Aku pulang kerumah dengan badan yang masih tak karuan, bahkan sempat di papah Santo karena jalanku yang sempoyongan. Rasanya kepalaku pusing tujuh keliling. Badan sakit semua dan perut yang melilit. "Kenapa dengan Indah?" tanya Pak Beni ketika melihat aku yang jalan di papah oleh Santo. "Dia sakit, Pak. Tapi tak mau di bawa ke Dokter." Santo menjelaskan. Memang aku tak mau ke Dokter karena aku rasa sakitku ini hanya karena sakit Maag yang kambuh. "Ngga papa, Pak. Cuma biasa sakit lambungku kambuh, nanti juga sembuh kalau sudah minum obat." Kujelaskan pada Pak Beni agar dia juga tak terlalu khawatir. Sepertinya dia akan menyanggah tapi aku buru-buru masuk kekamar. Santo hanya mengantarku sampai pintu kedalamnya Pak Beni lah yang mengantar. Bik Siti datang membawa obat yang tadi kuminta, kuminum dan setelahnya aku segera merebahkan diri. "Besok kalau belum membaik akan Ayah antar kedokter. Sekarang istirahatlah!" ucap Pak Beni yang kujawab hanya dengan anggukan. Kupejamkan mata
"Oh ya, Pak. Perkenalkan, dia Ayahnya Faza," ucapku kemudian yang melihat Pak Beni seolah bingung. "Oh, Ya. Beni, Ayah Indah." Senyum mengembang dari Pak Beni sambil mengulurkan tangan. "Akbar." Mas Akbar pun menjabat tangan Pak Beni. "Bagaimana kabar keluarga di kampung?" Kembali Pak Beni bertanya. "Alhamdulillah baik, Pak." Mas Akbar menjawab dengan segan. Pak Beni tersenyum, "Alhamdulillah.... ""Santo ikut aku!" perintah Pak Beni langsung di anggukan Santo. "Aku tinggal dulu ya, jaga Indah baik-baik!" Pak Beni keluar di ikuti oleh Santo. Kulihat Santo menatap Mas Akbar dengan raut tak suka. Sejurus kemudian hening, aku enggan untuk membuka percakapan terlebih dahulu dengan Mas Akbar. "Kapan kamu pulang?" tanya Mas Akbar memecah kesunyian. "Pulang?" tanyaku heran, "Oh... Nanti mungkin sidang terakhir perceraian kita, aku pulang sekalian mengambil akta cerai. Raut wajah Mas Akbar terlihat kaget, dia seolah baru saja mendengar berita duka yang tiba-tiba. "Cerai, Dek? A-aku
"Mas Akbar bilang ingin mati saja, Mbak. A-aku takut dia nekad bunuh diri!" akhirnya Dian dengan jelas berkata. Aku tak kaget, paling itu cuma gertakan saja, agar aku tak menunutnya bercerai, juga mengetesku masih seberapa pedulinya aku padanya. "Dian, Dian! Dia itu laki-laki. Masa punya pikiran senekad itu. Jadi perempuan saja kalau kaya gitu!" jawabku masih cuek. Dian sudah tenang, tak sepanik tadi. Mungkin pikirnya aku akan ikut panik kalau dengar Mas Akbar akan bunuh diri. Ngapain aku peduli sama dia? Kalau memang laki-laki tak mungkin hanya karena bercerai memilih mengakhiri hidupnya, lagian bukankah dari awal saja dia tak mencintaimu. "Sana rayu kamu, Yan. Siapa tahu mau nurut!" ucapku memerintah pada Dian. Dian terlihat kaget. "Kok aku, Mbak!" "Lah emang siapa lagi? Mbak? Yang ada nanti di kira mau kabur dari rumah sakit." kujewel pipi cubby-nya. "Aduh, sakit tau, Mbak. Tapi bener juga, masa laki-laki secengeng itu. Udahlah, biarkan saja aku juga males." Akhirnya Dian ik
Aku lari tergoboh-goboh, kulihat Mas Akbar tengah berduel dengan Santo."Semua gara-gara kamu!""Kamu yang telah merebut istriku! Dasar pebinor!"Bukk! Santo benar-benar tak melawan sedangkan Pak Beni saja bingung untuk melerai, Dian dan Rian serta Ibu hanya dapat menjerit-jerit. "Hentikan...!" teriakku lantang. Seketika Mas Akbar menoleh. Juga Santo yang langsung berdiri walau terhuyung. "Apa yang kalian lakukan! Apa Mas yang kamu perbuat! Sepengecut inikah kamu hingga berbuat serendah itu? Hanya karena aku bersikukuh tak mau kembali padamu, kamu anggap aku sudah dapat tambatan hati yang lain!" Kali ini mataku memanas, butiran bening dalam telaga mataku luber memenuhi pipiku. "Aku memang hanya manusia biasa, bisa sakit hati ketika di perlakukan tidak adil padaku! Masih teringat jelas bagaimana ibumu memperlakukanku dengan hina, bahkan di depan semua orang! Semua itu kuterima karena kamu masih mau bersamaku tapi.... " Aku menangis tersedu-sedu hingga menghentikan ucapanku. Ibu men
Aku masih duduk menanti kedatangan Bu Anti, Faza sedikit rewel mungkin karena kuajak duduk. Memang sekarang Faza sedang aktif-aktifnya minta di titah. Terpaksa kuturunkan dia dan menitahnya berjalan di sekitar situ. "Eh... Indah, apa kabar?" terlihat raut sumpringah Bu Anti langsung mendekat. "Faza, Cucu ibu, sudah besar sekarang. Sini, Nenek gendong!" Tangan Bu Anti berusaha meraih Faza tapi seketika Faza langsung berontak berbalik. Seolah tak ingin di sentuh oleh Neneknya. "Baik, Bu. Gimana kabar Ibu?" tanyaku basa-basi. Bu Anti tetap memaksa akan mengendong Faza tapi sia-sia justru Faza memilih menangis. Bukankah dulu saja tak pernah mau mengendong cucunya ketika masih serumah? Mungkin itulah yang membuat Faza tak mau digendong sekarang. Tak ada ikatan yang terjalin sejak kecil hingga Faza peka. "Kenapa? Ngga kenal ya sama Nenek?" tanyanya kemudian, "udah enak tinggal di kota jadi ngga inget sama Nenek."Aku tersenyum menanggapi ucapan Bu Anti, "Bukan karena hidup di kota, Bu.
"Tunggu, Ndah! Aku mau bicara!" ucap Mas Akbar tepat di depan mobil. Mungkin dia pikir aku akan menolak dan menyuruh supir untuk melajukan mobilnya. Kuturunkan kata mobil berlahan, Mas Akbar beringsung menuju sebelah mobil di mana aku duduk. "Ada apa lagi, Mas?" tanyaku. "Tolong, Ndah. Pikirkan lagi! Kalau kita bercerai Faza bagaimana. Aku ayahnya, aku berhak menentukan kehidupannnya!" ucapan Mas Akbar membuat aku geram. "Tapi aku juga berhak hidup bahagia, Mas!" cetusku lagi. "Dengan mengorbankan kebahagian Faza!" potong Mas Akbar. Sekilas kutatap bocah yang tengah aku pangku. Wajah lugunya terulas senyum kepolosan. Bukan aku egois, tapi mungkin justru ini jalan yang terbaik bagi kita! Aku yakin Faza akan mengerti semua ini suatu saat nanti. "Aku yakin Faza bisa bahagia walau tanpa ayah! Suatu saat dia akan mengerti apa langkah yang kuambil hari ini adalah keputusan terbaik. Selamat tinggal." Aku segera menutup kaca mobil. Setelah setengah aku hentikan kembali."Kamu masih bis
"Aduh! Bagaimana ini?" dengusku kesal. Bagaimana aku bisa keluar dengan kondisi gamis yang sobek sampai atas. Aku masih terus mencari, berharap menemukan seseorang yang kukena dan kumintai pertolongan. Laki-laki itu juga masih terlihat geligapan, mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk menutupi robekan gamisku ini. "Sebaiknya saya belikan dulu kamu baju di sebrang sana," ucapnya."Tak usah, biar aku pulang saja." Kurogoh tas kecilku, mengambil HP yang tersimpan dan langsung menghubungi Ayah Beni. Tersambung, tapi sialnya tak jua di angkat. Mungkin dering di HPnya tek terdengar oleh riuh suasana pesta ini, atau justru sengaja di silent. Aku terus mencoba tapi tetap saja tak diangkat. "Apa sebaiknya saya antar, Mbak?" Dia menawarkan diri. Sebenarnya aku ragu, tapi aku tak mungkin menunggu sampai acara usai dengan kondisi seperti ini. "Di mana rumahmu?" tanyanya kemudian yang melihatku masih bergeming. Kusebut saja alamat rumahku, dia mengangguk mengerti. "Ayukk... Ak
"Tapi, Pak... " Aku berusaha menolak."Udah, Ngga papa. Pak Beni itu orangnya baik. Pasti dengan senang hati mengijinkan. Apalagi, saya ajak kamu sebagai ucapan terima kasih karena saya sangat kagum akan presentase kamu yang sangat mudah di mengerti." ucap Riki. Sekilas aku dan Ayah Beni saling tatap. Dia tersenyum dan mengangguk padaku. Ah! Sebenarnya aku ingin menolak, tak enak hati pada Ayah. Dia pasti curiga kalau aku sudah memiliki hubungan khusus makanya aku menyuruhnya untuk berbohong tentang siapa aku. "Silahkan duduk!" Riki menarik satu kursi untuk kududuki. Dia seolah memperlakukanku layaknya kekasihnya. Aku sangat segan. Kami memesan beberapa makanan, entah kebetulan atau memang selera kita sama. Kita memesan makanan dan minuman yang sama, sampai akhirnya kita tersenyum bersama karena menyebutkan bebarengan. "Kamu sangat profesional dalam bidang itu, berapa lama kamu bekerja?" tanya Riki."Baru sekitar empat bulan," jawabku jujur. "Empat bulan? Pasti pengalaman kamu ba
"Tak usah berkata demikian, aku sudah memaafkan dan melupakan semua yang terjadi dulu, hidupku sekarang hanya ingin menatap kedepan dengan baik." Aku berkata tanpa menatapnya."Ndah ... Apa kamu tak ingin Faza punya ayah lagi?" tutur Mas Akbar."Tentu, tapi mungkin belum saatnya. Nanti tiba waktunya pun, Faza akan memiliki ayah lagi." Aku menjawab dengan baik."Bukan itu, maksudku, apa kamu tak ingin ayahnya Faza kembali padamu?" Seketika aku menoleh, kenapa ia begitu percaya diri mengatakan hal demikian?"Apa? Aku ngga salah dengar kan, Mas? Tak pernah terfikir olehku sedikitpun hal itu, kamu sudah berkeluarga, lebih baik urus saja istrimu dengan baik, perlakuan dia dengan baik dan jangan pernah buat kecewa!" Aku berkata dengan tegas."Tapi, Ndah?""Sudah, Mas. Jika tujuan kamu kesini hanya untuk memgemis kembali padaku, lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tak punya pintu untuk kamu lagi!" Aku mulai ngegas, rasanya benar-benar tak tahu malu itu orang.Dia pun akhirnya pergi setelah
"Ya sudah, Sus, bawa Faza masuk!Sepertinya dia ketakutan." Aku menyuruh babysitter untuk membawa Faza.Kalau begini niat aku menenangkan pikiran dikampung ini rasanya sia-sia.Aku pun memilih untuk masuk, hari sudah sore langit mendung dan kabut sepertinya akan turun. Jika sudah begini, dingin akan mengerayap.Beberapa kali aku bersin, mungkin karena sudah terbiasa dengan udara kota, jadi sekarang terkena dingin sedikit saja menjadi flu.Alhamdulilah Faza akhirnya tertidur setelah berdrama ingin minta pulang ke kota.Aku merebahkan diri di atas sofa, air jahe sudah terhidang. Mbak Saras tetangga sebelah rumah lah yang membantu aku selama disini.Pagi ini aku memilih untuk berjalan-jalan. Menghabiskan waktu dengan menikmati kuliner yang biasanya ada di pasar pagi, pasar kaget yang ada setiap pagi dengan menjual berbagai makanan khas daerahku.Ternyata masih banyak yang mengenali aku, walau mereka bilang aku makin glowing, mereka menyapa aku ramah."Indah? Indah kan ya?" ujar Teh Lusi,
Rasanya kata-kata yang baru keluar dari mulut Pak Riki bagai sebuah belati! Apa seperti inikah sikap yang sebenarnya? Apa hanya karena rasa cemburu yang mendalam hingga tanpa sadar dia mengatakan hal yang begitu melukai, tanpa dengan baik-baik menanyakannya? "Pak... Saya memang seorang janda dan saya juga bukan manusia suci. Saya memang masih luput dari dosa, tapi asal bapak tahu saya tak serendah seperti apa yang bapak katakan. Terima kasih atas penilaian bapak tanpa tahu sebenarnya!" tanpa terasa air mata ini mengalir begitu saja. Sakit ini membuat aku lemah. Terlebih lagi aku masih trauma bila teringat peristiwa di mana aku diperlakukan tak baik oleh Irwan. Seketika aku berlari keluar, tanpa lagi peduli pada Pak Riki yang memanggil. Ketika membuka pintu aku berpapasan dengan Agung yang juga akan masuk kedalam. "Mbak!" sapanya. Aku tak berani menatapnya karena air mata ini masih merembas di pipiku. Secepatnya aku berlalu dari sana. Kuberlari tanpa melihat kedepan, aku sibuk menu
"Tanyakan saja pada dia, Pak! Apakah yang aku ucapkan bohong atau sebuah kebenaran! " cetusku lagi. Seketika mata Pak Riki membulat tajam pada Tanti. "Kalau memang dia anaknya Irwan, tuntut saja untuk bertangung jawab! Dia itu laki-laki. Kalau masih mengelak, coba buktikan dengan tes DNA. Jangan jadi laki-laki pengecut yang maunya meniduri wanita hanya dengan bermodalkan pamer kekayaan!" cetusku lagi membuat Tanti terkaget. "Ka-kamu kenal Irwan?" tanya Tanti. "Yah... Kenal, karena aku hampir saja jadi korban nafsu bajingan tengik itu!" emosiku berapi-api mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu. "Indah! A-apa maksud kamu?" tanya Pak Riki dengan terbata. Aku menatap sekilas wajah Pak Riki. Kenapa karena emosi aku sampai keceplosan tentang hal ini. Segera aku berlari keluar, tak lagi kupedulikan Pak Riki yang terus memanggil namaku. Aku sakit bila mengingat peristiwa itu. Bagaimana aku di lecehkan untuk pertama kalinya oleh laki-laki. Aku berjalan menuju taman rumah sakit, men
Aku berjalan mendekat ketempat di mana Pak Riki terbaring, mencoba mengulas senyum walau ekor mataku tetap menangkap pada sosok Tanti yang terlihat tak senang. "Maaf, Pak. Kemarin HPku lowbatt dan ketinggalan di rumah, jadi tak tahu tentang kecelakaan bapak," ucapku. Pak Riki terlihat tersenyum, "Ngga papa, Ndah. Alhamdulillah masih di beri umur walau kondisinya seperti ini.""Alhamdulillah... Semoga lekas pulih ya, Pak.""Hai... Dia itu kakinya patah dua-duanya karena terkencet bodi mobil!" ucap Tanti tiba-tiba. Aku memandangnya aneh,"hanya patah tulang kan, Pak?" tanyaku pada Pak Riki tanpa menatap kearah Tanti. "Iya, Ndah, hanya patah tulang, insya Allahh kalau telaten dan benar-benar hati-hati masih bisa jalan. Cuma butuh waktu," ucap Pak Riki dengan sedih. "Kemungkinannya fivety-fivety. Lagi Tanti menyela.""Itu masih besar kok, Tan. Masih bisa di usahakan sembuh."Kali ini terlihat Tanti mulai geram, mungkin dia kesal karena menghadapiku yang masih saja sabar menerima semua
Aku makin sibuk dengan segala pekerjaan kantor, hingga tak ada waktu untuk sekedar bermain HP. Kadang Pak Riki memang kirim chat dan hanya kujawab sekali dua kali. Bukan tanpa respon tapi aku sendiri benar-benar sibuk dengan semua urusan kantor. "Mbak, Aku boleh izin pulang, Nggak?" tanya Shinta takut-takut. Aku dapat melihat raut wajah ketakutannya. Mungkin dia tak enak karena baru sebulan lebih bekerja di sini. "Ada apa, Shin? Apa kamu tak betah?" tanyaku kemudian. "Nggak, Mba. Aku dapat kabar dari Dea kalau ibu sakit dan sampai masuk rumah sakit," jawabnya sambil menunduk, ada bulir bening yang hampir jatuh di sana. "Ya Allah... Sekarang kamu pesan tiket pulang!" "Iya, Mbak." kulihat Shinta segera meraih HPnya. "Kalau gitu, aku pamit, Mbak. Nanti kalau ibu sudah sembuh aku usahakan berangkat lagi secepatnya." "Baik, Shin. Salam buat Ibu. Oh, Ya... Ambil gajimu ke Sekretaris ya. Bilang saja aku sudah suruh siapkan." "Iya, Mba. Makasih banyak, maafkan semua kesalahan Ibuku di
"Siapa yang membawa aku kerumah sakit dan bagaimana kondisiku saat di temukan?" aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Ibu tersenyum, "Sebaiknya besok saja ya ibu ceritakan. Setidaknya Allah masih menyayangimu." Ibu membawaku masuk kekamar, perasaan itu masih berkecambuk. Benarkah aku sudah di nodai ketika aku pingsan? Rasanya aku jijik sekali dengan tubuhku. Kenapa ini harus terjadi! Aku memeluk Faza, rasanya kangen sekali beberapa hari tak bertemu. Hanya dia yang membuat aku semangat menjalani hari-hari berikutnya. Hpku berdering, di layar ponsel tertera nama Pak Riki. Aku ragu untuk mengangkatnya. Benarkah dia sudah tahu apa yang aku alami, malu sekali rasanya. "Hallo... " kuucapkan setelah memencet tombol dial. "Hallo, Ndah! Gimana kabarmu?" tanya Pak Riki di seberang sana. "Alhamdulillah baik, Pak." "Kenapa beberapa hari tak pernah akrif HPmu?" tanyanya lagi. "Maaf, Pak. Aku terlalu sibuk." "Oh... Baiklah. Kalau sudah dengar kamu baik-baik saja, rasan
Segera kuberusaha melepaskan tangan satu dari pinggangnya. Secepatnya aku berusaha berlari menuju keluar, tapi naas kerudungku di tariknya. "Mau lari kemana, Cantik! Aku takakan menyakitimu kalau kamu nurut! Tenanglah, akan kubuat kamu mabuk kepayang dan selalu terbayang-bayang." Rasanya muak sekali mendengar ucapannya. "Lepaskan aku!" sergahku."Tak usah munafik, Sayang. Ayahmu saja sudah percaya padaku. Bahkan dia mendukung kita menikah!" Kugelengkan kepala cepat. Aku rasa tak mungkin Ayah membiarkan aku menikahi laki-laki brengsek itu. "Lepaskan! Aku tak sudi punya suami piktor macam kamu!" "Hhaaa... Ha... Baru kali ini aku bertemu wanita yang bilang begitu! Biasanya mereka justru bilang aku lelaki sempurna, romantis, gagah dalam ranjang dan juga kaya! Apalagi yang di cari dari laki-laki seperti diriku ini."Cuihh! Aku ludahi dia dengan penuh emosi, "Tak semua wanita gila harta! Aku jijik dengan laki-laki sepertimu!" Plakk!! Satu tamparan mendarat di pipiku, aku terhuyung jat
Aku masih terbengong dengan ucapan Pak Riki. Sungguh aku tak punya pikiran sampai sejauh itu. Terlebih ketika kejadian kemarin di restoran. Rasanya enggan untuk tertarik padanya, karena aku bukan tipe pelakor. Asal nyaman dan suka tak peduli sudah ada pemiliknya. "Ma-maaf, Pak! Aku tak punya pikiran sejauh itu. Aku tak mau menjalin hubungan, aku bukan lagi ABG atau anak gadis yang berpacaran." Kuucapkan dengan tegas. "Maaf jika tadi kata yang aku ucapkan salah, Ndah! Maksud aku juga begitu. Entah keberanian dari mana aku dapat ungkapkan ini sekarang. A-aku tak ingin jawabanmu sekarang tapi setidaknya aku sudah ungkapkan sekarang dan aku bisa pergi dengan tenang." Kali ini dia meremas tangannya. Aku masih terdiam, ketika tiba-tiba Ayah Beni datang dan mengajak ngobrol Pak Riki. Mereka membahas tentang kepergian Pak Riki yang ke Sidney untuk urusan kemenangam tender dan pembelian sebagian saham yang di lelang. "Berapa lama kamu di sana?" tanya Ayah Beni. "Belum tahu, Pak. Sekiranya