Alvaro mematung. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak menatap Saskia.Karena Alvaro tidak mengatakan sesuatu lagi, maka Saskia memberanikan diri untuk mendongak.Keduanya bertukar pandang dengan pikiran masing-masing."Aku mengantuk, aku mau tidur," kata Alvaro kemudian."Baik. Aku akan mematikan lampu." Saskia berdiri lalu mematikan lampu utama yang terang benderang dan menggantinya dengan lampu tidur. Wanita itu bergelung di sofa panjang yang ada di dekat ranjang pasien. Saskia menyelimuti tubuhnya, lalu berusaha memejamkan mata. Diintipnya Alvaro, ingin tahu apa yang dilakukan lelaki itu.Dalam cahaya remang-remang, Saskia melihat Alvaro masih dalam posisi setengah duduk. Dia tidak berbaring lurus untuk mengurangi pembengkakan dan memperparah cedera hidung yang dialaminya.Alvaro menatap langit-langit kamar sambil tersenyum getir. Dia tersenyum getir pada takdir yang harus dijalaninya. Nama yang disebut Saskia tadi adalah ... nama adik yang telah dicarinya selama sekian tahun.
"Sebelum menikah dengan Maureen, Djendro mempunyai kekasih bernama Larasati. Larasati adalah anak buruh cuci di rumah Baskoro. Baskoro ini mempunyai pabrik pengolahan kayu yang dirintis oleh Hadiwinoto. Hubungan mereka ditentang keras oleh Baskoro dan istrinya. Lalu pabrik itu hampir bangkrut. Baskoro menikahkan Djendro dengan Maureen untuk menyelamatkan pabriknya. Djendro menerima perjodohan itu. Djendro tak tega jika sekian ribu karyawan yang mencari nafkah di pabriknya harus kehilangan sumber penghasilan. Djendro tak sanggup membayangkan wajah anak-anak kelaparan jika orangtuanya sampai tidak bekerja lagi. Itu yang dikatakannya kepadaku saat aku bertanya kenapa dia mau menikahi Maureen. Pada tahun keenam pernikahan mereka, Maureen menerima seorang wanita untuk menjadi pengasuhmu. Saat itu kamu baru berusia empat tahun. Maureen yang tak tahu apa-apa mengenai masa lalu Djendro sama sekali tidak pernah mengira kalau wanita itu adalah mantan pacar Djendro. Ya, dia Larasati. Larasat
Saskia memesan sepiring nasi uduk dengan telur dadar dan sambal kacang, namun tidak menyentuhnya. Selera makannya hilang entah kemana.Dia duduk di pinggir, dekat dengan jendela yang menghadap ke taman rumah sakit. Kantin yang terletak di lantai dasar itu mempunyai menu yang cukup lengkap dan rasanya juga lumayan enak. Kadang menu di kantin rumah sakit rasanya seperti hati yang terluka, sepahit apapun harus diterima.'Kenapa Ibu memukulku? Apa Ibu sangat marah karena aku pergi bersama Andry? Aku akan pulang dan meminta maaf,' batin Saskia sambil melamun." Permisi Mbak." Saskia mendongak, di sebelah mejanya berdiri seorang pria mengenakan kaos dan celana jeans. "Iya ?" sahut Saskia bingung."Maaf, apa kursi ini kosong? Kursi lain terisi," sahut pria itu.Saskia mengedarkan pandang, baru sadar kalau kantin itu penuh. Serombongan anak sekolah ramai memakan soto. Sepertinya mereka habis menjenguk atau mengantar temannya. Rombongan anak sekolah itu menghabiskan sebagian besar Kursi di k
"Haaahh?" Saskia terperangah. Baru kali ini Alvaro meminta hal seperti itu di dalam mobil. "Buka sendiri atau aku yang membukanya," kata Alvaro dengan nada datar yang dingin. Saskia merasa seperti berhadapan dengan ular phyton yang tenang namun siap mematuk mangsanya. "B ... baik." Dengan tangan gemetar Saskia meloloskan celananya melewati kedua kaki jenjangnya. Wanita itu tak berani lagi untuk sekedar melirik pada wajah setampan dewa di sebelahnya.Tangan kiri Alvaro menyibak rok yang dipakai Saskia lalu mulai beraksi. Saskia menahan napas namun tak tahan lagi. Desahannya lolos dari bibirnya, membuat gerakan tangan Alvaro semakin cepat.Dua kali Saskia mencapai pelepasan sepanjang perjalanan menuju ke rumah mereka. Alvaro memarkirkan mobil lalu membuka seat belt. Dilihatnya Saskia tak bergerak karena lemas setelah pelepasannya. Alvaro keluar dari mobil dan membuka pintu di sisi Saskia.Alvaro melepas seat belt istrinya. Dia meraih celana dalam yang teronggok di karpet mobil lalu me
Saskia dan Bude Darsi duduk di baris ketiga di majelis taklim yang semua pesertanya adalah wanita di sekitar masjid. Karena rumah Alvaro terletak di daerah elit, hanya sedikit nyonya rumah yang mengikuti kajian itu. Peserta kajian lebih banyak merupakan asisten rumah tangga seperti Bude Darsi. Jika pun ada pemilik rumah yang hadir, biasanya mereka yang sudah sepuh.Tema kajian kali itu adalah mengenai nafkah istri. Saskia mendengarkan dengan cermat. Ternyata Alvaro sudah mengaplikasikan bagian itu dengan tepat. Alvaro membedakan uang belanja keperluan rumah tangga dengan nafkah yang diberikannya untuk keperluan pribadi Saskia.Setelah selesai, Saskia dan Bude Darsi berjalan kaki kembali ke istana Alvaro. Mereka memilih berjalan karena jarak ke masjid hanya sekitar 600 meter."Nyonya, ada seorang gadis yang menunggu Nyonya di ruang tamu. Katanya dia ditugaskan oleh Tuan Alvaro untuk menjadi asisten pribadi Nyonya," lapor security yang membukakan pintu gerbang."Oke Pak Rahman. Terimaka
Saskia masih melamun ketika mata yang tertutup itu terbuka perlahan. Maniknya yang kebiruan beradu pandang dengan manik hitam Saskia. Saskia terpaku, wajahnya memerah."Kamu mengamatiku? Apa aku mengeces?" tanya Alvaro sambil menyunggingkan senyum yang membuat jantung Saskia berlompatan."A ... aku ... ingin membicarakan sesuatu kalau Papa tidak sibuk," jawab Saskia terbata. Seketika senyum Alvaro lenyap. Alvaro tahu Saskia pasti ingin membicarakan tentang Andry. Apa Saskia akan memintanya untuk membiarkannya pergi? Jika itu keinginan Saskia, apa yang bisa dilakukan Alvaro untuk menahannya?"Sepertinya hari ini aku bisa pulang cepat. Kita akan bicara nanti malam,,oke? Sekarang aku mau olahraga dulu," kata Alvaro, tangannya mulai meremas dada Saskia yang padat dan kenyal. Alvaro tak ingin memikirkan tentang apa yang akan terjadi nanti malam.Saskia menggigit bibir, bersiap menerima rasa sakit yang selalu mengiringi penyatuan mereka. Entah gaya bercinta aneh apa lagi yang akan diprakte
Ada ketegangan dalam suara Alvaro, membuat Saskia keheranan. Wanita itu lalu melongok dari balik punggung Alvaro. Matanya seketika membola. Andry sedang duduk di kursi makan bersama Orlando yang duduk di kursi kebesarannya. "Al, Sasi. Ayo duduk." Orlando melambaikan tangan kepada Alvaro dan Saskia. Andry menoleh, sesaat wajahnya nampak marah melihat kebersamaan Alvaro dan Saskia, akan tetapi dia berhasil menguasai diri. Di menit berikutnya, raut wajahnya nampak tenang. Lelaki tampan bermanik hitam itu menatap Saskia dengan sorot merindu. Alvaro bergeming. Tubuhnya kaku. Dia tak suka ada yang memandangi istrinya dengan tatapan penuh hasrat seperti yang dilakukan Andry sekarang."Al, dia adikmu. Kenapa kamu hanya berdiri di situ?" Orlando menatap tajam pada Alvaro.Kali ini Saskia ikut membeku. Andry adiknya Alvaro? Di mana kemiripannya? Apa Orlando sedang bercanda?"Ayo duduk." Orlando kembali berkata, kali ini nadanya tegas tak ingin dibantah.Alvaro menghembuskan napas kasar lalu
Malam itu juga Andry pindah ke istana Alvaro. Andry mendapat kamar di seberang kamar Alvaro. Kamar mereka terpisah oleh tangga utama yang besar.Saskia mengantar Orlando ke kamarnya bersama Wiji, lalu masuk ke kamarnya bersama Alvaro. Saskia melihat suaminya sedang duduk di balkon sambil merokok. Wajah tampan yang terlihat dari samping itu membentuk bayangan hidung mancung dengan rahang yang tegas. Matanya menerawang entah kemana. Saskia mendekat perlahan. Sepertinya Alvaro tak menyadari kehadiran Saskia. "Pa ... ," panggilnya lirih.Alvaro bergeming. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri."Pa ...." Saskia memanggil lagi, lebih keras.Alvaro sedikit melompat saking kagetnya."Kau mengagetkanku," gerutu Alvaro. Matanya mengerjap beberapa kali lalu kembali menatap taman yang temaram disinari lampu-lampu berwarna oranye. "Papa mau kutemani?" tanya Saskia, berdiri di ambang pintu balkon kamar."Boleh. Duduk sini." Alvaro mematikan rokoknya. Saskia duduk di sisinya, berbatasan dengan meja
Alvaro berdehem sambil menarik kursi di seberang Andry, lalu duduk."Apa yang kamu lakukan?" tanya Alvaro."Aku menu*uk perut ba*ingan yang mencelakai Saskia. Aku akan bertanggungjawab.""Apa kamu sudah mempertimbangkannya dengan baik? Aku akan mengirim pengacara terhebat di negara ini untuk membebaskanmu.""Aku tak memerlukannya. Pengacaraku akan membereskan semuanya. Kamu tak perlu ikut campur," tolak Andry tanpa ekspresi."Kamu keras kepala," kata Alvaro."Pergi. Jaga Saskia dan keponakanku baik-baik." Kali ini Andry berkata sambil memandang lurus pada manik biru Alvaro.Di bawah lampu ruangan yang tidak terlalu Terang, Alvaro melihat kalau mata Andry memerah dan kedua sudutnya basah. Andry membuang muka, menghindari tatapan Alvaro.Terdengar ketukan di pintu, menadakan waktunya telah habis. Alvaro berdiri, memindai sekali lagi adiknya yang akan mendekam lama di penjara. Andry masih membuang muka ke arah lain."Jaga dirimu baik-baik. Kami akan mengunjungimu," ucap Alvaro.Andry Tak
Alvaro berpikir keras setelah menerima laporan dari Sega. Pria yang mengaku bernama Bramantyo luka parah, apakah karena tertembak olehnya atau anak buahnya? Namun Alvaro tak melihat ceceran darah saat mengejar dua sosok yang melarikan diri ke belakang pondok. Jika Bramantyo tertembak, maka pasti ada jejak darahnya. Hmm ... aneh."Pil, apa kamu melihat orang lain selain kita di sekitar pondok? Drone Sega fokus pada kedatangan polisi dan mencari jalan keluar bagi kita. Dia tidak melihat ada yang lain." Alvaro menegur Pil yang sedang mengemudi."Hanya Tuan dan kedua orang itu yang saya lihat keluar dari pintu belakang. Saya dan anak buah lainnya keluar dari pintu depan. Saya tidak melihat orang lain, Tuan," sahut Pil yakin.Alvaro dan para pengawalnya sampai di rumah menjelang Subuh. Anak buah Pil sudah dilatih untuk tidak membuka mulut jika tertangkap. Mereka akan bilang kalau mereka diajak oleh Ketua geng yang berhasil melarikan diri. Mereka juga tidak membawa identitas diri. Kecuali a
Sega menerbangkan dronenya di ketinggian, di atas mobil yang hampir sampai di pondok.Seorang pria keluar dari dalam mobil. Sega memperbesar dan mengambil foto wajah pria itu. Seperti yang telah diduga Alvaro, wajah pria bernama Bramantyo lah yang muncul. Jadi benar, Bernard dan Bramantyo adalah orang yang sama. Sega segera mengirimkan hasil fotonya kepada Alvaro.Dua orang lelaki menyambut Bernard. Sega mengenalinya salah satunya. Dia Monte, karyawan yang pergi saat terjadi kebakaran di rumah Alvaro yang lama. Rupanya Monte lah pengkhianat yang membiarkan Bernard masuk ke dalam rumah!Sega kembali mengambil foto dan mengirimkannya pada Alvaro. Sega melihat lelaki yang bersama Bernard dan Monte menatap ke arah dronenya yang terbang di kegelapan malam. Sega segera meninggikan dronenya dan menyembunyikannnya di balik pepohonan sambil berharap agar lelaki yang tampak waspada itu tidak curiga. Jika musuh tahu kedatangan mereka, akan semakin sulit bagi Alvaro untuk meraih kemenangan karena
Atas permintaan Saskia, Alvaro mengantar Saskia melihat bayi-bayi mereka yang masih berada di inkubator. Alvaro mendorong kursi roda Saskia sampai di depan jendela besar ruang PICU, lalu berdiri di samping sang istri sambil berulang kali meliriknya. Alvaro sangat penasaran dengan reaksi Saskia.Saskia menatap kedua bayinya dengan mimik yang berubah-ubah. Kadang dia mengerutkan kening, kadang wajahnya kosong, kadang pula menggelengkan kepala, di waktu lain dia menggigit bibirnya sendiri.Melihat itu, diam-diam Alvaro menghembuskan napas panjang. Sepertinya Saskia belum mengingat Mimi dan Mimo."Ma, kita kembali ke kamar, yuk. Sebentar lagi jadwal visit dokter." Alvaro mengingatkan."Pa ... aku ... aku ... tak bisa mengingat anak-anak. Kurasa aku gila." Saskia mendongak kepada Alvaro. Air mata menganak sungai di pipinya yang pucat.Alvaro berjongkok di hadapan Saskia, lalu menggenggam kedua tangan istrinya."Mama hanya perlu istirahat. Jangan memaksakan diri, oke?" kata Alvaro lembut. S
"Sasi ... Sayang, kembalilah. Aku ingin membesarkan anak-anak kita bersama," ucap Alvaro sambil membelai rambut tebal Saskia. Suaranya serak dan air matanya tak bisa ditahannya lagi. Alvaro membiarkan air mata itu mengalir. Dia sudah tak peduli lagi pada rasa malu karena menangis. Dia tak pernah membiarkan orang lain melihatnya menangis, tetapi saat ini dia tak peduli. Bahkan kehadiran keluarga Saskia di belakangnya pun tak membuatnya berhenti menangisi sang istri.Ibunya Saskia dan Hendra berdiri diam, keduanya juga sibuk dengan air mata masing-masing. Sega dan Miranda sudah pulang karena Sega harus melakukan banyak pekerjaan.Alvaro mengangkat jemari Saskia yang ada dalam genggamannya lalu mengecupnya lama. Mata Alvaro terpejam rapat dan bulir bening terus mengalir di wajah tampannya."Jangan pergi, Sasi. Masih banyak yang ingin aku lakukan bersamamu. Hanya bersamamu aku bisa melakukan banyak hal yang tadinya tidak terpikir olehku. Kamulah Bintang paling terang yang pernah hadir di
Langkah tiga orang pria berderap ramai, menuju ke sebuah kamar yang pintunya tertutup rapat. Dua dari mereka berhenti di depan pintu yang menghalangi, sedangkan satu orang yang paling tampan bergegas masuk ke ruang rawat inap."Sasi!" Teriakan pria itu membangunkan Alvaro yang tertidur kelelahan sambil menggenggam tangan istrinya. Belum sempat Alvaro bangkit, Andry sudah berdiri di sebelahnya. Kedua tangan Andry bertumpu pada sisi ranjang Saskia. Dia memperhatikan Saskia dengan seksama, lalu menoleh pada Alvaro. Wajahnya berang."Apa ini? Kenapa kamu tidak bisa melindunginya?!" maki Andry pada sang kakak yang sudah berdiri dari kursinya.Biasanya Alvaro tidak akan menanggapi nada tinggi seperti itu, namun kali ini kelelahan hatinya sudah sampai pada puncaknya."Kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Berkacalah sebelum menyalahkan orang lain!" bentak Alvaro dingin."Aku?! Aku ada di luar negeri, ribuan kilometer jauhnya! Bagaimana bisa semua ini kesalahanku?" sangkal Andry."Jangan b
"Nak Al? Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini? Kemana cucu-cucuku?!" Teriakan histeris ibunya Saskia menyambut Alvaro yang baru saja memasuki ruang rawat inap Saskia. Wanita paruh baya itu datang bersama Hendra. Dea tidak bisa ikut karena masih punya anak kecil yang tidak boleh masuk ke rumah sakit.Ibunya Saskia berlari menghampiri Alvaro dan mengguncang lengan menantunya dengan kuat. Wajah tuanya shock dengan air mata bercucuran. Hendra segera mendekap ibunya dari belakang, agar tidak terus menyerang Alvaro."Sega, bawa ibu ke ruang sebelah dan ceritakan apa yang terjadi. Aku ingin di sisi Saskia. Nanti kalau Ibu sudah tenang, Ibu boleh kembali kemari." Alvaro menatap ibu mertuanya, memohon pengertian. Alvaro juga sangat lelah, tak ada tenaga untuk menangani mertuanya yang sedang tantrum."Silakan ikut saya dulu," ajak Sega sambil mempersilakan ibunya Saskia dan Hendra ke arah ruangan bersofa. "Anakku ... cucuku ...." Ibunya Saskia berucap lemah sementara Hendra menarik ibunya
Mang Deden memacu mobil secepat mungkin ke rumah sakit. Sega dan Miranda mengekor di belakang.Sesampainya di depan lobby rumah sakit, Alvaro langsung melompat turun dan berlari menuju kamar rawat inap Saskia. Dibukanya pintu kamar dengan tergesa. Pil yang berdiri di dekat pintu menoleh kaget.Kamar Saskia adalah kamar VVIP yang mempunyai ranjang tambahan dan sofa panjang di depan televisi. Warna coklat muda mendominasi ruangan itu. Tempat tidur pasien ada di ruang yang berbeda dengan ruang televisi.Alvaro berbicara dengan Pil sebelum masuk ke ruangan yang berisikan tempat tidur Saskia. Alvaro perlu memberi instruksi."Tuan," sapa Pil sopan. "Bagaimana keadaan Nyonya?" Alvaro bertanya dengan napas memburu. Pil pun menyampaikan yang dikatakan oleh dokter kepadanya."Oke. Kamu boleh pulang dan istirahat. Suruh Pakde Gito dan Bude Darsi kemari, bawakan aku dan Nyonya baju ganti untuk beberapa hari ke depan," perintah Alvaro."Apa Tuan baik-baik saja tanpa pengawal?" Piliang nampak bera
Alvaro mematung. Otaknya mencerna dan menghubungkan semua petunjuk yang berserakan di sekitarnya. Vedrya mencari Andry. Vedrya adalah keturunan dari keluarga terhormat, kecil kemungkinan kalau wanita itu mencari Andry karena masalah uang. Pasti lebih dari itu. Apakah mereka ... sepasang kekasih?"Kita harus menuntaskan semua ini segera. Hidupku tak tenang kalau ini belum selesai, " kata Alvaro kemudian."Ya, aku setuju denganmu," timpal Sega. "Aku akan mengerahkan lebih banyak orang untuk mencari dalang semalam dan China.""Aku punya firasat, lelaki yang mengobrol dengan Saskia semalam adalah Bernard Tumaritis. Dia sudah pulang dari oplas di Korea, 'kan? Kita tak akan mengenalinya jika dia muncul. Ini benar-benar berbahaya. Dia bisa berada di mana saja. Kita harus segera menangkapnya dan meminta pertanggungjawaban," kata Alvaro tegas."Jika itu Bernard, ada satu hal yang tak kumengerti. Kenapa dia mengincar keluargamu? Kenapa dia tidak membuat perhitungan dengan Andry saja?" Sega meng