Ada yang mau dimasakin sama aron?
“Selamat pagi, Mas Tama,” sapa Farzan sembari mengambil duduk pada sofa yang terdapat di ruang tamu. “Tumben sekali Mas ke sini,” lanjutnya basa-basi.Tama tersenyum simpul, menyesap kopinya perlahan sebelum mengalihkan kembali atensi pada Farzan. “Kebetulan jadwal aku hari ini siang, dan sepertinya kita sudah lama tidak mengobrol karena kesibukan masing-masing.”Sebenarnya bukan hanya itu, entah mengapa Farzan juga menghindari setelah ancaman Tama mengenai pertunangan Relin serta Aron.“Ya, aku memang akhir-akhir ini sibuk di perkebunan. Apalagi dengan keadaan Rendra saat ini,” sahut Farzan santai.Tama tersenyum simpul. “Benar juga, perkebunanmu sekarang sudah sangat maju. Kudengar dari Masayu jika kau akan membuka restoran di Kuta.” Farzan terkekeh serak seraya mengusap tengkuknya yang tak gatal. “Mas Tama bisa saja, jelas-jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan milik Dewangga,” balas pria itu.Padahal ia tahu jika sekarang mereka cukup setara. Namun, Farzan tak enak s
“Bimo, bisa kau lembur hari ini? Sekitar pukul lima sore saya langsung pulang karena ada rencana bersama si kembar dan Kamila,” kata Aron. “Bisa, Tuan. Saya juga sudah memetik buah apel yang diminta oleh Nyonya Kamila,” jawab Bimo.Pukul satu siang wanita itu ingin memakan buah apel, dan Bimo yang harus memetiknya langsung. Alhasil ia bergegas ke kebun, mau gimana lagi—ia juga sangat menyayangi Kamila, dan menganggapnya seperti adik sendiri. “Lantas mengapa tak langsung bawa ke rumah? Kau ini aneh sekali,” gerutu Aron. Ada-ada saja celah untuknya menyalahi Bimo. “Nyonya Kamila sendiri yang ingin dibawakan ke rumah sakit dulu, lalu setelah itu saya diminta untuk menitipkannya pada Tuan. Entahlah, saya juga tidak mengerti,” jelas Bimo. Aron manggut-manggut. “Kalau istri saya mengatakan seperti itu, tidak masalah. Masih bisa diterima oleh logika.” Terserah tuannya saja, Bimo tak ingin menimpali. Aron sepertinya sudah cinta buta dan tuli pada istrinya. “Bimo, apa kau bisa membantu s
Tak terasa kandungan Kamila memasuki usia enam minggu, bertepatan dengan pertunangan Erza. Hari Ini ia juga akan bertandang ke sana bersama keluarga kecilnya. Kamila mengenakan kebaya panjang dengan potongan yang memperlihatkan keanggunan. Sentuhan bahan sutra berwarna marun tua mengalir lembut, wanita itu juga memilih aksesori berupa anting, yang membuat penampilannya tampak semakin elegan. Ah, ia sangat berterima kasih pada Agni. Karena wanita itu terus memberikan instruksi soal penampilan lewat video call. “Sayang kau sudah—” Aron terpaku, pria itu menelan ludah susah payah melihat istrinya yang sekali berdandan mampu membuatnya tak bisa berkata-kata. Kamila menggigit bibir bawah, ia meremas kedua tangan gugup. Apakah dirinya sejelek itu sehingga Aron hanya diam membisu di tempat?“Mas … aku—”“Cantik sekali, Sayang,” sela Aron cepat. Ia melangkah lebar menuju sang istri, menangkup wajah Kamila penuh kekaguman, dan mengusapnya perlahan. “Kenapa harus berdandan secantik ini? Aku
Seorang wanita melihat dari kejauhan. Ia memang datang ke pertunangan ini, tapi mengasingkan diri dari keramaian. Netranya terus melihat pasangan yang sedang tertawa sembari bercanda ria. Jika ditanya menyesal, tentu saja rasa itu timbul. Namun, mau bagaimana lagi?“Relin, kau di sini?” tanya Kamila heran. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan menuju tempat acara, tapi siapa sangka ia bertemu dengan wanita ini di samping villa yang jauh dari keramaian.“Ah, ya, aku baru datang. Ibu yang menyuruh karena tidak enak juga sama Erza,” jawab Relin pelan. Baik ia dan Kamila memang sudah mengubah gaya bicara agar tak terlalu formal. Terdapat kerutan pada kening Kamila ketika mendengar penjelasan wanita di depannya. Namun, ia tetap mengiyakan.“Relin, maaf lama di toilet.”Suara itu membuat Kamila menoleh—melihat wanita yang tadi menghampirinya di dalam toilet sembari berkata hal yang tidak-tidak.“Santai saja, Sandra. Aku juga tidak akan ke mana-mana selain di sini,” balas Relin kalem.“J
Sejak semalam gelagat Kamila terlihat aneh, sampai pagi ini. Aron menyentuh punggung tangan wanita itu, membuat sang empu tersentak kaget.“Ada masalah, Sayang?” tanyanya pelan.Kamila tersenyum tipis, ia tak menjawab. Justru sekarang wanita itu mengelus perutnya sembari menatap jauh ke depan, sesekali memejamkan mata kala menghirup udara pagi yang teras segar.“Kenapa, Ibu Mila? Sedang bad mood, ya? Apa yang bisa kulakukan untuk mengembalikan suasana hatimu?” Pria itu bertanya beruntun seraya menatap dalam sang istri.Kamila menoleh sambil tersenyum lebar. “Tidak ada, aku hanya menikmati suasana pagi. Ternyata menyenangkan duduk di taman sembari melihat orang berlalu lalang.”Jika sedang tak malas, ia sering mengajak Aron duduk di taman yang ada di kompleks perumahan mereka. “Tidak, pasti ada sesuatu karena sikapmu sangat berbeda, Sayang. Aku bisa merasakan itu,” tuntut Aron walau nadanya penuh kehati-hatian.Kamila menghela napas lelah, terkadang menjengkelkan juga ketika Aron begi
“Kata Rendra dia punya kolam baru, Bu. Anak itu sendiri yang memberitahu aku di sekolah tadi pagi,” celetuk Ayana seraya menatap ke arah Kamila. Sudah pukul tiga sore, dan mereka menuju kediaman Relin. Tentu saja dengan berjalan jalan kaki. Toh, jaraknya tak jauh dari rumah mereka. “Tidak, Yaya. Rendra punya mobil remote control, bukan kolam renang,” timpal Saga. “Kamu tadi tidak dengar, ya? Dia bilang kolam renang, jangan ngeyel kalau dikasih tahu! Perkataanku itu selalu benar, lihat saja nanti!” balas Ayana tak mau kalah. Kamila yang mendengar itu mengacak gemas surai si kembar. “Ayo, lebih baik cek sendiri di rumah Rendra.”Kamila dan putra putrinya memasuki pagar rumah besar itu, lantas langsung melangkah ke pintu utama. Bertepatan dengan Masayu yang keluar membawa Rendra. “Mila,” sapa Masayu seraya memeluk wanita itu. “Aduh, si kembar juga sudah di sini saja.” Ia mencubit gemas pipi Ayana serta Saga setelah melepas pelukannya dari Kamila. “Ayo, aku tunjukkan kolamku, ada ju
“Selamat pagi, Nyonya. Anda mau sarapan apa hari ini?” Pria itu mengusap lembut pipi sang istri.Kamila tersenyum ketika membuka mata, dan melihat Aron yang menatapnya lembut. “Memangnya Tuan mau masak apa hari ini?” Alih-alih menjawab, ia justru bertanya balik.“Terserah apa pun yang Anda inginkan, Nyonya. Saya usahakan untuk menghidangkannya.” Aron bangkit dari tidurnya, pria itu membenarkan rambutnya yang acak-acakan. Lalu menaruh tangan di dada—seolah siap melayani Kamila.“Baik, tolong buatkan saya muffin, tapi jika tidak enak—Anda sendiri yang harus menghabiskannya,” tentang wanita itu tersenyum miring.“Siap! Tunggu sebentar.” Aron bangkit dari kasur dan melangkah keluar. Bahkan ia tidak sadar hanya mengenakan celana piyama tanpa atasan.Kamila berdecak melihat itu, membayangkan tubuh sang suami dilihat oleh para pelayan membuatnya tak suka. Ia bangkit dari kasurnya dan menuju kamar mandi, setelah itu keluar menyusul Aron.Berhubung ini weekend, mereka akan menghabiskan waktu
“Nyonya, biar saya saja yang lanjutkan masakannya. Ini sudah pukul lima sore, jika Tuan Aron pulang dan melihat Anda di dapur, pasti dia akan marah.” Nasihat Sari, berharap wanita di depannya ini mendengarkan. “Tapi ini tinggal menambah coklat saja.” Kamila tetep kukuh, padahal wajahnya sudah belepotan oleh tepung. “Bagaimana jika Anda bermain bersama si kembar saja? Pasti mengasyikkan sembari menunggu Tuan Aron pulang, dan adonan brownies ini saya yang ambil alih.” Sari kembali memberi penawaran dengan tutur formalanya, walau Kamila sudah menyuruhnya bersikap biasa.“Kau mungkin lupa jika si kembar sedang jalan-jalan sore bersama Kakek dan nenek mereka,” sahut Kamila santai. Sari menggaruk tengkuk yang tak gatal, pusing memikirkan alasan apalagi. “Pantas saja aku tidak menemukanmu di kamar,” celetukan itu membuat Kamila menoleh. Ia meringis kala melihat sang suami yang sedang bersedekap dada. “Kau membantah lagi, Nyonya?” Aron melangkah mendekat, menyentill pelan ujung hidung wan
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g