Jenna tidak tahu berapa lama mereka berdua duduk di dalam mobil. Sejak masuk, Jerome pun sibuk dengan tab di tangan pria itu sedangkan dirinya pun tak berani mengusap dan mempertahankan keheningan tersebut dengan pikirannya sendiri.
Di depan dan di belakang mobil yang mereka tumpangi, ada dua mobil khusus pengawal Jerome. Masing-masing berisi empat pengawal. Rupanya pria itu memang terniat memperketat pengawalan sejak dirinya tahu Liora dan Daniel terlindungi dengan aman. Entah siapa seseorang yang berada di balik perlindungan tersebut, rasanya begitu mustahil ada seseorang ditakuti oleh Jerome mengingat kekejaman dan kekuasaan pria itu yang seolah tidak ada tandingannya.
Dan ya, ia memang belum menyerah untuk kabur dari pria itu. Entah bagaimana caranya dan meskipun ada kemungkinan ia akan tertangkap kembali, setidaknya Jenna tidak bisa tidak melakukan apa pun. Kesempatan tidak akan datang tanpa kita sendiri yang mencarinya dan setiap usaha pasti sepadan dengan hasi
Jangan lupa komen dan kasih rate lima, ya. Salam L
“Sejak menikah, kau jadi lebih pendiam?” Alicia memulai keheningan yang terpecah sejak keduanya membebaskan diri dari keramaian pesta menelusuri sebuah lorong panjang dan melewati empat pintu kayu. Alicia berhenti di sebuah pintu di ujung sambil mengeluarkan sebuah kunci, kemudian masuk lebih dulu.Sesaat Jenna mengamati ruangan laus tersebut, ruang pribadi sekaligus ruang untuk beristirahat. Dengan satu ranjang besar, dua set sofa, meja rias dan beberapa cermin besar yang berjajar dengan sudut yang berbeda. Ada pintu kamar mandi di sudut dan satu koper besar di atas ranjang yang masih terbuka. Menampilkan beberapa gaun. Di dekat ranjang ada tiga sepatu dengan model dan warna yang berbeda, yang tampaknya senada dengan gaun di koper.“Apa pernikahan memang membuat sakit kepala seperti yang dikatakan Monica?”Jenna berhenti mengamati, menoleh ke arah Alicia yang melangkah mendekati ranjang.“Apa kemesraan yang ditampilkan
Di sepanjang lorong rumah sakit, kedua kaki Jenna yang terseret memaksa melangkah. Pandangan wanita itu kosong dan merana. Satu tangan memegang tas dan satu tangan meremas amplop putih di tangan. Yang berisi hasil pemeriksaan dokter dan foto USG. Usia janin di dalam kandungannya sudah memasuki minggu keenam. Masih sekecil kacang tapi sudah memiliki denyut jantung.Hati Jenna menangis, janin itu tidak berdosa. Tetapi kenapa ia merasa begitu terbebani dengan keberadaannya. Semua usahanya telah sia-sia. Seolah semua derita ini belum juga usai, datang bertubi-tubi tanpa peduli dengan hatinya yang sudah tak sanggup lagi menampung.Ia tak pernah tahu mengenai sebuah kehamilan, apalagi seorang anak. Bayangan semacam itu tak pernah terbayangkan ada di antara hidupnya dan Jerome. Hubungannya dan Jerome jelas tak ada harapan. Bagaimana mungkin harus ada hal bodoh ini di antara mereka.“Jenna?” Suara haru seseorang tiba-tiba terdengar dari arah depan Jenna. Dip
“Merindukanku, Jenna sayang?” sapa Jerome dalam senyuman mengerikan yang tersungging di bibir. Kedua kaki tersilang dan kedua lengan yang bersandar di lengan sofa.“A-apa yang kaulakukan di sini, Jerome?” desis Jenna berusaha keras menahan getar di sepanjang garis bibirnya. Menekan dalam-dalam rasa takutnya. “Bagaimana kau masuk?”“Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku,” koreksi Jerome.Jenna bergeming. Wajahnya yang pucat mengembangkan kepuasan di wajah Jerome.“Sepertinya dua hari cukup bagimu untuk bersenang-senang, bukan. Aku datang untuk menjemput istri tercintaku.” Jerome mengurai silang kedua kakinya dan bangkit berdiri. Tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Jenna.“Aku tak akan kembali ke rumahmu. Tak akan pernah.” Diam-diam Jenna memegang gagang pintu, bersiap memutar tubuh dan melarikan diri. Berharap Juna tak berada jauh dari sini. Tapi ia tak punya ponsel untuk
Jenna terbangun seketika merasakan gejolak menyerang perutnya secara tiba-tiba. Dengan segera tangannya bergerak menyingkap selimut dan melompat turun dari tempat tidur untuk berlari ke kamar mandi. Berjongkok di depan lubang toilet dan muntah dengan keras. Jerome pun yang lengannya tadi melilit pinggan Jenna, ikut bangun karena lengannya yang disentakkan oleh Jenna. Ia mengangkat kepalanya sedikit dan mendengar suara muntahan. Bangkit terduduk lalu menyusul Jenna. “Apa kau perlu dokter?” Jerome muncul dan tangannya bergerak menyentuh punggung Jenna berniat untuk memijit dan meredakan rasa sakit Jenna. Tetapi hanya sesaat tangan itu berhasil menyentuh tubuh Jenna, wanita itu sudah bangkit sambil menutup lubang toilet. Berdiri di depan wastafel dan mencuci wajah serta kedua tangannya. Tanpa melirikkan pandangan sedikit pun pada Jerome. Merasakan sikap Jenna yang sengaja menghindarinya, Jerome menahan lengan Jenna yang hendak keluar kamar mandi. “Wajahmu pucat
Rasa pusing teramat yang menusuk kepala menyadarkan Jenna dari ketidaksadarannya. Matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan dengan cahaya yang tersilau ke wajahnya. Kemudian bangkit terduduk oleh rasa haus yang terasa mencekik leher. Pandangannya langsung teralih ke arah nakas, melihat segelas air putih dan langsung meneguknya hingga tandas. Sambil menelaah ingatannya sebelum ia jatuh pingsan. Jerome yang memaksanya makan makanan di lantai dan muntah.Rasa sakit di kepala kembali muncul mengingat jambakan kuat pria itu yang rasanya nyaris menguliti rambut di kepalanya. Satu tangannya bergerak menggosok bagian belakang kepalanya. Kemarahan, rasa dongkol, dan sakit hati bercampur aduk di dalam dadanya. Menyumpahi pria itu dengan segala macam sumpah yang berjumbal di kepalanya.Hingga suara pintu kamar yang dibuka mengalihkan perhatian Jenna. Memunculkan kembali luka hatinya yang masih ternganga lebar. Tidak cukupkah pria itu merampas segala hal di hidupnya, hing
“Hampir keguguran?!” Suara Jerome bergema di sepanjang lorong yang sepi. Ia bahkan tidak tahu jika Jenna sedang hamil, dan sekarang saat tahu tiba-tiba nyawa anaknya dalam kandungan Jenna berada dalam bahaya. Ditambah ia sendirilah yang nyaris membunuh anak itu dengan kedua tangannya sendiri. Kedua tangannya terkepal keras, giginya bergemeletuk, dan salah satu kepalan tangannya menghantam ke dinding lorong. Membuat sang dokter terperanjat keras dengan wajah pucat sambil menelan ludah. Tubuhnya bergetar hebat oleh rasa takut jika tinju itu meleset dan mengenai dirinya. Jerome Lim, selain sebagai salah satu petinggi yang memiliki kekuasaan cukup besar di rumah sakit ini, sosoknya sebagai pria dingin dan kejam bukanlah sekedar rumor omong kosong. Ia bahkan tak berani mempertanyakan dengan bekas kekerasan fisik yang terlihat di rahang pasiennya. Tak perlu dan tak ingin tahu lebih banyak atau sedikit pertanyaan akan mengusik emosi seorang Jerome Lim dan nyawanya berada da
Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Jenna melihat Jerome berdiri di teras seolah menunggu untuk menyambut kedatangannya. Jenna menahan napasnya sesaat oleh kegugupan yang muncul, rasa dingin meresap di sepanjang tulang punggungnya dengan gugup. Kedua tangannya saling bertaut. Mengatur degupan jantungnya ketika mobil berhenti.Jerome menuruni empat anak tangga di teras, dan langsung membuka pintu mobil. Dengan senyum tanpa dosa seolah semua hal menyakitkan yang telah diberikan pria itu pada Jenna tidak pernah terjadi.“Turunlah.” Jerome mengulurkan tangan. Wajah pria itu terlihat hangat, yang penuh kejanggalan dalam pandangan Jenna.Jenna hanya menatap uluran tangan tersebut dengan raut datar. Tak menyambut uluran tangan tersebut, dan turun sendiri menggunakan kedua kakinya.Dengan tangan yang masih melayang di udara, tubuh Jerome mematung. Menghela napas pendek lalu berbalik. Mengambil dua langkah besar sebelum membungkuk dan membaw
Jenna melihat seseorang sudah mulai menghias pagar di tangga dengan bunga hiasan. Pelayan berseragam sibuk ke sana kemari memindah beberapa perabot sedangkan yang lainnya membuat berbagai macam hiasan di dinding, di langit-langit, dan di berbagai macam sudut rumah. Membuat Jenna ingin melihat lebih dekat. “Nyonya, Tuan melarang Anda turun.” Doris memperingatkan Jenna yang sudah hendak menginjak anak tangga. Ya, sejak Jenna keluar rumah sakit, pria itu bersikeras menyuruhnya tetap di dalam kamar. Dan baru dua hari yang lalu Jerome mengijinkannya keluar setelah ia mengaku bosan dan mendekati gila jika ia terus mendekam di dalam kamar. Itu pun hanya boleh berjalan-jalan di lantai dua. Yang hanya ada ruang kerja dan perpustakaan dan bioskop mini. Yang sedang tak ingin ia kunjungi hari ini karena keramaian di lantai satu terlihat lebih menarik perhatiannya. “Hanya sebentar. Toh dia juga tidak akan tahu.” Jenna mulai menginjak anak tangga pertama dan turun. Mengaba
Jangan lupa baca cerita baru author, yaPeringatan : KHUSUS 21+ Di bawah umur sebaiknya melipir. Mengandung adegan dewasa dan kekerasan, TETAPI yang berharap menemukan adegan ena-ena dan eksplisit sebaiknya menjauh sebelum harapan kalian runtuh. Blurb : Anne Lucas, dengan kecantikannya yang begitu memesona berhasil menarik perhatian seorang Luciani Enzio. Supermiliader, filantropis, aktivis dan tak lupa predikat bujangan paling diagungkan di lingkungan sosial atas. Segala macam pujian dipersembahkan oleh semua orang untuk pria itu. Tetapi Anne tak pernah terkecoh dengan semua topeng pria itu yang digunakan untuk menjilat kedua orang tuanya demi restu mereka untuk menikahkan Anne dengan Luciano. Ia tahu, di balik kesempurnaan Luciano. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Segala cara ia lakukan untuk merobek topeng dan menunjukkan pada dunia wajah Luciano yang sebenarnya. Termasuk menghancurkan tubuhnya yang berhasil menarik pria itu. Tetapi, semua rencananya ta
Jerome berhasil menangkap tubuh Jenna yang terhuyung ke depan tepat sebelum kepala sang istri menyentuh lantai. Wajah Jenna benar-benar seputih kapas. Matanya terpejam. Wanita itu pasti benar-benar terkejut mendengar bahwa Daniel menemukan Liora lebih dulu. Yang artinya Xiu akan dipisahkan dari sang kakak, juga dari mereka berdua.Ya, selama dua tahun merawat Xiu, dan meski balita itu bukan anak kandungnya. Kasih sayang mereka tak berkurang sedikit pun untuk Xiu. Tak ada bedanya dibandingkan dengan Axel dan Alexa. Penyesalan bercokol di dadanya, sepertinya ia memang harus bertemu dengan Daniel."Bangun, Jenna," panggil Jerome dengan telapak tangan yang menepuk lembut pipi sang istri. Tak ada reaksi, Jerome pun menggendong Jenna ke dalam kamar. Membaringkan dengan hati-hati di tempat tidur.Jerome sedikit melonggarkan pakaian dalam Jenna agar lebih mudah bernapas. Mengambil minyak kayu putih di laci dan mengoleskan di dekat hidung. Setelah menunggu beberapa saat, perlahan Jenna terban
Jerome menatap Juna yang berdiri di ambang pintu gandanya yang tinggi dan megah. Berbanding terbalik dengan pakaian sederhana yang dikenakan pria itu. Kaos polos dan celana jeans, juga sepatu kets yang dikotori debu.Di samping Juna berdiri Abe yang mengangguk patuh begitu mendapatkan isyarat pergi dari Jerome.Kedua mata Juna menatap lurus pada Jerome, denga keberanian sebesar itu, Jerome tahu siaa jati diri pria itu yang sebenarnya. Sudah belasan tahun yang lalu, sejak terakhir ia melihat Julian yang dipaksa naik ke dalam mobil oleh anak buah mamanya. Tanpa tahu remaja itu tak akan pernah kembali ke kediaman Lim untuk waktu yang lama. Kecurigaan sempat hinggap di hati Jerome ketika menyuruh anak buahnya menyelidiki tentang tujuan Juna Fadli karena pria itu kembali ke hidup Jenna. Ada sesuatu tang familiar mengamati berkas laporan yang didapatkan oleh anak buahnya. Sekarang kecurigaan itu semakin meruncing."Sudah lama tak bertemu, Jerome," sapa Juna tanpa sedikit pun getaran dalam
"Gali lebih dalam." Jerome melempar berkas di tangannya ke hadapan Max. Wajahnya dipekati kegusaran yang begitu dalam. Menahan kemarahan di dadanya kuat-kuat. Kenapa harus ada kebetulan sialan semacam ini di hidupnya dan Jenna. Yang rasanya baru saja dipenuhi ketenangan. "Cari tahu apakah dia ada hubungannya dengan Karina Darleen."Max mengangguk patuh sembari memungut berkas yang jatuh di lantai. Suasana hati sang tuan jauh dari kata baik. Sedikit saja kekesalan, sang tuan tampak siap mengamuk di detik berikutnya. Beruntung informasi yang didapatkannya tentang asal usul Juna Fadli di kampung halaman pria itu cukup memuaskan sang tuan. Meski perlu informasi lebih dalam lagi. Max pun berpamit undur diri dan berjalan keluar. Berpapasan dengan Jennifer."Karina Darleen?" Jennifer memasuki ruangan Jerome dengan penuh keheranan dan kemarahan yang bercampur jadi satu. Berhenti tepat di depan meja Jerome. "Untuk apa kau mencari tahu tentang wanita itu, Jerome. Dia sudah mati, kan?""Ya, di
"Nyonya?" Mata Jenna terpejam mendengar suara memanggil yang mendadak muncul dari arah belakangnya. Baru saja ia keluar dari lift dan hendak memasuki ruang IGD. Mendesah pendek dan berbalik. "Ada apa lagi?""Tuan meminta saja …""Aku bisa mengurus urusanku sendiri," potong Jenna. "Kau pergilah ke kamar Xiu dan tanyakan apa yang dibutuhkan oleh kakakku.""T-tapi Anda …""Aku akan mengurusnya diriku sendiri.""Tuan Lim …""Abe, aku yang akan bertanggung jawab jika suamiku memarahimu."Abe pun mengangguk menangkap kemarahan yang mulai memekati wajah sang nyonya. Ia mengangguk undur diri dan menunggu sejenak di depan lift untuk naik ke atas.Jenna berbalik setelah pintu lift tertutup, menyusuri lorong pendek dan langsung ke ruang IGD. Tetapi tak menemukan Juna."Pasien yang tadi malam?" Perawat yang berjaga memasang senyum ramahnya. "Atas nama?"Jenna mengangguk. "Juna Fadli."Perawat itu menatap layar komputer di hadapannya, mencari sejenak. "Pasien sudah pulang."Mata Jenna melebar. "B
Abe mengatakan Jenna menyerempet seseorang di basement dan membanting setir hingga menabrak tiang. Saat pengawal wanita itu menemukan Jenna, Jenna sudah ditolong oleh seseorang yang ditabrak istrinya dan dibawa ke ruang UGD.Wajah Jerome yang dipenuhi kepanikan seketika berubah merah padam dan mengeras dengan kuat melihat pemandangannya di hadapannya. Kekhawatiran yang memenuhi dadanya dalam sekejap ditimbun oleh kemarahan melihat Jenna yang berbaring di ranjang pasien salah satu bilik dengan seorang pria. Tangan Jenna berada dalam genggaman jemari pria itu, dengan ibu jari yang mengelus lembut punggung Jenna."Lancang sekali," desis Jerome. Yang membuat pria itu menoleh dan Jerome dikejutkan untuk kedua kalinya. Mengenali si pria dengan sangat baik meski ini adalah pertemuan pertama mereka.Bagaimana mungkin ada kebetulan konyol semacam ini? Jerome jelas tak terima orang yang ditabrak oleh Jenna adalah Juna Fadli. Dari jutaan orang di kota ini, tidak adalah korban lain?"Apa yang k
Napas Jenna masih tertahan akan ancaman yang terselip dalam peringatan yang diucapkan oleh Jennifer. Tetapi terlihat rapuh dan ketakutan sama sekali bukan pilihan bagi Jenna. “Jika kau ingin membuatku ketakutan, kuakui kau sedikit membuat goyah, Jennifer. Tapi maaf mengecewakanmu, aku tak akan tersingkirkan semudah itu. Aku tahu apa yang kumiliki dengan Jerome jauh lebih besar dan kuat dari apa yang kau katakan.”Jenna memajukan tubuhnya lebih dekat ke arah Jennifer yang tampak terdiam. Ada secercah keterkejutan di wajahnya akan keberanian dan keyakinan yang ditampilkan oleh Jenna, tapi ia tahu itu hanyalah penampilan di permukaan saja.“Dan aku tak perlu membuktikan apa pun padamu. Pernikahan ini, kami sendiri yang tahu dan kami yang menjalaninya. Kami memiliki beberapa masalah, ya tidak ada hubungan yang lurus dan lancar-lancar saja. Kadang kami bertengkar karena hal besar maupun kecil, tapi disitulah hubungan kami tumbuh. Dan kami tak membutuhkan masalah lainnya. Seperti dirimu.”K
“Siapa namanya?” Tiga tahun lalu, Jerome ingat Jenna pernah memiliki kekasih yang hubungannya sudah dihancurkan oleh Liora. Tetapi ia tak ingat pasti siapa nama belakang pria itu.“Juna Fadli.”“Cari setiap informasi tentangnya. Alamat dan pekerjaannya sekarang. Sedetail mungkin dan letakkan di atas meja di ruanganku. Secepatnya.” Setelah memungkasi perintahnya, Jeroma menurunkan ponselnya dan meletakkannya di meja wastafel. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Bola matanya yang sepekat arang menghiasi wajahnya yang mengeras. Sekecil apa pun, ia tak akan menciptakan celah sekecil apa pun bagi Jenna untuk mengkhianatinya.Orang tua, kakak, kekasih, tunangan, dan bahkan sepupunya sendiri. Mereka semua mengkhianatinya di belakangnya. Hanya Jenna dan si kembar yang dimilikinya. Ia sudah memberikan apa pun dan menjadikan Jenna kelemahannya. Jika Jenna pun mengkhianatinya juga, maka selesailah sudah.***Jenna tak menemukan Jerome di manapun meski pria itu berpamit akan turun ke lantai satu
Jenna baru saja menuruni anak tangga, Jerome mengatakan akan sampai di rumah dalam sepuluh menit setelah menanyakan si kembar yang sudah terlelap. Ia hendak membantu menyiapkan makan malam di ruang makan, tetapi langkahnya tiba-tiba dihadang oleh Jennifer.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap wanita angkuh itu, melirik ke arah Abe yang berdiri beberapa meter di belakang Jenna. Membuatnya kesal akan keberadaan pengawal wanita itu. “Di ruang makan.”Jenna mengangguk, mengikuti langkah Jennifer. Keduanya duduk berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh meja makan yang besar. Saat Jennifer meletakkan sebuah berkas yang baru disadari keberadaannya. Yang kemudian disodorkan tepat di hadapannya. Berikut sebuah pen yang terselip di dalamnya.“Baca dan tandatangani,” perintah Jennifer.Jenna mulai membaca lembaran tersebut. Surat Perjanjian Pernikahan.“Apa ini?” Jenna bukannya tak memahami surat yang disodorkan oleh Jennifer. Dari judulnya semuanya sudah jelas.“Kenapa? Kau tidak mau menandatanganinya