Shanaya melempar senyuman ke Farah yang bekerja paruh waktu menjadi pelayan di pesta Daru. Namun, balasan yang Farah berikan cukup membuat Shanaya tercenung. Mantan rekan kerjanya di Wonderflo itu memalingkan muka dengan wajah sedikit sinis.Oriaga yang menyadarinya pun sampai mengerutkan alis. Dia mendekatkan wajah ke Shanaya lantas berbisik," Apa kamu mengenal pelayan itu?""Hm ... dia temanku, kami sama-sama bekerja di Wonderflo," jawab Shanaya. Oriaga mengangguk lalu kembali menenggak minumannya. Dia kembali memandang ke arah Farah karena mengingat sesuatu."Gadis itu, bukankah dia PSK yang menipu Aston?" Gumam Oriaga di dalam hati.Shanaya masih tak mengerti apa yang terjadi dengan Farah sampai sangat membencinya. Dia juga tidak berani melakukan apa yang Aston katakan yaitu menanyakannya secara langsung ke Farah atau Oriaga."Mungkinkah?"Shanaya menoleh Oriaga yang kembali berbincang dengan tamu Daru. Pria itu menyadari Shanaya sedang memandang dirinya penuh tanda tanya tapi mem
Suara desahan yang sangat erotis terdengar bersahutan dari dalam sebuah kamar, sedangkan di sofa ruang tengah yang berhadapan langsung dengan pintu kamar itu, Isaak tampak bersedekap dada duduk di samping seorang wanita.Wanita itu beberapa saat yang lalu menariknya masuk ke sebuah apartemen dan ternyata hanya untuk menjadi saksi kelakuan mesum salah satu adik Oriaga."Sialan! Ayo pergi dari sini!" Isaak mengatakan itu sambil berlalu. Beberapa menit berselang dirinya dan wanita yang memanggilnya sudah duduk berhadapan di sebuah coffee shop. Isaak tak berhenti meluapkan emosi sejak pelayan memberikan buku menu sampai menyajikan pesanan.“Brengsek kau Arumi! Kenapa memintaku datang hanya untuk menemanimu mendengarkan suara kakakmu yang sedang bercinta?” Arumi malah terkekeh mendapati Isaak kesal. Dia memutar sedotan yang ada di dalam gelas untuk mengaduk cappuccino ice miliknya kemudian menyesapnya sedikit. “Aku ingin Kak Isaak menjadi saksi kalau Masayu itu masih saja berhubungan de
PLAK Tangan Anne melayang ke pipi Triana. Wajah pengasuh Kai itu sampai meneleng ke samping karena kerasnya pukulan. Sementara itu, Elisa yang duduk di sofa hanya bisa memeluk putra pertamanya yang ketakutan. Dia mendekap kepala Kai ke dada sambil menutup telinga bocah itu. "Sudah aku bilang jaga Kai baik-baik, tapi kamu malah kecolongan dan hampir membuat anak itu membongkar aib putraku." Dada Anne naik turun tak karuan. Dia hampir melayangkan pukulan lagi ke wajah Triana, tapi Ermanu memintanya untuk berhenti. “Apa kamu mau membela pengasuh bodoh ini?” Amuk Anne. Dia bahkan hampir memukul Triana lagi jika saja sopir pribadi Ermanu tidak menghentikan sang majikan. “Pergi bawa Kai ke kamar!” Titah Ermanu ke Elisa. Istrinya itu memandang Anne sebelum berdiri mengajak putranya pergi. Berada di sana hanya untuk melihat Triana ditampar jelas bukan keinginan Elisa. Namun, saat hendak pergi membawa Kai masuk tadi, Anne membentak memintanya duduk. “Mama, Kai takut.” Hati Elisa hancur
Wajah Shanaya seketika pucat. Dia malah membeku di posisinya sembari memandang wajah Oriaga kemudian Isaak. Shanaya menekuk bibir dan hampir menangis karena malu. Dia pun membanting pintu dengan sangat kencang hingga Oriaga dan Isaak berjengket bersamaan."Kenapa dia itu?" Tanya Isaak seolah tak memiliki dosa. Dia biasa saja karena merasa Shanaya adalah putrinya. Berbeda dari gadis itu yang masih tidak tahu apa-apa."Brengsek! Kamu membuat kejutan darinya berantakan." Oriaga mengamuk, dia mendorong lengan Isaak sampai sahabatnya itu limbung ke samping. "Lagipula untuk apa kamu di sini, Ha? Sana kembali ke kamarmu, atau bermain piano saja di bawah," imbuhnya sambil bersungut-sungut."Astaga, Ori! Kenapa kamu tega mengusirku? Aku sebenarnya ingin berpamitan, aku memutuskan kembali ke Belanda besok."Bahkan perkataan Isaak yang diucapkan menggunakan nada rendah tak membuat Oriaga luluh. Dia tetap meminta pria itu pergi karena harus menenangkan Shanaya yang syok."Sana kembali ke kamarmu!
Warning !! 21+Oriaga berdiri lalu melepas ikat pinggang dan meloloskan celana. Tatapan matanya terus tertuju ke Shanaya yang menggigit kecil bibir sambil terus memperhatikan dirinya. Oriaga melonggarkan dasi, meloloskan benda itu dari leher kemudian naik ke ranjang. Dia berlutut di depan Shanaya, membiarkan gadis itu meraba bagian dadanya kemudian mendongakkan kepala sembari melepas satu persatu kancing kemeja."Gadis kecil, sejak kapan kamu pintar, Ha? Atau apa aku yang sudah terlalu lama tidak melakukan ini sampai merasa ada yang berbeda?" Tanya Oriaga. Setelah itu dia pun mendesah tertahan bahkan mengumpat karena Shanaya yang awalnya hanya mengusap keperkasaannya dari luar kini menurunkan boxer dan mulai memberinya blow job."Agh ... Shana, ini benar-benar bisa membuatku gila." Oriaga meracau dan sesekali mendesis menikmati layanan plus plus Shanaya. Oriaga yakin istrinya pasti belajar melakukan ini. Shanaya yang polos bagaimana mungkin bisa tahu cara memanjakan boanya menggunak
Pak Wira menoleh Isaak yang menurutnya baru saja menanyakan sesuatu yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa anak Oriaga memanggilnya grandpa padahal dia teman tuannya bukan ayahnya."Apa Anda menikahi ibu Tuan Oriaga?" Ketus Pak Wira.Isaak hanya diam karena tidak mungkin menjelaskan kalau Shanaya adalah putrinya. Pria itu memandangi Pak Wira yang berlalu pergi sambil berteriak menggunakan suara lantang."Aku sudah bilang, Ori tidak akan makan malam."Isaak berdecak sebal karena Pak Wira tak mau mendengar. Dia akhirnya pergi dari area ruang makan menuju kembali ke kamar."Tidak ada yang mau mendengarkan aku," gerutu Isaak. "Aku sebatang kara, semoga Amora masih mau menerimaku sebagai suami," imbuhnya.Di sisi lain, Amora sendiri terus saja memikirkan hubungannya dengan Isaak. Meskipun tak pernah mendapatkan kasih sayang dari pria itu, tapi Amora tahu kalau Isaak sejatinya pria baik.Isaak tidak seperti Oriaga yang suka meniduri banyak wanita. Namun, bisa jadi ini karena Amora tidak tahu
"Apa maksudmu?" Oriaga berlagak bodoh. Meskipun dia tahu Isaak sedang mengakui statusnya ke Shanaya. Oriaga diam di posisi, begitu juga dua orang yang berada di dekatnya saat ini.Sunyi. Isaak dan Shanaya terlibat adu tatap seperti bingung mencerna situasi. Keduanya seolah tak memedulikan keberadaan Oriaga di sana.Isaak sendiri akhirnya tertawa terbahak-bahak setelah membuat Shanaya berpikir keras, tanpa rasa bersalah pria itu bertanya," Bukankah aku dan Oriaga memang lebih pantas menjadi ayahmu? Maaf sudah membuatmu tidak nyaman dengan candaanku. Tenang saja! Aku pastikan satu hal padamu, Shana. Aku tidak akan memandangmu sebagai lawan jenis."Oriaga tersenyum miring, jika sudah seperti ini bukankah akan terlihat bodoh jika Isaak masih tidak mau jujur padanya. Oriaga kini malah penasaran kenapa Isaak masih tak mau bercerita tentang status Shanaya yang merupakan putri sahabatnya itu dan Seruli."Paman harus berjanji padaku untuk menganggap hal di depan pintu kamar kami tadi tidak per
“Kenapa lama sekali? Apa yang Oom bicarakan dengan Paman Isaak sampai baru kembali ke kamar selarut ini?” Oriaga yang mengira Shanaya sudah tidur dibuat menoleh setelah naik ke atas ranjang dan berbaring miring memunggungi istrinya itu. Dia pun lantas berbalik mendekat untuk memeluk Shanaya yang tampak menggeser badan ke arahnya. “Kamu tahu ‘kan aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak memelukmu,” keluh Shanaya. Tentu saja ucapannya ini berlebihan karena kenyataannya tak selalu sama.“Maaf! Sekarang tidurlah!” Oriaga mengusap lembut punggung Shanaya, mencium ubun gadis itu yang terlihat bahagia menerima perlakuannya. “Tapi pertanyaanku tadi belum kamu jawab, aku juga tidak bisa tidur kalau penasaran.” Shanaya mencurukkan kepala ke dada Oriaga, dia pun memajukan bibir karena sang suami tidak segera buka suara. “Isaak bilang akan pulang ke Belanda besok.” Shanaya langsung menjauhkan muka dan memberi jarak agar bisa menatap wajah Oriaga. Alis gadis itu bergelombang, berpikir bahwa I
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu