Apa yang menentukan bagaimana rupa hari esok?
Jawabannya adalah usaha hari ini.
Di bawah kanvas putih yang mendukung sinar matahari menghujam ke bumi, di antara semilir angin yang menarikan ranting-ranting minim daun mungil, dan di depan sebuah bangunan penuh estetika yang akrab disebut Fakultas Ilmu Budaya—seorang pemuda menyandarkan punggung pada gerbang.Ujung jemari hingga pergelangan tangan bersembunyi di balik saku blazer hitam. Sedang tapak suku berbalut converse monokrom menendang-nendang debu yang terdiam di atas bidang hingga beterbangan.
Gelagatnya macam tengah menunggu seseorang. Sehubungan dengan opsi kemarin, antara mewujudkan angan atau mendelesinya, Juna memilih yang pertama. Dikira dia akan menyerah begitu saja? Nope. Meski harus melewati dilema sehari semalam, keputusannya adalah kembali mengejar apa yang diinginkan sang hati dan pikiran.
Putaran menit kesekian, usai deru karbondioksida tere
Ketika ada milyaran manusia di dunia, sebanyak itu pula perasaan yang tengah dirasa orang-orang dalam satu waktu saja. Beberapa mungkin jadi sama, yang lainnya tak jarang berbeda. Seperti bintang yang tersebar di angkasa. Ada yang bersinar terang, ada juga yang semakin redup lalu mundur dari tugasnya.Ketika ada bahagia di luar sana, berbeda dengan aura di dalam bilik earth tone itu. Berbaring di atas tempat tidur, gadis dengan rambut panjang tergerai sebagai penguasa ruangan menatap langit-langit kamarnya. Tidak ada objek yang menarik dilihat, pandangan itu juga bukan bertujuan mengamati sesuatu. Sebab kelir maya di otaknya sudah melukiskan apa yang ia lihat tadi siang. Macam gulungan film lawas dengan warna cokelat karat dari tiap gambaran yang diputar.Kafe. Arjuna. Lalu... Arin.Semacam itulah yang tengah diulas oleh ingatan Yusi. Kemudian satu helaan napas perlahan keluar dari kedua pipinya yang menggembung. Ada yang terasa berat di titik terdal
The wait is overThe time is now, so let's do it right - - -Rabu mendung. Gumpalan serat kapas di angkasa berulas warna kelabu. Menurut waktu, hari masih siang, lepas pukul 01:31. Namun langit tiada noktah lazuardi lagi. Mungkin matahari ingin rehat memanasi bumi. Siang ini saja, jangan selamanya. Terlalu bahaya. Katanya ingin bertemu, si Yusi itu, tapi Juna dibuat menunggu di suatu jalan beraspal yang lumayan jauh dengan pusat universitas. Bersandar pada sebatang pohon nan kering, Juna mengamati satu bangunan dominan kuning tempat Yusi menimba ilmu—yang seringkali pula membuat gadis itu kewalahan dengan mata kuliah dan antek-anteknya. Belum ada tanda-tanda presensi seseorang bermanik sipit yang keluar dari gedung. Juna menghela napas seraya melipat kedua tangan di depan dada. Memang benar, tidak ada perjanjian jika jalan itu menjadi tempat pertemuan awal. Tetapi, jam kuliah si adam selesai lebih cepat, ia pikir tidak ada
Satu pijar memanjang di langit-langit sebuah ruangan. Tidak terlalu terang, tidak juga gelap seutuhnya. Yang memenuhi tiap sisi dinding adalah poster beserta stiker dengan ukuran beragam. Yang mendominasi bidang lantai adalah beberapa kursi dan sofa usang. Satu karpet di bawah meja juga sering digunakan penghuninya untuk rebahan.Soal penghuni, ada tujuh anak muda yang mengakui ruang itu sebagai markas mereka. Menghabiskan sepanjang waktu di sana, biasanya sih setelah menyelesaikan segala urusan di luar. Seperti sekarang, pukul lima di perpotongan swastamita. Dari tujuh taruna: dua diantaranya duduk di sofa, dua yang lain mondar-mandir sesukanya, satu manusia sibuk mencari camilan di meja, sementara satu lagi sedang asik dengan ponselnya.Lalu di mana si pemuda ketujuh?Baru datang, dia yang bersurai kecokelatan. Kini menutup kembali daun pintu di ujung ruangan kemudian menaruh tasnya sembarang. Cowok itu pun menyempilkan tubuh di antara temann
To the point. Posisinya, Juna dan Arin tengah melangkah bersama di lajur trotoar arah kepulangan. Yang satu hanya diam membebaskan oksigen bertukar dengan karbondioksida di paru-parunya. Satu yang lain mengunci tangan dalam saku, membiarkan pikiran melayang pada masalah yang sedang menerpa. Memang sumbernya tidak ada di depan mata, namun tetap melekat dalam otak Arjuna. Jika begini, Yusi itu semacam bom waktu. Diamnya adalah memendam. Sekali meledak, runyam sudah status teman yang sekian tahun disandang. Terlebih ketika Juna—si adam yang disukai gadis itu—tengah menemukan tambatan hati, baru memasuki dunia romansa yang sesungguhnya. Mereka kewalahan jadinya. Mencuri pandang pada Juna, berusaha menemukan iris-iris langit malam di antara anak surai hitamnya, Arin ingin tahu apa yang sedang terjadi di dunia kecil pemuda itu. Sedetik, dua detik, dan kekehan pelan keluar dari bibir delima. "Ah... begini ya rasanya nggak dianggap?" c
"Can we... go out?"Perpotongan siang, tidak ada hujan, ada sedikit angin. Tetapi, apakah itu bisa menjadi alasan sang pemuda tiba-tiba mengatakan ucapan sedemikian pada gadis di depannya?"Nggak ada kalimat itu di tugasku, Marven. Kamu serius bantu aku ngerjain tugas, 'kan?"Widya Puraya, letaknya di depan rektorat sekaligus di antara beberapa gedung fakultas. Strategis dan nyaman dikelilingi pepohonan. Meski meranggas, oksigen masih segar dihirup indera penciuman.Pemudi dengan surai diikat satu itu nampak sibuk dengan beberapa buku dan laptop di meja. Sebab terlalu sering bergulat dengan kalimat atau layar monitor yang lama-lama tidak nyaman dilihat, gadis itu sedari tadi mengenakan kacamata bulat. Setiap kali banyak tugas memang begitu—sekadar informasi.Usai membalas ucapan melantur dari sang sahabat, Arin kembali fokus pada tugas-tugas bahasanya. Berjalan tiga semester ia belajar di jurusan Sastra Inggris, menurutnya Marven
Saturday, one of the free days.Ada agenda yang nampaknya penting dilakukan oleh Arjuna. Soalnya, jika tidak mendesak dia pasti masih bergulat di balik selimutnya. Tenggelam bersama mimpi-mimpi sebagai bunga tidurnya. Yang kadang harum semerbak atau menyengat hingga membuat ia terbangun dan mengumpat.Berbalut kemeja biru tua dan kaus putih di dalamnya, kini Juna bersandar pada salah satu pipa besi warna-warni. Beberapa bocah berceloteh dan berlari-lari tak jauh dari pemuda itu. Tidak-tidak, Juna yang menenggelamkan kedua tangan di saku jins itu tidak sedang mengawasi sepupu, keponakan, apalagi 'anak' yang bermain di ujung gang dekat pos satpam. Tapi memang di tempat itulah latar dari janji temunya dengan seseorang.Seseorang yang sekian hari menghilang dari pandang. Sulit Juna hubungi, apalagi ditemui. Namun, semalam ia berhasil mendapat pesan balasan dari si gadis bar-bar yang tengah padam itu. Lantas berakhirlah ia menunggu kehadirannya di t
Sunday, when the week ends.Satu kali delapan belas jam, belum ada pesan balasan. Enam jam lagi bisa-bisa dilaporkan pada polisi. Atas hilangnya seseorang secara tiba-tiba. Mereka menyebutnya... ghosting? Polisi menangani masalah itu tidak?Kurang lebih ketika jarum jam singgah pada angka ananta, senantiasa berbaring di ranjang, si adam bernetra langit malam tengah itu menatap layar ponsel yang bahkan tiada notifikasi apapun—selain berita harian, itupun sudah berlalu.Dalam sebuah aplikasi sosial, ada satu kontak yang tersemat paling atas. Balon pesan terakhir berisi emoji hati. Dan belum ada respon apapun dari si penerima. Jika begini Juna malu jadinya. Juga bimbang, haruskah ia hapus saja?'Arin kemana sih?' batin si alpha.Hidup Juna tidak pernah tenang semenjak mengenal Arina. Serasa naik Colossus yang berputar-putar, padahal menyentuh saja tidak pernah.Ingin menghalau keruhnya pikiran, Juna membuang napas
05:53 pm"Arin, aku—" Juna hendak bicara."Kakak, ayo masuk! Aku capek." Namun, bocah lelaki itu menginterupsi.06:12 pm"Arin..." Kembali si pemuda membuka suara kala telah berada di dalam rumah sang pujaan."Ya?" sahut Arin."Kakak, dimana handuknya?" tanya anak kecil itu ketika melangkah menuju kamar mandi.06:40 pm"Hei, aku—" Percobaan kesekian Juna untuk mengutarakan maksud kedatangan."Kak, aku pakai baju yang mana?" Si putra mahkota meminta saran pada kakak perempuannya.07:01 pm"Ar—" Satu kata belum selesai Juna ucapkan."Kakak!" Dan adik Arin selalu punya cara untuk menghentikan.- - -"Akh!!"Tidak-tidak, bukan ini tujuan dari perjalanan panjang si adam hingga malam. Niatnya membangun hubungan lebih dekat dengan gadis pujaannya, bukan malah duduk bersampingan dengan seorang
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na