Mkanya, jan banyak tingkah deh. ^_^
“Jika begitu aku masuk duluan ya, Tam. Hati-hati di jalan.” Kenanga melambaikan tangan pada Tama, tak peduli tatapan tajam yang Dona layangkan. Setelah kepergian wanita itu, keadaan di dalam mobil Tama terasa hening. Tidak ada percakapan—baik dari Tama maupun Dona. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Tama sampai di kediamannya pada pukul satu siang, hembusan angin serta rintikan gerimis yang mulai berjatuhan tak lantas membuat ketegangan Dona maupun Taman mencair. Justru kini pria itu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Dona yang menatapnya rumit. “Ayah,” sapa Kamila ketika hendak keluar sambil menggandeng tangan Saga serta Ayana. Tama tersenyum lebar. “Mau ke mana, Mil?” tanyanya pelan sembari mengecup pelan kening si kembar “Kami mau beli kue kerambologi, seperti yang ada di sosial media itu lho …,” celetuk Ayana dengan mata berbinar. Kening Tama berkerut bingung. “Kerambologi? Kakek tidak pernah mendengarnya.” Kamila tertawa pelan dan langsung mengacak gemas rambut A
“Kau akhir-akhir ini sering sakit, apa ada hubunganya dengan semua masalah yang terjadi?” tanya Erza pada Relin. Relin menggeleng singkat, wajah pucat itu tak melunturkan kecantikannya. “Aku baik-baik saja, Erza. Hanya butuh istirahat saja.” Erza mengangkat tangannya, dan menempelkan pada kening Relin. “Hangat, kau tidur saja. Biar aku yang mengantarkan Rendra ke sekolah.” “Hm, terima kasih,” balas wanita itu serak. “Apakah Aron tak kunjung mau melihat keadaanku? Kau sudah memberitahunya, bukan?” tanya Relin beruntun. Erza mendatarkan wajah. “Sebenarnya kepalamu ini terbuat dari apa? Apa semua nasehatku dan Bibi Masayu masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri?” Relin mencebik, lalu mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang pada sofa bed di ruang tamu. “Aku hanya bertanya, dasar aneh!” dengkusnya sebal. Erza terdiam, masih mempertahankan raut datarnya. “Lagi pula, aku masih penasaran. Apa yang dimiliki oleh Kamila sehingga membuat Aron bertekuk lutut sampai segitun
“Apa yang Anda ingin bicarakan?” tanya Kamila setelah mengambil duduk pada gazebo yang terdapat di taman belakang. Dona terdiam, belum juga membuka suara. Hembusan angin sepoi-sepoi membelai wajah wanita itu, tatapannya lurus ke depan sebelum berujar, “ Apa dari sifat saya yang membuatmu terganggu?” kata Dona bertanya balik, tanpa menoleh pada Kamila. Tentu saja Kamila terkesiap mendengar pertanyaan yang Dona layangkan, entah mengapa tiba-tiba wanita ini mengatakan hal demikian. Karena tak mendapat respon, Dona lantas mengalihkan atensi pada Kamila. “Apa pertanyaan saya kurang jelas bagimu?” Kamila tersenyum tipis. “Saya merasa aneh saja Anda berbicara seperti ini,” balas wanita itu apa adanya. “Memangnya tidak boleh bertanya seperti ini pada menantu sendiri?” timpal Dona. Kamila tertegun, menatap Dona serius. “Bukannya tidak boleh bertanya, hanya saja terasa janggal ketika Anda mengatakan, menantu saya,” tekan Kamila di akhir kalimat. Mendengar itu Dona tentu merasa tersinggu
“Jadi, Ibu yang ke sekolah si kembar?” tanya Aron setelah mendengar cerita Kamila. Kamila mengangguk sambil menyendokkan nasi ke piring sang suami. “Awalnya aku yang akan ku sana, tapi Nyonya Dona mengatakan jika dia ingin menjemput si kembar, dan seperti yang aku jelaskan kepada Mas Aron, jika dia ingin memperbaiki semua ini.” Aron mengerutkan kening, menatap Kamila intens. “Berarti apa kau sudah memaafkannya, Sayang?” Pria itu bertanya hati-hati. Kamila tersenyum tipis seraya mengambil duduk di samping Aron. “Rasanya memang sulit, apalagi ketika mengingat semua yang aku lalui selama ini. Tapi aku ingin melihat apakah Nyonya Dona bersungguh-sungguh atau ada sesuatu di balik itu semua.” Kamila dengan cepat mengusap lembut punggung tangan Aron ketika melihat perubahan dari ekspresi sang suami. “Bukan maksudku menuduh Nyonya Dona yang tidak-tidak, Mas. Aku hanya mengantisipasi jika terjadi hal besar kedepannya, maaf kalau kau tersinggung dengan ucapanku,” ungkap wanita itu pelan.
Dua minggu setelahnya, berita tentang keluarga Dewangga benar-benar lenyap tak tersisa. Tentu saja itu adalah dampak yang bagus bagi Dona, tapi tidak dengan rumah tangganya dan Tama. Pernikahan ini benar-benar terasa dingin, kerap kali ia menahan cemburu serta sakit hati atas perlakuan Tama yang mementingkan pengacara wanita itu daripada dirinya.Contohnya, saat ini. Dona mengepalkan tangan ketika melihat Kenanga sedang bercanda bersama Ayana serta Saga. Tanpa mengacuhkan keberadaannya. “Apakah Nenek Kenanga sering ke negara itu?” tanya Ayana penasaran sembari melihat ke arah benda pipih di tangannya.“Hampir setahun sekali, karena anak Nenek bekerja di Jepang,” jawab Kenanga. “Wah, keren sekali. Pasti dia sering bertemu kartun yang aku tonton setiap pagi, bukankah begitu Saga?” Ayana melirik pada sang kakak. Yang hanya dibalas anggukan pelan.“Ayana juga bisa ke sana jika mau, kebetulan akhir tahun ini Nenek akan pergi ke Jepang,” tawar Kenanga. Gadis kecil yang sudah berusia lima
Hening, tak ada respon dari Aron. Tak lama kemudian, pria itu tersenyum simpul. Membuat Arkam terkekeh puas, karena yakin jika Aron menerima tawarannya. Tebakan Arkam benar, bukan? Jika Aron tak mungkin menolak. 20% kepemilikan dapat dianggap sebagai porsi yang besar dan memberikan pengaruh terhadap keputusan perusahaan. Porsi 20% mempunyai hak untuk duduk di dewan direksi, bahkan memiliki pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan strategis pada suatu company.“Tarik perkataan Anda, atau kita batalkan kerja sama ini,” tekan Aron tajam. Raut wajahnya berubah menjadi dingin tak tersentuh. Senyum percaya diri yang Arkam tampakkan luntur seketika, tergantikan dengan wajah terperangah. “Kau menolaknya mentah-mentah? Aron, kau tahu sendiri 20% bukanlah porsi sedikit—” “Dan Anda tahu sendiri jika saya adalah Aron Dewangga,” selanya cepat, “bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu pada keturunan Abraham. Mungkin memang perusahaan Anda lebih maju karena bergerak di berbagai sektor indus
“Tuan Aron, semuanya sudah saya bicarakan sama sekretaris Pak Arkam. Jadi, tinggal mengatur jadwal kita pergi dua minggu lagi,” jelas Bimo. Aron memasang raut kusut. “Seharusnya kau biarkan saja kerja sama itu batal.” Bimo yang mengerti hanya menunduk sambil meneliti grafik yang terpampang pada benda pipih di hadapannya. “Lalu apakah kau sudah mengecek kembali kinerja manajer kebun sekaligus sepupu Erza itu?” tanya Aron mengalihkan pembicaraan.“Sudah, Tuan. Kinerjanya cukup memuaskan, dia hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk belajar semuanya,” ungkap Bimo. “Baguslah, dengan begitu kita bisa fokus ke rumah sakit,” timpal Aron. “Dan saya minta tolong untuk info para dewan direksi, suruh temui saya setelah makan siang nanti.”“Siap, Tuan,” tegas Bimo. “Lalu mengenai kualitas pelayanan kesehatan dan keamanan pasien, apakah akan dibahas pada meeting esok hari?” “Ya, tentu saja. Menjamin standar kualitas pelayanan kesehatan dan keamanan pasien adalah prioritas kita. Beberapa hari in
Aron tak pernah merasa setakut ini, masih teringat betul bagaimana kalutnya ia tatkala mengetahui sang istri yang kecelakaan di depan rumah sakitnya sendiri. Tubuhnya yang terbungkus jas begitu lemas, bahkan bernapas pun terasa sulit ketika membayangkan tubuh mungil Kamila terpental, seperti penjelasan orang-orang yang berada di lokasi kejadian. “Kalau sampai istriku kenapa-napa, jangan harap orang yang menabraknya itu selamat,” tekan Aron dalam setiap kalimat. Wajah pria itu memerah dengan rahang mengetat. Tak ada yang tahu jika saat ini ia mati-matian menahan amarah serta rasa takut. Kewarasannya seakan tertinggal jika menyangkut Kamila.Lain halnya dengan Dona serta Relin yang duduk dengan kepala menunduk, mereka mengaku jika sangat ceroboh. Tapi mau bagaimana lagi, karena ini memang musibah.Suara pintu ruangan Kamila yang dibuka menyentak atensi Aron, ia dengan cepat melangkah menuju dokter itu. “Bagaimana? Apakah istri saya baik-baik saja? Katakan iya, jika tidak Anda akan me
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g