka kembali naik motor, membelah jalan raya yang masih padat saja, padahal sudah pukul sembilan lebih sepuluh menit. Hawa dingin mengisi pori-pori kulit Jaja dan Yasmin, walaupun keduanya sudah memakai jaket. Angin malam juga berhembus cukup kencang pertanda sebentar lagi akan turun hujan."Saya ngebut sedikit ya, Bu. Ini mau hujan. Ibu pegang saya," ujar Jaja setengah berteriak di balik helemnya. Yasmin yang memang juga kedinginan, memutuskan untuk memeluk pinggang Jaja dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang belakang motor."Alhamdulillaaaaah...," teriak Jaja senang saat Yasmin memeluk pinggangnya dengan erat.Yasmin terkekeh. Ia semakin mengeratkan pengangan pada pinggang Jaja. Bahkan kini kepalanya ikut bersandar di punggung Jaja. Dihirupnya rakus udara malam, menikmati hembusan angin yang turut serta menyejukkan hatinya. Jika memang Jaja menjadi jodohnya, Yasmin berharap Allah membuka jalan bagi mereka.Begitu sampai di depan rumah. Bik Narsih membukakan gerb
Jaja menatap langit-langit kamarnya. Masih seperti malam sebelumnya, Jaja merasa kamar yang ia tempati saat ini terlalu nyaman. Mimpi apa ia hingga bisa tidur di dalam kamar seperti ini. Biasanya tidur hanya beralaskan kasur lipat tipis.Senyumnya terbit tatkala mengingat semua yang terjadi hari ini, untung saja ia tidak terlambat menyelamatkan Yasmin. Kalau tidak, entah nasib buruk apa yang menimpa Yasmin malam ini. Tangannya turun meraba pinggang yang beberapa jam lalu dipeluk oleh Yasmin. Ah, seandainya bisa setiap hari dipeluk seperti itu. Nyawa pun akan rela aku tukarkan. Jaja bermonolog."Bengong mulu!" tegur Bu Ambar yang begitu masuk ke dalam kamar Jaja, melihat anak bujang ting-tingnya sedang melamun."Keingetan yang tadi, Mak." jawab Jaja dengan wajah bersemu merah."Mamah, Ja. Salah mulu lu, manggil gua." protes Bu Ambar sembar menatap Jaja sewot. Wanita paruh baya itu memilih untuk duduk di atas ranjang single milik Jaja.Jaja hanya menggaruk rambutnya yang tidak gatal sam
Yasmin tidak mampu meloloskan air ke dalam tenggorokannya. Karena sedari tadi lelaki yang bernama Devano ini terus saja memperhatikan dirinya. Bahkan tanpa berkedip. Senyum tipisnya selalu ia berikan tatkala Yasmin melakukan pergerakan. Entah itu mengambil gelas atau sekedar bergeser dari duduknya.Lelaki kaya dan tampan ini yang katanya menggilai diri Yasmin. Tidak mampu membuat hati wanita itu bergetar. Sorot matanya lebih terlihat seperti psikopat yang sedang mengincar mangsanya."Ehhmm...jadi kapan acara pernikahan saya dan Yasmin bisa berlangsung?"Suara berat lelaki itu membuat Pak Miharja dan Yasmin tercengang. Kaki Yasmin kini bergetar hebat di bawah sana. Ia benar-benar takut."Apakah harus secepatnya Nak Vano?" tanya Pak Miharja dengan suara penuh wibawa."Tentu saja. Saya tidak ingin calon istri saya malah menyukai orang lain. Itu tidak boleh.""Dan tidak perlu ada pertunangan. Langsung pesta pernikahan saja.""Tapi...""Semakin cepat semakin baik, sabtu depan sepertinya ta
"Nek, mati lampu ya?kok gelap?" Reza menggerakkan gelisah kepalanya karena tidak bisa melihat dengan jelas apa yang yang terjadi antara amih dan juga abang kesayangannya. Tangan Bu Ambar menutup pandangan Reza. Sebuah pemandangan yang tidak boleh dilihat oleh seorang anak kecil.Bu Ambar dan Bik Narsih melotot tak percaya. Bahkan otot perut mereka tertahan karena kaget dengan pemandangan di depan sana. Yasmin mencium Jaja dengan lembut untuk beberapa saat.Jaja pun ikut terbelalak dan menahan nafas, saat bibirnya yang masih perawan dicium oleh wanita yang ia cintai. Tiba-tiba pandangannya kabur.Buughh..."Jaja!" teriak Yasmin dan juga Bu Ambar bersamaan. Lelaki muda itu sudah jatuh pingsan persis di depan kaki Yasmin."Heh...heh... hahahahaha..." Yasmin yang tadinya menangis, kini terbahak melihat Jaja pingsan."Wah, udah nyala ya lampunya?" gumam Reza masih tidak paham melihat beberapa orang dewasa berlari ke arah depan. Anak lelaki kecil itu akhirnya ikut menghampiri TKP.Bu Ambar
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman sekolah Amira, dan tentu saja belum lagi tamu dari pihak keluarga R
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Bagaimana bisa?"Bang Reza, Om, Tante, jangan bin
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan senyuman tersungging di bibirnya. Diraihnya tangan sang istri untuk duduk mendekat
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertemu Amira. Sepertinya Amira yang masih malu-malu," ujar Reza deng
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi. Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis."Papa baik-baik aja. Cuma agak lebay!" belu
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira. Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Bohong dosa loh, Mira," balas Andini."Ish, gak percaya
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan kalimat selamat hari per
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya. "Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah memendam rindu, ia dapat mendengar suara itu. Suara yang membuatnya meleleh seperti hari ini. CupAmira mencium ponse
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah. "Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira yang berdiri di sampingnya.