"Apa? Yang bener?" tanya Rendi yang melotot tak percaya.
"Mana pernah aku mbijuk? Aku tenanan, lah. Nggak apa tinggal di sini sementara. Paling juga dua tiga bulan kelarnya," jawab Ari menggampangkan.
"Masalahnya, mbangun rumah 6x10 meter itu nggak cuma sekamar, Kak! Mana bisa lu lakuin sendiri?"
Kali ini Rendi bangkit dari ranjang dan meraih rokok elektriknya. Ia mengambil duduk tepat di depan sang kakak.
"Kalo buat ngecor ya pasti butuh bantuan, Ren, lebih dari itu ya kemungkinan tak lakuin sendiri. Lumayan sambil ngumpulin duit lagi."
"Elu gila? Pagi kerja, malem juga mau kerja? Jan kemaruk kalo kata ayah."
"Bukan kemaruk, Ren," bela Ari. Lantas ia menyesap rokoknya dalam-dalam. "Ini namanya lagi mode rajin. Anggep ajalah aku istirahat di kamar kalo malem."
"Gue bantuin."
"Nggak perlu."
"Gue ma
Jeng jeng jeng. Yang mikir si Rendi ini anak dari istri sah, ngacuuung!
"Elu kerja sampingan, Ren?" tanya Saka. Kedua matanya melotot ke arah kawannya sejak dini, sedang tangan yang tadinya menyangga kepala merenggang ke arah Rendi."Bukan kerja, sih," jawab Rendi yang menggaruk kepala."Terus apaan?" Dimas mengalihkan pandang, enggan terlalu overask pada sang kawan."Rumah lagi direnov sama kakak. Gue cuma bantuin dikit-dikit, lah.""Wait ...." Dimas menghentikan aksinya yang hampir meneguk segelas kopi dingin.Melihat gurat tanya pada wajah Dimas, Rendi hanya mengangguk, membenarkan. "Gue nguli."Sontak saja, Dimas dan Saka menggeleng sembari berdecak. Rendi yang merasa diperhatikan pun hanya merasa terharu pada kedua kawan yang tak biasanya seperti ini. "Gue nggak apa, kok, kalian nggak usah bantuin."Rendi mengulas senyum saat Dimas dan Saka ternganga. Merasa begitu hebat, laki-laki beralis tebal itu kemb
"Kan gue uda pernah bilang, elu nggak boleh deketin Eiffor!"Ari yang mendengar teriakan Lara dari ujung ponselnya hanya bisa sedikit menjauhkan speaker dari telinga. Lantas, ia menyimpul senyum kuda. "Bukan gitu, Ra. Dia sendiri yang ngedeketin aku. Awak'e tau sendiri 'kan pesonaku emang sekuat itu.""Bullshit!" maki Lara penuh emosi."Jadi, kiro-kiro awak'e iki cemburu gitu, ya?" goda Ari yang kemudian duduk dan bersandar.Tarissa yang berada di bangku lain, melihat ke arah Ari sembari tersenyum ramah."Jan ngimpi di siang bolong!""Tapi tunggu. Awak'e kok tau kalo aku sama salah satu genkmu? Nyewa mata-mata?"Seketika itu juga, Ari mengedarkan pandang. Tak didapatinya sosok yang mencurigakan kecuali ....Perlahan Ari mendekati meja di belakangnya, lantas menarik koran yang tengah dibentang hingga menutupi wajah. So
Lara memukul kabinet berwarna broken white dalam kamarnya dengan kencang saat melihat beberapa gambar bidikan dikirim ke ponselnya. Rahangnya mengerat, sedangkan matanya memicing tajam."Argh! Lama-lama gue bisa stres kalo mikirin si berengsek!"Kamar tidur yang didominasi warna hitam dan putih itu terasa pengap untuk sesaat. Lantas, Lara membuka jendela besarnya hanya dalam sekali gerakan."Ini nggak bisa dibiarin. Gimanapun juga, dia megang kartu bagus buat ngejatuhin gue!"Lara memikirkan banyak cara untuk sekadar membuat Ari lengah. Lalu ia akan dengan mudah menghapus jejak digital dalam akun surel milik sang montir licik."Gue nggak bisa ngebiarin ini!"Dengan cepat Lara membuka aplikasi perpesanan dan menuju ke grup Eiffor. Selain Lalita dan Derisca yang saling melempar canda, Tarissa masih enggan menampakkan batang hidungnya."Tari
"Apa lagi?" gumam Ari sendiri.Ia sudah kembali ke stationnya saat pesan Lara diterima. Ia menggeleng pertanda enggan membalas. Lantas, meletakkan ponsel ke loker sebelum kembali bekerja."Lapo to, Su?""Nggak apa, Pri.""Kupikir-pikir kamu itu ganteng sebenarnya. Kenapa nggak nyoba jadi penyiar radio, aja?"Mendengar kelakar Supri yang tak lucu, Ari hanya menyungging senyum kambing. Lantas mulai mengambil daftar mobil yang akan kembali dioperasi.Detak jarum jam terus berputar hingga berganti beberapa kali angkanya. Tepat pukul empat sore, seluruh mobil telah usai diperiksa. Tibalah saatnya untuk membersihkan bengkel serta seluruh badan.Saat Ari hendak menuju ke rest room, Pak Daus menghentikan langkahnya. "Ri, itu mobil belum diambil?"Ari mengikuti ke mana arah telunjuk Pak Daus berhenti. Tiba-tiba saja, ia tekeju
Ari masih terpaku di kasur. Berkali-kali ia tampak memegang pilipis dan memijatnya pelan. Ada banyak kecamuk yang membuatnya bingung tak keruan. Terlebih, Rendi telah menuduhkan banyak hal padanya. Meski tembakan sang adik benar adanya, tapi ia tak pernah macam-macam pada perempuan.Sebejat apa pun Ari, ia tak ingin menyentuh atau bahkan melukai. Ia hanya ingin mengubah nasib dengan pasti. Tanpa kembali ke jalan haram yang dulu pernah menerbangkannya tinggi."Judi salah, ngene yo salah. Kepiye jane, Ren?" gumaman Ari terdengar begitu putus asa.Pria berambut cepak itu masih terdiam sembari menatap selembar kertas Poto yang telah usang. Wajah sang ibu di usia muda, mampu membuat Ari meredam segala rasa. Ia memejam sebentar, sebelum akhirnya kembali membulatkan tekad."Ini harus diakhiri secepat aku memulai."Cepat, Ari meraih ponsel dan mengetik balasan pada ruang obrolan maya. Na
Lara baru saja menyelesaikan jam mata kuliah terakhirnya, saat ruang obrolan pada aplikasi perpesanan kian ramai. Bukannya tak peduli, tapi ia tahu mana yang lebih penting.Beberapa kali pula, nomor seseorang memanggilnya tanpa jeda. Ia enggan untuk sekadar membuka pesan dari siapa pun juga.Kini, ia telah duduk di sebuah rest room khusus bagi para investor UKLAKA. Bak kamar hotel superior, ruangan lima kali sepuluh meter itu disulap sedemikian rupa.Ranjang lipat yang menyatu dengan sebuah lemari, bean bag dan meja kerja di ujung, serta kamar mandi di sisi yang lain langsung menyapa saat pintu ruangan terbuka. Beruntungnya, lebih dari setengah total saham universitas ini dipegang oleh keluarga Lara.Tentu saja, secara sistematis ruangan ini menjadi hak penuh Lara. Tak ada yang bisa masuk selama ada ia di UKLAKA.Dari meja kerja, Lara menatap ke luar jendela yang la
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan.Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha.Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya."Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?"Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku.""Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Senja telah datang saat Ari menyelesaikan banyak daftar yang menjadi acuannya untuk memeriksa keadaan mobil pelanggan. Entah mengapa, bengkel baru itu tak pernah sepi pelanggan.Beberapa di antaranya memang ada yang datang karena ingin bertemu sang pemilik bengkel yang akhir-akhir ini tak pernah lagi mampir. Beberapa lainnya karena memang hendak mencari muka pada keempat enterpreneur muda dengan banyak bisnis dan usaha.Ari baru tahu bahwa keempat bosnya masih punya banyak bisnis dengan berbagai bidang. Informasi itu ia peroleh dari salah satu pelanggan yang mengajaknya bicara saat Ari menjelaskan permasalahan mobilnya."Percaya nggak, Mas, kalo pemilik bengkel ini masih muda?"Ari yang sudah tahu hanya menyungging senyum sembari mengangguk pelan. "Iya, Mas, lebih muda dari umur adikku.""Baru lulus SMA. Nggak tau sekarang pada kuliah di mana. Bisnisnya nggak tanggung-tanggung, M
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla