"Selain itu Aku sibuk bekerja, besok pun Aku harus pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Apakah Kamu tidak apa-apa jika Aku tinggal dan mengerjakan semua ini sendiri?" kata Eddy lagi bertanya pada Milla.
"Tidak masalah," jawab Milla datar.
Bagaimana pun itu memang sudah menjadi tugasnya, semenjak Eddy memilih untuk tidak ikut campur tangan dan menyerahkan semua masalah yang terkait dengan urusan renovasi vila kepada dirinya.
"Kalau begitu semuanya beres," kata Eddy lega.
Tadinya Eddy sempat merasa tidak enak hati untuk menyampaikan kepada Milla bahwa dia akan pergi sementara dari tempat ini untuk membereskan pekerjaan yang sempat terbengkalai dan dia tinggalkan di Jakarta.
"Lalu kapan Kamu akan kembali? Soalnya untuk pemotongan pohon dan pembangunan taman Aku butuh persetujuan darimu," kata Milla serius.
Bagaimana pun tidak mungkin baginya mengambil keputusan sendiri tentang renovasi pembangunan ulang vila, karena vila ini bukan milik pribadinya.
"Kamu bisa memutuskannya sendiri, Aku percaya pada selera dan kemampuanmu dalam hal ini," kata Eddy sambil tersenyum.
"Baiklah, karena besok Kamu akan ke luar negeri, sebaiknya Kamu istirahat. Aku pulang dulu," kata Milla sambil beranjak dari duduknya.
"Oke," jawab Eddy sambil mengikuti Milla beranjak dari kursinya.
Milla memang benar, dia memang membutuhkan istirahat yang cukup untuk perjalan besok ke luar negeri.
'Untung saja sudah ada Milla yang dapat dipercaya untuk menangani semua urusan pembangunan vila ini,' batin Eddy merasa lega.
Sebab kalau tidak ada Milla, saat ini dia pasti sedang kebingungan memilih antara pekerjaannya dan pembangunan vila.
***
Eddy dan Milla telah mencapai kesepakatan untuk bekerja sama dengan Milla sebagai penanggung jawab penuh atas pembangunan vila dan Eddy sebagai pemodal pembangunan tersebut.
Kesepakatan itu melegakan untuk Eddy serta Mila sendiri. Dengan adanya kepercayaan penuh dari Eddy kepada dirinya, gadis itu bisa menuangkan segala ide kreatif yang ada dalam pikirannya untuk pembangunan ulang taman dan renovasi vila yang akan dia kerjakan.
Eddy sendiri memang memberikan kebebasan kepada Milla untuk mengatur dan menjalankan renovasi vila sesuai keinginan gadis itu karena Eddy percaya pada kemampuannya.
Sudah seminggu ini Milla bekerja dengan sangat giat mengawasi tukang taman menyiangi rumput liar dan membuang kayu mati dari tanaman bunga mawar yang sudah kering.
Hal ini dilakukan oleh Milla sebagai persiapan untuk mulai mengatur lanskap demi memberikan tampilan baru kepada taman vila tersebut.
"Non, ini bunga mawarnya sudah tidak bagus semua, apa tidak sebaiknya kita pangkas saja semuanya?" tanya tukang taman kepada Milla.
"Apakah sudah tidak dapat dipertahankan lagi?" tanya Milla ragu apakah harus mempertahankan bunga mawar itu atau membabat habis semua dan menggantinya dengan yang baru.
"Sudah jelek, Non. Ini tidak akan bagus kalau tetap dibiarkan tumbuh karena sudah tidak sehat lagi," kata tukang taman itu sambil berdiri memegang sebatang bunga mawar dan memperlihatkan pada Milla bercak putih yang ada di bawah kuntum dari bunga mawar tersebut.
"Ya sudah kalau memang begitu dibabat habis saja semuanya supaya bisa ditanami dengan bunga yang baru," kata Milla sambil menghela napas.
Dalam hati dia meminta maaf kepada almarhum nyonya majikannya karena tidak dapat mempertahankan bunga mawar yang telah beliau rawat dengan sepenuh hati.
Setelah berbicara dengan tukang kebun, Milla melihat jam tangannya dan berkali-kali dan menjulurkan kepalanya ke arah gerbang vila.
Dia menunggu kedatangan tukang pangkas pohon yang dia sewa dan merupakan penduduk di sekitar vila.
Milla berharap dengan mencari tukang yang tinggalnya di sekitar vila semuanya dapat berjalan sesuai rencana, tidak ada keterlambatan atau apa pun yang dapat mempengaruhi kinerja para tukang tapi ternyata pekerjaan memangkas pohon pun harus tertunda karena pemangkas pohon itu sendiri tidak kunjung datang.
Padahal kemarin Milla sudah membuat perjanjian dan kesepakatan dengan tukang pangkas pohon itu agar datang sesuai waktu yang ditentukannya. Namun, hingga matahari hampir di atas kepalanya tukang itu masih juga belum datang.
"Ck, kemana sih itu orang, sudah jam segini belum juga datang," keluh Milla pelan dengan hati kesal.
Milla akhirnya memutuskan untuk menelpon tukang pangkas pohon itu untuk menanyakan alasan dan sebab keterlambatannya datang. "Maaf, Non Milla, Saya tadi malam sudah telpon ke vila untuk mengonfirmasi ke pemilik vila tersebut dan memastikan soal pekerjaan yang kita sepakati kemarin untuk pekerjaan hari ini tetapi saat telpon diangkat oleh pemilik vila, katanya Dia sedang ada di luar dan membatalkan kesepakatan kerja hari ini karena Dia sedang tidak berada di vila," kata sang tukang pangkas pohon itu kepada Milla sopan. "Siapa yang membatalkannya, Pak?" tanya Milla merasa heran. Pikirannya langsung mendarat pada sosok Eddy. Namun, kemudian dia tepis, sebab Milla sendiri tidak merasa yakin apakah orang yang dimaksud oleh tukang pangkas pohon itu adalah Eddy. "Orang itu mengaku sebagai pemilik vila, Non," sahut tukang pangkas pohon itu tegas. Milla langsung paham siapa yang dimaksud tukang pangkas pohon tersebut. Siapa lagi kalau bukan Eddy? Awalnya Milla memang meragukan bahwa Ed
Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya yang lelah sehabis bekerja dan panas-panasan di taman dengan perasaan nyaman. Milla membentangkan tangan dan kakinya di atas kasur yang telah biasa dia gunakan untuk tidur sejak dia masih kecil. "Akhirnya bisa istirahat dengan nyaman di rumah," gumam Milla sambil berguling ke sana ke mari merasa bahagia. Dia memejamkan matanya dan tersenyum. Milla merasa beruntung sekali karena ayahnya telah menyediakan kasur ukuran besar dan tahan lama seperti yang ditidurinya saat ini sehingga sampai sekarang kondisi kasur tersebut masih tetap layak untuk dipakai olehnya. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana jika harus membeli kasur baru sedangkan wilayah ini sangat jauh dari manapun. Kalau dia harus membeli kasur sekarang pasti akan sangat menyita waktu dan menguras dompet. "Ayah memang yang terbaik!" gumam Milla sambil terus tersenyum dan merasa penuh syukur. Tiba-tiba lampu berkedip-kedip dan padam di saat gadis itu membuka matanya untuk meliha
"Apa yang Kamu lakukan? Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy sambil menahan pinggang Milla dengan salah satu tangannya. Eddy merasa aneh melihat Milla yang hampir jatuh jika tidak dia tahan. Kalau hanya mengetuk pintu, tidak mungkin gadis itu sampai hampir terjatuh ketika pintu dibukanya. 'Sepertinya Dia mengetuk pintu sambil bersandar,' tebak Eddy dalam hati. "Tidak, Aku tidak apa-apa," kata Milla dengan wajah merah merona karena malu sambil berusaha menegakan tubuhnya dibantu oleh Eddy. Milla benar-benar merasa malu sekali dengan kejadian yang telah dialaminya tadi. Rasanya dia ingin sekali membenturkan kepalanya dan pura-pura pingsan karena merasa malu menghadapi Eddy. "Apakah ada masalah?" tanya Eddy perhatian. Eddy pikir tidak mungkin gadis di hadapannya ini menerobos kegelapan kalau tidak ada hal yang benar-benar serius untuk disampaikan. "Kenapa Kamu lama sekali membuka pintunya?" tanya Milla lebih seperti keluhan di wajah cemberutnya. "Aku baru saja selesai mandi," ja
'Barang kali setelah semuanya dibicarakan, Eddy mau kembali menghidupkan listrik di pondok aku,' harap Milla dalam hati. Eddy mengajak Milla masuk ke dalam vila dan mengajaknya ke dapur untuk duduk di meja kopi yang berada di dapur. Meja itu hanya berukuran enam puluh kali seratus dua puluh sentimeter persegi menyambung dengan kitchen set yang terletak di antara dapur dan ruang makan. "Silakan," kata Eddy mempersilakan Milla agar duduk di kursi yang ada di seberangnya. Lalu Eddy sibuk memasak air dan menyeduh kopi untuk dua orang. Milla hanya diam memperhatikan kegiatan Eddy memasak air dan menyeduh kopi. Dari gerakannya Milla bisa melihat kalau pria itu sudah terbiasa melakukan kegiatan itu seorang diri. "Cream or sugar?" tanya Eddy kepada Milla ketika dia sudah menuangkan kopi ke dalam gelas kopi. "Sugar, please," sahut Milla sambil bertopang dagu. "Silakan," kata Eddy sambil meletakan kopi di hadapan Milla dan duduk di seberangnya. Eddy menyeruput kopinya dengan santai sam
"Oh?!" sahut Milla acuh tak acuh. "Saat itu Aku sedang rapat dan Dia meminjam ponselku, mungkin pada saat itulah tukang pangkas menelepon ke vila, kebetulan telepon di sini langsung dialihkan ke ponselku," kata Eddy menduga-duga. "Lalu sepupu angkat Kamu itu dengan beraninya mengangkat telepon untukmu dan memutuskan untuk Kamu?" cibir Milla sinis. Jelas Milla menanggapi sinis penjelasan pria di hadapannya ini. Sebab, sedekat apa pun sepupu apalagi ini hanya sepupu angkat, apa mungkin dia bisa memutuskan segala sesuatunya seenaknya sendiri tanpa izin dan setahu sepupu angkatnya yang dalam hal ini adalah Eddy? "Mungkin Dia mengira di vila ini tidak ada orang jadi Dia membatalkan janji itu dan setelahnya lupa untuk memberitahu Aku," kata Eddy berusaha membawa Milla untuk berprasangka baik kepada Nining. "Sepupumu itu apakah Dia adalah perempuan?" tanya Milla ingin tahu. "Iya," jawab Eddy singkat. "Pantas," gumam Milla sambil meletakan gelas kopinya dengan bosan. Milla telah mendug
"Mengapa Kamu menatapku seperti itu? Apakah Kamu tidak terima pada apa yang Aku katakan mengenai sepupu angkat Kamu itu?" tanya Milla kesal mendapat tatapan menyelidik dari pria di hadapannya itu. 'Apakah Dia marah? Hah! Yang benar saja, dasar aneh, bukankah Aku yang seharusnya lebih marah karena telah dibuat menunggu tanpa kejelasan. Semua itu gara-gara sepupu angkatnya yang suka ikut campur itu,' cibir Milla dalam hati merasa tidak puas dengan sikap Eddy yang hanya diam saja dan malah menatap dirinya dengan teliti seperti saat ini. Milla tidak tahu kalau Eddy memperhatikannya bukan karena tidak senang saat mendengar Milla mengomentari soal Nining. Sikap Eddy saat ini lebih kepada rasa tertarik dan ingin tahu tentang Milla sendiri sehingga dia mulai menilai gadis di hadapannya ini secara keseluruhan dan mulai membandingkannya dengan Nining. "Nona Milla, apakah Kamu merasa ada masalah kalau sepupu angkat ku itu ingin menjadi istriku? Apakah Kamu keberatan?" tanya Eddy setengah men
Satu hal yang tidak diketahui oleh Milla, Eddy sebenarnya telah membaca buku harian adiknya - Shasha- di situ banyak sekali tertulis doa-doa dan pengharapan adiknya itu agar Eddy dan Milla bisa berjodoh. Awalnya Eddy merasa harapan adiknya itu suatu hal yang konyol. Namun, setelah beberapa hari dirinya mengenal dan memperhatikan Milla, Eddy mulai merasa semuanya bisa saja terjadi. "Sudah malam sekali, akan lebih baik kalau Kamu menginap di sini dulu malam ini. Kamu bisa tidur di kamar Shasha. Di sana juga masih terdapat baju-bajunya, Kamu bisa meminjam baju tidur Dia untuk sementara," tawar Eddy untuk mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana yang agak canggung antara dia dan Milla. "Oh iya, Aku hampir lupa untuk menanyakannya kepadamu, mengapa Kamu mematikan listrik di pondokku?" tanya Milla yang tiba-tiba saja teringat tujuannya datang ke vila utama menemui Eddy tanpa menghiraukan tawaran yang baru saja dilontarkan olehnya. Bagaimana pun kalau disuruh memilih, tentu saja M
"Apakah Kamu tetap akan pulang?" tanya Eddy mengerutkan kening khawatir. Milla terdiam. Dia benar-benar bingung sekarang. Di satu sisi dia takut untuk pulang kembali dalam keadaan gelap gulita seperti saat ini, tapi dia juga merasa tidak enak jika harus menginap di vila bersama Eddy. "Bagaimana dengan tawaranku sebelumnya? Aku tidak bisa membiarkanmu balik ke pondok sendirian karena hari sudah malam dan di luar sangat gelap," kata Eddy kepada Milla tidak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya. Milla mulai mempertimbangkan apa yang baru saja dikatakan oleh Eddy. Kalau dia pulang sekarang ketakutannya tidak hanya pada makhluk halus saja. Namun, Milla justru lebih takut pada binatang melata seperti ular yang bisa saja ada di semak-semak menuju ke pondoknya. Gadis itu akhirnya memutuskan lebih memilih menginap di vila dan tidur di kamar sahabatnya yang sering dia pakai belajar dan tidur bersama sewaktu sahabatnya itu masih hidup dari pada harus pulang ke pondok dalam keadaan gelap gul
Namun, semua itu berusaha ditepis olehnya karena rasanya tidak mungkin kalau salah satu di antara mereka mandul ... baik dirinya dan Eddy, mereka berdua benar-benar sehat dan bugar."Para tetua di keluarga suamiku mengatakan kalau kita kebanyakan melakukan hubungan suami istri kabarnya bisa membatalkan pembuahan," kata Nining seolah bisa membaca pikiran Milla."Ah! Benarkah?" tanya Milla membelalakkan matanya terkejut.Apakah dia lama tidak hamil karena dirinya dan Eddy terlalu banyak berhubungan? 'Jika benar seperti itu, Aku harus mengingatkan Eddy agar lebih menahan diri,' tekad Milla dalam hati.Mungkin mereka harus puasa selama beberapa hari dulu untuk mendapatkan hasil yang maksimal.Nining tidak tahu kalau informasi yang dia katakan kepada Milla itu pada akhirnya akan membuat Milla menyiksa suaminya sendiri dengan menyuruhnya menahan.Sikap Milla yang selalu menghindar ketika diajak berhubungan suami istri benar-benar membuat Eddy kacau.Semua orang di kantor terkena imbasnya t
"Tante?" potong Eddy bertanya heran.Dia cemberut mengingat Sinta. Apakah wanita itu yang melaporkan dirinya dan Milla?"Iya, Dia mengaku sebagai Tante dari Nona Milla, Dia bilang Dia adik dari papanya Nona Milla.""Ck! Wanita itu hampir ditangkap polisi karena mengaku-ngaku sebagai kerabat istriku sementara istriku sama sekali tidak mengenalnya dan Dia juga tidak memilki bukti yang menunjukkan kalau Dia benar-benar adik dari almarhum papa mertuaku.""Jadi Dia penipu?" "Iya, istriku tinggal di sini sejak lahir dan orang yang mengaku kerabat itu sama sekali tidak pernah muncul bahkan di hari pemakaman kedua orang tua istriku ... Entah apa ide yang ada di dalam pikiran wanita itu hingga tiba-tiba datang ke sini dan mengaku sebagai Tante istriku.""Maaf, Kami benar-benar tidak tahu kalau wanita itu adalah seorang penipu.""Tidak apa, Aku dan istriku memang baru saja menikah dan belum sempat membuat acara pesta ... kejadian ini mengingatkan kami untuk segera menggelar acara pesta agar ti
"Maaf ini hanya kesalahpahaman semata, kami mengakui orang yang salah ... kami akan pergi dari sini sekarang juga," katanya sambil memegang tangan Sinta dan Leni, bersiap untuk berlalu dari tempat itu."Apakah anda ingin meneruskan kasus ini?" tanya polisi kepada Eddy."Kalau mereka tetap bersikeras, Aku akan meneruskan masalah ini hingga ke meja hijau," kata Eddy mendominasi."Tidak! ... kami tidak akan lama-lama di sini, sekarang juga kami akan pamit," kata Romy tegas. "Jaga dirimu baik-baik," katanya lagi kepada Milla.Eddy dan Milla hanya memutar bola matanya bosan. Apakah sudah tidak terlambat untuk mengkhawatirkan Milla? Kemana saja mereka selama ini?"Jangan mengkhawatirkan istriku, Aku lebih tau cara menjaganya ketimbang orang-orang yang mengaku sebagai kerabatnya seperti kalian!" kata Eddy sinis.Romy mengakui kebenaran kata-kata Eddy, tanpa banyak kata dia meninggalkan tempat tersebut dengan membawa istri dan anaknya di kedua tangannya."Apakah ada yang lain yang bisa kami
"Ck! Sepertinya mereka tidak akan mau pergi secara sukarela," kata Eddy kepada Milla tidak bisa menyembunyikan nada sinis dalam suaranya."Sepertinya begitu, apakah Kamu punya ide?" tanya Milla serius."Aku akan menelepon polisi untuk mengeluarkan mereka dari sini."Eddy mengambil ponselnya dari kantong."Stop! Jangan menelepon polisi, kami akan keluar sekarang juga," kata Romy berusaha mencegah Eddy menghubungi polisi.Jika Meraka sampai di usir dengan menggunakan aparat itu pasti akan sangat memalukan sekali.Walaupun dirinya hanya pengusaha kecil tapi ini semua menyangkut nama baiknya, apa kata klien dan koleganya jika dia bersama keluarganya sampai diusir dengan tidak hormat dari vila keponakannya sendiri?"Pa!"Sinta dan Leni memprotes kata-kata Romy dengan nada tidak puas."Apa? Apa kalian ingin diangkut oleh pihak kepolisian karena tidak mau keluar dari sini?" tanya Romy melotot kesal."Dia tidak akan berani, itu hanya ancaman, bagaimanapun Aku tante kandungnya, apa kata tetang
Leni yang terlalu yakin pada kemampuannya sendiri sama sekali tidak menyadari kalau dia benar-benar tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk merebut Eddy dari Milla karena sepupunya itu tidak akan pernah membiarkan dia tinggal di vila miliknya.Eddy sendiri sebagai targetnya merasa sangat muak dan jijik mendapati tatapan Leni kepada dirinya. Selain Milla di mata Eddy semua perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki.Dia benar-benar tidak menyukai wanita yang mengaku sebagai sepupu istrinya ini."Milla sayang, bolehkah kami menginap di sini barang seminggu dua Minggu? Tante tahu Kamu tidak mengingat kami tapi siapa tahu dengan menginapnya kami di sini Kamu akan kembali mengingat kami," bujuk Sinta tanpa malu-malu.Eddy cemberut mendengar keluarga istrinya yang entah datang dari mana ini meminta tinggal di vila yang telah diberikannya kepada Milla.Dia menoleh ke arah istrinya untuk melihat keputusan apa yang akan diambil olehnya saat ini. Walaupun dirinya tidak menyukai keluarga
Milla dan Eddy kembali ke vila dan menemui orang-orang yang mengaku sebagai keluarga Milla."Ah! Milla ... syukurlah Nak, Kamu sehat-sehat saja ...."Milla mengerutkan kening ketika wanita setengah baya yang datang ke rumahnya dengan penuh semangat memeluk dirinya.Eddy melepaskan Milla dari pelukan wanita tersebut dan membiarkannya berada di belakang dirinya."Siapa Kamu?" tanya Eddy tanpa membunyikan rasa tidak sukanya."Aku tantenya ... Milla ini Tante sayang, masa Kamu lupa sama Tante Sinta," kata wanita setengah baya itu dengan nada mengeluh sedih."Tante?" tanya Eddy sambil mengangkat sebelah alisnya.Eddy menoleh ke arah istrinya dan melihat Milla tampak tidak bergeming ataupun mengakui kalau dia mengenal wanita yang mengaku bernama Sinta tersebut."Iya, Aku adik Papa Milla ... lalu siapa Kamu?" tanya Sinta sambil menatap Eddy serius.Sinta merasa pria muda yang berbicara dengannya ini sepertinya bukan pria biasa-biasa saja. Auranya benar-benar membuat Sinta harus berpikir ber
Milla rasanya ingin memukul Eddy untuk keinginan yang tidak pernah ada habisnya itu. Namun, selalu saja dia menjadi luluh ketika suaminya mengeluh pusing jika tidak dapat melepaskan seluruh hasratnya kepada Milla. Beberapa jam kemudian pondok itu kembali dipenuhi suara-suara ambigu dari pergulatan musim semi Milla dan Eddy. Milla rasanya ingin pingsan saja dari pada terus merasakan kegembiraan suaminya yang tidak pernah ada puasnya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu pondok, Milla mengambil kesempatan itu untuk melepaskan diri dari cengkraman suaminya. "Ada orang!" kata Milla sambil mendorong Eddy. "Biarkan!" kata Eddy tidak peduli dan meneruskan kegiatannya memegangi Milla. "Tidak! Bagaimana kalau itu penting? ... Ahh!" kata Milla terbata-bata di sela serangan Eddy pada titik-titik sensitifnya. "Bu Milla, Pak Eddy! Permisi ... apakah kalian ada di dalam? Di vila utama ada kerabat Bu Milla yang ingin bertemu!" kata tukang taman dari luar pondok. Eddy dan Milla menghenti
Tidak lama kemudian dari arah kamar mandi terdengar suara-suara yang membuat telinga siapapun memerah. Milla merasa hampir pingsan karena harus merasakan serangan suaminya dengan berbagai posisi yang membuat wajahnya memerah karena malu. Milla sampai ke puncak dengan tubuhnya yang bergetar hebat sementara Eddy masih dengan telaten membersihkannya. Malam ini terasa sangat melelahkan bagi Milla dan terasa sangat panjang karena suaminya sama sekali tidak ingin melepaskannya sedikitpun. Setelah dari kamar mandi, Eddy bukannya berhenti malah melanjutkan kembali kegiatan musim semi mereka di atas tempat tidur hingga membuat Milla mengeluh dan memprotes karena tidak tahan lagi terus menerus diombang ambingkan oleh suaminya. "Sudah cukup ...," keluh mila tanpa daya. "Sekali lagi ...." "Kamu pendusta!" kata Milla mengeratkan gigi grahamnya kesal karena Eddy terus berkata sekali lagi dan lagi. Eddy baru benar-benar melepaskan Milla setelah dirinya merasa puas. Dia menatap istrinya yang p
Milla yang kekurangan kasih sayang keluarga merasa hidupnya kini sangat penuh dan bahagia karena Eddy pria yang dicintainya, ternyata sangat mencintainya juga. Sekarang mereka telah menikah, salahkah jika Milla masih belum ingin berbagi kasih sayang suaminya dengan yang namanya anak? Sekalipun itu adalah anak kandungnya sendiri. Dia ingin ketika dia hamil dan melahirkan nanti, dirinya sudah benar-benar siap untuk menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya. Untuk saat ini dia hanya ingin menikmati kebersamaannya dengan Eddy tanpa gangguan siapa pun. Jika mereka memiliki anak, pasti perhatian dan kasih sayang mereka akan terpecah menjadi dua, antara pasangan dan anak-anak mereka. "Bolehkah jika Aku ingin menunda untuk memiliki anak?" tanya Milla kepada Eddy. "Mengapa?" tanya Eddy tidak mengerti. Bukankah setiap perempuan biasanya setelah menikah ingin cepat-cepat memiliki anak? Mengapa Milla malah ingin menundanya? Eddy benar-benar tidak mengerti mengapa istrinya ini ingi