Ada yang berkalung selendang motif di atas jubah denim dan berdiri dengan tangan di saku celana. Ada yang berkemeja hitam nan longgar dan dengan beraninya mengalungkan papan kumpulan pin di dada. Ada yang mengenakan sapu tangan di leher dan bermain-main dengan banyaknya kaca mata warna-warni. Ada pula yang bergaya dengan simple-nya membalutkan outer oversize di tubuh dan melangkah menjauh. Namun, pandangnya tak lepas dari bidikan kamera."Kupikir ini yang menarik. Anak ini punya karisma sendiri," ucap pria berkonfigurasi persegi pada beberapa karyawan di studionya. Salah satu pelamar yang hasil pemotretannya kini terpampang di layar monitor ekstra lebar dapat dilihat pada CV sederhana atas nama Arjuna Abisatya. Selembar kertas itu kemudian ditaruh terpisah dari kumpulannya. Pertanda bahwa orang-orang dengan ID card studio itu akan mempertimbangkan atau bahkan menyetujui pendapat bosnya. Remote kecil yang ditekan lantas kembali menampilkan foto pelamar pertama. Sang pemilik studio
"Sudah datang? Good, rajin."Sapaan pertama begitu ramah menyapa rungu Juna. Vibes semangat pun menular. Terlebih kala melihat sang bos dan karyawan lainnya sibuk sekaligus nampak enjoy dengan pekerjaan mereka di siang bolong ini. "Duduk dulu sana, atau mau langsung ganti pakaian?" pemimpin studio foto itu menawarkan pilihan. Sebab merasa sedang berada di antah-berantah, asing dengan segala hal, Juna bingung jadinya. Jujur, ia lebih suka langsung diberi satu tugas yang pasti daripada menjatuhkan pilihan pada opsi. Tapi, ya mau bagaimana lagi?"Kalau berganti pakaian?" ucap Juna pelan dan hati-hati. "Oke, di sana. Tanyakan pada mbak-mbak itu. Kita bisa langsung mulai setelah kamu selesai," papar pria berwajah persegi itu.Juna mengangguk setuju. Ketika bosnya kembali sibuk mempersiapkan kamera, si pemuda lantas pergi menuju wanita yang menggantung baju serta celana. Beragam model dan aksesoris yang berkilau, entah mengapa Juna hampir larut ketika menatapnya sambil mendekat. "Permi
Katanya, individu itu punya kuantitas tertentu tentang masa konflik dengan diri sendiri pun atau antara dia dan orang lainnya. Ada perasaan, ada firasat, ada otak yang silih ganti menguasai keputusan manusia. Lantas pada akhirnya semua berakhir dengan perilaku dan juga lisan yang bicara. "Maafin aku."Dua patah kata keluar dari mulut si adam. Bilah daging ranum itu beberapa waktu lalu mendarat di permukaan bibir sang puan. Untuk pertama kalinya, dan tentu membuat Arina susah payah menata suasana hatinya. Belum lagi tingkah Arjuna yang menyeretnya hingga berakhir di petak kecil tempat lelaki itu tinggal. "Perihal yang mana?" tanya Arin. Sama-sama duduk di lantai, kedua tangannya terlipat di depan dada. Pandangannya fokus pada Juna. Meski dari luar nampak tenang, jangan tanya soal lapisan hati terdalam. Diberi pertanyaan sedemikian, Juna yang sejak tadi menunduk lalu melirik kekasihnya. Secepat kilat mengalihkan pandang, ia kesulitan menyusun rumpun kata. "Semuanya," lirihnya. Arin
Aroma wangi sabun menguar kala sebuah pintu dibuka dari dalam. Kamar mandi itu menampilkan sesosok gadis berkaus putih dengan drawstring kelabu kedodoran. Rambut panjangnya yang dicepol tinggi memudahkan tangan sang puan mengusap tengkuk dengan handuk. Ia melangkah menuju sisi lain ranjang di mana kekasihnya tengkurap dengan kepala di pinggiran. "Belum bangun? Ini Senin, kita udah mulai kuliah lagi, Juna."Awal hari, masih terlampau pagi. Kesadaran pria muda itu belum terkumpul seutuhnya. Kebiasaan sekali, bibir mengerucut dan alis menukik tajam, Juna juga memainkan jemari tanpa peduli gerutuan sang pacar. Pikirannya melayang, terbang bersama kumpulan burung menuju langit utara bumi. "Boleh aku pinjam kemeja? Atau kamu mau antar aku pulang dulu?" tanya Arin yang sudah berdiri di depan lemari. Namun, tatapan dan arah tubuhnya masih tetap menghadap Juna. Menggeliat sekaligus mengangkat kepala untuk melihat siapa yang bersuara, Juna pun bergumam, "Ha? Oh..."Tolong pukul kepala Juna,
"Pagi-pagi udah zina mata, sialan banget si lo?!"Kata pertama dari kalimat di atas memang sesuai dengan waktu saat ini. Pagi, saat para mahasiswa ribut mencari ruang dihari pertama kuliah. Beda halnya dengan lelaki berlesung pipi yang sibuk mengumpati sahabat karibnya di koridor lantai dua FISIP. Juna sempat terkejut. Tadinya ia berjalan santai sambil bersiul. Suasana hatinya sangat bagus karena momen manis dengan sang pacar. Tetapi kenangan itu buyar karena suara lantang nan lancang dari orang yang melangkah di belakangnya. "Kok gue?" tanya Juna.Sena sudah di sisi Juna, tapi langkah keduanya melambat karena sambil bicara. "Iyalah, lo yang lakuin sama A—" Belum usai kalimat itu dilisankan secara kencang, mulut Sena sudah dibekap oleh si pemuda bertindik. Agaknya Juna tahu kelanjutan dari dialog Sena. Makanya harus bertindak cepat. "Lo bisa diam nggak sih?" tekannya. Ketika Juna memastikan tidak ada orang yang menguping, Sena mengerjap berulang karena kesulitan bernapas. Si jang
Kring~Dua lelaki berapron bangkit dari posisi duduk. Jika yang datang adalah pelanggan, maka hanya salah seorang yang melayani. Akan tetapi, petang ini yang membunyikan genta di pintu kaca adalah pria dewasa berbalut jas dan bawahan senada. "Kenapa manajer ke sini? Lo bikin masalah?" bisik si jangkung pada rekan kerjanya. "Kagak. Mungkin karena lo kebanyakan ambil libur," balas Morgan. Suaranya amat pelan, sama seperti Juna tadi. "Manajer udah setuju, anjir. Lagian gue nggak pernah ambil cuti dan kemarin juga nggak full 2 pekan gue libur," papar Juna. Dalam hati was-was juga jika sang atasan tiba-tiba mengubah pikiran dan marah padanya. "Hari ini ramai? Kalian capek?" tanya si manajer saat sudah sampai di area pekerja. Rautnya cukup cerah, tiada tanda-tanda amarah. Harusnya itu bisa menenangkan dua pekerja di kafe tersebut. "Kalau ramai, kami tambah semangat kok. Iya, kan, Jun?" Morgan menjawab sambil mengudarakan kepalan tangan. Ujung sikut menyenggol kawannya agar mendukung ge
Kampas rem menekan halus tiap sisi ban. Sepasang roda hitam itu berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat. Satu entitas turun, satu yang lain tetap menunggangi mesin merah itu. "Thanks ya," ucap Yusi. Perempuan bersurai panjang itu berdiri di dekat gerbang. Masih memeluk buku, ia berniat basa-basi dulu. "Mau masuk?"Yang ditanya sibuk menghilangkan penyangga motor sambil meraih kunci untuk diputar kembali. "Udah larut, gue langsung balik," kata Juna sambil mencari raut sobatnya yang ditempa gelap. "Ya udah, sana. Buruan, gue capek dan mau istirahat," seloroh si gadis. Dia mengibaskan tangan, pertanda agar manusia itu segera enyah. "Dih, ngusir..." balas Juna. Takut kena bogem, ia pun segera menghidupkan Redeu. Tahap terakhir tentu saja pergi. Dan tanpa sepengetahuannya, si hawa masih mengamati dalam sunyi. Menyusuri bulevar, Juna tak sendirian. Jalanan masih ramai, meski sudah sepertiga pertama malam. Namanya juga pusat kota, seakan ada kehidupan dengan kesibukan berbeda denga
Malam cukup panjang kali ini. Meski jumlah angka pada jam tetap sama, namun banyaknya kejadianlah yang membuatnya terasa lama. "Baru tahu ada kos senyaman ini. Pasti mahal. Berapa per bulan?" Pemuda bersudut mata runcing itu membuat pola di lantai dengan jejak kakinya. Dia ke sana-kemari melihat segala isi kamar indekos adiknya. Menyentuh tiap barang yang sekiranya menarik perhatian. Sementara sang tuan kamar hanya duduk diam di salah satu sisi sofa. "Mau lo apa sampai datang ke sini?" selidik Juna. Mungkin Awan datang dengan tangan kosong, tetapi Juna tahu betul jika pria itu tak mungkin mengunjunginya dengan kepala kosong. Pasti ada alasan di balik semua ini. Entah yang baik atau buruk. Tanpa disuruh Awan pun menjatuhkan diri di samping adik angkatnya. "Wah, bukannya lo harus menjamu gue sebagai tamu? Segelas minum pun nggak ada?" sarkas si taruna. "Kalau nggak ada yang penting, lo mending pergi. Udah malam," balas Juna sembari bangkit. Ia melepas jaket yang belum dilepas seja
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na