Lampu-lampu kristal mewah memancarkan cahaya hangat, menerangi ballroom megah tempat pesta perjamuan diadakan. Gaun-gaun malam gemerlapan dan jas-jas mahal bertebaran di antara tamu undangan. Aroma parfum mahal dan hidangan lezat bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang memabukkan.Axcel keluar dari mobilnya, tatapannya langsung mencari sosok Adnessa. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia merindukan senyumnya, tawanya, sentuhannya. Namun, bayangan Revan dan Adnessa soretadi tiba-tiba muncul di benaknya, membuat hatinya mencelos.Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu masuk. Adnessa keluar dari mobil, anggun dan mempesona dalam balutan gaun malam berwarna merah marun. Rambutnya yang tergerai indah, dihiasi dengan jepit berlian yang berkilauan. Axcel tidak bisa menahan untuk tidak menatapnya.Mata mereka bertemu. Waktu seolah berhenti. Ada kerinduan yang dalam di mata Adnessa, namun juga ada keraguan dan ketakutan. Axcel tahu, ada sesuatu yan
Erika tersenyum penuh kemenangan, matanya berbinar-binar puas. "Bagaimana, Adnessa? Hubungan kita sudah jelas, bukan?" ucapnya, suaranya penuh kemenangan sambil menyentuh lengan Axcel yang masih terdiam membeku. Sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik bagi Axcel, membuatnya semakin muak dengan tingkah Erika. "Apa kamu tidak malu? Jika hubungan kalian terungkap, bukannya kamu akan mendapat predikat pelakor? Apa kamu tidak malu?!" Erika terus menyerang, kata-katanya bagaikan pisau yang menusuk jantung Adnessa, membuatnya sesak dan terluka."Tutup mulutmu, Erika!" geram Axcel, matanya berkilat marah. Ia tidak tahan lagi mendengar hinaan Erika terhadap Adnessa. Dengan kasar, ia melepaskan cengkeraman tangan Erika dari lengannya, seolah sentuhan wanita itu adalah racun yang menjijikkan. Erika tidak gentar, justru semakin menjadi-jadi, menciptakan keributan yang menarik perhatian seluruh pasang mata yang hadir di acara itu. Bisikan-bisikan mulai terdengar, orang-orang saling berpandang
Baru saja Axcel merasa lega, mengetahui masalah Adnessa dan Revan waktu itu hanya sebuah kesalahpahaman. Kini justru sudah muncul masalah baru lagi yang menghantam hubungannya dengan Adnessa. 'Apa Tuhan benar-benar tidak merestui kami?' batin Axcel merasa gusar, bimbang antara nama baik keluarga atau perasaannya.'Tidak, saya tidak bisa seperti ini!' batin Axcel, menguatkan dirinya. Di tengah langkahnya bersama Erika menuju panggung pertunangan, tiba-tiba Axcel menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Adnessa yang sedari tadi masih berdiri di tempatnya, membuat Erika bertanya-tanya."Ada apa, Xel?" tanya Erika dengan kening berkerut, tangannya tidak lepas dari lengan Axcel.Tanpa menjawab pertanyaan Erika, Axcel melepaskan dengan kasar tangan Erika yang berada di lengannya, sebelum kembali melangkah menghampiri Adnessa."Ness ... Apa kamu mau berjuang bersama saya?!" tanya Axcel yang sangat mengejutkan, ketika ia sudah berdiri tepat di depan AdnessaMata sayu Adnessa seketika membu
'Sahabat?!' Revan hanya bisa menyembunyikan kegetiran hatinya mendengar Adnessa yang memanggilnya sebagai sahabat. Namun, ia masih bersyukur, setidaknya Adnessa menganggap kehadirannya. 'Suatu saat nanti ... Perlahan, saya akan membuat kamu menintai saya, Ness!' Batin Revan, menatap intens wajah Adnessa yang bersandar di pundaknya. Wajah cantik dengan rambut yang terlihat sedikit berantakkan, menambah kesan menggemaskan untuk Adnessa."Ma-maaf, pak," Adnessa segera menegakkan tubuhnya, sadar jika apa yang baru saja ia lakukan itu sangat keterlaluan. 'Wallah-wallah, gawat,' batin Adnessa, dengan kening mengernyit, gadis itu melihat baju Revan yang terlihat sedikit berantakkan dan lusuh karena air matanya. "Kenapa?!" tanya Revan yang justru terlihat khawatir melihat perubahan sikap Adnessa yang tiba-tiba.Adnessa menelan ludahnya dengan kasar, "I-itu ... " Adnessa justru menyalah artikan tatapan Revan yang penuh kekhawatiran itu, ia mengira Revan marah dengannya. 'Dasar bodoh ... Dapat
"Lalu, apa aku harus menjadi seorang simpanan?!" Kalimat itu terus berputar di otak Axcel, menghantamnya seperti palu godam."Bukan itu maksud saya, Ness," Axcel menggapai tangan Adnessa, mencoba menyalurkan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Namun, lagi-lagi Adnessa melepaskan genggaman itu, seolah sentuhan Axcel adalah racun yang membakar kulitnya."Apa kamu sudah tidak menginginkan saya lagi?!" tanya Axcel, suaranya bergetar antara amarah dan putus asa. Keningnya berkerut penuh pertanyaan, matanya menuntut jawaban yang tak kunjung datang. Axcel memaksa Adnessa agar menatap ke arahnya, ia memegang kedua pundak Adnessa, mengguncangnya perlahan, agar gadis itu mau menatap ke arahnya, melihat luka yang menganga di hatinya.Adnessa tersenyum, senyum yang lebih mirip topeng untuk menyembunyikan badai yang bergemuruh di dalam hatinya. "Jangan bercanda Axcel, bukannya semua sudah jelas?!" Sebenarnya, di sini Adnessa mencoba untuk menerima semuanya, menerima kenyataan bahwa pria yang i
Setelah malam itu, malam di mana Adnessa dan Axcel memutuskan untuk berpisah dan melangkah di jalan masing-masing, takdir mempertemukan mereka kembali di pagi buta dengan perasaan dan situasi yang canggung.Brughhh.Jantung Adnessa berdesir hebat ketika dirinya dan Axcel tidak sengaja bertemu. Mungkin karena Adnessa yang kurang berkonsentrasi atau bagaimana, entah bagaimana awalnya tiba-tiba ia sudah berbaring di atas lantai dengan cahaya temaram itu, dengan Axcel yang berada di bawahnya. Ya, Adnessa tidak sengaja bertabrakan dengan Axcel hingga terjatuh dengan posisi yang sangat canggung. Tubuh mereka bersentuhan, napas mereka saling beradu, dan jantung mereka berdebar kencang."Ehemmm, maaf!" deham Adnessa, berusaha menutupi kegugupannya. Jantungnya berdesir hebat ketika tatapan matanya dan Axcel beradu. Mata mereka bertemu, saling mencari, seolah ingin menemukan jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab. Adnessa merasakan sentuhan tangan Axcel di punggungnya, membuatnya semakin s
"Lo sedang ada masalah, Ness?" tanya Fransisca yang sedari tadi memperhatikan tingkah Adnessa. Di sepanjang langkah mereka, Adnessa yang biasanya terlihat tenang dan ceria itu, hari ini terlihat sedikit berbeda, membuat Fransisca sedikit penasaran."Hah?!" sahut Adnessa, ia menoleh sekilas ke arah Fransisca, tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Apa aku cerita saja, ya? batinnya bimbang. Apakah harus menceritakan kegalauannya tentang hubungannya dengan Axcel atau tidak? Tidak cerita, maka dirinya sendiri yang akan gila, tapi kalau bercerita... Bagaimana pendapat sahabatnya nanti? Seberapa terkejutkah mereka mendengar fakta ini nanti? Di tengah kebimbangannya, tiba-tiba Laluna datang dan mengejutkannya."DUARRRR," suara Laluna yang menggelegar dan tiba-tiba itu, membuat Adnessa dan Fransisca terkejut dalam keheningannya. "Ubur-ubur ikan lele, cemberut aja lee?!" ucap Laluna dengan tawa yang mengembang, hingga membuat matanya menyipit karena senyum itu."Astaga... Gak
"Maaf, Pak Axcel sedang tidak bisa diganggu!" ucap Galih dengan nada tegas, berusaha menghalangi langkah Erika yang hendak menerobos masuk ke ruang kerja Axcel.Walaupun telah dihadang oleh Galih dan Fiona, sekretaris Axcel, rupanya Erika tetap saja membuat masalah dengan memaksa untuk masuk hingga membuat kegaduhan. Ia tidak peduli dengan apa yang dikatakan Galih dan Fiona, ia hanya ingin bertemu dengan Axcel, meskipun ia tahu Axcel tidak ingin bertemu dengannya."Kalian..." dengan mata berkilat amarah, Erika menunjuk ke arah Galih dan Fiona bergantian, seolah mengintimidasi mereka. Namun, sedikit pun mereka tidak takut dengan intimidasi itu. Mereka sudah terbiasa menghadapi orang-orang seperti Erika, orang-orang yang merasa berkuasa dan tidak mau menerima penolakan."Maaf, Anda mengganggu kenyamanan di sini. Anda ingin pergi sendiri atau kami panggilkan satpam?" ucap Fiona dengan ramah, nada suaranya terdengar jelas jika ia menahan amarah karena ulah Erika. Ia berusaha untuk tetap t
Baru saja Adnessa memasuki rumah, ia sudah di suguhi dengan suasaa hening dan mencekam. Terlihat, ayah, ibu, Axcel, dan Erika duduk di sofa yang berada di ruangan itu dengan wajah serius, entah hal serius apa yang mereka bicarakan? Namun, sedikit pun ia tidak tertarik untuk mengetahuinya."Sore, Ma, Pa!" sapanya ketika melewati mereka. Dengan tatapan setengah kosong, mungkin saja kalut dengan masalahnya. Adnessa melangkahkan kakinya menaiki anak tangga."Ada apa dengannya, Pa?!" tanya Margaretha, cemas dengan sikap Adnessa yang tidak seperti biasanya. Terlihat sekali jika gadis itu memiliki banyak masalah.Jhonatan menggeleng pelan. Sama seperti istrinya, ia juga penasaran kenapa putrinya bersikap aneh. "Nessa?!" panggil Jhonatan.Adnessa yang telah berada di pertengahan anak tangga menghentikan langkahnya, mendengar suara Jhonatan memanggilnya. "Iya. Ada apa, Pa?!""Kemari, ada yang perlu Papa bicarakan denganmu!" ucap Jhonatan.'Apa yang ingin Papa katakan?!' batinnya bertanya-tanya
Menurutnya, ini adalah hari terburuk untuknya. Konsekuensi ini, sebenarnya ia tidak akan pernah mempermasalahkan, karena biar bagaimanapun anak ini hadir atas perbuatannya yang dengan sadar menjalin hubungan terlarang dengan Axcel, kakak tirinya. Namun, kenapa ini harus terjadi sekarang? Disaat semua sudah berakhir. Disaat semua telah memilih jalannya masing-masing.'Apa yang akan aku katakan kepada Pak Revan nanti?!' batinnya gelisah. Sedikit pun, ia tidak memiliki nyali untuk menghadapi Revan. Apalagi melihat sikap pria itu yang saat ini berubah menjadi murung setelah mengetahui kehamilannya. Bagaimana tidak, pria mana yang tidak akan terkejut melihat kekasihnya hamil? Apalagi, Revan tidak pernah sedikit pun menyentuh Adnessa."Emmm, P-Pak? Anda duluan saja! Biar nanti saya pulang naik taksi saja," ucap Adnessa, ketika mereka telah berada di depan gedung rumah sakit.Walaupun setelah mengetahui kebenarannya tadi Revan tidak mengatakan hal apa pun, tapi ia sudah bisa menebak isi hati
Revan yang melihat perubahan dari Adnessa membuatnya khawatir. Ia mengikuti Adnessa yang berjalan tergesa-gesa menuju toilet dengan sebelah tangan membekap mulutnya, seolah menahan gejolak dari dalam perutnya.Ada apa dengannya? Segudang asumsi mengenai Adnessa,tiba-tiba muncul dikepalanya. 'Apa mungkin dia...' batinnya menggantung. Revan menggelengkan kepalanya, berusaha menolak kenyataan terburuk yang muncul di pikirannya. Tapi gejala yang muncul tiba-tiba ini ... Mungkinkah Adnessa tengah hamil? Revan berdiri di samping pintu toilet, menyandarkan tubuhnya di dinding yang berada tepat di samping pintu, menunggu Adnessa dengan setia. Kehadirannya di sana, menyita perhatian semua orang yang berlalu-lalang menuju toilet dengan ekspresi yang berbeda-beda. Namun, Revan tak menghiraukannya, di dalam otaknya hanya dipenuhi dengan Adnessa. Membuatnya bersikap acuh dengan kondisi di sekitar."Astaga. Pak Revan kenapa berdiri di sini?!" Adnessa yang baru saja keluar dari dalam toilet terkeju
Pada akhirnya, hari itu Adnessa, Revan, dan Aldynata memutuskan untuk makan sore, pengganti makan siang yang telah terlewatkan. Dua pria dengan status tidak biasa itu terlihat dengan santai mengikuti kemauan Adnessa.Perjalanan menuju restoran sushi seperti yang diminta oleh Adnessa hanya memerlukan waktu beberapa menit dari rumah sakit di mana Adnessa diperiksa tadi. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti. Lagi-lagi Revan dan Aldynata berlomba-lomba untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Dy, sebaiknya lo tidak perlu repot-repot! Adnessa itu cewek gue, gue yang lebih berhak untuk memperhatikannya!" ucap Revan to the point, malas untuk berdebat dengan sahabatnya itu dan membuat Adnessa kembali tidak nyaman.Aldynata yang tadinya sudah mengulurkan tangan bermaksud untuk membukakan pintu untuk Adnessa akhirnya mengurungkan niatnya, 'Iya juga, tapi... Kenapa gue jadi sepeduli ini dengan Adnessa?!' batinnya yang baru saja menyadari hal aneh dalam dirinya.Kali ini, tidak ada perdebat
Sore itu, Axcel dan Erika yang sudah berencana fitting gaun pernikahan, akhirnya membatalkan janji itu setelah sebuah kejadian di mana Erika tiba-tiba pingsan. Walaupun Axcel tidak menyukai Erika, namun ia sedikit merasa cemas dan khawatir. Akhirnya tanpa berfikir panjang, Axcel segera membawa Erika ke rumah sakit.Axcel menunggu dokter dengan cemas, ia duduk seorang diri di sebuah kursi panjang yang berada di sebrang pintu UGD. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang perawatan. Axcel segera menghampiri dokter, "Bagaimana keadaan Erika, Dok?" tanyanya cemas, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.Dokter tersenyum tipis, "Nyonya baik-baik saja. Ia hanya mengalami kelelahan dan tekanan darahnya sedikit rendah. Ia perlu istirahat yang cukup."Axcel menghela napas lega, "Syukurlah. Terima kasih, Dok.""Sama-sama," jawab dokter. "Namun, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan. Sebagai calon ayah, seharusnya anda harus—""Sebentar, Dok," ucap Ax
"Adnessa?!" Revan sangat terkejut. Suaranya terdengar cukup keras melihat Adnessa yang terjatuh setelah bertabrakan dengan seseorang. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, khawatir dengan keadaan Adnessa.Begitu pun dengan Aldynata. Walaupun tidak seheboh Revan, ia juga khawatir dengan keadaan Adnessa. Matanya menatap Adnessa dengan tatapan cemas, dan ia tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak segera berlari ke arah Adnessa. Memastikan jika gadis itu baik-baik saja.Melihat kejadian itu, Aldynata dan Revan segera berlari menghampiri Adnessa. Ingin memastikan keadaan Adnessa. Mereka berdua sama-sama khawatir dan ingin melindungi Adnessa.Sedangkan Adnessa, gadis itu masih terdiam melihat kehadiran Erika di sana. Ternyata, gadis yang bertabrakan dengannya tadi adalah Erika. Adnessa merasa terkejut dan tidak nyaman dengan kehadiran Erika.Namun, semua rasa ketidanyamananya teraihkan setelah melihat Axcel juga berada disana. Entah dari mana, pria itu berasal yang pasti, Axcel melang
Setelah perdebatan panjang antara Revan dan Aldynata yang berebut untuk mengajak Adnessa makan siang. Adnessa yang tidak sanggup melihat betapa hebohnya dua pria dewasa di depannya ini, akhirnya memutuskan untuk menerima ajakan mereka berdua. Ia merasa pusing dengan perdebatan mereka, dan ia ingin segera makan.Kehebohan Revan dan juga Aldynata ternyata tidak hanya sampai di situ. Ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di basement salah satu pusat perbelanjaan dan pertokoan elit di kota itu. CEO dan dosen tampan itu kembali berebut untuk membukakan pintu untuk Adnessa."Biar saya saja, Dy," ucap Revan, suaranya terdengar tegas. Ia merasa sebagai orang yang lebih dekat dengan Adnessa, lebih tepatnya sebagai kekasih gadis itu, ia merasa lebih pantas membukakan pintu untuk Adnessa."Tidak, saya yang akan membukakan pintu untuknya," balas Aldynata, suaranya terdengar dingin. Ia merasa sebagai CEO perusahaan tempat Adnessa magang, ia berhak memperlakukannya dengan baik."Ckkkk." Adness
Debaran yang tadinya sudah mulai normal, kembali tidak beraturan setelah mendengar suara Aldynata yang menghentikannya. Apa aku membuat kesalahan? Batin Adnessa bimbang."Makan dengan saya," ucap Aldynata seolah tidak menerima penolakan, suaranya terdengar datar namun tegas, "setelah itu, kamu baru boleh pergi!"Adnessa terdiam, menatap Aldynata dengan tatapan bingung. Ia merasa aneh dengan permintaan Aldynata. Mengapa CEO perusahaan sebesar Wijaya Group mengajaknya makan siang?"Tapi, Pak..." Adnessa mencoba menolak dengan halus, suaranya terdengar ragu. Ia merasa tidak nyaman dengan ajakan Aldynata."Tidak ada tapi-tapian," potong Aldynata, suaranya terdengar dingin. "Saya sudah memutuskan, kamu akan makan siang dengan saya."Adnessa menelan ludah, merasa terintimidasi dengan sikap Aldynata. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman."Kalau kamu bersedia, maka saya akan memberi satu nilai plus. Bukannya itu sangat baik? Cukup membantu penila
"Denger-denger, hari ini penguji yang datang adalah CEO Wijaya Group sendiri!" ucap Laluna, matanya membulat penuh antusias, seolah sedang membicarakan bintang film terkenal."Yang benar?" tanya Fransisca tidak percaya, alisnya terangkat, menandakan keraguan yang besar."Beneran, anak-anak yang mendaftar di perusahaan itu banyak yang cabut. Katanya CEO itu terkenal galak!" Laluna mengangguk-angguk, memperkuat ucapannya dengan nada meyakinkan."Tapi katanya CEO-nya muda, ya?" tanya Fransisca lagi, penasaran, membayangkan sosok CEO muda yang karismatik.Laluna mengangguk, "Hmmm.""Yang penting ganteng, gak, sih?!" sahut Fransisca yang justru menjawab dengan sebuah candaan, tawanya terdengar renyah, mencairkan suasana tegang."Biar pun ganteng, tapi... Mau dibawa ke mana-mana tetep gantengan Pak Revan!" sahut Laluna, matanya berbinar-binar, membayangkan ketampanan dosen favorit mereka."Kalian sedang ngomongin apa?!" tanya Adnessa yang baru saja menyusul langkah sahabatnya, akibat Revan