Terima kasih atas dukungannya. Jangan lupa mampir di karya baru Akak ya (TUAN MENJADI GILA SETELAH NYONYA PERGI) Semoga suka. Maaf atas segala kesalahan. See Soon.
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrer
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami.“Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira.“Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak.“Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum.“Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya.“Susah di waktu keci
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Ti
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian.“Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika.“Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika.“Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pesa
Amira masih berada di atas ranjang pasien. Wanita itu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan mirip dengan dirinya secara normal. Dia baru sadarkan diri dan langsung mencari bayinya.“Suster di mana bayiku?” tanya Amira.“Ah, Anda sudah bangun, Nyonya.” Perawat mendekati Amira yang ditinggalkan sendiri di rumah sakit. Semua anggota keluarga suaminya sudah pulang dan tidak menunggu dirinya hingga siuman.“Ya. Di mana suamiku juga?” Amira mulai merasakan dirinya tidak nyaman. Tidak biasanya Andika meninggalkan dia begitu saja.“Kami benar-benar minta maaf, Nyonya.” Perawat memegang tangan Amira dengan lembut. Dia ingin memberikan kekuatan kepada wanita yang masih lemah karena baru saja melahirkan itu.“Minta maaf untuk apa?” Amira memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia benar-benar sudah ketakutan.“Anda kehilangan putra yang baru saja dilahirkan,” ucap perawat merapikan rambut Amira yang berantakan. “Apa? Tidak!” Amira segera duduk.“Aku susah payah untuk bisa h
Bibi memperhatikan Amira yang masih duduk diam di kursi. Wanita itu ragu untuk pergi ke kamar dan menemui suaminya. Dia benar-benar tidak punya apa pun lagi.“Mari saya antar ke kamar Anda, Bu.” Bibi mengulurkan tangan pada Amira.“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira beranjak dari tangan. Dia mengenakan tas di atas pundak kiri.“Ahh.” Amira hampir saja jatuh karena kelelahan dan kakinya lemah.“Hati-hati, Bu.” Bibi memegang tangan Amira.“Ada apa ribut-ribut?” Marni menuruni tangga. Wanita paruh baya yang tidak lain adalah mertua Amira. “Mama,” sapa Amira.“Kenapa kamu pulang ke rumah ini?” tanya Marni mendekati Amira. Wanita itu menatap tajam pada menantunya.“Karena ini rumah kita,” jawab Amira bingung. Dia memaksa diri tersenyum.“Ini bukan lagi rumah kamu,” tegas Marni.“Apa? Kenapa?” tanya Amira gemetar.“Karena kamu dan Andika akan segera bercerai,” jawab Marni tersenyum sinis.“Apa? Kenapa kamu bercerai?” tanya Amira dengan mata yang mulai basah. “Karena kamu sudah membuat
Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.“Sudah, Ma,” jawab Andika.“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.“Menant
Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan operasi. Wijaya Kususma menunggu istrinya Luna Margareta yang sedang melahirkan bayi pertama hasil buah cinta yang sudah lama diharapkan. Seorang model yang awalnya menolak untuk hamil dan melahirkan, tetapi diancam akan dihancurkan kariernya membuat wanita itu tidak bisa menolak permintaan suaminya yang berkuas.“Selamat, Pak. Bayi Anda sudah lahir dengan jenis kelamin laki-laki.” Dokter keluar dari ruangan dan mengucapkan selamat kepada Wijaya Kusuma dengan rasa hormat dan bangga.“Terima kasih. Kapan saya bisa bertemu dengan putra saya?” tanya Wijaya.“Anda bisa menunggu di rungan bayi yang sudah kami siapkan,” jawab dokter.“Suster, tolong antarkan Pak Wijaya ke ruangan,” uca[ dokter pada perawat.“Baik, Dok. Mari, Pak.” Suster tersenyum. Wanita muda itu mencuri pandang untuk bisa melihat wajah tampan dari Wijaya Kusuma.Wijaya mengikuti suster menuju ruang VIP khusus untuk ditempati putra selama berada di rumah sakit. Pria itu melihat
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian.“Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika.“Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika.“Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pesa
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Ti
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami.“Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira.“Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak.“Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum.“Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya.“Susah di waktu keci
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrer
Warning 21+Wijaya menggendong Amira ke kamar mereka. Para pelayan segera merapikan dan membersihkan taman dengan cepat. Bibi memiliki tugas menjaga dua bayi yang sudah tidur.“Apa malam ini kita bisa bercinta?” tanya Wijaya.“Tentu saja.” Amira tersenyum. Dia melingkarkan tangan di leher Wijaya dengan tatapan yang menggoda.“Jangan berteriak.” Wijaya melepaskan Amira di kasur. Dia mulai menyerang leher istrinya yang putih.“Hahaha.” Amira tertawa geli. Wanita itu benar-benar menjadi manja dan menikmati setiap sentuhan Wijaya.“Aaahhh!” Jari-jari Amira mengacak rambut Wijaya. Ciuman kuat dan gigitan pria itu membuat sang istri berteriak menahan hasrat yang terus bangkit. Leher dan lengan yang putih telah menjadi merah.“Hhhhhh!” Wijaya benar-benar sangat liar. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lidahnya yang hangat. Menghisap putting susu yang masih memiliki asi walaupun tidak banyak lagi. Ada sisa-sisa dari dua putranya yang sudah minum susu formula sehingga cairan putih itu mulai
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka
Cantika telah berada di rumah baru mereka. Wanita itu menangis karena menjadi lumpuh.“Cantika, kenapa kamu bisa begini?” Ranika memeluk putrinya yang hanya bisa meneteskan air matannya. “Pa, kita harus membawa Cantika berobat ke luar negeri.” Ranita menghapus air mata Cantika. Sang ibu pun ikut menangis. Dia tidak sanggup melihat kondisi putrinya.“Kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa izin Wijaya. Ini pun kita tahu dari dia,” ucap Raditya.“Benar. Kita harus meminta bantuan Wijaya. Aku rela melakukan apa pun agar Cantika bisa sembuh. Wijaya memiliki banyak dokter hebat. Baik di dalam maupun luar negeri.” Ranika memegang tangan suaminya.“Aku akan mencoba menghubungi Wijaya.” Raditya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia terhubung langsung dengan Jack.“Selamat pagi.” Jack menerima panggilan dengan ramah.“Halo, Pak. Apa saya bisa bicara dengan Pak Wijaya,” ucap Raditya.“Anda bisa langsung mengatakan kepada saya,” tegas Jack.“Apa Pak Wijaya bisa membantu pengobatan Cantika