Udah dobel up hari ini, komen yang ramai, doong!
Siang hari sepulang sekolah aku tak langsung ke apartemen. Mampir dulu ke ATM, mengambil sisa-sisa harta yang kupunya. Aku mau membeli beberapa bahan pangan di minimarket. Nyesel juga, waktu uang jajanku tak terbatas dulu mengapa aku tak rajin menabung. Sekarang ketika kartu kredit sudah disita Papa, uang bulanan pun hanya dikasih secuil, aku kelimpungan jadinya. Setiba di supermarket aku mengambil beberapa bungkus mie instan, biskuit dan roti untuk jaga-jaga kalau Yura memasak makanan yang tak bisa diterima oleh lidahku lagi. Aku jadi ingat dulu pernah sekali ikut Budhe belanja bulanan di supermarket karena kebetulan ada barang yang sedang ingin kubeli juga. Aku kesal melihat budhe terlalu lama memilih barang. Budhe selalu memperhatikan baik-baik harganya, kemudian mengamati kemasan produk, tak jarang mengeluarkan kalkulator dari dalam tasnya. “Budhe ngapain sih?” tanyaku ketika itu. “Ini lho, Budhe lagi bandingin harga yang paling murah yang mana,” jawabnya sambil tetap memence
“Apa-apaan sih?” Yura mengambil piring di atas meja. Kulirik isinya. Nasi dengan sayur sop tanpa daging, tapi ada sedikit potongan bakso di sana. Itu pasti bakso murahan yang ia beli di pasar. Yura lalu duduk persis di hadapanku. “Aaak” Disodorkannya sesendok ke arahku sambil memberi kode agar aku mau membuka mulut. Entah mengapa bak terhipnotis, aku menurut saja. “Kau tau, kalau mau pintar, harus makan makanan dengan gizi yang seimbang,” ujarnya sambil mengusap daguku yang sedikit basah karena ketumpahan kuah sayur. Jantungku serasa berhenti berdetak karena sentuhannya. Mungkin benar juga kata Bimo, pria beristri akan terlihat lebih terawat karena sudah ada yang memperhatikan lebih. Uhuks! “Aku tidak ingin Papa melihat anaknya kurang gizi setelah menikah,” katanya lagi. “Kenapa? Kau takut Papa tidak memberimu uang lagi?” tanyaku curiga. Aku tahu disamping jatah bulanan kami, Papa masih memberinya uang untuk kebutuhan ibu dan adiknya di kampung. “Hem yaa itu salah satunya.” S
“Ka, ngapa lo dari tadi pegang-pegang pipi mulu? Sakit gigi?” Pertanyaan dari Bimo membuatku tersadar dan buru-buru menurunkan tangan. “Hah? Nggak ah, pegang pipi apa sih?” “Lo ngga nyadar ya, dari tadi, lo jalan menuju kelas, sampe sekarang, tangan lo tuh di pipi muluk!” tatapan Bimo penuh selidik, jadi berasa terdakwa yang di interogasi polisi deh gue. “Oh gue tau!” Bimo tersenyum. Ia mendekatkan kepalanya, lalu berujar dengan suara yang lebih lirih. “Jangan-jangan, tadi malam lo berbuat tidak senonoh, terus digampar sama bu Yura!” What? Aku melotot dan reflek tanganku mencekik leher Bimo. Pelan kok, ngga kenceng, bukan mau bunuh orang. “Gila lo ya, banyak orang, jangan sebut namanya di sini!” “Wekkk, ampun, ampuuun” jerit Bimo, segera kulepaskan cengkraman tanganku di lehernya. Bimo lalu membenarkan kerah bajunya yang berantakan karena kucekik tadi. “Kalo bukan itu terus apa?” tanyanya. Aku menarik napas sambil mencari alasan yang tepat. “Kepo amat si lo! Ada nyamuk tadi ne
“Yang jelas, jatah uang bulanan dari Papa, sudah Arka kasih semua ke Yura. Masa, sesekali masak makanan enak aja nggak bisa, huh!” Budhe senyum lalu mengusap-usap punggungku. “Kapan-kapan, Mas Arka ikut belanja sama Mbak Yura, biar tahu harga bahan pangan sekarang, ya.” “Hemm.. iya Budhe," jawabku, meski sebenarnya malas juga kuikuti saran Budhe itu. Budhe lalu beranjak dari ruang makan, mau nyetrika katanya. Sementara aku, tentu saja langsung menyantap masakan Budhe yang entah kenapa terasa jauh lebih lezat daripada masakan Budhe sebelumnya. Benar begitu atau ... hanya karena beberapa hari ini aku disuguhkan makanan yang tak kusuka? Entahlah. 🌷🌷🌷 Setelah makan aku bergegas pulang, takut Papa keburu datang. Sebagai salah satu pemegang saham yang merangkap CEO, jam kerja Papa tidak harus nine to five di kantor. Kadang kala Papa pulang lebih awal, tapi tak jarang juga menjelang tengah malam baru sampai rumah. Kalau Papa sampai melihatku di sini, apalagi tahu aku numpang makan, a
“Yura!!!” Aku terlonjak dan ntah mengapa spontan memanggil nama itu, saat kulihat jam weker di kamar menunjukkan pukul enam tepat. “Yuraaa, kenapa nggak bangunin aku sih?” Untuk kedua kalinya aku berteriak memanggil namanya tapi tak jua ada jawaban. “Yuraaa!” Begitu membuka pintu, kulihat istriku itu sedang mengepel lantai. “Kenapa nggak bangunin aku?” Biasanya tiap Subuh Yura pasti membangunkanku. Dengan berbagai macam cara sampai aku benar-benar bangun. Mulai dari menciprati air ke wajahku, mengguncang tubuhku, menggelitik telapak kakiku, sampai jurus pamungkasnya jika aku tak segera bangun. “Bangun atau kucium?” Entah serius atau hanya sekedar gertakan. Yang jelas, kalau Yura sudah berkata begitu, aku langsung bangkit. Seandainya kuceritakan ini pada Bimo, dia pasti akan meledekku habis-habisan, mempertanyakan kejantananku. Laki-laki macam apa takut dicium perempuan, cantik lagi. Di sekolah, Yura diidolakan sebagian besar murid cowok. Tapi entah mengapa nyaliku malah ciut
Sekali lagi, aku mencoba berkonsentrasi. Memikirkan hendak ke mana setelah lulus nanti. Namun akal sehatku mengatakan, biar Papa saja yang memikirkannya, yang terpenting jabatan CEO aman. Tapi, masa aku nulis mau jadi CEO di kantor Papa, ntar dinyinyirin netijen. Mereka akan mengatakan aku sukses karena previlege bukan karena kemampuanku sendiri. Lalu dijadikan olok-olok dan viral di twitter. Serasa pengen bergandengan tangan dengan Putri Tanjung kan. “Mo. Kalo cewek ngambek, bujuknya gimana ya?” Daripada bengong aku memilih ngerusuhin Bimo yang tampak serius ngerjain tugas dari Mr.Dika. “Dikasih duit!” jawab Bimo singkat tetap serius dengan aktivitas menulisnya. “Susah amat!” gumamku. “Hah, bagi seorang Arka, masa duit aja susah, sih?” Bimo menoleh, menatap serius ke arahku. “Kartu kredit gue udah ditarik Mo, uang jajan juga dipotong banyak.” Akhirnya aku jujur juga sama Bimo, kalo aku miskin sekarang. “Hmm, ya lo dah nikah sih, malah seharusnya nggak dikasih uang jajan lagi.”
“Assalamualaikum …. ” Aku tengah menonton televisi ketika Yura datang dan mengucap salam. “Waalaikum salam,” jawabku. Setelah melepas sepatu dan meletakkannya di rak, ia merapikan sepatuku yang sengaja kuletakkan sembarangan. Biasanya dia akan mengomel dan aku kesal mendengarnya. Tapi kali ini justru aku menunggu omelannya. “Tumben nggak marah,” kataku. “Capek!” jawabnya singkat lantas melewatiku begitu saja. “Tunggu Yura!” Aku mencekal pergelangan tangannya hingga ia menghentikan langkahnya. “Lebih baik kamu marah. Ngomel sepanjang kereta api. Tapi jangan diam.” Ia menghela napas, lalu menarik tangannya, dan tanpa sepatah katapun langsung masuk ke dalam kamar. Kukejar, tapi dia buru-buru menutup pintu kamar. Ugh! Aku mengacak rambutku kesal. Mengapa serumit ini memahami wanita. Esok harinya aku bangun pagi-pagi sekali, sebelum Yura terjaga. Mencoba mengikuti saran Bimo. “Lu di rumah ngerjain apa?” tanya Bimo usai aku curhat tentang Yura kemarin. Bimo emang belum pernah pun
“Mas Deny, titip beliin daster.” Sepulang sekolah aku ke rumah Papa, memberikan dua lembar uang berwarna merah pada Mas Deni. Untung saja, tadi waktu sedang membuka buku-buku pelajaran lama, aku menemukan harta karun. Entah kapan aku menyelipkan uang di situ. Akupun lupa. “Lah kok saya mas, mana ngerti saya tentang daster.” “Mas Deny kan ada istri, bisa minta tolong, belikan yang kira-kira cocok buat Yura.” “Warnanya apa mas, bahan dan motifnya?” tanyanya seraya memasukkan uang ke kantong bajunya. Disuruh memilih aku malah tambah pusing. “Terserah deh, yang penting bagus, nyaman. Kira-kira yang disukain cewek itu kaya gimana.” Mas Deny manggut-manggut. “Sekarang ya Mas Deny berangkat.” “Oke mas, siap. Saya jemput istri dulu, biar dia bantuin milih.” Aku mengangguk lalu meraih helmku yang tergantung di spion motor. Mau pulang. “Kalau udah dapat, langsung antar ke apartemen ya, jangan mampir kemana-mana dulu!” pesanku. “Buru-buru banget mau dipake ya Mas?” Mas Deny mengerling
POV AZYURA “Ayo Mbak, nanti terlambat!” Zaydan menengok jam tangannya. Kurasa dia bukannya kuatir aku terlambat, hanya tidak sabar saja menungguku selesai berdandan. Hari ini hari wisudaku. Daripada ke salon aku lebih mempercayakan urusan make up kepada Febi. Tak perlu repot mengantri dan mengeluarkan biaya. Lumayan, penghematan. Zaydan sendiri sudah sampai Jakarta dari kemarin sore dan menginap di salah satu guest house dekat kosku. “Dek, masmu sudah tahu kalau Mbak wisuda hari ini?” tanyaku pada Zaydan. “Mas Arka? Bukannya Mbak bilang jangan kasih tahu?” Aku menghela napas. Aku memang melarang Zaydan memberi tahu Arka kalau aku wisuda hari ini. Tapi, kan, tak harus nurut begitu aja dengan apa yang kukatakan. Diam-diam tetap memberi tahu apa gimana, kek. Laki-laki memang ya, tak ada peka-pekanya. Zaydan dan Arka, sama saja! “Kalau Mbak pengen Mas Arka datang, kenapa nggak dikasih tahu aja, sih?” Zaydan merebahkan badan pada kursi kosong di sampingku. “Jangan! Mbak pengen tahu
Pulang dari pemakaman, raga ini sebenarnya telah lelah. Pasti lebih-lebih Yura, kulihat ia sangat pucat dan matanya sembab. “Yura istirahatlah.” Aku berbisik di telinganya. Ia hanya menggeleng lemah. Masih banyak tamu yang melayat, mungkin ia tak enak hati meninggalkan mereka. “Makan ya, Sayang. Aku suapi.” Kembali ia menggeleng. Entah karena tak lapar, tak berselera makan, atau masih marah denganku sehingga semua tawaranku ditolaknya. “Kalau begitu minum, wajahmu pucat sekali.” Aku memberinya sebotol air mineral. Untungah ia mau menerima, meski hanya seteguk yang ia minum. “Arka!” Tiba-tiba saja Papa sudah di sampingku. Memanggil dengan suara pelan. “Ya, Pa.” “Papa sama Mas Deny pulang duluan. Kamu hibur istrimu di sini.” Papa menepuk pundakku. “Ya, Pa,” jawabku bersamaan dengan datangnya taksi pesanan Papa. Yura berdiri ketika kubisikkan bahwa taksi yang akan mengantar Papa ke bandara telah tiba. Kami mengiringi Papa sampai ke depan. “Nak maaf Papa tidak bisa lama-lama di si
Yura di mana? Sudah selarut ini dan dia tidak ada di apartemen? Kucoba menghubungi ponselnya sampai tak terhitung lagi berapa kali, tapi hanya nada sambung yang kudengar. Bergegas aku turun, mencoba mencarinya di minimarket 24 jam dekat apartemen. Namun sampai dua kali aku menyusuri minimarket itu rak demi rak, tak jua Yura kutemukan. Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai, ketika melewati pos keamanan, salah seorang sekuriti menyapaku. “Ada yang bisa saya bantu Mas?” Mungkin ia melihat raut wajahku yang kalut sehingga menawarkan bantuan. “Bapak lihat istri saya pergi dari apartemen?” tanyaku yang sudah mulai putus asa. “Oh Mbak Yura? Tadi sih saya lihat Mbak Yura kaya buru-buru pergi, terus ada yang jemput ke sini pakai mobil.” “Pakai mobil? Bukan Mas Deny?” “Oh bukan Mas, kalau Mas Deny saya hapal.” Tentu saja ia hapal, Mas Deny seringkali menyupiri aku dan Papa. Bahkan saat Papa mengirimkan bahan pangan ke kamar apartemenku, sekuriti ini juga yang membantu Mas Deny
Aku berjalan beriringan bersama Bimo dari parkiran. Kami memang berangkat sekolah bersama dari rumah Bimo. Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, setelah akhirnya berhasil menemukan kos buat Mauren. Tak sempat pulang ke apartemen karena jaraknya cukup jauh. Bisa terlambat nanti aku sampai sekolah. Untung saja, ada pakaian seragamku di rumah Bimo. Bebeberapa hari lalu tertinggal. Sudah dicuci bersih bahkan disetrika oleh ibunya Bimo, tapi aku selalu lupa ambil saat ke rumahnya. Baru beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponselku dan Bimo berbunyi, bersamaan. Ah aku lupa mematikan notif. Sama sekali tak kubuka isi pesan, hanya settingan kuatur agar silent. “Bro, tunggu!” Tangan kanan Bimo terjulur ke depanku, menghalangi tubuhku yang hendak melangkah maju. “Udah cek grup SMA?” “Belum, ada pengumuman apa?” Daripada sekrol panjang aku memilih menanyakan langsung saja pada Bimo. “Tadi malam elo ….” Alih-alih melanjutkan kalimat, Bimo malah menunjukkan ponselnya. Aku terkejut ketika meli
Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Papa sudah memintakan ijin dengan menelepon langsung wali kelasku. Biasanya susah mendapat persetujuan dari Papa soal perijinan. Bahkan aku mengeluh sakit pun, Papa seringkali tidak percaya. “Alasan kamu! Bilang saja malas berangkat sekolah!” Begitu pasti tuduhnya. Tapi kali ini, begitu aku bilang mau mengantarkan ibu mertua, Papa langsung mengiyakan. “Dalam hal menjadi anak dan mantu berbakti, Papa pasti dukung,” katanya. “Tapi setelah itu langsung pulang dan belajar. Ingat, ujianmu tinggal beberapa hari lagi. Kalau mau pacaran, di rumah aja. Pacaran ala anak sekolah, belajar bersama.” Papa terbahak meledekku. Sementara Ibu, tahunya aku sengaja menyediakan waktu, sehingga tidak berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bulik Yura, Ibu banyak memberikan wejangan pernikahan. “Suami istri, susah senang harus dihadapi bersama. Laki-laki dan perempuan punya sifat dasar yang berbeda, apalagi berasal dari keluarga yang beda. Pola asuhn
Masih pagi, saat bersiap ke sekolah usai sarapan, kudengar bel pintu apartemen berbunyi. Ketika membuka pintu, kulihat Mas Deny -sopir Papa-berdiri dengan beberapa kantongan besar berisi penuh barang. Melihat sekilas, sepertinya isinya bahan pangan. “Mas Deny?” “Saya pamit dulu Pak,” kata Pak satpam yang membersamainya. “Iya, makasih bantuannya ya Pak,” jawab Mas Deny. “Mau apa?” tanyaku masih memandang kantongan itu dengan heran. “Dari Bapak.” Bersamaan Mas Deny menjawab, ponselku berdering. “Papa kirim apa, banyak sekali?” tanyaku begitu menekan tombol terima panggilan. “Assalamualaikum, Arka. Kebiasaan kamu terima telepon nggak ngucap salam!” hardik Papa. “Iya … Waalaikum salam Pa …” jawabku. “Papa dengar Ibunya Yura mau datang, jadi Papa kirim bahan makanan untuk kalian.” Ya, adik kandung dari Ibunya Yura di Jakarta akan menikahkan anak sulungnya. Ibu ingin sekali datang. Sebenarnya Yura tak setuju, mengingat penyakit gagal ginjal yang dideritanya, ibu jadi mudah lelah
Tanggal merah, aku masuk kafe shift sore. Satu jam sebelum kafé buka, aku sudah datang. Bersih-bersih, merapikan meja kursi, dan aktivitas pre opening lainnya. Pertama kalinya aku kerja tanpa Bimo. Masa kerjanya dua minggu sudah usai. Sebenarnya ia masih ingin memperpanjang lagi, terlanjur nyaman kerja di sini, katanya. Akan tetapi ibunya melarang. Sebagai anak baik, Bimo tentu saja menurut. “Arka!” Suara seorang perempuan memanggilku ketika aku sedang mengepal lantai. Terdengar familiar, tapi aku lupa suara itu milik siapa. Aku mendongak. "Lo kerja di sini?” Ia menunjukkan wajah takjub. Siapapun yang mengenalku, responnya pasti seperti ini, Arka anak pengusaha kaya raya kerja menjadi pelayan kafe, apa yang terjadi? “Mauren?” Aku menatap gadis berambut ikal sebahu itu tak percaya. Sudah sekitar setengah tahun tak ada kabar tiba-tiba kami bertemu di kafe. “Kemana saja selama ini, Ren?” Sebenarnya aku agak pangling. Dengan pulasan make up ia terlihat lebih dewasa dari usianya. “Wah,
“Silakan buku menunya Ka ….” Aku terkejut begitu wanita yang kusodorkan buku menu itu menoleh. “Arka?” panggil wanita itu. “Ma-ma ….” jawabku terbata, sama sekali tak menyangka akan bertemu Mama di sini. Sudah setahun lebih aku tak bertemu dengannya. Semenjak ia dan keluarga barunya tinggal di Singapura. “Ini kafé milik papamu?” Mama mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Aku menggeleng. “Lalu?” “Arka bekerja paruh waktu di sini, Ma.” “Ada apa? Papamu bangkrut lagi?” Wanita itu berdecak nampak prihatin. Aku tersenyum sinis mendengar dugaannya. “Bahkan usaha Papa berkembang sangat pesat, Ma. Mama selalu begitu, suka merendahkan Papa!” sahutku dengan nada kesal. “Terus, apa maksudnya ini?” Mama memandangku dari atas sampai bawah. “Arka mau belajar mandiri, Ma. Arka sudah menikah jadi harus ….” “Nah! Apa Mama bilang!” Mama menyambar omonganku. “Kamu masih muda Arka, kenapa buru-buru menikah? Seandainya waktu itu Mama tidak sedang sibuk dengan usaha baru Papa Indra, Mama suda
POV Yura “Kita mau ke mana?” tanyaku ketika kami sampai di lift. Arka menekan tombol menuju basement. Hening sesaat, lalu tiba-tiba, ia menggenggam tanganku, menautkan jari jemarinya, membuatku sedikit tersentak. Kaget. “Pegang tangan boleh kan?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia suamiku, bahkan dia menyentuhku lebih dari ini pun seharusnya boleh. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Hah mau apa dia? Spontan aku mundur. “Oh, maaf.” Ia urung mendekat, nampaknya paham dengan penolakanku. “Kupikir kalau sudah pacaran, kita bisa ….” Ia tak melanjutkan kata-katanya tapi aku mengerti apa yang ia maksud. Aku berdehem untuk melepas kegugupan. “Oh, jadi selama ini kalau pacaran kamu begitu ya?” sindirku. “Belum pernah pacaran, kok. Kamu pacar pertamaku.” Aku tertawa sinis. “Bohong. Lalu, Aina?” “Belum sampai pacaran, baru gebetan. Udah mantan sekarang.” “Oh, pantes!” sahutku ketus. Teringat bagaimana Aina peluk-peluk Arka waktu di parkiran. “Cemburu?” Ia melirikku sambil tersen