"Mas ... Katanya mau bantuin ngepak barang Bunda untuk dibawa ke Jerman? Kok malah ngelamun di sini?" tanya Rahma ketika didapati suaminya tengah termenung di dalam kamar.
"Oh ... Mas lupa, ayo Mas bantu," kata Bastian sambil bangkit dari duduk di tepi ranjang.
"Sudah selesai, Mas. Tadi dibantuin Bik Wati," kata Rahma membuat Bastian menghempaskan kembali pantatnya ke atas ranjang.
Rahma segera masuk kamar mandi menggosok giginya, setelah keluar kamar mandi didapati suaminya masih termenung,
Ada apa sih dengan Mas Bas? Mungkinkah dia tengah bersedih perihal Papanya,' batin Rahma."Mas ... kamu masih sedih tentang Papa ya?" tanyanya sambil membelai kepala lelaki itu, Bastian segera memeluk pinggang istrinya dan membenamkan kepalanya di perut perempuan itu.
"Sabar ya, Mas ... mulai sekarang kita harus rajin berdoa dan rajin mendirikan salat sunah, agar Allah segera menyembuhkan Papa," kata Rahma membuat Bastian hanya mengangguk.
Bas
"Kemarin Papa dan Mama menghadiri resepsi pernikahan anak Sagala. Kau tahu siapa menantunya itu?" kata Gunadi menatap kedua anak dan menantunya serius. "Nggak, Pa. Siapa?" tanya Fauzan serius. "Perempuan itu, Rahma!" kata Helena, nada bicaranya di tekan pada kata Rahma. "Apa?" kata Fauzan dan Santi serentak, keduanya saling berpandangan, mereka terkejut mendengar kabar itu. "Jadi Rahma menikah dengan Bastian?" kata Fauzan sambil mengernyitkan dahi. "Wah ... ternyata Rahma bisa menggaet bosnya," kata Santi sambil manggut-manggutkan kepalanya merasa tidak menyangka kejadiannya seperti ini. "Apa maksudmu?" tanya Fauzan pada Santi. "Rahma itu dulu pembantunya Bastian, rupanya dia sengaja menggaet Bastian. Aku rasa dia sudah tahu kalau Bastian itu Bosmu," kata Santi tersenyum sinis, Rahma ... ternyata kau licik juga. "Sekarang bagaimana Zan? Cepat kau segera bereskan, bagaimanapun caranya segera ambil alih PT Intisari Besi menjadi milik kita," kata Gunadi menatap anak dan menantunya
Perjalanan hampir satu jam, mobil itu membelok memasuki area industri,'Ah ... itu kan pabrik PT Intisari Besi, kenapa mereka membawa kami ke mari? Benarkah yang kupikirkan? Fauzan ...,' batin Bastian menerka-nerka.Mobil berhenti di sebuah gudang, mereka memaksa ketiganya turun. Di bawah ancaman pistol, mereka bertiga mengikuti ke mana pria-pria sangar itu membawanya. Mereka sampai di dalam gudang, di sana sudah menunggu Fauzan dan pengacaranya Togar Simarmata."Wah ... bravo, terima kasih kalian sudah membawa mereka, ucapkan salam hormatku pada Bos kalian ya? Fauzan Winata sangat berterima kasih," kata Fauzan tersenyum sumringah menyambut para lelaki kekar itu."Pak Bastian dan Ibu ... Rahma, senang bisa bertemu anda seperti ini," kata Fauzan tersenyum mengejek ke arah mereka bertiga."Apa maumu?" tanya Bastian dengan tatapan permusuhan."Rilex Pak Bastian ... kita akan membicarakan bisnis penting hari ini," kata Fauzan sambil duduk di
"Iya, aku pasti menandatangani, tapi ..." Bastian masih mencoba bernegosiasi."Rizal! Jatuhkan anak itu!" perintah Fauzan dengan suara lantang."Tidaaak!!" Rahma berteriak melihat tubuh putra kesayangannya melayang di udara.Dengan secepatnya Bastian berlari ke arah Alif, ternyata Alif dalam posisi tergantung pada seutas tali. Pria yang dipanggil Rizal tengah memainkan tali itu dengan menarik dan mengulur. Para pria yang menculik Bastian dan Rahma segera mengejar Bastian, walau Bastian melawan namun dia kalah jumlah, akhirnya mereka menangkapnya dan menundukkannya agar berlutut."Ayo, tanda tangani!" bentak Fauzan mengulurkan beberapa lembar berkas.Bastian meraih berkas itu dan menadatangani dengan kasar. Setelah selesai dilemparkan berkas itu, Fauzan memungutnya dengan bibir tersenyum penuh kemenangan."Turunkan Alif! Jangan pernah kau sakiti anak itu
Fauzan dengan percaya diri masuk ke kantornya, rupanya kehadiran Alif benar-benar menguntungkannya. Rencana yang sudah bertahun-tahun dia dan Papanya rencanakan dengan satu kali gebrakan selesai sudah. Dia harus berterima kasih pada Santi, wanita itu telah memberi idenya, mungkin Santi dan Alif adalah takdir hidupnya selanjutnya, mereka berdua memberi keberuntungan padanya.Dengan bersiul riang dia duduk di kursi kebesarannya, sekarang dia bukan hanya Direktur di Perusahaan ini, tetapi dia adalah CEO nya, pemiliknya. Sebentar lagi dia akan memiliki Perusahaan ini kembali setelah proses balik nama selesai.Iseng-iseng dia lihat di ponsel gambar perhiasan, rencananya dia akan berikan pada Santi sebagai ungkapan terima kasih. Tetapi ada sisi hatinya yang tidak bahagia, dia benar-benar kesal melihat Rahma menikah dengan orang yang memiliki posisi di atasnya. Rasanya dia benar-benar benci dan menggila saat Bastian sok sekali menjadi pahlawan bagi Rahma tadi. Entahlah ... di
Pak Iyan mengabarkan kedatangan Fauzan pada Bastian ketika mereka tengah menunggu Romi, Bastian segera menghubungi Tante Lirna."Apa, Bas?" tanya Tante Lirna melalui sambungan telepon."Tante, aku mohon tunda dulu keberangkatan Papa. Bastian harus mengurus sesuatu yang penting dulu," kata Bastian"Tunda sampai kapan, Bas?" tanya Tante Lirna, wanita itu sudah tidak sabar agar kakak kandungnya itu segera mendapatkan perawatan terbaik."Sampai aku memberi instruksi," kata Bastian segera memutuskan panggilannya setelah melihat mobil Romi mendekat, membuat Tantenya itu berulang kali memanggilnya karena belum puas dengan keputusan Bastian."Ayo, masuk!" perintahnya pada Rahma dan Yadi.Yadi duduk di depan, sementara Rahma dan Bastian duduk di belakang."Ada apa sih, Bro?" tanya Romi penasaran sebelum melajukan mobil"Nanti kuceritakan. Yadi, kau
"Jangan bicara sembarangan kau, Yan. Anak Mas Bram itu sudah meninggal!" Gunadi berteriak."Iya, memangnya siapa anaknya?" kata Helena sengit."Saya anaknya, Bibi Helena. Bibi lupa sama saya?" Kata Rahma menatap tajam ke arah Helena."Kamu? Mana mungkin kamu! Nama anak Mas Bram saja Riri Riyanti Wijaya, kok. Namamu kan Rahma," kata Helena, namun pernyataan Helena justru mengejutkan Santi, dia tahu nama Rahma lengkapnya."Dulu sewaktu Ayah dan Ibuku masih hidup, mereka memanggilku Riyanti, atau mereka akan menyingkatnya menjadi Riri. Tetapi sejak aku berada di panti asuhan karena kalian buang, aku di panggil nama depanku, Rahma. Kalian mungkin tidak melihat akte kelahiranku, namaku adalah Rahma Riyanti." Rahma menjelaskan."Saya tidak percaya anak kampung kayak kamu anaknya Mas Bram," kata Helena ngotot"Itulah yang namanya takdir, Bibi. Aku masih ingat, sehari setelah kematian kedua orang tuaku, kalian membawak
"Kita mau ke mana, Zan?" tanya Pak Gunadi."Kita akan pergi ke Bank dulu, kita tarik tunai semua uang di rekeningku, jangan sampai mereka sita juga," kata Fauzan."Wah, benar, Mas. Kamu pintar juga mikirnya," kata Santi"Kau tidak perlu kuatir, walau sudah diusir kita tidak bakal kesusahan. Rekeningku isinya lima ratus juta, aku sudah banyak menguras uang perusahaan itu sejak jadi wakil Direktur bersama Uwais. Uangnya aku buat perusahaan tambang batu bara di Kalimantan, selama ini Uwais yang mengelolanya, sekarang giliran aku. Besok kita bertolak ke sana," kata Fauzan."Mama ikut juga? Mama gak kuat kalau hidup di daerah, Zan," keluh Helena"Mama tidak perlu ikut kalau gak mau, tinggallah di rumah, aku juga telah membeli sebuah rumah, walau tidak semewah rumah Om Bram, tetapi sudah cukup baguslah," kata Fauzan."Oya? Fauzan, kau memang anak pintar, kau sudah mempersiapkan semua jika kita diusir," kata Helena senang."Papa
Rahma merasa sedih, dia merasa bersalah dengan kematian mertuanya. Gara-gara permasalahannya, Papa mertuanya terlambat dibawa ke Jerman. Dia segera keluar dari kamar dan menangis di pojokan lorong rumah sakit, kakinya selonjor di lantai, tangannya menutupi wajahnya.Bastian menghapus air matanya dengan telapak tangan dan jari-jarinya. Pihak Rumah sakit sudah membawa jenazah Papanya ke kamar mayat, menunggu administrasi Rumah sakit selesai. Diedarkan pandangannya, tidak terlihat istrinya di manapun. Dia segera keluar kamar, berjalan ke arah berlawanan dari keberadaan Rahma. Dia tidak menemukan Rahma hingga di luar dari gedung itu. Segera di telpon Rahma berkali-kali, tetapi wanita itu tidak mengangkat telponnya, Rahma sengaja men-senyapkan nada panggilan.Bastian kembali masuk lagi, diedarkan pandangannya sekali lagi, dia berlari hingga di pojokan lorong Rumah Sakit. Dihembuskan napasnya kuat-kuat, dadanya rasanya lega melihat istrinya tengah terpekur sendir
Malam itu menjadi malam paling membahagikan bagi Rahma sejak kehamilan pertamanya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan berjalan-jalan berdua dengan Bastian. Bastian sengaja mematikan ponselnya agar qualty time dengan istrinya tidak terganggu.Hingga sampai pulang seorang perawat dari rumah sakit menunggunya di rumahnya."Maaf, Pak. Saya jadinya ke mari, karena Bapak tidak bisa dihubungi, saya akan mengabarkan satu jam yang lalu, Bu Virda menghembuskan napas terakhir.""Apa?" Bastian kaget sekali mendengar kabar itu.Dia hanya berjalan-jalan dengan istrinya selama tiga jam dari kepulangannya dari rumah sakit, jika dia tahu Mamanya akan meninggal tentu dia akan bersikeras tidak meninggalkan Mamanya, walau Mama Virda memaksanya untuk pulang. Bastian terduduk lesu di sofa ruang tamu. Dia juga menyesali kenapa dia musti mematikan ponselnya"Ya, Allah ... Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun ...," u
"Bunda pergi dulu, ya ... Jagalah Mama kalian dengan baik," kata Bunda Asti ketika berada di Bandara.Bastian, Rahma, Fitri dan Alif turut mengantar kepergian mereka ke tanah suci."Bunda ... Tolong do'akan agar Mama lekas sembuh," kata Bastian."Iya, tentu saja Bunda akan mendo'akan Mama Virda. Jaga baik-baik istrimu dan anakmu, ya?""Iya, itu pasti," Bastian mencium punggung tangan Bunda Asti."Bunda, do'akan kehamilan Rahma lancar dan sehat ya ... Do'akan juga Alif cepat sembuh dan cepat berjalan dan tolong do'akan juga suamiku agar ingatannya kembali lagi," Rahma memeluk Bunda Asti."Iya, sayang ... Semua keluarga Bunda nanti Bunda do'akan satu persatu.""Aku berangkat dulu, Bro. Nanti akan aku do'akan agar ingatanmu cepat kembali. Agar kau bisa mengingat kembali momen di mana kau bucin banget sama istrimu itu, agar kau bisa mengingat malam pertama kalian," kata Romi sambil terkekeh.Bastian memeluk saudaranya itu dan
"Bunda ... Bunda dari mana?" suara Alif menyambut kedatangan Rahma dan Baatian dari rumah sakit."Alif? Kenapa belum tidur, Nak? Ini sudah malam loh," kata Bastian membelai rambut Alif.Alif terpukau dengan perkataan Bastian, lelaki itu biasanya selalu bersikap masa bodoh, cuek bahkan menampakkan wajah tak ramah padanya. Namun, sekarang lelaki dihadapannya ini rela berlutut hingga wajahnya bisa menatapnya dengan jelas, mata lelaki itu penuh kehangatan seperti Ayah Bastian yang dulu."Alif belum ngantuk, Yah. Ayah Sama Bunda dari mana?""Ayah sama Bunda dari Rumah sakit" jawab Rahma"Ke Rumah sakit? Siapa yang sakit, Bun?""Yang sakit Mamanya Ayah," jawab Bastian."Maksudnya Nenek Bunda Asti? Dia di rumah kok," kata Alif polos"Bukan sayang, Ayah juga sama dengan Alif, punya dua orang Ibu. Yang sakit itu Mama kandung Ayah, seperti Mama Santi, dia ibu kandung Alif, kan?""OOO gitu? Ternyata kita punya nasib yang sama
"Nanti malam kita makan di luar, yuk? Untuk meresmikan hari jadian kita," kata Bastian setelah salat AsharRahma yang tengah membereskan tempat tidur tersenyum ceria."Hari inikan bukan hari jadi kita? Kita menikah baru dua bulan, Mas!""Bukan hari pernikahan kita, tetapi hari jadian kita saat aku Amnesia, kalau kenangan masa lalu bersamamu aku lupa, maka mulai hari ini aku akan membuat kenangan baru, ingatan baru bersamamu," Bastian memeluk Rahma dari belakang.Derrrttt ... Derrrrtttt ...."Mas, itu ponselmu bergetar," seru Rahma menunjuk ponsel Bastian di atas nakas.Bastian segera mengambil ponselnya dan menggeser tanda panggilan di layar."Halo? Iya ... Apa? Oiya ... Iya, saya akan segera ke sana,"Bastian menutup teleponnya dengan menghembuskan napas berat."Ada apa, Mas? Siapa yang nelpon?" tanya Rahma penasaran."Dari rumah sakit, katanya Mama pingsan dan sekarang masuk rumah sakit."
Suasana sore itu membuat mereka tertidur sambil berpelukan. Semua baju basah mereka ditumpuk di kamar mandi. Rahma terjaga dari tidurnya setelah mendengar suara ramai.'Ah, mereka pasti sudah pulang dari belanja,' batinnya.Rahma segera bangkit dari pembaringan dan memakai pakaian lengkap, tak lupa memakai jilbab kaosnya. Diperhatikan dengan seksama suaminya yang tengah terlelap dengan tubuh ditutupi selimut tebal. Rahma harus segera ke kamar lelaki itu untuk membawa baju ganti. Dia segera keluar dari kamar tak lupa mengunci kamarnya dari luar."Alif sudah pulang?" tanya Rahma antusias melihat putranya tengah membawa mobilan remot."Bunda, lihat deh. Om Romi membelikan Alif mobil-mobilan remote," serunya"Iya, bagus ya? Sudah bilang terima kasih belum?""Sudah.""Sekarang Alif mandi, sudah itu salat Ashar. Selanjutnya makan ya?"
"Rahma, kamu kenapa, Sayang?" seru Bunda Asti ketika melihat Rahma muntah-muntah di kamar mandi."Nggak tahu, Bunda. Perutku rasanya mual banget," kata Rahma."Ya, Ampun ... Kamu sudah mulai emesis. Ya sudah kamu istirahat saja, tidak usah ikut belanja. Nanti biar Bik Wati menemanimu.""Iya, Bunda ... Aku gak bisa ikut, takutnya mualku kambuh di sana."Ketika mau berangkat, Alif ternyata bersikeras untuk ikut. Rahma meminta Bik Wati agar ikut belanja bersama mereka, untuk membantu keperluan Alif. Walau Romi dan Fitri bersikeras mereka yang akan menjaga Alif, namun Rahma ingin agar pasangan muda itu lebih bebas menjalin kedekatan diantara mereka.Setelah mereka pergi, Rahma hanya berbaring di ranjang sembari membaca novel.****Setelah jam makan siang tiba, Bastian tidak sabar membuka bekal makan siangnya. Setelah dibuka, aromanya tercium begitu sedap
Hari ini terpaksa Bastian menghubungi Romi, untuk mengantarnya menjemput Rahma. Dia menduga Romi akan mengejeknya habis-habisan tetapi ternyata tidak. Saudaranya itu malah antusias menemaninya, dia berulang kali bersyukur karena Allah telah menyadarkannya.Sesampainya di rumah Rahma, Romi segera menyampaikan maksudnya disaksikan Fitri, sedang Bastian hanya menundukkan kepala tidak berani menatap kedua wanita itu."Maksud Abang ke sini mau menjemputmu, Rahma. Pulanglah ke rumah suamimu sekarang, dia memintamu. Iya kan, Bas?"Bastian hanya mengangguk pelan."Kok Bang Romi yang bilang? Kenapa bukan suaminya langsung," kata Fitri.Mendengar perkataan Fitri, Bastian spontan mendongakkan kepalanya menatap kedua wanita di hadapannya dengan tatapan jengah."Iya, pulanglah." Hanya itu kata yang mampu terucap dari bibir Bastian."Apa? Cuma gitu? Kemaren waktu ngusir panjang lebar, gak ada permintaan maaf, gitu? Apa ...," gerutu Fitr
Yadi datang setelah lima tujuh menit berlalu. Bastian segera masuk dan duduk di sampingnya."Kita mau ke mana, Pak?""Ke cafe atau apapun, cari tempat sepi buat mengobrol," kata Bastian."Bapak janji mau bertemu seseorang?""Tidak, saya hanya ingin membicarakan beberapa hal denganmu.""Tentang masalah apa, Pak?" ucap Yadi, dia merasa kuatir, selama ini Bosnya tidak pernah ingin berbicara dengannya, apakah ini soal pekerjaannya?"Tidak perlu kuatir, ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku sendiri," kata Bastian seolah tahu apa yang dipikirkan Yadi.Yadi tersenyum lega, dia segera membawa bosnya di warung Bakso di dekat taman. Mereka memilih duduk di bangku taman yang agak sepi."Ada apa, Pak?" tanya Yadi membuka percakapan."Yadi ... Aku mengenalmu, kau sudah bekerja pada Papa berapa lama?" tanya Bastian memastikan."Sudah hampir dua tahun, Pak. Makanya Bapak mengenal saya, Bapak hanya lupa peristiwa
"Ini Pak rumahnya," kata Yadi"Kamu yakin ini rumahnya?""Yakin dong, Pak. Saya sudah sering kemari mengantar Bu Rahma. Ini rumah peninggalan Almarhum Ayahnya, Pak.""Oo" hanya itu yang keluar dari mulut Bastian.Bastian tidak menyangka kalau Rahma memiliki rumah warisan yang begitu mewah, berarti benar kata Bunda, Rahma anak orang kaya."Pak Yadi pulang saja, saya tidak mau Rahma mengetahui saya datang jika pakai mobil," kata Bastian,Sebenarnya dia hanya ingin tahu ada perlu apa Santi menemui Rahma, jika dia masuk memakai mobil, pasti tidak bisa menyelidiki semua itu."Terus Bapak nanti pulangnya bagaimana? Atau Bapak mau menginap?" kata Yadi tersenyum simpul."Nanti kukabari." Bastian segera turun dari mobil dan memencet bel pagar.Dari dalam muncul seorang Satpam dan segera membuka pintu pagar