Tuduhan itu lagi, itu lagi. Memancing mata Vida untuk memicing tajam. Bukankah sangat aneh? Selama ini dia tidak pernah mengumbar statusnya sebagai istri seorang Davin pada media, Davin juga bukan orang yang mencolok untuk untuk memamerkan siapa dia sebenarnya di hadapan media. Bisa dibilang dia cukup rendah hati untuk tuan yang sangat luar biasa. Tapi bagaimana tiba-tiba ada segerombolan awak media yang mendatanginya? Jelas ada seseorang yang sengaja membuat berita itu meluap, agar diketahui khalayak ramai."Nyonya Vida, apa benar Anda menjebak pak Davindra Wijaya hingga terpaksa menikahi Anda?"Vida menegakkan wajah dan menjawab tenang. "Tidak.""Bohong, dia itu perempuan licik yang hanya bisa merebut kekasih orang!" Seseorang berseru di antara kerumunan orang yang memperhatikan Vida."Kamu siapa?" tanya wartawan pada orang yang baru saja berseru."Kami dari Fani's Fans Club. Kami sangat tidak terima, idola kami diperlakukan seperti itu.""Wanita menjijikkan! Apa tidak ada laki-laki
Brak!Gebrakan keras pada meja kaca mengejutkan Fani yang berdiri dengan tubuh sedikit terguncang. Kilat mata manajernya sama sekali tidak bersahabat dan sangat menakutkan."Sekarang kamu maunya bagaimana? Jika tidak bisa bersikap baik, keluar saja dari management artis kami," hardik laki-laki kemayu dengan tatanan rambut layer ombre yang begitu terang."Madam, aku sama sekali tak terlibat dengan masalah ini. Ini semua murni dari keinginan mereka sendiri." Fani mencoba membela diri.Brak!Laki-laki yang Fani sebut madam itu kembali menggebrak meja dengan sangat garang. "Jangan mencoba berdalih di depanku, Fani. Bukti sudah menunjukan bahwa ada pesan provokator di grub W******p fans club kamu. Kalau tidak untuk apa para orang tua pelaku kekerasan berani menuntut kita?"Mata Fani melebar, tapi wajahnya menunduk. 'Bodoh, kenapa aku tidak berpikir sampai sejauh itu?'Tapi Fani masih saja berdalih dengan suara lembutnya. "Madam, apa tuntutan itu valid? Kejadian itu baru berlangsung satu jam
Rona biru cerah telah dihiasi semburat emas yang begitu menawan, menegaskan siluet pria gagah yang duduk tenang di pinggir dinding kaca besar di sampingnya."Bagaimana, Pak? Sepertinya Fani cukup pintar menyembunyikan keburukannya."Davin mengembuskan napas, dan menegakkan wajah mendengar pertanyaan Iko. "Batalkan semua kontrak kerja dengannya. Aku tidak ingin dia berseliweran di dekat istriku."Iko mengangguk, dan segera undur diri dari hadapan Davin. Dimana laki-laki tersebut kini bergelut dengan kesunyian di ruang tamu salah satu kamar hotel miliknya. Dia memang sengaja tidak membawa Vida kembali ke rumah sepulang dari rumah sakit, itu hanya akan mengundang kecemasan neneknya di rumah.Dia sudah berusaha keras meredam berita ini agar tidak menjadi viral di seluruh media di tanah air, hingga tidak sampai satu jam setelah kejadian, berita itu sudah lenyap dari media manapun. Namun perusahaan manajement artis yang menaungi Fani malah menggelar jumpa pers, tentu saja hal tersebut sama s
Bangunan megah yang menjulang tinggi tampak menyentuh cakrawala yang membiru kelam. Kerlipan lampu pada bangunan tersebut kian memikat mata perempuan cantik dengan senyum lembut di bibirnya yang tengah merekah. Begitu cantik dengan riasan yang sedikit tebal, gaun hitam elegan yang dia kenakan juga tampak melekat indah di lekuk tubuhnya yang sempurna. Sesaat setelah mobilnya berhenti di pelataran luas bangunan tersebut, dia langsung mendapatkan perhatian dari puluhan pasang mata yang menyaksikannya.Riuh decak kagum pun bersahut-sahutan tedengar diiringan kilat kamera yang terus menyambar tanpa henti ketika kaki jenjang yang dibingkai dengan heels warna merah mengkilat, berlenggang santai pada red carpet. Sangat kontras dengan gaun yang dia kenakan, namun entah mengapa masih cocok saja jika dia yang mengenakan.Yup, dia adalah Fani, wanita cantik berparas lembut namun hatinya berduri layaknya buah kedondong. Dia sangat berbangga hati melihat puluhan pasang mata yang menatapnya dengan bi
Malam semakin larut, namun alunan musik klasik yang masih mengalir syahdu, membuai para tamu undangan yang masih menikmati suasana sembari menjalin hubungan antara pebisnis satu dengan yang lain, juga para pencari jodoh dari kalangan konglomerat yang sibuk bercengkerama dengan gaya elegan, hingga mereka tidak sadar jika acara telah melalui kemunduran dari waktu yang telah ditentukan.Hanya Fani yang menyadari hal tersebut, wajahnya mulai sedikit gelisah karena yang diharapkan tak kunjung tiba. Dia takut kali ini Davin tengah sibuk membujuk istrinya agar mau datang ke perhelatan tersebut. Tapi ada sedikit senyum di bibirnya.'Tch, kenapa aku sangat khawatir? Bukankah wajah Vida sedang terluka?''Meskipun dia datang tentu saja dia tidak akan bisa tampil sempurna.''Luka lemparan botol kaca itu pasti akan menghalangi kecantikannya.'Fani tertawa bahagia dalam hati mengingat peristiwa naas yang menimpa Vida hari sabtu kemarin. Dia benar-benar sangat berbangga hati kali ini. Banyak pria yan
Genderang drum berhenti setelah pukulan keras terakhir. Membuat semua orang riuh mencari siapa wanita beruntung tersebut. Tapi tidak dengan Davin yang malah mengembuskan napas kasar kemudian berbalik hendak pergi, bukan pergi menyambut perempuan tersebut tapi pergi dari acara yang malah membuatnya semakin sakit kepala. Tapi langkahnya terhenti ketika Iko masih berdiri di sampingnya seakan tidak memberinya jalan untuk lewat. Davin juga menangkap ada senyum penuh arti yang tiba-tiba melengkung dari garis bibir sekretarisnya. "Ada apa?" tanya Davin pelan. Senyum Iko semakin melebar, dan berucap. "Selamat, Pak. Nyonya terpilih." Seketika mata Davin melebar, dia kembali berbalik dan memeriksa ke arah pintu utama. Wajah dingin yang begitu kental kini berangsur-angsur menghangat, dilanjutkan senyum tipis yang terangkat melalui kedua sudut bibirnya yang manis. Hatinya pun sejuk bak diterpa angin surga. "Selamat pada wanita dengan gaun warna gold bling-bling, Anda berhak berdansa dengan pa
"Jadi apakah hatimu tersentuh oleh pesan melankolis ku?" Vida kembali menatap suaminya sejenak, bisa saja dia mengatakan apa yang dia lihat dan dia dengar tadi siang. Tapi tanpa bukti dia hanya akan dianggap penjahat iri. Jadi dia malah mengalihkan topik ke arah lain. "Tch, yang benar saja. Aku hanya risih terus dihubungi bik Naya dan pak Iko. Mereka sungguh tidak beruntung mempunyai bos yang sulit makan sepertimu, apa kamu anak kecil hingga makan saja harus dibujuk?" Davin kembali tersenyum. Omelan Vida benar-benar membuat hati Davin diselimuti rasa hangat. Mata pekatnya tak bisa berpindah dari bibir tipis yang sedari tadi belum memberinya senyuman. Bukan tidak tahu kemana arah pandang suaminya hingga Vida mulai protes. "Buang pandanganmu ke tempat lain. Kamu membuatku takut." Davin masih saja tersenyum. "Rasanya aku benar-benar tidak tahan." Vida mengerjapkan matanya dan menunduk. Sesungguhnya hatinya memang was-was jika suaminya sudah berkata pelan tapi serius seperti itu. "B
Fani mulai sesak napas melihat kilat mata Davin yang mengerikan dan mengancam. Untuk beberapa saat hatinya hanya dipenuhi oleh gemuruh ketakutan, hingga dia tidak dapat berucap ataupun lari dari hadapan Davin.Davin terlihat meluruskan wajah menjauhkan pandangan dari Fani, lantas berucap dingin dan pelan. "Iko, jauhkan dia dari acaraku dan juga istriku."Iko mengangguk patuh, sementara Davin segera melangkah gagah meninggalkan acara guna mengejar istrinya.Tidak berselang lama, dua laki-laki bertubuh besar hadir dan segera menyeret Fani keluar dari acara tersebut. Meski Fani meronta ingin membebaskan diri, tapi tenaganya tak cukup kuat melawan dua pria besar suruhan Davin.Bruk!Naas, Fani hanya berakhir dengan ambruk ke lantai keras, tatkala dua pria besar itu mendorongnya dengan kasar.'Shit! Vida kamu harus membayar Mahal apa yang telah kamu lakukan padaku,' batin Fani sembari meremas jermarinya dengan penuh amarah.Beruntung dua bodyguard tersebut membuangnya lewat pintu samping. J
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah