Sadia melangkahkan kakinya menyusuri koridor SMA Melati, sebuah sekolah dimana ia bekerja sebagai guru honorer. Ia membutuhkan uang untuk biaya pendidikan Naya dan dirinya. Meskipun ia tak menghasilkan banyak, setidaknya itu bisa mencukupi kebutuhan dasar mereka. Kejadian kemarin terus berputar di kepala Sadia. Ia bimbang untuk memutuskan apakah ia harus pergi atau tidak. Jawaban yang terlintas di benaknya jutaan kali sudah pasti adalah 'tidak', bukan karena ia takut atau apa. Ia sama sekali tidak takut padanya. Hanya saja, ia tak suka dengan cara pria itu mengancamnya atau memaksanya melakukan sesuatu. Selain itu, ia seharusnya tak peduli dengannya setelah apa yang terjadi kemarin membuatnya benar-benar yakin untuk tidak menikahi pria itu. Sadia menghela napas sembari mempercepat langkah kakinya ke kantor staf. Baru saja ia hampir sampai, namun ia mendengar seseorang berteriak memanggil namanya. "Sadiaaa.." Sadia membalikkan tubuhnya dan melihat Ahsan terengah-engah. "Apakah kau
"Beraninya kau mengabaikan perintahku. Kau pikir kau siapa?" Husam mencengkeram erat lengan gadis di depannya. Gadis itu meringis menahan sakit. Ia bertanya-tanya apakah pria itu mabuk lagi? "Singkirkan tanganmu sekarang!" Ia berteriak. Pria itu tampak menahan tawa sesaat, namun segera tergantikan oleh kemarahan dan cengkramannya semakin erat. "Kau pikir siapa kau hingga aku harus menuruti kata-katamu?!" bentaknya. "Yah, aku tahu kamu pengecut dan kamu baru saja membuktikan bahwa aku benar." Sadia tersenyum sinis meskipun sebenarnya ia ingin menangis. Pria itu melepaskan cengkramannya dengan kasar lalu dengan paksa mengambil tas jinjing milik Sadia. "Hei! Kembalikan tasku!" hardik Sadia sembari mengulurkan tangannya mencoba merebut tas itu kembali. Namun tiba-tiba dua orang pria datang dan dengan sigap menahannya. Ia memberontak, namun mereka begitu kuat. Husam membuka resleting tas milik Sadia dan membalikkannya di atas meja, membuat semua barang milik Sadia berceceran hingga jat
Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Dan hari ini, Sadia tak punya pilihan lain kecuali menyetujui pernikahan itu, karena bibinya terus saja mendesaknya."Apakah saudari Afsana Sadia binti Ihsan Husain bersedia menerima Husam Alharis bin Bahar Alharis sebagai suami?" tanya penghulu sebelum melangsungkan akad nikah.Pikiran Sadia tak berada dalam alam sadarnya. Bibirnya terkatup rapat, seolah tak ingin menjawab. Untuk beberapa saat ia merenung dan mencoba berpikir apakah masih ada jalan keluar untuk menolak pernikahannya ini. Haruskah ia berkata 'tidak'?Bibinya yang sedari tadi duduk di belakangnya tiba-tiba menyenggol lengannya dengan kasar seolah tak sabar menunggunya mengiyakannya. Ah, tak ada pilihan lain. Mungkin ini sudah takdir yang dituliskan untuk Sadia. Kehidupan yang mengerikan dan mimpi buruk yang nyata sudah berada di depannya.Para saksi duduk mengelilingi mereka, mereka memandang Sadia dengan penuh harap. Menunggunya mengatakan apa
Sadia bangun di pagi pertama di rumah seseorang yang sama sekali tak pantas disebut suami. Ia bergegas untuk mandi dan berganti pakaian karena ia mendapat kabar bahwa ibu dan ayah mertuanya akan mengunjungi mereka.Ia membalut rambut lebatnya dengan pashmina merah jambu, senada dengan gaun yang ia kenakan. Ia berjalan ke luar, namun pandangan matanya tersangkut pada kamar di sebelahnya. Pintu kamar itu sedikit terbuka membuat Sadia tertarik untuk melihat ke dalam. Entah kenapa ia begitu penasaran.Gadis dengan punggung telanjang tidur tengkurap di kamar itu. Untung saja setengah dari tubuhnya tertutup oleh selimut. Ia terlihat begitu pulas. Sadia mengintip lebih dalam, namun tak terlihat Husam di sana.Bergegas Sadia menuruni tangga memutar yang membawanya ke aula besar yang sangat indah penuh dengan hiasan yang biasanya hanya bisa ditemui di hotel-hotel bintang tujuh.Sadia kembali melangkah menyusuri rumah mewah itu, langkah kakinya membawanya ke dapur.
"Bi Sum sudah berapa lama bekerja keras sebagai pembantu di rumah ini?" tanya Sadia, ia merasa kasihan setelah melihat wanita tua itu dimarahi oleh Husam.Bi Sum sama seperti ibu-ibu pada umumnya, punya pribadi yang hangat dan sering tersenyum. Rambutnya yang dulu hitam, kini mulai terlihat beruban sering pertambahan usianya yang mulai menua. Namun, kebugaran dan energinya untuk bekerja bisa mengalahkan tenaga wanita muda, mungkin karena ia sudah terbiasa.Dengan celemek terlilit di badannya, wanita itu masih sibuk mencincang daging ayam untuk makan malam. Tangannya begitu cekatan. Sadia duduk di seberang meja dapur sambil mengamati keterampilan memasaknya."Aku bekerja di sini sudah lama sekali. Dulu ayahku bekerja sebagai supir pribadi kakeknya Husam, dan sejak itu juga aku sudah mulai bekerja di sini, bahkan sebelum Husam lahir." Mata Sadia terbelalak mendengar pengakuannya. Bagaimana Husam bisa bertindak seperti itu terhadap seseorang yang telah menggunakan waktu hampir seluruh h
"Tidak.. ""Eh, maksudku ya, dia menjagaku dengan baik," ucap Sadia tergelagap. Husam terlihat menahan tawa mendengar perkataan Sadia."Alhamdulillah. Aku tahu ini keputusan yang tepat." Wanita itu menghela napas lega sembari mengacak-acak rambut Husam.Setelah itu, ia mencium kening Sadia dan entah kenapa Sadia merasakan sesuatu yang asing. Inikah rasanya disayang? Rasa yang belum pernah Sadia rasakan. Rasa yang sama sekali tak ia dapatkan dari keluarganya sendiri. Bahkan Naya, adik kandungnya sendiri pun tak sekali pun meneleponnya semenjak ia meninggalkan rumah itu dan menetap di sini."Aku harus pergi sekarang atau aku akan terlambat. Aku akan pulang larut malam, kalian tak perlu menungguku." Husam melirik arlojinya dan mulai melangkah pergi."Kau mau pergi ke mana?" Pertanyaan ibunya berhasil membuat langkahnya terhenti."Aku mau pergi ke pesta saudara perempuannya Ken," jawab Husam. Sadia mengingat-ingat, Ken adalah kepala keamanan yang pagi tadi menemuinya."Seharusnya kau ajak
Sadia menoleh ke kanan lalu mengucap salam, kemudian menoleh ke kiri lalu kembali mengucap salam. Air matanya mulai bercucuran mengingat kejadian kemarin. Ia mulai menceritakan pada Tuhan-nya tentang semua yang ia rasakan. Semua itu membuatnya merasa jauh lebih baik setelah menangis dalam sujud.Kemarin adalah hari yang ingin Sadia lupakan selamanya. Malam itu, Ken memukuli pria kurang ajar itu dengan brutal, ia berhasil menyelamatkan Sadia dari kejadian paling buruk dalam hidupnya. Ia terus meminta maaf untuk semuanya sekalipun itu semua bukan kesalahannya.Setelah itu, Ken mengantarkan Sadia pulang dengan mobilnya. Husam sudah pulang sejak tadi, tanpa membawa Sadia. Sadia terus mencucurkan air matanya, kebenciannya terhadap pria itu semakin meningkat.Untung saja, ibu dan ayah mertuanya sudah terlelap. Jadi, ketika Sadia masuk, hanya Bi Sum yang menyambutnya dan ikut menangis layaknya seorang ibu yang melihat putrinya.Tangis Sadia berhenti begitu saja, ketika ia akan masuk ke kamar
Mereka berdua ternganga, menatap satu sama lain dalam waktu cukup lama. Keduanya seolah menolak untuk memalingkan wajahnya."Husam sayang, kau di mana? Aku lelah sudah mencarimu sejak tadi." Suara seorang wanita dari luar sana membuat Sadia tersentak, dan dengan cepat ia mengalihkan pandangannya dari Husam.Wanita pemilik suara itu memasuki kamar di mana Husam dan Sadia berada. Wanita itu memakai kaus yang dipakai oleh Husam tadi malam. Tubuh tinggi semampainya membuatnya tetap terlihat cantik dengan pakaian apapun.Sadia mengingat apa yang ia lihat semalam, wanita ini tengah berciuman dengan Husam di depan kamar mereka. Dan ia yakin, pria brengsek itu pasti telah memberi wanita ini segalanya. Namun, ia tak peduli. Ia juga teringat, wanita inilah yang juga datang bersama Husam ke rumahnya ketika pertama kalinya mereka bertemu."Itu wajah dia kenapa?" tanya wanita itu sambil menunjuk wajah Sadia."Ini bukan urusanmu!" ucap Sadia cepat, ia benar-benar tak suka mendengar ocehan wanita it
Flashback On"Yang itu! Akan kucoba." Husam meneguk cairan cokelat keemasan itu dan merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya.“Kak, ayo pulang. Kita sudah mencoba selama beberapa jam. Ini hanya membuktikan bahwa kau sudah tua sekarang," ucap Ken. Husam menatap tajam ke arah Ken yang membuang muka dengan seringai dan meminum vodkanya sekaligus dalam satu tegukan. "Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak percaya kita melakukan ini. Kita bahkan tidak terlihat seperti Mafia." Ken mengeluh, di saat Husam mengamati kerumunan untuk mencari gadis yang cocok."Diam saja dan biarkan aku berpikir," ucap Husam geram. "Beri aku satu kesempatan lagi," pintanya.Ken berbicara kepada bar tender lalu kemudian kembali pada Ken. "Kau tahu, ini ide bodoh! Betapa tidak masuk akalnya kau? Ayo lompat ke rencana B." "Dia akan mulai membenciku. Itu saja yang aku inginkan. Aku tidak ingin dia ..." Husam menggantung kata-katanya ketika seorang gadis pirang datang menyapanya."Halo tampan. Keberatan jika a
Sadia berdiam diri di kamar hingga berjam-jam, memikirkan bagaimana cara untuk menghadapi Husam, terutama untuk memikatnya. Sikap Husam akhir-akhir ini benar-benar mengacaukan pikiran Sadia. Ia bersikap seolah ingin Sadia menjauhinya, namun matanya memohonnya untuk tetap bersamanya.Sadia tak mengerti mana yang benar. Namun yang ia tahu, Husam tak pernah lagi selingkuh, ia tak pernah lagi tidur bersama wanita lain. Dan itu sudah cukup sebagai bukti bagi Sadia bahwa Husam mencintainya.Setelah Sadia selesai melaksanakan shalat Isya, ia kembali menunggu Husam. Sadia merasa ia harus melakukan sesuatu untuk membuatnya menyatakan cintanya padanya, atau setidaknya menunjukkan padanya bahwa ia tertarik padanya. Sadia memikirkan cara untuk memikatnya dan muncullah sebuah ide konyol. Ia memutuskan untuk merayu Husam.Tak ada salahnya, bukan? Seorang istri boleh merayu suaminya, bukan? Sadia menarik napas dalam-dalam sambil menatap bayangannya sendiri di cermin. Sadia tidak tahu bagaimana cara
FLASHBACK ON“Ada apa Bu?” tanya Husam begitu memasuki kamar tamu.Husam melihat ibunya berdiri menatap keluar jendela. Wanita itu dengan cepat membalikkan badannya begitu menyadari kehadiran Husam. Terlihat bulir-bulir keringat menetes dari pelipisnya."Husam, aku ingin kau tahu sesuatu," ucapnya. Suaranya terdengar gelisah, ia tampak gugup. Husam mengernyitkan dahinya.Risa beranjak duduk di tempat tidur. Husam mendekatinya, lalu berlutut di depannya. Tak peduli apapun yang telah wanita itu lakukan, bagi Husam ia tetap ibunya dan ia masih mencintainya."Ada apa? Apakah semuanya baik-baik saja, Bu? Apa ada yang menyakitimu?" tanya Husam.Risa terlihat kaget saat mendengar Husam kembali memanggilnya dengan sebutan 'ibu'. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Husam memanggilnya ibu.Husam sadar, biar bagaimanapun, ia harus tetap memperbaiki hubungannya dengan ibunya. Ia ingin semuanya kembali seperti semula. Dengan begitu, Sadia akan ikut senang melihat suaminya kembali dekat dengan
"Perlakukan dia dan ambilkan aku semua foto dari pesta itu. Aku ingin pengkhianat sialan itu di bawah kakiku,"Ancam Husam sambil menangkup wajah Zauq yang hampir tidak sadarkan diri dengan kedua tangannya. Ia menekan jari-jemarinya dengan kuat agar pria itu tetap sadar. “Dan sebaiknya kau jangan berbohong atau aku akan membunuh keluargamu dulu, dan selanjutnya kau. Aku akan menyiksa mereka tepat di depan matamu sampai kau tidak bisa lagi menerimanya dan memohon padaku untuk mempercepat kematianmu," ucap Husam sambil mendorong wajah kasar tawanannya itu sebelum akhirnya ia melangkah pergi menjauh dari sel.Husam ingin semua anak buahnya mengerti betapa kejamnya dirinya yang sebenarnya. Mereka harus melihat betapa berbahayanya dirinya terhadap orang-orang yang mengkhianatinya. Ia ingin hal ini akan menjadi pelajaran untuk mereka semua. Ia menyebut dirinya sebagai monster dan ia bangga dengan sebutan itu. Ia tak akan pernah membiarkan satu orang pun menghalangi apa yang ingin ia lakukan.
"Kak Husam .. Kami mendapat masalah. Kau harus segera datang ke markas ruang bawah tanah." Terdengar suara Dian, salah satu sahabat Husam melalui sambungan telepon yang ia genggam di telinganya."Oke, aku akan ke sana," jawabku Husam.Dian adalah komandan kedua Husam. Mendengar nada suaranya yang begitu panik, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat buruk. Husam menjadi ikut panik. Udara di sekitarnya terasa menjadi panas.Matanya kembali menatap sosok cantik yang tertidur lelap di tempat tidurnya. Bulu matanya yang lentik terlihat begitu indah tersemat di bawah kelopak matanya. Dadanya turun naik seiring nafasnya yang ringan. Selimut putih menutupi separuh tubuhnya, menyembunyikan lekuk tubuhnya.Ia merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya. Ia ingin segera merengkuh wanita itu dalam pelukannya lalu tidur bersamanya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan hendak mengecup lembut dahinya, namun ia tak bisa merasakan kulit lembutnya karena yang ada di depannya kali ini hanyalah sebuah la
"Jangan berani menyentuh barang-barangku lagi!" ucap Husam ketus, mengabaikan pertanyaan terakhir Sadia.Pria itu berjalan ke samping lemari untuk mencari sesuatu, membuat Sadia menjadi kesal. Ia bergegas berjalan menghampirinya lalu membalikkan bahunya sehingga ia bisa menghadapnya."Jangan ganti topik. Aku ingin jawaban. Aku telah menanyakan sesuatu dan kau harus menjawabnya!" ucap Sadia setengah berteriak, mencoba membuat Husam takut. Namun, pria itu justru bersikap seolah sama sekali tak mendengarnya."Jangan terlalu percaya diri. Aku punya kamera di seluruh ruangan di rumah itu. Bukan hanya di kamarmu! Aku mencoba mencari pengkhianat itu, dan dia bisa jadi siapapun yang tinggal di rumah itu," ujar Husam. Suaranya mengandung kebencian. Rasa sakit terpancar dari mata Sadia, ia mengedipkan matanya dengan cepat agar air matanya tak jadi tumpah."Aku sama sekali tak ingin memperhatikanmu!" Husam membuang muka, mengabaikan air mata di mata Sadia."Aku sudah memberitahumu. Aku hanya be
Keesokan harinya Sadia terbangun dengan kepala terasa pusing. Ia tidak benar-benar tidur semalam. Ia tidur hanya sekitar satu setengah jam saja. Sakit yang ia rasakan dalam hatinya membuatnya gelisah sepanjang waktu. Naya tidur di kamar lain, dan Sadia menangis sendirian sepanjang malam, bahkan ketika matanya sudah terlelap, tangisnya belum berhenti mengalir "Aku harus bertanya pada ibu mertua, apa yang sebenarnya terjadi? Jika Husam tak mau memberitahuku, maka aku harus mencari tahu sendiri," ucap Sadia memutuskan.Dalam sujudnya pagi ini, ia masih menangis, meminta pada Tuhannya agar hari ini ia menerima sesuatu yang baik. Kata-kata Husam kemarin benar-benar membuatnya hancur.Setelah ia selesai menunaikan ibadahnya, Sadia bergegas ke kamar Naya, ternyata ia masih tidur. Sadia pun bergegas ke dapur untuk meminum segelas susu. Ia merasa begitu lemah dan lelah, ia membutuhkan energi untuk mengembalikan tenaganya. Sepagi itu, biasanya dapur masih kosong dan terkunci karena belum ada y
Sadia merasa begitu bersemangat membawa nampan berisi semangkuk mie ayam itu ke kamar Husam."Dia pasti akan menyukainya," gumamnya. Ia mengetuk pintu kamar Husam beberapa kali hingga akhirnya ia mendengar suara dari dalam."Masuk." Suara Husam terdengar serak.Sadia menghela napas dalam-dalam sebelum ia mendorong pintu itu yang tak lagi terkunci. Perlahan pintu itu terbuka dan pemandangan yang Sadia lihat di depannya membuatnya benar-benar terkejut. Semua barang berserakan di lantai. Husam memang sering melakukan itu ketika ia sangat marah. Tapi, setahu Sadia, Husam sangat menyukai kamar ini karena kamar ini merupakan hadiah dari ayahnya untuk ibunya. Kali ini sepertinya Husam benar-benar marah hingga ia sampai menghancurkan kamar kesayangannya. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi hari ini.Sadia menatap punggung Husam yang membelakanginya. Terlihat sebatang rokok terjimpit di jemarinya. Perlahan Sadia melangkahkan kakinya dengan hati-hati karena tak ingin kakinya terluka karena pe
Sadia tak lagi bersemangat untuk bermain bulutangkis setelah Husam pergi. Ia sedari tadi hanya berdiri di sudut. Pandangan matanya seolah memperhatikan Naya dan Ken, namun pikirannya entah di mana. Ia menunggu Husam kembali hanya agar ia bisa mengagumi ketangkasan dan ketampanannya sekali lagi."Sadia, kenapa diam saja?" tanya Ken melihat wanita itu tak merespon bulutangkis yang baru saja ia arahkan padanya. Sadia terdiam, membuat Ken terpaksa berkata lagi. "Ayo, bermain lagi!" ucapnya, namun Sadia tak menghiraukannya.Sadia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah, sambil sesekali menatap ke arah pintu rumah, berharap pria itu muncul dari sana. Tapi tak ada. Sekitar dua puluh menit sudah berlalu, dan sama sekali tak ada tanda-tanda Husam akan datang. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi dan kembali ke kamarnya."Naya, ayo kembali ke rumah sekarang. Kau harus istirahat. Kau belum boleh terlalu kelelahan." Sadia meminta adiknya untuk ikut. Naya terlihat menghela napas kesal namun mau tak mau