"Berlutut!"Suara lantang Davin semakin membuat semua orang menahan napas, tak terkecuali Fani yang dalam keadaan tertekan, keringat dingin segera membasahi seluruh tubuhnya yang gemetaran. Fani sungguh tidak menyangka jika Davin akan semarah ini, meski dia sudah memeras otak untuk menjadi orang lemah dan baik hati, tapi kelihatannya apa yang dia lakukan sama sekali tak menyentuh perasaan Davin.Aura kemarahan mantan kekasihnya itu mampu membekukan seluruh udara di dalam toko hingga bernapas dengan leluasa adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Seketika persendian Fani menjadi kaku tak bisa digerakkan karena tegang. Rasanya ingin menelan saliva untuk mengurangi kadar ketegangan di otaknya, tapi tenggorokannya serasa tercekat. Hingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali berdiam diri sembari menatap Davin dengan binar ketakutan."Kamu tidak dengar apa yang aku katakan? Berlutut dan minta maaf pada Vida!"Suara rendah Davin masih terdengar begitu mengancam, meski dia sama seka
Semburat emas memenuhi cakrawala, sinarnya terang menerpa lekuk awan putih laksana kapas yang membumbung tinggi di angkasa. Damai dan tenang membuai mata jernih yang berkilat sendu hanyut dalam lamunan.Vida duduk dengan tenang menatap jutaan liter air yang bergolak, kala kapal pesiar mini yang disewa oleh suaminya bergerak sedang menuju ke tengah lautan.Masih berpikir, jika perusahaan WJ sedang mengalami keterpurukan, bukankah suaminya cukup ceroboh dengan melakukan segala keborosan ini? Vida pun mengembuskan napas kasar, hatinya tidak nyaman dengan segala kemewahan yang diberikan suaminya."Jadi kamu adalah nyonya dari tuan konglomerat?" Pertanyaan Pam membuat Vida menoleh perlahan.Embusan napas samar keluar dari celah hidung Vida. Tapi tak menjawab pertanyaan Pam yang duduk di sebelahnya."Dia terlihat sangat luar biasa, dia juga cukup keren. Tapi dia kasar dan mengerikan, jadi apakah dia juga memperlakukanmu seperti apa yang dia lakukan pada gadis di toko pakaian tadi?" Pam mulai
Byur!Davin terjun ke laut untuk menyelamatkan Vida. Kepanikan yang ditemani oleh gelapnya malam seakan menghimpit jantung yang tengah berdetak kencang tanpa nada, arah pandang yang sangat terbatas tentu saja mempersulit Davin untuk menemukan keberadaan istrinya.Semakin panik ketika napasnya telah habis tapi dia belum juga menemukan Vida, Davin berenang kembali ke atas untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya, kemudian kembali menyelam dengan pikiran yang berkemelut. Tubuhnya nyaris tak berhenti bergerak untuk terus mencari.Jutaan air dingin yang begitu asin layaknya monster laut yang menikam untuk meminta nyawa. Bagaikan kutukan, alam pun kian membuat suasana semakin mencekam, kala angin berembus kencang, juga gemuruh petir putih yang tiba-tiba menyambar, diikuti air hujan yang menghantam permukaan laut dengan kuat, menyamarkan pandangan orang yang ada di atas kapal.Mee Noi dan Pam, serta beberapa awak kapal memang segera mendekat setelah mendengar teriakkan dan suara deburan air.
"Berhenti menatapku seperti itu. Kamu benar-benar menempatkan aku seperti penjahat yang tidak bisa dipercaya. Aku juga bisa sedih jika diperlakukan seperti itu." Davin protes, namun ada tarikan senyum samar dari kedua sudut bibirnya kala Vida masih terus menatapnya dengan binar ketidakpercayaan.Tidak menunggu Vida menjawab Davin segera memberi sekilas kecupan di bibir tipis, membuat perempuan hamil yang sedari tadi membisu itu sedikit terkesiap.Kemudian Davin menurunkan kepalanya dan jatuh pada pangkuan Vida. Kecupan lembut yang terasa menggelitik sangat bisa Vida rasakan ketika Davin terus bermain-main dengan perut berisi janin miliknya. Itu terjadi cukup lama, hingga Vida mulai tak tahan dan menangkap jari-jari kokoh yang seakan sedang berlari-lari dengan riang menggelitik perutnya."Geli." Akhirnya suara lembut yang terdengar singkat itu keluar dari celah bibir Vida meski ekspresi wajahnya masih terlihat datar. Dan itu malah mengundang senyum lebar bagi Davin yang melihatnya."Ka
Semburat cerah menembus celah tirai yang sedikit terbuka, menghadirkan garis yang bertabur debu halus yang berterbangan di udara pada sorot sinar matahari yang memanjang. Vida mengerjapkan mata dengan malas setelah kesadaran kembali sepenuhnya. Sedikit menggerakkan tubuh yang terasa remuk karena aktivitasnya semalam. Meski dia sangat yakin jika Davin sudah berusaha melakukannya dengan lembut, namun nyatanya masih saja tidak ada tempat di sekujur tubuhnya yang tidak merasakan sakit. Mungkin karena rasa rindu yang lama terpendam membuat Davin tak bisa menahan diri untuk mengeksplore seluruh tubuhnya dengan waktu yang lama, hingga Vida merasa sangat kelelahan. Terlebih tadi malam dia baru saja tenggelam di laut. Vida meraba perutnya dan bergumam lirih. "Semoga kamu tidak kenapa-kenapa." Perhatian Vida beralih saat merasakan tiupan samar dari napas hangat dan teratur menyentuh punggungnya yang terbuka. Vida mulai mengalihkan posisi dengan berbalik arah, dan mendapati suaminya masih tert
Semakin terkejut ketika tiba-tiba Pam menangis kencang dan menyedihkan. Air wajahnya terlihat sangat suram penuh kesedihan. Membuat Vida tak lagi berselera menikmati sepiring nasi goreng di depannya. Vida mulai menapakkan kaki di lantai, dan bergegas menghampiri Pam yang sedang bersedih."Pam, ada apa?" Vida menyentuh lengan Pam dengan lembut dan hati-hati. Tapi mendadak binar mata indah yang sebelumnya begitu hangat, tiba-tiba berubah dingin dan tajam, kala melihat Mee Noi masih tertawa dan tak berperasaan.Seketika tawa itu terhenti, kala Mee Noi merasa tertusuk oleh tatapan Vida. Hawa dingin segera berpendar menyapu binar wajah Mee Noi yang mulai tenggelam. Aura keanggunan dan juga ketegasan tercetak jelas pada raut wajah Vida yang dalam mode serius, seakan manik indah yang terpancar, menghardik, sama sekali tak menginginkan bantahan. Mee Noi segera menutup mulut, dan diam-diam beringsut pergi mendekati Davin untuk meminta perlindungan."Astaga, istrimu sangat mengerikan!" bisik Mee
"Orang lain pasti akan mengira bahwa kita adalah pasangan kekasih jika kamu terus memelukku seperti ini. Sudah, lepaskan aku, sebelum kak Davin salah paham."Kepahitan kembali menyambangi perasaan Pam kala mendengar kata yang diucapkan Vida. Jelas itu seperti menegaskan bahwa Vida adalah milik Davin."Biarkan saja, aku merasa kamu akan segera pergi setelah ini, jadi biarkan aku memuaskan diri," ucap Pam pelan sama sekali tak ingin melepaskan Vida."Pergi kemana?""Dia ingin mengajakmu pulang ke Indonesia 'kan?"Vida tersenyum, ingin menjawab pertanyaan Pam, tapi tidak terjadi ketika ada hentakan yang mengejutkannya.Seorang laki-laki berpostur tinggi dan gagah tengah menatapnya dengan dua pasang mata kelam yang terlihat dingin setelah berhasil menjauhkan Pam darinya.Vida mengembuskan napas mendapati kecemburuan di wajah suaminya. Yang menurutnya itu sangat konyol dan berlebihan.Sementara Pam hanya menatap Davin dengan binar kemarahan yang tak ingin dia luapkan."Aku harap ini yang te
Suara deburan air memaksa Vida melepaskan tangan Davin yang sejak tadi melingkar di perutnya. Dia pun setengah berlari ketika mendekat ke ujung pagar dan menengok ke bawah, menatap riak air yang berwarna putih membentuk lingkaran dan mulai menyebar di air asin dengan rona hijau sage yang sangat menawan.Tidak lama kemudian muncul dua orang di permukaan air dengan sedikit gelagapan. Namun saat Vida melihat Mee Noi segera merengkuh Pam dalam pelukannya Vida pun tersenyum samar."Pam, kamu tidak apa-apa 'kan?" Vida mulai berseru ketika mata Pam menemukannya."Jangan hiraukan kami. Kami hanya bersenang-senang." Tentu saja Mee Noi yang menjawab, kemudian dilanjutkan dengan gelak tawa riang dari mulutnya yang terbuka, meski yang dipeluk memperlihatkan semburan amarah menanggapi sentuhan laki-laki yang baru tiga hari ini bersamanya.Vida mengembuskan napas lega, sementara Davin perlahan mendekat dengan tangan yang bersembunyi di kedua saku celana."Apa Mee Noi adalah jenis pria yang mirip sep
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah