*Happy Reading*
Demi apa?!Aku kira, Pak Vino akan membawaku ke tempat penting, atau gimana gitu. Kan, katanya mau menyelesaikan masalah kami. Yee kan?Seenggaknya, aku kira akan di bawa ke sebuah kuburan, bertuliskan nama Kak Diana. Orang yang memang sedang kami bahas sedari tadi. Ya ... seperti di film dan novel yang pernah aku baca.Nyatanya, dia malah membawaku ke tempat yang ... ugh! Nih, duda emang minta aku kepangin ususnya."Yakin kamu gak mau, ini enak, loh."Selain itu, bisa-bisanya dia menawariku selugas itu. Tanpa merasa berdosa sedikit pun. Apa kurang jelas muka jutekku?"Gak usah banyak bacot, deh! Udah abisin sana aja buruan. Sebelum saya lempar tuh mangkok ke jalanan," sahutku ketus. Tak menutupi sedikitpun kekesalanku.Gimana gak kesel. Kalian tahu gak aku dibawanya ke mana? Ke WARKOP pinggir jalan.Iya, betul! Alih-alih membawaku ke resto mewah dan privasi. Si duda sableng ini malah*Happy Monday*"Sebenarnya Tita itu juga keponakan saya."Perlu beberapa detik untukku bisa mencerna ucapan si Papah. Entah karena otakku terlalu lemot, atau memang gaya si papah menjelaskan yang berbelit-belit. Menurut kalian, bagaimana?"Lalu, kenapa Tita malah di kenal sebagai anak Bapak oleh semua orang?" Akhirnya, aku menemukan fokusku lagi. "Hanya itu satu-satunya cara. Agar Tita bisa masuk ke dalam keluarga kami dan memakai nama Alexander.""Maksudnya?" tanya itu pun meluncur cepat. Seiring rasa penasaran yang masih menyelimuti. Bukannya langsung menjawab. Pak Vino malah bernapas dalam dan menatap aku lamat-lamat. "Devia. Kakak kamu, Diana itu selingkuhan Kak Alvin. Mereka menjalin hubungan di saat Kakak saya sudah punya istri."Aku tahu. Sangat tahu. Itulah kenapa, awalnya aku marah dengan Kakak dan berusaha menegur agar tidak melanjutkan perasaan gilanya pada bos di kantornya. Tetapi, karen
*Happy Reading*"Apa?!" Mendengar nyawa kakakku terancam. Seketika emosiku pun tersulut kembali. Wanita brengsek!Medusa!Mak lampir!Setan!Sialan!Dan berbagai titel lainnya, yang menggambarkan wanita jahat bermunculan di otakku, seiring emosi yang kembali naik. Jika kalian ingin menambahkan. Silahkan! Aku persilahkan dengan senang hati."Jadi wanita itu belum kapok? Kenapa? Memangnya Pak Aksa tidak memberi hukuman waktu itu, agar mereka jera?" Selanjutkan, aku pun mencecar Pak Vino. Mengejar penjelasan lebih lanjut. "Tentu saja sudah." Pak Vino menjawab cepat demi menenangkan aku. "Papa mencabut jabatan Kak Alvin di kantor pusat, dan mengirimnya ke cabang perusahaan kecil di luar kota. Itulah kenapa, Diana bisa menjalani kehamilannya lebih tenang bersama saya dan Joyce di Luar Negeri." Pak Vino menambahkan. "Lalu, kenapa mereka bisa berulah lagi? Itu berarti hukuman da
*Happy Reading*Jika aku menuruti ego. Sebenarnya aku ingin sekali pergi dan menghilang dari sana. Kemana saja, terserah. Yang penting aku tidak bisa bertemu Pak Vino atau pun keluarganya. Kalau kata bekennya sih, Healing dulu. Nenangin otak dan perasaan yang benar-benar kacau sekali saat ini. Aku benar-benar butuh waktu menerima semua kejutan ini.Sayangnya, realita memang kadang tidak sesuai ekspektasi, kan? Meski aku sangat ingin lari dan menghilang saat itu juga. Keinginanku itu tidak didukung oleh saldo di ATM. Bukan aku semiskin itu. Tetapi, aku tuh masih ada beberapa kontrak yang harus aku selesaikan. Jika aku menghilang dan mangkir dari kerjaanku. Aku akan dituduh melanggar kontrak dan tentunya akan kena finalty. Kalian harus tahu, Finalty dari sebuah pelanggaran itu tidak sedikit. Aku bukan hanya akan miskin mendadak. Tapi juga kayaknya butuh jual ginjal dan hati demi menutupinya Jadi ... berhubung aku belum kaya d
*Happy Reading*Dengan kondisi wajah yang seperti ini. Tentu saja aku tidak bisa melakukan pemotretan. Meski kadang ada istilah the power of make up sebagai penyelamat. Tetapi kondisiku saat ini sepertinya tidak bisa mengandalkan hal itu. Selain karena wajah yang semrawut gak jelas. Kondisi moodku juga perlu diperhatikan. Bukan apa-apa, aku cuma takut kurang maksimal saja nanti saat bekerja. Dengan terpaksa, akhirnya aku pun menelepon Lika kembali dan memintanya membatalkan semua jadwal kerjaku hari ini. Lagi. Namun, yang tidak aku sangka adalah, ternyata si papah lebih gercep dan sudah melakukannya untukku tadi pagi saat aku tertidur. "Jadi dia udah melakukannya? Lo yang minta apa gimana?" Aku mengejar sebuah penjelasan pada Lika. "Tadinya gue nelpon dia cuma mau nanyain lo doang. Soalnya, orang yang terakhir gue tahu sama lo kan, dia. Makanya gue mau nanya, lo ada sama dia gak? Dia jawab iya, dan minta gue buat batalin jad
*Happy Reading*Duda Sableng [Devia kamu jadi ke sini? Kata salah satu pelayan di sana, kamu pergi sama asisten kamu sekitar satu jam yang lalu. Kenapa belum sampai? Macet? Atau ada masalah?]Aku hanya melirik dengan malas chat yang baru masuk tersebut, tanpa berniat membalasnya sama sekali. Menghela napas panjang satu kali, aku mengembalikan pandangan pada luar jendela apartemen yang sudah memasuki sore. Saat ini, aku telah kembali ke apartemenku sendiri, setelah meminta Lika datang menjemput. Setelah itu, menyendiri di kamar mencerna semuanya lebih baik lagi.Pikiran dan hatiku masih sangat kacau sekali. Tidak tahu harus berbuat apa setelah mengetahui beberapa kenyataan baru dari Diary kak Diana. Selama ini, aku kira aku sudah mandiri dan tidak butuh bantuan orang lain lagi untuk sukses di bidang yang sedang aku geluti. Ternyata aku terlalu sombong selama ini. Nyatanya? Aku tidak lebih dari bidak catur yang bergerak oleh se
*Happy Reading*Mendengkus kesal, aku pun segera menaikan bahu dengan kasar, demi menjatuhkan kepala si papah yang masih seenaknya nemplok di sana.Dikata aku tembok apa, pake disenderin segala. Aneh! Setahu aku, yang biasa butuh sandaran itu cewek, deh. Dan cowok yang jadi sandarannya. Kok, ini malah kebalik. "Bapak bisa serius dikit, gak? Guyon mulu kerjaannya." "Loh, saya kan dari awal sudah serius, kok. Kamunya aja yang gak percaya terus."Haaahhh .... dia mulai lagi. Susah banget sih ngobrol tanpa adu urat sama si papah. Musti aja kerutanku pasti nambah kalau ngomong sama dia mah. "Bukan itu maksud saya.""Lalu?""Ya ... maksud saya. Bisa gak Bapak jangan lebay kayak gini tiap ketemu saya. Manja banget lagi kek kucing mageran. Kalah dah Tita.""Itu sih tergantung kamu."Eh, kok jadi aku? Maksudnya apa?"Kalau kamu mau bermanja sama saya. Ya, saya gak bakal manja sama kamu. Saya
*Happy Reading*"Nggak! Pokoknya gak boleh! Papa harus tetap di sini!" Tita berseru lantang, tak mau melepas tangan ayahnya. Sedari tadi, bocah ini memang langsung mengamuk saat melihat ayahnya di tempeli wanita ulat bulu itu--eh, maksudku wanita bule yang entah berasal dari mana. Siapa tadi namanya? Jolyn kalau tidak salah, kan? Sepupunya Joystick atau Kindejoy kali, ya?"Sebentar saja, Sayang. Papa cuma mau bicara sama Tante Jolyn di luar ruangan doang, kok. Gak jauh-jauh." Si papah mencoba membujuk Tita dengan lembut. Juga berusaha melepaskan tangan satunya lagi yang masih di gelayuti seenaknya oleh si Joystick. Eh, Jolyn."Nggak boleh!" Tita menggeleng cepat. Tetap tak memberikan ijin. "Sayang, ayolah. Sebentar saja." Pak Vino masih berusaha. "No! Pokoknya Papa gak boleh ke mana-mana!"Aku baru tahu loh, ternyata bocah ini bisa sangat keras kepala sekali. Kalau kayak gini, dia mirip banget sama Kak Diana
*Happy Reading*Kedua sudut bibir si papah langsung naik tinggi mendengar ucapanku. Wajahnya bersinar seketika, mengalahkan Matahari yang sedang discount. Aku saja sampai silau dibuatnya. Dengan jumawa pria itu lalu makin mengeratkan pelukannya pada tubuhku, dan berkata dengan suara merdu menenangkan aku. "Bukan siapa-siapa kok, Sayang. Cuma Fans berat, tapi lebih ke sasaeng. Abaikan saja, okeh!"Masok Pak Eko!"Tapi dia ngatain aku jalang, Ayang." Meski mulai mual dengan kelebayan si papah. Aku pun terpaksa melanjutkan drama ini. Semuanya demi Tita!"Gak usah didengar, Ayang. Namanya juga orang sirik. Sukanya teriak jalang ke semua orang, padahal sendirinya lebih pro.""Vino?!" Lalu seruan murka pun terdengar dari Jolyn. Setelah sebelumnya hanya bisa megap-megap kek ikan koi keabisan aer. "Kamu .... Kamu ...." Meski begitu, Jolyn tetap tak bisa berkata-kata setelahnya. Mungkin saja dia masih syok dengan kead
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum