Bulan sabit menggantung di langit saat sebuah mobil Porsche Panamera warna biru terhenti di perempatan lampu merah. Pengemudinya seorang pria, dengan kemeja merah marun di tubuhnya.
"Sweety, aku begitu merindukanmu," gumam Rio lirih, hanya terdengar oleh telinganya sendiri. Dia baru saja pulang dari kantor setelah rapat bersama Leo dan staf khusus perusahaannya. Ah, lebih tepatnya, perusahaan yang dulu menjadi tanggung jawabnya.
Sejak beberapa jam yang lalu, pria 31 tahun ini terbebas dari semua tanggung jawabnya sebagai seorang CEO perusahaan multinasional bernama Diragantara Artha Graha. Liliana, ibu tiri sekaligus atasannya, sudah memecatnya dari posisi itu. Dan Rio menyambutnya dengan suka cita.
Tapi, saat Leo menghubungi dan mengatakan kejadian tidak mengenakkan di perusahaan, mau tidak mau Rio harus bertindak. Dia memimpin rapat internal bersama kesepuluh staf dari setiap departemen yang ada di perusahaan.
Momen itu sengaja Rio manfaatkan untuk
"Sweety, apa yang terjadi?" tanya Rio, memperhatikan wajah cantik istrinya yang sedang tersenyum dari samping. "Apa aku melewatkan sesuatu?"Monika melirik sekilas sebelum duduk manis di atas kursi. "Banyak," jawabnya singkat."Tentang apa? Apa kalian membicarakanku?""Kamu sudah mengizinkannya." Masih tetap sama. Monika memasang wajah datarnya, persis seperti Pram yang hampir tidak pernah menunjukkan mimik senang, sedih, atau bahagia. Manusia semacam ini ternyata banyak juga jumlahnya."Mengizinkan apa?" Rio masih tetap menuntut jawaban dari wanita pujaan hatinya ini."Cuci tangan dan basuh wajahmu. Waktunya makan." Monika memberikan titah seperti seorang ibu yang menyuruh anaknya.Lidya tersenyum lebar melihat interaksi Monika dengan sahabatnya. Wanita itu begitu perhatian, berbanding terbalik dengannya yang sering berbicara pada Pram sambil berteriak emosi. Bahkan, dia tidak pernah peduli apakah Pram sudah membersihkan tangan sebelum maka
"Bagaimana kalau pada akhirnya mereka bermain gila?" Rio bertanya sambil mengamati wajah cantik istrinya. Sejenak Monika bungkam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Jujur saja, dia tidak rela jika seorang pria lembut dan penuh perhatian seperti Devan terjerat dengan wanita yang tidak baik. "Sweety," panggil Rio. Netranya terpaku pada kedua bola mata Monika yang terlihat sedikit sayu. Entah karena lelah atau mulai mengantuk. Tapi, apa yang dia lakukan dengan Lisa sudah keterlaluan. Mereka memiliki affair sejak setahun yang lalu. Itu artinya, sekitar 365 hari Devan sudah mengkhianati kepercayaannya. Jika dikatakan khilaf, itu bullshit. Khilaf itu sekali atau dua kali. Kalau sampai satu tahun? Dia itu gila! "Sweety," ulang Rio untuk yang kedua kalinya. Dia menyentuh pipi Monika, membuat lamunan wanita ini tentang mantan kekasihnya harus terjeda. "Kamu sengaja memprovokasiku. Benar, 'kan?" Pertanyaan tajam dan menukik itu terl
"Devan Mahendra, kita lihat sejauh mana kamu memasang topeng malaikat di wajahmu itu!" Leo berbisik lirih, hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri. Kedua netranya yang tajam seolah bisa mengebor apa saja yang tertangkap indera penglihatannya.Di bawah sana, tepatnya di lantai dansa. Clara meliukkan badannya seirama dengan musik yang menggema."Kamu sering pergi ke tempat seperti ini?" Devan mengeraskan suaranya, bersaing dengan dentuman musik beat yang cepat.Tak menjawab, Clara hanya mengangguk saja. Dia tidak segan mengalungkan kedua tangannya di leher Devan, membuat pria itu terdiam sementara waktu.'Wanita ini berani juga. Atau dia memang sudah terbiasa seperti ini?' batinnya bertanya-tanya.Devan jarang sekali pergi ke tempat kesenangan seperti ini. Dia lebih suka suasana yang tenang dan romantis. Dibandingkan dengan tempat terkutuk ini, dia dan Monika terbiasa berkencan di taman.Obrolan mereka semakin intens. Clara yang mulai kehi
Clara membuka matanya saat sinar mentari menyapa wajahnya. Dia mendudukkan diri dan memijit pelipisnya perlahan. Kepalanya terasa berat, seolah tertimpa beban berpuluh-puluh kilogram. Itu yang biasa disebut hangover. "Manajer," panggil Clara dengan suara serak khas orang bangun tidur. Dia menangkap sosok wanita itu tengah menyiapkan peralatan kerjanya di atas meja. Ada satu box besar berisi alat make up yang sering digunakannya. Clara tidak pernah memakai jasa perias, selalu manajer yang melakukan itu untuknya. Kulit wajahnya cukup sensitif, tidak bisa memakai sembarang make up artis. "Sudah sadar, heh?" Wanita empat puluh tahunan itu berkacak pinggang sambil menatap model andalannya dengan pandangan sebal. "Minum," pinta wanita yang hanya mengenakan tanktop dan hotpans di tubuhnya. Manajer melepas pakaian Clara semalam, begitu Devan pergi. "Ambil saja sendiri!" ketusnya, masih marah karena Clara melanggar larangannya. Wanita
Liliana duduk di posisinya dengan gelisah. Kedua tangannya bertaut, memainkan jemarinya masing-masing. Lidahnya kelu, bibirnya ia gigit erat-erat. Tak ada suara apapun selain deru mesin pengatur udara berwarna putih di salah satu sudut ruangan.Suasana semakin mencekam. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Kesepuluh staf khusus yang tadinya menyambut kedatangan Liliana, juga tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk menghadap lantai mengilap di bawah sana.Orang-orang dengan setelan rapi itu berkutat dengan pemikiran masing-masing, mengemukakan pendapat yang hanya berani mereka sampaikan dalam hati.'Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Tuan Besar akan menyalahkanku? Dimana aku akan bekerja jika harus diusir dari perusahaan ini?' batin Sandra, wanita yang menggenggam ujung blazer warna biru yang dipakainya.Dia staf bagian keuangan, salah satu orang yang tahu masalah uang yang dihilangkan atasannya, Jonathan Wu. Tapi, dalam
"Sayang, kembalilah. Kami merindukanmu," lirih Hans hampir tanpa suara. Wajahnya menunjukkan bahwa dia begitu mencintai wanita bernama Evalia Lesmana, istri pertamanya. Ingatannya kembali pada 31 yang lalu. "Will you marry me?" tanya Hans muda sambil berlutut di lantai. Seorang gadis muda dua puluh tahun berdiri di hadapannya. Mereka ada di halaman belakang sebuah rumah sakit terbesar di kota ini. "Apa kamu gila? Kita masih terlalu muda," elak gadis bersurai panjang sambil menggelengkan kepala berkali-kali. "Lagipula, aku tidak akan menikah dengan pria b*rengsek sepertimu!" "Tapi kamu hamil anakku. Bagaimana bisa aku mengabaikannya?" Hans berdiri, meraih tangan wanita yang masih mengenakan pakaian serba putih khas seragam para dokter muda. Tubuhnya yang mungil seolah tenggelam di dalam jas kebesaran para praktisi medis itu. "Kenapa tidak? Bukankah itu memang rencanamu?" sarkas wanita yang kini coba melepaskan diri dari cengkeraman pria di hadapannya.
Rio membawa Monika menuju bandara. Dia sudah memesan tiket pesawat menuju Jepang. Meski tidak tahu tujuan utama pria ini, Monika tetap setia mendampinginya. "Untuk apa kita ke Jepang? Tidak benar-benar bulan madu, 'kan?" Monika mengonfirmasi karena dia tidak memiliki cukup banyak uang. Dia juga tidak ingin berhutang terlalu banyak pada Lidya. "Tentu saja untuk itu. Aku ingin kamu segera hamil seperti Lidya," jawab Rio asal, mendudukkan diri di kursi tunggu bandara. Masih ada waktu satu jam sebelum mereka masuk ke dalam burung besi itu. Bugh Monika memukul lengan suaminya dengan keras. Dia tidak suka bercanda. "Tenanglah. Aku tidak akan melakukannya untuk sementara. Setidaknya sampai kita menemukan ibuku." Hati Monika mencelos. Dia menangkap gurat kesedihan saat Rio mengatakan kata terakhirnya barusan. Pria ini tampaknya begitu terluka, tapi tetap pura-pura memasang sikap angkuh andalannya. "Dia ada di sana?" Rio mengang
WARNING! ADEGAN 21+ DI SEBAGIAN CERITA. HARAP SESUAIKAN UMUR DAN BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN! HANYA BOLEH DILAKUKAN OLEH PASANGAN SUAMI ISTRI! * * * Langit terlihat gelap seluruhnya saat sebuah pesawat komersil mendarat di bandara Narita, Tokyo. Para penumpang mulai mengemasi barang-barangnya setelah dipersilakan oleh pramugari yang bertugas. "Sweety, are you Ok?" tanya Rio, mengamati wajah Monika yang terlihat pucat. Ini adalah penerbangan pertamanya dan merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Sepertinya dia mabuk udara karena merasa pusing, lemas, berkeringat, dan sedikit mual. Hampir sama dengan gejala mabuk darat ataupun laut. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Seorang pramugari mendekat, menanyakan dua pasang sejoli ini yang masih duduk di atas kursinya sementara orang-orang yang lain mulai meninggalkan burung besi ini. "Ah, istriku sepertinya sedikit mabuk. Ini penerbangan pertamanya." Rio tersenyum canggung
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol