Ponsel Fay yang terletak di nakas berdering, hingga ia dan sang mama menoleh ke sana. Perlahan lelaki itu mendekat dan meraih benda pipih miliknya. Sementara sang mama masih bergeming dengan wajah syok, karena pada akhirnya ia harus rela melihat anaknya berpisah dengan wanita yang sangat dicintainya.Fay mendesah kala, nomor yang menghubungi adalah milik Indra, kakak iparnya. Setelah tadi Indra hanya diam dan tak menanyakan apa pun mengenai hubungannya dengan Liana, sekarang dia pasti ingin tahu. Terlebih, saat Liana kini bercerita pada keluarganya. Mereka semua pasti meminta penjelasan.Perlahan lelaki yang tengah gamang itu mengklik icon hijau di layar ponselnya."Hallo, assalamualaikum." Suara Indra di ujung telepon terdengar."Waalaikumsalam, Mas." Fay menjawab pelan. Sementara sang mama yang melihatnya tampak cemas.Dalam gelisah, ia terus berdoa yang terbaik untuk putera semata wayangnya. Untuk kebahagiaan dan keutuhan rumah tangganya. Fay memang pernah bersalah, tapi dia juga
Tangan Fay mengetuk pelan pintu rumah keluarga Liana. Ia berdiri, menunggu dengan hati berdebar, hingga ia merasa perlu beberapa kali mengembus napas berat. Barangkali dengan begitu bisa menekan sesuatu yang berdentum dalam dada."Assalamualaikum," ucapnya kemudian."Waalaikumsalam." Tak lama suara berat abah Liana mendekat ke arah pintu.Fay tersenyum kala melihat abah mertua di hadapan. Namun, ada yang terasa tak mengenakkan baginya. Wajah tua abah Liana terlihat bingung. Sebuah senyum yang tampak dipaksakan. Ada apa ini? Begitu menoleh untuk mencari tahu apa yang terjadi, Fay melihat Ubed sudah duduk dengan tenang di samping Indra, di ruang tamu. Juga ada ibu mertuanya di seberang mereka.Hati Fay tersentak, lantas mulai mempertanyakan banyak hal di kepala. Karena kehadiran Ubed bisa saja sebuah tanda bahwa telah terjadi sesuatu. Mungkinkah lelaki itu sudah bicara serius dengan Liana dan keluarganya? Apa Liana ingin bertemu dan kembali padanya?Ubed yang menatap Fay juga tampak ta
Fay mengerjap ketika terbangun dari tidurnya. Matanya samar-samar melihat angka 00.30 di pergelangan tangan kala ia berusaha melihatnya kemudian. "Tengah malam?" gumamnya. Kala akan bangkit, didapati selimut menutup tubuh.Dahinya mengernyit, siapa yang menyelimuti tubuhnya? Abah? Ibu? Indra? Tidak mungkin. Hanya Liana yang tahu dia tidak kuat dingin. Di tatap pintu kamar Liana yang sedikit terbuka, pertanda seseorang telah keluar dari sana. Kamar tersebut menjadi sumber penerangan untuk ruangan tempatnya meringkuk dalam lelap. Fay yang tadi tak mendapat jawaban saat mengetuk kamar sang istri, memilih tidur di sofa yang mengarah ke jendela besar di lantai dua. Di mana tempat itu persis di depan kamar Liana. Dari sini, jika gorden disibak, kegiatan orang-orang di tepian jalan terlihat meski tak begitu jelas. Atau cahaya malam yang menerangi ruangan kala lampu di matikan.Fay tak membuang waktu. Ini adalah kode. Liana tak membiarkannya kedinginan, artinya wanita itu tak sedang marah
Kejadian sebelumnya ....Raudah bangkit karena merasa harus menuruti apa yang ada dalam pikirannya. Ia kembali kalut."Ada apa, Ukh?" tanya Atikah yang ikut bereaksi atas sikap Raudah yang aneh."Em, kita pulang saja, Mbak," ucapnya cemas."Lho, kenapa? Sebentar lagi juga Gus Bed datang." Atikah menatap benda yang melingkar di tangan kirinya."Em, iya. Tapi sus* saya sudah sakit, Mbak. Kasihan Gazza." Raudah mengucap dengan nada panik. Ia berkilah. Sebenarnya sekarang ini ia belum siap bertemu dengan sang suami. Tak sanggup bicara langsung. Bagaimana jika Gus Bed mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Lelaki yang ia kenal dingin itu, akan mengorek semua info jika terjadi masalah besar yang berdampak dalam segala hal. Raudah belum siap dengan semua itu. Menatap mata elang sang suami. Menjawab pertanyaan-pertanyaannya, lalu dituntut untuk tetap tinggal. Semua itu akan membuat Raudah lemah, dan urung meminta cerai. Sedang memaksa hidup bersama akan membahayakan semua orang."Jadi?" Atik
Arina hanya bisa berdiri di depan pintu kamar puteranya, menatap seseorang di atas ranjang yang meringkuk di bawah selimut. Wanita paruh baya itu mendekat ke kamar Fay setiap kali dering alarm dari ponsel anaknya berbunyi. Anehnya, Fay bergeming. Membiarkan ponsel itu terus berbunyi hingga mati sendiri.Setelah pulang dari rumah mertuanya semalam, lelaki itu sama sekali tak keluar kamar. Untung saja, pintunya tidak dikunci dari dalam, hingga ia bisa mengantar makanan. Dan ia lega sebab piring dan gelas yang diambil setelahnya tampak berkurang isinya, meski tak habis seluruh.Wanita itu mendesah. Ia tak mau terjadi sesuatu pada Fay, seperti yang menimpa papanya dulu. Di mana suaminya terkena serangan jantung mendadak, akibat seringnya mendapat tekanan batin sebelum itu. Ia melirik ke atas nakas ruang tengah, di mana bend pipih miliknya sendiri tergeletak. Muncul sebuah rencana dalam benaknya kala melihat benda tersebut.__________Dua pria yang memakai seragam satpam menatap Gus Bed de
Arina menghambur memeluk Liana ketika melihat menantunya itu datang. Bahkan Liana belum sempat meraih tangan sang mertua untuk dicium punggungnya. Entah kenapa, ia merasa sangat bersalah atas semua kejadian ini. Merasa gagal mendidik seorang putera kembali muncul, hingga ia perlu merasa malu, terlebih di depan kedua orang tua Liana. Meski kenyataannya, Fay sudah berubah sekarang. Sangat berubah."Bagaimana kabarmu, Li? Maafkan mama, tak mengerti apa pun yang kamu alami." Air mata Arina menitik, semakin lama semakin deras. Hingga jejaknya memenuhi pipi dan membasahi kerudung Liana. "Liana baik, Ma." Suara Liana tercekat di kerongkongan. Ia tak mengerti kata apa yang tepat untuk menjawab simpati wanita yang wajahnya mulai muncul beberapa keriput itu."Maafkan mama Li." Arina menyeka air mata seraya mendorong tubuh Liana perlahan. Ia bisa melihat kesedihan di wajah menantunya meski mata itu tertutup oleh kacamata hitam.Liana mengangguk lalu ada sesuatu yang mendorongnya untuk mengelua
"Li ingin berkumpul dengan Alhesa, Ma. Juga, em, juga ... kembali pada suami Liana," ucapnya dengan air mata yang berjatuhan.Tanpa sadar Arina pun berderaian air mata. Akhirnya ia mendengar langsung dari mulut menantunya. Meski ia sudah mengira, tetap saja merasa sakit dan sedih atas ungkapan Liana secara langsung."Tapi Li, di luar semua kesalahan Fay yang diakuinya. Bukankah dia sudah berubah, dia berusaha keras jadi orang baik. Bahkan mengalah, dengan menjauh dari kehidupanmu dan Ubed." Arina yang sempat memaku dengan deraian air mata, memberanikan diri bicara demi anaknya. Liana menunduk. Hatinya teremas sakit. Ia bahkan tak mengerti bagaimana cara membendung air mata yang menganak sungai di wajahnya. Mungkin memang benar apa yang Arina katakan? Tapi bagaimana dengan Alhesa? Dia korban dari orang dewasa yang berselisih. Lalu Gus Bed? Dia yang sudah banyak didustai dan disakiti. Pria itu bahkan sempat menarik saat Liana meminta Raudah kata-katanya agar memilih bercerai atau dimad
Keduanya bersalaman, layaknya dua orang muslim yang bersaudara, yang seburuk apa pun suasana hatinya, mereka tetap menjunjung ukhuwah dan membuang jauh permusuhan.❤❤❤"Alhesa punya masa depan yang panjang, Li. Tapi anakku ... mama bahkan tak yakin dia bisa hidup sampai tahun depan." Arina mengucap nyaris tak terdengar. Dan ucapan itu terus terngiang di telinga Liana.Bayangan ketika Arina mengangguk juga tak lepas dari ingatannya kala menjawab pertanyaan yang membuat dadanya sesak."Ya, meski mama tak yakin, Li. Tapi dia punya riwayat trauma setelah kalian putus, mama takut setelah kamu pergi lagi dia akan gila." Arina menangis sesenggukan. Sementara Liana hanya membeku dengan air mata yang tak hentinya keluar."Belakangan, Fay memegangi dadanya ... dan mama langsung ingat papanya meninggal karena serangan jantung. Sebagai ibu kamu pasti tahu kekhawatiran mama seperti apa kan, Li?" Arina terus berkata-kata. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk mempengaruhi Liana. Bisa jadi ini pula p
Administrasi sudah selesai dilaksanakan oleh Alhesa. Ketika kembali ke kamar dilihatnya semua barang bawaan sudah bersih tidak ada, faqih begitu tangkas dan cekatan akan hal ini, lalu abi dan uminya sudah siap untuk kembali ke pesantrennya.Faqih membantu membopong abinya dari samping dan umi menggandengan tangan alhesa dari belakang. Jika hal ini dilihat orang mereka seperti sudah menjadi keluarga asli. Dimana menantu bersama sang mertua laki-laki dan putrinya bersama sang ibu dari belakang.Sesampainya di mobil kyai ubed yang duduk disamping faqih banyak berbincang mengenai perhelatan politik yang sedang terjadi. Dirinya bersama umi berbincang mengenai model gamis yang saat ini sedang tren. Sudah sangat seperti keluarga yang menyatu dari mereka.Sesampainya dirumah para santri sudah berjejer di sepanjang jalan untuk menyambut sang guru yang sudah sehat. Iringan hadroh dan sholawat saling bersahutan, di saat itu juga kyai ubed menitikan air mata karena pesantren yang selama ini dilind
“Baiiklah kyai, saya memahami semua itu. Tapi saya sebagai laki-laki yang sudah sangat jatuh hati dengan putri kyai berusaha untuk mencoba bisa mempersunting putri kyai. Alasan saya mempersuntingmu bukan hanya sekedar paras yang memang cantik, tapi perilaku, kepribadian dan kecerdasannya yang membuat saya luluh untuk jatuh hati yang pertama kalinya. Karena selama ini saya belum pernah merasakan yang namanya jatuh hati kepada wanita. Apapun hasilnya nanti, saya sudah menyiapkan diri dengan segala kemungkinan. Jika kyai berkenan al hess saya sunting saya akan berjanji membuat dirinya bahagia, aman dan nyaman seumur hidup. Tapi sebaliknya jika Alhesa sendiri yang sudah memiliki tambatan hati, dirinya merasa bahagia bersama orang tersebut maka saya akan menerimanya. Bagi saya kebahagiaan Alhesa yang terpenting bagi saya.” Ujarnya kepada nabinya.“Baiklah, saya ucapkan terimakasih atas niat baikmu dan saya juga yakin kamu memang orang yang baik,amanah, dan bisa bertanggung jawab. Tapi kam
Alhesa kembali terbangun dan merasakan sakit dikepalanya. Dirinya diam sejenak dan meratapi apa yang sedang terjadi padanya. Dirinya tidak menyangka akan menerima mimpi yang sangat aneh baginya. Seolah-olah mimpi itu sangat nyata adanya. Lal dilihat jam yang berada di dinding kamarnya, dirinya melihat waktu sedang menunjukkan pukul empat dini hari. Akhirnya dirinya menuju ke kamar mandi untuk buang air kecil dan sekalian mengambil air wudhu.Dilaksanakannya sholat malam dan diri nya terlihat sangat khusuk di setiap rakaatnya. Selain itu dirinya mengucapkan dzikir di setiap untaian tasbih yang terjadi putranya. Dirinya memohon petunjuk mengenai permasalahan yang sedang dihadapinya. Tapi sebelum itu dirinya memanjatkan rasa syukur akhirnya dirinya dan keluarganya bisa hidup tenang tanpa ada rasa takut dan penuh tekanan dari para penjahat yang selma ni menegurnya. Sang nabi juga sudah kembali normal dan umi puns sangat bahagia dengan keadaan nabi yang sekarang.“berilah hamba jodoh yang
Sesampainya di kamar Alhesa, dirinya langsung mandi dan menyalakan shower air hangatnya. Dipakaikan sabun yang memberikan aroma terapi yang menenangkan isi kepalanya yang sedang berkecamuk. Dirinya harus bagaimana agar perjodohan itu tidak terjadi. Jujur dalam waktu yang diluar duanya saat ini ada laki-laki yang mendekat tanpa terduga.Alex yang begitu berkharisma dan entah mengapa dirinya begitu nyaman saat bercerita dengannya. Bukan tangisan yang biasanya dirinya sembunyikan dikeluarkan seketika kepadanya.Tapi saat ditelusuri kepada alex, hantianya hanya sebatas berteman seperti biasa. Tidak ada rasa jatuh hati sedikitpun, dirinya merasa nyaman dan aman menjadi teman alex. Lalu laki-laki yang ditemuinya hari ini adalah ustadz faqih yaitu laki-laki yang membuatnya cukup berdebar hatinya sejak pertama kali masuk ke ruangan tdi. Entah mengapa rasa aman dan terlindungi langsung terkuak saat melihatnya. Apalagi tadi terjadi sedikit obrolan yang membuatnya cukup untuk semkai penasaran den
“anakku Alhesa ini dirinya masih senang berpetualang dan mencari wawasan. Entah kapan dirinya memikirkan pesantren dan nasib keturunanku.”“y amlaah baik tp kyai, dirinya begitu demi membangun pesantren sang ayah untuk menjadi lebih baik lagi dan inovatif. Karena kau dengar kalau Alhesa juga menulis banyak buku dan aksi sosialnya membela pernikahan untuk tidak buru-buru. Harus matang secara spiritual, sosial dan finansial. Bukan begitu nak?” Tanya sang kyai kepada Alhesa.“hee betul kyai!” Jawabnya kepada sang kiai.Setelah semuanya terasa nyaman, dan tenang sang kyai yang undur diri dan berkata sesuatu yang membuat Alhesa mengerutkan keningnya. “nanti ku tunggu jawabanmu terhadap Alhesa ya!” Sambil bersalaman dan cipika-cipiki layaknya tradisi para kyai yang demikian. Alhesa hanya mampu diam dan berpura-pura tidak tahu akan hal yang membuat hatinya tidak enak hati.Semuanya berpamitan termasuk dengan faqih yang tadi cukup berbincang dengannya dan bisa nyambung dengan pemikirannya me
Korean melihat Alhesa sudah merasa sedih dirinya tidak ingin melanjutkan perbincangan mengenai perjodohan tersebut. Lalu dialihkannya topic mengenai masa depannya itu, dan tak lama kemudian datanglah pesanan mereka berdua. Alhesa juga memesankan bungkusan nasi kepada umminya agar mati usai makan dirinya tidak usah menunggu lama lagi.“ayuk makan” ujar Alhesa yang melihat alex terlihat melamun.Suasana makna pun tras ahneing. Alhesa terbiasa untuk tidak bicara saat makan, selain itu alex juga tidak ingin membuat suaan aman tidak nayamanapalagi Alhesa makan dengans edikit menahan gerak karena luka yang ada di lengannya.Setelah selesai makan bersama. Akses menuju ke kasir untuk membayar semua tagihannya, alex yang berada disampingnya membantu membawakan nasi bungkus untuk sang ummi.Setelah menyelesaikan pembayaran alex pamit ke para temannya untuk mengantarkan Alhesa kembali. Sebenarnya Alhesa menolak untuk diantarkan, tapi alex berkata kalau dirinya tidak tega dan tidak enak dengan ky
Alex yang baru saja keluar ruangan seketika langsung melenggang tanpa menengok ke belakang. Dirinya kaget ketika Alhesa mengantarkannya sampai pada pintu ruangan.“hati-hati” ujarnyaAlex langsung berhenti dan mengobrol dengannya seketika.“kamu begitu menyayangi kedua orang tuamu ya, sampai-sampai berkata pun tidak keluar tadi.”“ya begitulah, mereka yang membesarkanku susah payah terutama suamiku yang aku tahu perjuangannya yang tidak mudah. Jadi di hari tua nanti aku ingin mereka damai tanpa memikirkan apapun. Hidup nyaman dan aman. ““keren ah kamu ini, gimana kalau makan bareng ya? Kamu kan juga belum makan sama sekali?” Tanya alexAlhesa tampak berpikir sejenak dan menengok ke belakang. Akhirnya dia setuju tapi harus minta izin kepada abi dan uminya.“oke, sekalian beliin ummi sepertinya beliau juga belum makan, aku izin dulu ya. Tunggu!”Alex hanya menganggukkan kepalanya dan Alhesa langsung masuk ke dalam lagi.“abi, ummi , alhesa beli makan dulu ya baeng sam alex. Nanti sek
“Tentu saja tidak, melihat abi yang terus dalam bahaya. Lalu ummi yang begitu khawatirnya aku selalu diam dan mengatasinya sendiri.”“Kalau seperti tadi aku tidak datang kau mati disini juga tidak masalah kalau keluargamu juga tidak tahu?’’“Ya mungkin saja begitu, toh juga abi sudah siuman.” Jawabnya dengan enteng.Alex hanya terkagum dengan wanita yang sedang dibopongnya ini. Karena dari depan yang terlihat anggun, kalem dan cuek dirinya memiliki sikap kokoh dan sangat berprinsip.Alhesa tidak sadar bahwa dirinya sedang dibopong oleh laki-laki asing yang itupun pertama kalinya. Karena dirinya tengah asyik ngobrol panjang lebar. Sedangkan alex yang sadar akan tindakannya hanya berpura-pura diam hingga Alhesa sadar dan dirinya jika thu minta turun seketika akan diturunkan seketika.Di saat itu juga seluruh tim mleihat kemesraaan dan keindahan pemandangan sang big bos dan wanita yang meman ayu dan terlihat sangat cerdas.‘cantik bener rek, kayak yuki kato. Tahu begini ya benar saja bos
Alex langsung pergi ke kantor rahasianya untuk mengirim beberapa senjata yang harus dikirimkan oleh para tim ke tim yang berada di lapangan. Seketika juga dirinya pergi tanpa pamit karena kondisi sangat tepat untuk melangkah maju ke strategi selanjutnya.Setelh sampai di lokasi dirinya memilih baju-baju dan senjata yang harus dibawa ketika nanti ke tahap strategi selanjutya. Karena di tahap itu seharusnya ada ranah-arah yang harus segera diwaspadai karena dirinya juga berada di titik vital. Saat strategi sudah berjalan dengan sangat baik. Dirinya merasa ada insting tidak enak, karena sesuatu yang mudah di awal pasti akan ada hal yang diluar dugaan. Tapi dirinya terus fokus dan meneliti setiap step agar bisa menjaga sisi rawan-rawan tertentu.Tiba-tiba ada telepon dari penjaga di rumah sakit bahwa Alhesa tidak kunjung ada di rumah sakit. Dan dari tim yang berada di sasaran kembali menelpon bahwa sedang melihat seorang wanita berkerudung dibawa masuk ke lokasi.Dan alex langsung menangk