"Tangguh, hei, ada apa?" Tangguh tersentak kaget dengan mata terbelalak saat merasa pipinya ditepuk kuat oleh seseorang.
"P-pak, Steve, a ... kapan sampai?" tanya Tangguh gugup. Wajahnya pucat dengan tubuh tiba-tiba berkeringat dingin. Ternyata hanya mimpi, walau terasa sangat nyata.
"Baru saja dan saya melihat kamu seperti mimpi bertemu dengan malaikat maut," jawab Steve sambil memutar bola mata malasnya. Steve menarik kursi untuk mendekat pada Tangguh, sedangkan Tangguh mendadak canggung berada di dekat Steve, seolah-olah dia saat ini tengah berada di dekat hakim yang akan mengadilinya.
"Saya minum dulu, Pak," kata Tangguh dengan tangan gemetar meraih gelas berisi air putih. Steve hanya memperhatikan Tangguh yang gugup. Jelas sekali Tangguh merasa bagaikan orang yang bersalah, tetapi Steve masih belum menemukan cara tepat, aman, dan pas untuk menghukum Tangguh dan juga Linda.
"Bapak datang sendiri atau bersama Bu Linda?" tanya Tangguh
["Halo, Cita, kamu apa kabar?"]["Kang Tangguh, Cita sehat, Kang. Kakang gimana kabarnya?"]["Kaki Kakang masih cidera."]["Ya ampun, terus bagaimana, Kang? Kakang mau balik ke rumah atau bagaimana?"]["Kata Pak Steve, kamu yang diminta ke Tangerang. Kamu temani Kakang di rumah sakit dahulu, mungkin masih tiga harian lagi. Setelah itu kamu temani Kakang di rumah Pak Steve sampai kaki Kakang sembuh. Gimana, Cita? Kamu gak papa?"]Rucita tersenyum senang mendengar permintaan Tangguh atas dasar perintah suaminya. Tentu saja ia tidak menolak dan pasti akan sangat senang bisa mengunjungi Steve dan juga Tangguh.["Cita! Halo!"]["Eh, i-iya, Kang. Kapan Cita harus berangkat?"]["Katanya sekarang saja, biar gak kemaleman sampai terminal Cikokol. Nanti dijemput Pak Steve untuk langsung diantar ke rumah sakit. Kamu ada uang untuk ongkos tidak?"]["Baik, Kang. Ongkos Cita ada, tapi nanti Kakang gantiin ya."]["Iya, Adi
"Tentu saja aku perlu khawatir. Anak perawan diminta ke kota untuk mengurus kakaknya yang sakit, sedangkan dia tidak pernah ke kota. Sudah, jangan bilang kamu cemburu? Ha ha ha ... tidak mungkin!" Steve menertawakan Linda, kemudian ia pergi begitu saja meninggalkan istrinya yang terdiam masih di depan pagar. Steve kembali mengawasi tukang yang sedang bekerja.Pukul enam sore, Steve sudah berada di terminal Cikokol untuk menjemput Rucita. Hatinya sungguh tak sabar menanti kedatangan istri kecilnya yang sangat menggemaskan. Steve keluar dari mobil dan menunggu di sebuah warung kopi. Bus keluar-masuk tak jauh dari tempat ia bersantai sejenak.Bep! Bep!Steve mengambil ponselnya dari saku dengan cepat. Pria itu tersenyum saat mendapati nama Rucita yang ada di sana."Halo, Sayang, di mana?""Di loket beli karcis, Mas, cepat jemput.""Oke, tunggu di sana ya. Saya dekat kok." Steve menutup ponselnya, lalu mengeluarkan uang lima ribu rup
"Dokter baru saja visit lima menit yang lalu. Parfumnya memang sangat mirip dengan parfum yang sering dipakai Bu Linda, Pak. Saya sempat mengira yang datang berkunjung adalah Bu Linda, ternyata dokter."Oh, begitu." Steve mengangguk paham. Namun ia tahu ada yang tidak beres dengan keterangan Tangguh. Pemuda itu berbohong dan istrinya pasti baru saja dari sini. Apalagi di leher Tangguh ada noda merah samar seperti bekas lipstik. Tidak mungkin bibir dokter menempel di sana bukan?"Baiklah, Rucita, Tangguh, saya akan kembali ke rumah. Kamu jaga Kang Tangguh kamu baik-baik. Semoga bisa segera keluar dari rumah sakit," ujar Steve sambil tersenyum."Terima kasih sudah menjemput dan mengajak saya makan enak tadi. Hati-hati di jalan Tuan Steve," ujar Rucita sambil menunduk hormat. Steve keluar dari kamar perawatan, Rucita melanjutkan berbincang dengan kakaknya. Hatinya sungguh senang sudah dikelilingi oleh dua pria terbaik dalam hidupnya."Jadi, cerit
"Eh, i-ini ... s-saya menemukannya di jalan, Kang. Saat ... jalan mmm ... ke pasar saya melihat cincin ini dan saya gak tahu kalau ini cincin mahal. Memangnya ini mahal, Kang?" Rucita menarik keluar cincin dari jari manisnya, lalu memberikan pada Tangguh. Pemuda itu memutar bolak-balik cincin bermata berlian di depan matanya."Sepertinya ini berlian, Cita. Ya ampun, beruntung sekali kamu mendapatkannya, kenapa kamu tidak umumkan di pasar, saat kamu menemukannya?" tanya Tangguh."Mana saya tahu ini cincin mahal atau tidak, saya kira malah yang satu gram tiga puluh lima ribu itu, Kang. Makanya langsung saya cuci dan saya pakai," cerita Rucita dengan begitu antusias. Wajah dramanya begitu sempurna hingga mampu meyakinkan Tangguh."Ya sudah, simpan dengan baik dan jangan dijual. Kalau tidak ada surat tidak bisa dijual dan jual berlian itu tidak bisa sembarangan," kata Tangguh pada Rucita.Cklek"Kalian sudah siap?" suara Steve dari de
Tangguh dan Rucita sampai di rumah pada pukul dua siang. Linda sudah menyambut kedatangan mereka di depan rumahnya, bahkan Linda sudah membuka lebar pagar rumahnya. Mobil Steve parkir di tempat biasa, di bawah pohon nangka besar yang mulai berbuah.Steve turun pertama kali, lalu disusul Rucita. Steve bahkan membukakan pintu untuk Tangguh dan membantu pemuda itu untuk turun dari mobil.Linda berlari menghampiri ketiganya dengan senyuman ramah."Halo, Nyonya, s-saya Rucita," ujar Rucita lembut sambil mengulurkan tangannya pada Linda."Halo, saya Linda. Selamat datang di rumah sederhana saya," kata Linda sambil tersenyum."Ayo, langsung beristirahat di kamar saja dulu!" Steve membantu Tangguh berjalan menuju rumah belakang yang baru selesai direnovasi semalam. Linda bahkan diminta untuk membersihkan agar tidak ada debu yang masih menempel.Linda mengekori ketiganya berjalan menuju rumah Tangguh. Kedua tangan Steve
Kedua kakak beradik itu sudah kembali ke rumah. Rucita masuk ke dalam kamar tanpa sepatah kata pun setelah membantu Tangguh ke kamar mandi. Hatinya terbakar api cemburu atas perlakuan Linda pada suaminya. Yah, walaupun suami bersama tetap saja rasa cemburu itu membakar hatinya.Begitu juga dengan Tangguh yang duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi kedua kakinya yang masih sakit. Ia tidak bisa mengerjakan apapun untuk mengalihkan rasa panas di hatinya. Inilah pertama kali ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Linda mencium Steve. Apakah memang kekasihnya itu akan meninggalkannya? Apakah Linda benar-benar akan kembali pada suaminya dan melupakan hubungan diantara mereka?Sejak pagi hingga siang hari, baik Rucita dan Tangguh sama sekali tidak berbincang. Keduanya sibuk meredam rasa panas di hati.Lalu bagaimana dengan Linda? Wanita itu mendadak resah setelah berani mencium Steve di depan Tangguh dan Rucita. Entah siapa yang mendorongnya melakuk
"Eh, Tuan, baru sampai ya? Bukan hal penting. Hanya sebatas rahasia kakak dan adiknya," jawab Rucita berkilah. Jujur ia masih kesal dan cemburu dengan suaminya, oleh karena itu tidak sedikit pun ia tersenyum pada Steve."Tuan mau bicara dengan Kang Tangguh? Silakan masuk, saya mau tidur." Rucita berjalan menuju dapur untuk membawa dua bungkusan nasi Padang miliknya dan juga Tangguh. Masih tanpa menoleh pada Steve, Rucita pun masuk ke dalam kamar setelah mencuci tangan sampai bersih."Adik kamu kenapa? Wajahnya asem terus," tanya Steve berpura-pura penasaran. Sudah tidak ia hiraukan lagi obrolan Rucita dan Steve yang sempat ia dengar di ujung pembicaraan itu, wajah masam istri mudanya cukup membuatnya tersenyum dan ingin sekali membawanya ke dalam pelukan. Ya, si pria tua ini sangat menyayangi dan sepertinya bucin berat pada istri mudanya."Gak tahu, Pak, bangun tidur siang malah asem terus. Lalu teriak lapar," jawab Tangguh sambil mengangkat ba
Steve sudah tiba di rumah sakit. Pria dewasa itu terpeleset di teras depan karena ada bungkus makanan berminyak yang terinjak kakinya. Steve tergelincir hingga jatuh terlentang dan tak sadarkan diri.Saat sadar, ia menceritakan pada dokter yang kini tengah memeriksa denyut nadinya. Ditemani oleh Linda, Steve mungkin akan dirawat untuk dua hari sambil dilihat perkembangan kondisinya."Kenapa kamu jalannya tidak hati-hati, Pa?" tanya Linda sambil menggelengkan kepala."Namanya juga musibah. Siapa yang mau terpeleset hingga harus dibawa ke rumah sakit. Masih sukur saya gak apa-apa," jawab Steve dengan enggan."Ya, sudah, istirahat deh. Kamu terlalu banyak mondar-mandir keluar kota dalam satu bulan ini. Makan kamu juga berantakan sehingga memang tepat kamu dirawat, Pa. Biar bisa istirahat. Semoga Tangguh lekas pulih sehingga bisa menggantikan kamu wara-wiri urusan mobil." Linda mengusap lengan suaminya, lalu berjalan ke arah sofa.Di
"Aah... yah... yah.... " Tangguh menjatuhkan tubuhnya di samping Linda. Ia tidak bisa melukiskan kata malu pada istrinya mengenai kekuatan di ranjangnya yang hanya bisa bertahan lima menit saja. Linda belum merasakan apa-apa, hanya nikmat pembuka saja, tetapi dirinya malah sudah selesai. Harga dirinya sebagai lelaki benar-benar sedang dipertaruhkan."Tidak apa-apa, Yah. Ibu gak papa. Ini sudah lebih baik dari bulan lalu yang benar-benar hanya dua menit saja." Linda menyentuh pundak polos suaminya. Mendekatkan tubuhnya agar berada dalam pelukan suaminya."Ini sudah dua tahun, Sayang, dan aku hanya bisa bertahan lima menit saja. Ya ampun, aku bingung harus bagaimana lagi," suara Tangguh terdengar begitu getir."Aku belum bisa mengisi rahim kamu dengan anak. Padahal si Kembar sudah ingin adik. Aku minta maaf ya," lirih Tangguh dengan mata berkaca-kaca."Tolong jangan tinggalkan aku karena lima menit ini. Aku tidak mau, Linda, aku bena
"Selamat untuk kalian berdua," kata Darwis sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Awalnya Tangguh ragu untuk menyambut tangan itu, tetapi karena Linda mengangguk pelan, maka Tangguh pun akhirnya menerima jabat tangan dari Darwis."Apa Linda belum menceritakan semuanya padamu? Wajah calon pengantin pria sepertinya begitu marah," sindir Darwis sambil mengulum senyum. Matanya tanpa sengaja menoleh pada dua anak lelaki yang baru saja naik ke atas pelaminan yang masing-masing tengah memegang cup es krim."Apa mereka yang waktu itu di perutmu?" tanya Darwis lagi sambil berbisik. Tangguh mengepalkan tangan, ingin sekali ia memukul lengan wajah Darwis hingga babak-belur, tetapi Linda kembali menahannya dengan mengusap punggung suaminya.Darwis berjalan menghampiri si Kembar, lalu ikut berjongkok di depan mereka."Halo, kenalkan, ini Opa Darwis. Kami siapa namanya?""Tarung, Opa.""Kalau kamu?""Toliq, Opa." Darwis terta
Tangguh ternyata membuktikan ucapannya. Tanggal pernikahan diedit menjadi lebih cepat dua Minggu dari yang ditentukan sejak awal. Semua orang menjadi super sibuk, termasuk Linda dan keluarga besarnya.Seperti hari ini, Linda tengah membagikan belasan batik dan gaun cantik untuk panitia acara pernikahannya. Tangguh yang menyiapkan semuanya, Linda hanya bagian membagikan dan mengatur siapa-siapa saja yang mendapat seragam.Thoriq dan Tarung duduk terdiam di depan televisi, di tengah keriuhan keluarga besar ibunya. Mereka baru saja dijemput pulang sekolah oleh salah satu saudara Linda, karena Linda sudah tidak diperbolehkan keluar rumah oleh Mamanya."Tarung, Thoriq, kenapa?" tanya Linda yang terheran melihat kedua anaknya murung, tetapi tidak ada yang menjawab pertanyaan itu."Kapan ayah Tarung dan Thoriq pulang? Apa nanti saat Ibu menikah lagi, ayah Tarung baru pulang kerja?" tanya Tarung dengan mata berkaca-kaca. Linda menghela nap
Walau dirinya bukanlah gadis, tetap saja mama dari Linda menginginkan anaknya untuk tidak tinggal di rumah Tangguh sampai keduanya sah sebagai suami istri.Ini adalah hari kelima Linda dan Tangguh tidak tinggal berdekatan. Keduanya sesekali bertemu karena ada urusan yang berkaitan dengan mengurus acara pernikahan, sekaligus sekolah untuk si Kembar.Seperti pagi ini, Tarung dan Thoriq sudah rapi dengan pakaian baju kaus, celana jeans, dan juga sepatu boot. Tak lupa tas ransel bergambar Spiderman sudah berada di punggung keduanya.Hari ini adalah hari pertama si Kembar masuk sekolah. Keduanya bersekolah di sekolah alam yang tidak mengenakan seragam. Tangguh sengaja memilih sekolah yang sedikit berbeda dengan yang umum, agar anaknya enjoy bermain sambil belajar."Kamu beneran gak mau sarapan?" tanya Linda pada Tangguh yang sudah duduk di teras rumah orang tua Linda sambil menyesap tehnya."Nggak, belum kepingin. Nanti saja samp
Pertemuan mengharukan pun tidak terelakkan begitu Linda sampai di rumah orang tuanya. Mama dari Linda bahkan pingsan karena terkejut melihat putri yang sudah lama menghilang, kini datang ke rumahnya dengan membawa anak kembar.Satu hal yang membuat keduanya semakin bertangisan, yaitu berita wafatnya ayah dari Linda yang baru saja enam bulan yang lalu."Maafkan Linda, Ma, maaf." Hanya itu yang bisa ia ucapkan berkali-kali di depan mamanya yang terbaring lemas karena pingsan. Tangguh sama sekali tidak berani mengeluarkan suara, walau ia ikut kaget dengan kabar ayah Linda yang sudah tiada."Mbak, ini!" Linda menerima minyak kayu putih dari tangan adik perempuannya. Dengan cekatan dan sangat hati-hati, Linda mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan juga kening mamanya.Wanita paruh baya itu akhirnya membuka mata dengan perlahan. Linda menyuapi sendok demi sendok teh manis hangat kepada Sang mama."Kami darimana saja?" tanyanya de
Pagi hari, keadaan rumah menjadi begitu semarak sejak hadirnya Tarung dan Thoriq. Alicia; anak dari Rucita pun sangat senang dengan dua saudara lelakinya yang berwajah sama. Sering sekali Alicia atau yang biasanya dipanggil Via, tertukar saat bermain dengan si Kembar."Abang Talung dan Abang Tolik kenapa mukanya sama sih, Mom?" tanya Cia pada Rucita yang ia panggil 'mommy'"Karena mereka kembar, Sayang. Lahirnya bersamaan keluar dari perut Uak Linda," jawab Rucita bijak. Ia tengah duduk di teras rumah Tangguh dan sedang mengepang rambut panjang putrinya."Jadi meleka antli pas mau kelual ya, Mom?" (Jadi mereka antre pas mau keluar ya, Mom) Rucita tergelak mendengar celotehan Cia."Iya, harus antre. Biar perut Uak Linda gak sakit," jawab Rucita membenarkan. Cia hanya manggut-manggut paham."Sudah rapi, Cia, sekarang Cia boleh main sama Abang kembar," kata Rucita pada putrinya. Gadis kecil itu pun bergabung dengan kakak sepupunya di depan kolam
"Linda, kamu mau'kan?" Tangguh sekali lagi bertanya pada wanitanya. Linda menghapus air matanya dengan punggung tangan. Bik Mirna tidak mau ketinggalan momen dengan merekam adegan manis di depan pintu rumah majikannya."Kalau aku menolah juga pasti kamu paksa!" Kata Linda ambigu. Tangguh tertawa, tetapi ia masih belum ingin berdiri dari simpuhannya."Terima ya, Teh," suara dari balik punggung Tangguh terdengar bergetar. Ia adalah Rucita yang kebetulan ingin mengantarkan durian ke rumah Tangguh dan sangat senang melihat momen Tangguh yang tengah melamar Linda. Tangguh tersenyum penuh haru saat menoleh ke belakang. Linda pun tidak bisa berkata-kata lagi.Rucita dan Tangguh sama-sama menunggu jawaban darinya. Apakah akhirnya ia harus menyerah dengan takdir? Apakah dengan menerima Tangguh maka luka lamanya akan sembuh?"Kita akan mulai semuanya dari awal. Aku janji akan sayang sama kamu dan anak-anak. Aku akan menjaga kalian. Aku mencintai k
Tangguh sudah berada di restoran. Sore ini, ia ada janji bertemu dengan Dian untuk membicarakan masalah mereka ke depannya. Bagaimanapun, lamaran sudah dilakukan dan dia harus memiliki adab saat memutuskan untuk tidak meneruskan sampai ke pelaminan.Cappucino hangat lolos ke dalam tenggorokannya. Menikmati rintik hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi mampu menciptakan aroma tanah basah yang sangat nyaman masuk ke dalam indera penciumannya.Sebuah mobil sedan pintu dua masuk ke area restoran. Tangguh berdiri untuk menyambut wanita yang saat ini masih berstatus sebagai tunangannya."Mas, maaf, saya boleh pinjam payung? Mau jemput wanita yang baru tiba di sana!" Tunjuk Tangguh pada mobil Dian yang baru saja berhenti dengan begitu halus di parkiran."Boleh, ini, Mas." Pelayan lelaki itu memberikan payung cukup besar pada Tangguh."Terima kasih, Mas." Tangguh berlari menghampiri Dian yang baru saja keluar dari mobilnya. Lelaki i
"Kamu sangat pemaksa!" Ketus Linda dengan wajah cemberut. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas ia membuka mulut saat Tangguh menyuapinya dengan bubur ayam hangat yang rasanya sangat enak. Berbeda dengan bubur di rumah sakit yang rasanya hambar.Tangguh tersenyum melihat Linda makan dengan lahap dan begitu patuh tanpa suara. Si kembar memperhatikan dua orang dewasa di dekat mereka dengan seringai yang begitu lebar."Om sama Ibu pacalan," bisik Thoriq sok tahu."Pacaran itu apa?" tanya Tarung dengan wajah tidak paham."Olang dewasa yang dekat, telus ciuman, telus nanti tidulan baleng(orang dewasa yang dekat, terus ciuman, terus nanti tiduran bareng), hi hi hi ....""Gak boleh tiduran bareng kalau belum jadi pengantin. Kata Bude Yayu seperti itu," jawab Tarung dengan wajah serius."Pengantin itu apa?" gantian Thoriq yang bertanya pada abangnya. Maklum saja lidah Thoriq belum bisa menyebut huruf R dengan jelas, sehingga Tar