Aaro menggandeng tangan Zahra melewati beberapa lubang yang terisi genangan air di sebuah gang. Gang itu sempit dan bau akibat air got yang luber ke jalan. Letaknya di sebuah perkampungan kumuh tak berapa jauh dari tempat tinggal mereka, tepatnya di pemukiman padat penduduk di bawah jembatan.
"Bentar lagi sampai, kok."
Zahra mengangguk melihat Aaro menoleh dan tersenyum ke arahnya. Benar saja, tak lama kemudian Aaro berhenti di sebuah rumah reyot dan mengetuk pintunya.
Lama tak ada jawaban dan Aaro mengetuk lagi.
Seorang anak kecil kisaran usia enam tahun membuka pintu. Ia menatap Aaro dan Zahra bingung. "Cari siapa?"
"Agus ada?"
Gadis kecil itu mengangguk dan membuka pintu rumahnya dengan susah payah. Sepertinya engsel pintunya bermasalah hingga pintu itu sulit untuk dibuka tutup.
Zahra mengikuti Aaro masuk ke dalam rumah. Di dalamnya hanya terdiri dari satu rua
Zahra terbangun karena merasa kehausan. Dengan berat, ia maksa membuka matanya. Untuk sesaat, Zahra bingung melihat tempatnya saat ini. Ia pun duduk dan mengamati sekitar.Kamar ini didominasi nuansa mint lembut kombinasi putih. Tidak terlalu luas, tapi semua keperluan sepertinya tersedia di sini. Selain lemari baju tiga pintu di samping meja rias yang juga minimalis, di sudut ruangan dekat pintu yang sepertinya mengarah ke balkon terdapat satu set sofa nyaman yang menghadap ke arah sebuah layar televisi layar lebar."Ohh," Zahra tersentak. Ia ingat saat ini dirinya dan Aaro sedang berkunjung ke rumah Alea. Tapi bagaimana bisa dirinya berada di kamar ini?Zahra menepuk keningnya pelan. Ya, tadi ia pasti tertidur di ruang keluarga. Lalu, siapa yang memindahkannya kemari? Apakah Aaro?Pikiran bahwa Aaro yang menggendongnya ke kamar membuat perasaan Zahra kembali buruk. Apalagi, saat menoleh ke samping, Aaro tern
Aaro menatap punggung Zahra yang berjalan jauh di depannya dengan perasaan kacau. Sudah hampir dua minggu ini sikap istrinya itu berubah. Dia tak lagi ingin diantar atau dijemput saat berangkat atau pulang kerja. Dan Zahra selalu berhasil menghindar darinya.Tak hanya itu, bahkan saat di rumah pun, Zahra juga lebih sering diam. Dia tetap mengerjakan pekerjaan rumah, masak dan menyiapkan semua keperluannya~meski pada akhirnya dirinya yang harus membenahi semua kekacauan yang timbul karena itu~ tanpa banyak bicara.Ohh, yang lebih membuat Aaro merasa sangat terpukul adalah, bahkan Zahra tak bereaksi apapun saat dirinya meminta pemenuhan kebutuhan biologisnya. Dia hanya diam dengan mata nyalang menatap langit-langit menerima semua perlakuan Aaro sampai kebutuhannya terpenuhi.Beberapa kali Aaro sudah mencoba membahas masalah ini. Namun, setiap dirinya baru saja menyinggung masalah ini, Zahra akan berpura-pura ingin buang air besar, ngantuk atau yang lainny
"Ini dimana?" Zahra bertanya seraya mengedarkan pandangannya ke sekitar.Aaro membawanya ke sebuah hotel yang mewah di pusat kota kawasan gedung pencakar langit berada.Dari lobi sampai saat ini mereka sudah berada di dalam kamar mereka, Zahra tak henti-hentinya berdecak kagum melihat kemewahan dan segala fasilitas yang ada.Zahra berjalan ke arah dinding kaca yang menghadap ke arah kota. Ia berdiri di sana sambil menyaksikan pemandangan di bawah. Sungguh, dirinya masih tak menyangka bisa berada di tempat setinggi ini dan melihat di bawah semua tampak kecil tak berarti. Sewa kamar ini pastilah mahal, batin Zahra. Namun, sesaat kemudian ia ingat bahwa suaminya merupakan salah satu pewaris dari pengusaha tersukses di negara ini, jadi soal sewa yang mahal tentu tak akan jadi soal. Atau jangan-jangan, hotel ini juga merupakan aset keluarga Blackatone?Zahra mendesah pelan."Kenapa?" Aaro bertanya sembari menyerahkan sebotol minuman dingin yang suda
"Zahra harus punya saksi di pihaknya." Aidan mengingatkan sang putra. Pagi ini ia datang bersama Bian dan Damian membawa surat perjanjian yang Aaro minta semalam untuk dibuatkan.Zahra menatap sang ayah mertua dengan wajah bingung. Ia tak punya siapa-siapa. Jadi, mana bisa menyediakan saksi dari pihaknya. "Apa itu harus, Ayah?""Tentu saja. Saksi diperlukan untuk memperkuat surat perjanjian ini. Ayah sarankan kau punya saksi yang berada di pihakmu. Supaya ketika terjadi pelanggaran surat ini, kau bisa mengurusnya dengan lebih mudah.""Tapi siapa? Ibu tidak ada di sini?""Tidak harus ibumu. Pastikan saja dia mendukungmu dan berada di pihakmu."Zahra menatap Aaro bingung."Bagaimana jika aku saja saksi dari pihak Zahra?" Tiba-tiba Damian nyeletuk sambil mengedipkan mata ke arah Zahra. "Aku berada di pihakmu. Dan aku bersedia menerimamu jika suatu saat terjadi pel...""Itu tak akan pernah terjadi!" Hardik Aaro. Ohh, biasanya sang ay
Zahra menutup mulut dengan kedua tangannya saat mendengar sejarah pernikahan mertuanya yang diceritakan dengan begitu epic oleh sang ayah mertua.Matanya berkaca-kaca membayangkan bahwa impian dan cita-cita bunda Carmila harus putus di tengah jalan karena hamil. Dan Zahra juga baru tahu bahwa bunda mertuanya itu tak pernah ada kesempatan untuk menyelesaikan pendidikannya semasa SMA karena seluruh waktunya sudah terkuras untuk mengurus suami dan anak-anak yang memiliki jarak lahir tak terlalu jauh satu sama lain.Zahra menatap Carmila dengan penuh kekaguman. Itu pengorbanan yang luar biasa dari seorang ibu, sama seperti ibunya dulu yang rela banting tulang, mengabaikan cibiran dan hinaan manusia demi dirinya."Ayah menceritakan semua ini setiap tahun bukan untuk berbangga atas kesalahan itu, tapi ayah ingin kalian melihat sebuah bentuk tanggung jawab tanpa batas terhadap setiap kesalahan yang wajib kalian contoh." Aidan
Zahra merasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Namun ia tetap memaksakan sebuah senyum dan bertepuk tangan saat band ayah mertuanya bersama para sahabatnya mengakhiri penampilan mereka.Awalnya, ia mengira pusingnya disebabkan oleh suara keras musik yang dimainkan oleh band ayah mertuanya. Tapi saat ini, ketika band itu sudah selesai dengan penampilannya, kepalanya masih juga terasa berputar. Lampu-lampu terang di sekitarnya pun membuatnya semakin buruk.Selama beberapa saat terakhir, Zahra tak bisa lagi menyaksikan apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan saat suaminya akhirnya harus maju ke panggung dan memainkan beberapa lagu bersama putra-putra Blackstone yang lain, Zahra tak melihatnya. Ia merebahkan kepalanya ke atas meja untuk meredakan pusing yang terus ia rasakan hingga membuat perutnya mual dan ingin muntah.Karena pusing dan mual yang dirasakan Zahra semakin kuat, ia pun memutuskan untuk pergi ke toilet dan mencuci muka agar l
"Cinta ....""Ya, suamiku. Kita sudah membicarakan ini kan kemarin?" Zahra menjawab sambil terus menyisir rambutnya tanpa menoleh ke arah Aaro. Ia tahu Aaro saat ini pasti sedang menatap tajam dirinya.Seperti yang sering terjadi, Aaro dan Zahra seringkali berbeda pendapat dan ribut. Saat ini, mereka memperdebatkan soal kehamilan Zahra. Ohh, bukan kehamilan itu yang menjadi topik perdebatan, tapi karena Aaro menginginkan Zahra berhenti bekerja sementara waktu, sementara Zahra berkeras bahwa meski dalam kondisi hamil, dirinya tetap akan bisa bekerja dengan baik.Perdebatan mereka belum menemukan titik temu. Zahra tetap pada pendiriannya untuk terus bekerja membuat Aaro kesal setengah mati."Aku cuma ingin yang terbaik buat kamu dan calon anak kita!" Aaro mulai meninggikan suaranya. "Aku tak mau kau tiba-tiba pingsan sampai harus dirawat di rumah sakit seperti kemarin."Zahra meletakkan sisirnya
Sudah sekitar dua jam Aaro dan Zahra berkeliling kota untuk mencari ronde, tapi belum juga menemukan penjual ronde yang buka. Maklum saja, di kota megapolitan dengan cuaca panas seperti siang ini, orang pasti akan berpikir seribu kali jika ingin membuka usaha ronde di siang hari.Akhirnya Aaro memutuskan untuk membawa Zahra pulang saja. Saat dirinya memarkir motor di depan bengkel, istrinya sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan wajah ditekuk.Baru saja Aaro hendak menyusul Zahra masuk ke dalam ketika salah seorang pekerja di bengkel menghampiri."Mas, tadi ditungguin sama cewek.""Cewek?" Aaro heran."Iyalah, dua jaman nungguin. Baru aja balik, katanya sih nanti atau besok mau datang lagi. Penting katanya.""Dia nyebutin nama, nggak?" Aaro bertanya karena ia tak pernah memiliki kenalan seorang wanita kecuali keluarga dan putri dari sahabat-sahabat aya
Tangan mereka saling bertautan saat berjalan beriringan untuk menyapa kerabat dan Sabahat yang datang di acara resepsi pernikahan sederhana mereka ini. Resepsi yang diadakan secara dadakan oleh ayah mereka, Rommy dan Aidan. Bertempat di sebuah resort di pinggiran kota Batam yang berhadapan langsung dengan negara Singapura.Siang ini, rombongan sahabat dan keluarga mendarat di bandara Hang Nadim dan langsung menuju ke resort yang sudah dibooking seluruhnya. Kamar-kamar pun sudah dibagi dan sore ini, perayaan mereka digelar outdoor di dermaga resort. Suara debur ombak, suasana senja dan kelap kelip lampu dari Singapura yang terlihat jelas menjadi latar yang sangat untuk acara ini.Aaro membimbing Zahra untuk mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa yang diberikan oleh keluarga dan sahabat-sahabat keluarga mereka. Sungguh membahagiakan mereka semua bisa hadir meski undangan yang dikirim ayahnya begitu mendadak. Bukan undangan, teta
Rommy mengetuk kamar Zahra beberapa kali untuk membangunkan putrinya itu, tapi belum juga ada jawaban. Ia mulai khawatir terjadi sesuatu dengan putri tirinya itu mengingat apa yang sering terjadi sebelumnya. Ia pun mencoba membuka pintu kamar Zahra yang ternyata dikunci dari dalam.Rommy heran karena tidak biasanya Zahra tidur dengan pintu kamar terkunci. Untungnya, dirinya selalu antisipasi dengan menyediakan kunci cadangan. Tanpa pikir panjang, Rommy mengambil kunci cadangan yang ia simpan di lemari penyimpanan khusus dakam kamarnya.Perasaannya sudah tak karuan saat kembali melangkah cepat ke kamar Zahra dan membuka pintunya. Kamar Zahra gelap karena semua korden masih tertutup rapat hingga Rommy pun menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum melangkah ke jendela dan membuka semua kordennya. Setelahnya, ia membalikkan badan dengan maksud membangunkan Zahra, tapi pemandangan di tempat tidur yang ia lihat sungguh membuatnya terkejut.Rommy tak perlu bert
Aaro menunggu Zahra kembali dari kamar mandi sambil bersembunyi di balik pintu kamar Zahra. Kamar Zahra tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam karena memang bukan kamar utama.Sesekali, Aaro mengintip untuk melihat apakah Zahra sudah akan kembali ke kamar, tapi rupanya dia masih berada di dalam kamar mandi.Baru beberapa menit, Aaro sudah berdecak tak sabar dan hampir saja berderap menerobos ke dalam kamar mandi untuk menyusul Zahra jika saat itu dirinya tak melihat bahwa Rommy sedang menonton TV di ruang tengah.Aaro menyandarkan punggungnya ke dinding di belakang pintu sambil merapatkan kedua lengannya ke samping tubuhnya. Ia takut jika tiba-tiba saja dirinya nekat keluar dari tempat persembunyiannya dan menyongsong Zahra di depan kamar mandi. Ohh, rasa rindu yang sudah menggelegak di dalam dirinya membuat akal sehatnya sulit untuk dikendalikan.Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Aaro bersorak dalam
Aaro terjengkang ke belakang saat Zahra tiba-tiba berdiri dan mendorongnya dengan keras. Selama beberapa saat dirinya hanya bisa diam dan terkejut. Namun, saat menyadari bahwa Zahra berusaha kabur darinya, ia pun bergegas berdiri dan berlari mengejar."Cinta!" Aaro berteriak sambil berlari cepat mengejar Zahra yang sudah berada jauh di depannya dan menghilang dari pandangan. Aaro mempercepat larinya agar bisa menyusul sang istri, tapi saat sampai di belokan, ia tak lagi bisa melihat Zahra.Aaro mengatur napas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Zahra tak mungkin pergi jauh. Ia yakin sekali jika istrinya itu masih berada di sekitarnya dan bersembunyi karena ia sudah hafal betul bahwa Zahra tak mungkin bisa kabur dengan dengan cepat tanpa jatuh atau tersandung kakinya sendiri. Jadi, saat ini Aaro berdiri diam sambil mengamati area di sekelilingnya, mencari tempat yang sangat memungkinkan untuk dijadikan persembunyian istrinya itu. Namun,
Aaro menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur selepas berendam air hangat untuk melepas penat. Ia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan Zahra terbaring di kamar mandi bersimbah darah terus menghantui pikirannya. Seharusnya, saat ini ia masih terus mencari tahu keberadaan Zahra, bukan malah buang-buang waktu dengan datang ke pulau kecil ini. Bisa jadi, ketika dirinya berhenti mencari, Zahra akan pergi semakin jauh dan tak terjangkau.Tiba-tiba saja Aaro sadar, bahwa dirinya tak bisa tinggal lebih lama lagi di Batam. Ia harus segera kembali dan mulai melacak keberadaan Zahra. Huft! Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang masih ada meja depan TV.Aaro menghubungi sang ayah dan mengatakan bahwa dirinya ingin pulang saja besok. Ia menyampaikan banyak alasan yang semua tentunya berhubungan dengan pencarian Zahra, tapi sial, a
"Melamun lagi?"Zahra meboleh dan melihat ayah tirinya melangkah pelan menghampirinya. Zahra tersenyum malu karena sekali lagi terpergok melamun."Bosan ya?" Rommy terkekeh sambil duduk di kursi di hadapan Zahra. Saat ini mereka berada di Batam, selain untuk mempermudah akses saat Zahra harus melakukan kontrol ke Singapura, juga karena Rommy baru saja menerima sebuah tawaran kontrak di salah satu rumah sakit di Batam. Ia tak pikir panjang dan langsung menerima tawaran itu karena memang untuk sementara waktu dirinya belum bisa kembali ke Korea Selatan untuk mendampingi proses pemulihan Zahra. Dari Batam, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk menyeberang ke Singapura. Ditambah saat ini istrinya, Fatma sedang hamil muda dan sering mengalami mual yang hebat hingga belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh."Kurang nyaman ya apartemennya?" Rommy bertanya dengan nada meminta maaf, "di sini yang l
Rommy mengepalkan sebelah tangannya dengan wajah geram melihat Zahra terbaring lemah di IGD, sementara sebelah tangannya yang lain masih merangkul pundak istrinya yang bergetar oleh tangis. Zahra mengalami pendarahan hebat hingga kehilangan bayinya. Beruntung rumah sakit ini menyediakan golongan darah yang sesuai untuknya, sehingga bisa segera diberikan transfusi. Bagaimana jadinya jika tidak ada? Itulah mengapa Fatma masih begitu terpukul melihat kondisi putrinya.Siang ini mereka baru saja sampai dari Korea Selatan untuk menjenguk Zahra yang katanya harus bed rest karena kandungan lemah, tapi yang mereka dapati ternyata jauh lebih parah daripada itu. Tentu saja ini membuat Fatma begitu sedih dan Rommy sebagai ayah tiri Zahra--sudah menganggapnya seperti putri kandung sendiri-- murka.Kepala Rommy memutar berbagai rencana dan juga apa-apa saja yang harus dilakukan demi kesembuhan dan pemulihan Zahra baik fisik maupun psikis. Diriny
Satu bulan lebih sudah berlalu, Aaro masih merasa sangat berduka. Setiap harinya hanya ia habiskan dengan melamun, menangis dan menyalahkan diri sendiri. Terkadang ia sampai tak sadarkan diri akibat terlalu tertekan oleh rasa sedih dan juga rasa bersalah.Selama itu, semua bisnis dan tanggung jawab Aaro diambil alih pengelolaannya oleh ayah dan juga kakak-kakak lelakinya. Entah sampai kapan, karena Aaro terlihat tak lagi memiliki semangat hidup. Bahkan ketika ia diminta menjaga Alea di klinik pun, ia melakukannya hanya sambil lalu saja. Kebanyakan dia hanya diam dan terus merindukan Zahra. Kesedihan karena kondisi Alea yang masih belum juga membaik ternyata tak sesakit saat mengetahui Zahra tak ada lagi bersamanya.Aaro melangkah tanpa arah di dalam rumah ayahnya—selama masa berduka ini, dirinya masih tinggal bersama orangtuanya dan belum kembali ke bengkel—dan sampailah di garasi. Tatapannya jatuh pada motor miliknya yang khusus ia beli agar lebih sesuai dengan Zahra. I
Tubuh Aaro lemas. Rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat yang tersisa. Ia jatuh berlutut di lantai, di samping sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur di ruang IGD dengan seluruh tubuh mulai kaki sampai ujung kepala tertutup kain putih.Tak ada air mata dan isak tangis. Hanya rasa kebas dan hampa seakan seluruh organ dalam tubuhnya telah dicabut paksa. Syok. Ia ingin berdiri dan memeluk tubuh yang terbujur kaku itu, tapi seluruh sel dalam tubuhnya seakan mati dan berhenti bekerja.Saat dua orang mengapit lengannya dan membawanya keluar dari ruang IGD, ia tak kuasa melawan. Dirinya masih terlalu terkejut dengan keadaan yang ada. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dirinya bersama dengan Zahra, tapi sekarang ...."Apa instruksi Aidan?" Seseorang berbicara dari sebelah kiri Aaro."Sebentar, aku bacakan lagi pesannya." Pria di sebelah kanan Aaro menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengeluarkan