“Bunuh semuanya! Aku tidak mau ada penghalang dari pihak manapun! Oscar adalah milikku. Selamanya milikku!” Perintah Lucetta pada anak buahnya terdengar begitu tegas di telefon. Dia meminta semua mata-mata Oscar yang ada di Indonesia dilenyapkan. Jangan sampai Oscar mengetahui kalau dia mengunjungi negara ini. Siang itu, Lucetta menunggu di depan rumah duduk di kursi sisi pintu di mana di depannya ada pot. Jadi dari jalan dia tidak terlalu nampak. Dia juga meminta anak buahnya tidak mengganggunya biar dia yang mengurus sendiri. Cukup lama menunggu, akhirnya Nadya pulang. Bibirnya tersenyum miring meremehkan ketika melihat Nadya pulang bersama seorang pria. “Dia benar-benar pel*cur. Sudah hamil anak dari suami orang, masih saja mendekati pria lainnya. Aku yakin kalau pria itu juga sudah memiliki istri,” sinis Lucetta lirih. Seperti yang direncanakan, Lucetta berhasil membuat Nadya terkejut lalu membawanya masuk. Di sinilah mereka berada, ruangan luas yang biasanya sebagai tempat ol
Suara ponsel dari arah lain membuat seseorang melihat ke dashboard mobil. Itu bukan suara dari ponsel miliknya. “Loh? Ini ketinggalan?” Dev akhirnya menemukan ponsel yang tergeletak di kursi samping kemudi. Padahal Dev sudah setengah perjalanan. Tapi dia baru menyadari kalau ponsel Nadya tertinggal di mobil. Netranya melihat ke kanan kiri. Dia sedikit bimbang antara melanjutkan ke kantor karena ada meeting 30 menit lagi. “Tapi bagaimana kalau ada pesanan catering?” tanyanya bermonolog. Tak hanya sekali, namun ponsel kembali berbunyi ketiga kalinya. Oke, Dev memutusnya putar balik. Dia lebih dulu menelfon asistennya atas keterlambatannya ke kantor kemudian membawa mobilnya cepat menuju rumah Nadya. Mobil berhenti di depan rumah seperti biasa. Ketika dia hendak mengetuk pintu, Dev mendengar keributan dari dalam rumah. “Ada apa di dalam?” Tanpa ragu, dia langsung masuk ke dalam rumah. Saat dia memasuki ruang keluarga, kejutan besar terpampang di depan matanya. Dia melihat seorang
Walau lelah, Allice tetap membantu bibi menyiapkan makan malam. Baginya, melayani anak dan suami merupakan asupan energi baginya. Terlebih kalau mereka menyukai apa yang Allice persembahkan pada mereka, termasuk masakan yang disediakan. “Mama!” Anna, si kecil dengan dress rumahan berpita itu datang lebih dulu. “Sayang, Brian sama papa mana?” tanya Allice sembari mengisi empat gelas kosong di meja dengan air putih. “Kak Brian masih nanggung main lego katanya. Paling juga bentar lagi papa gotong ke sini.” Anna sudah nampak lebih tinggi sekarang. Dia duduk dengan mudah di kursi langganannya. Yaitu sebelah kanan kursi tengah milik Arsen. "Mama, tadi Jasmine bilang dia bakal punya adik lho!” ucap Anna dengan wajah ceria, sambil membiarkan Allice mengisi piring dengan nasi dan lauknya. “Oh, ya? Adik kandung? Maksudnya Tante Astri atau adik dari Uncle Hexa?” Allice jadi menghentikan gerakannya menunggu jawaban Anna. Pasalnya Hexa dan Dhea belum menceritakan apapun padanya. “Dari Uncle
Allice duduk dengan tegang di ruang obsgyn rumah sakit tempatnya bekerja. Dia membiarkan teman satu profesinya mengurus hasil dari serangkaian tes yang kembali Allice lakukan. Yaitu mengenai kondisi rahimnya.“Bagaiman Dokter Sesil? Apa hasilnya berbeda dari yang sebelumnya?” tanya Allice dengan wajah gelisah.Dokter wanita itu masih menilai isi kertas yang ada di tangannya. Sampai dia menghela nafas panjang kemudian menggeser hasil tes ke hadapan Allice.“Maaf, Dokter Allice. Hasil tes kali ini menunjukkan kondisi yang serupa dengan sebelumnya. Kehamilan masih akan membawa risiko serius bagi kesehatanmu. Bahkan kondisinya semakin buruk kalau dipaksakan untuk hamil,” ungkap Dokter Sesil.Allice ikut membaca isi beberapa lembar kertas di hadapannya. Raut kecewa tentu terpampang di wajah cantik ibu dua anak itu. “Tapi apakah tidak ada pengobatan lain? Saya ingin memiliki anak lagi, Dok.” Dia kembali menatap dokter di depannya.“Aku paham keinginan kamu, Dokter Allice. Namun, mengingat k
"Kamu yakin akan tinggal di sini?" Dev menatap wanita cantik bergaun sederhana warna tosca di sampingnya ini dengan kedua alis yang saling bertautan. Merasa tidak percaya kalau tempat ini adalah pilihan yang terbaik.Meski sejujurnya kampung kecil yang tergolong sangat terpencil ini berbanding terbalik dengan kehidupan metropolitan, tapi Nadya tetap menganggukkan kepala dengan mantap."Tentu. Kenapa enggak?" Nadya tersenyum penuh keyakinan seakan mengusir kekhawatiran Dev.Laki-laki berkemeja dongker yang setia menemani Nadya ini menghela napas berat. Susah jika seorang perempuan sudah memutuskan, maka tidak ada gunanya berdebat. "Baiklah kalau itu maumu. Aku cuma takut kalau kamu akan kesulitan selama tinggal di desa terpencil seperti ini," ungkap Dev jujur.Sudut bibir Nadya terangkat. Sebelah tangannya menepuk bahu Dev ringan. "Tenang saja. Everything will be okay."Bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya berjaket kulit melangkah ke arah Nadya dan Dev dengan sebuah senyuman
Senyum Nadya memudar. Lengkungan simetri sabit berubah terjun ke bawah. Tak ada lagi keramahan dan hanya tersisa tanda tanya juga tawa kecut. "K-Kamu cuma becanda kan, Dev? Nggak mungkin seorang kamu mencintai ak-" "Kenapa tidak, Nad? Kamu pantas dicintai dan aku bersedia menerima kamu apa adanya karena perasaan aku tulus ke kamu," potong Dev kilat. Lagi-lagi Nadya menggeleng tak percaya. Otak dan pikirannya seolah tidak mampu untuk mencerna kenyataan yang baru saja Dev ungkapkan. Sejak awal, kebaikan Dev diyakini penuh oleh Nadya atas dasar tali pertemanan. Ikatan juga kedekatan yang tercipta semata-mata karena Dev adalah sahabatnya dari kecil. Tidak lebih. Itulah mengapa, hingga detik ini, Nadya tidak pernah mengira kalau Dev menaruh perasaan padanya. Sungguh, dia benar-benar terkejut. Gelengan tegas kembali Nadya layangkan. Kali ini, Nadya ingin bertindak logis. "Tidak, Dev. Jangan sama aku. Kamu itu pria yang baik, cerdas, pengertian, dan mapan. Di luar sana banyak wanita y
Hati gelisah, pikiran bercabang, dan kecemasan yang menerjang kuat, membuat malam ini terasa begitu menyiksa batin Lucetta. Sambil mengigit bibir bawahnya, Lucetta berjalan mondar-mandir. Terhitung sudah lebih dari sepuluh kali memutar langkah, tapi perasaannya belum juga tenang. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mungkin terus-terusan diam saja," gumam Lucetta sembari memutar otak, berusaha mencair solusi.Ya, persoalan yang tadi tentu membuatnya tak bisa memejamkan mata. Tentang ayah mertua juga suaminya yang sudah sepakat untuk mencari keberadaan wanita tidak tahu diri yang diam-diam mengandung darah daging Oscar.Dari tempatnya berdiri, Lucetta menatap langit malam yang begitu kelam. "Jika sampai Daddy ikut membantu mencari jalang murahan itu, posisiku akan terancam.""Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu. Tapi apa harus apa?" "Sayang? Kamu bicara dengan siapa?" Oscar masuk ke kamar, menyorot penuh tanya ke arah wanita berambut blonde dengan piyama merah itu.Spont
Di lorong rumah sakit yang terasa mencekam ini, Oscar berjalan mondar-mandir dengan wajah kusutnya. Berulang kali menyugar rambutnya kasar seolah frustasi dengan keadaan yang mencekiknya begitu erat.Bukan hanya Oscar yang tampak kehilangan kendali atas dirinya, sang adik kandung—Lexa, yang baru saja mendarat dari perjalanan panjang, pun juga terisak sesak mengetahui kabar tak menyenangkan ini."D-daddy hiksss ... Dad-daddy ..." Lexa menangis sampai sesegukan sembari menatap ruang ICU, tempat ayahandanya berjuang antara hidup dan mati.Lucetta yang berdiri di samping Lexa lantas merengkuh tubuh ringkih adik iparnya itu. "Sstt sabar, Lexa ... Daddy pasti akan baik-baik saja.""Kamu jangan menangis terus seperti ini. Daddy pasti tidak suka putrinya bersedih," bujuknya membuat Lexa perlahan menyeka air mata yang terus mengalir.Tak berselang lama setelah itu, pintu ruang ICU terbuka. Menampilkan seorang pria paruh baya berjas putih yang keluar bersama para perawat. Oscar bergegas mengha
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady