Jerome merasa begitu marah merasakan kepanikan yang menggelegar di dalam dadanya tak sanggup ia kuasai. Perjalanan dua puluh menit menuju rumah sakit, belum pernah terasa sepanjang ini. Dengan tangannya yang menggenggam erat pergelangan tangan Jenna dan tubuh lunglai wanita itu berada dalam rangkulannya. Tubuh Jenna mulai dingin dan wajah wanita itu terlihat sangat pucat.
Lebih pucat ketimbang ketika ia menyelamatkan wanita itu dari dasar kolam renang, dan ia masih belum melupakan kepanikan bercampur kemarahan ketika menjejalkan udara ke paru-paru Jenna yang dipenuhi air kolam, sekarang wanita itu harus menambah keresahan dan kemurkaannya berkali-kali lipat dengan menyayat nadi untuk mengakhiri nyawa.
Sialan. Hanya dirinya yang punya hak untuk membunuh Jenna. Untuk mengakhiri nyawa wanita itu. Bukan siapa pun atau diri wanita itu sendiri. Seluruh jiwa dan raga wanita itu hanya miliknya.
“Buat dia kembali hidup apa pun caranya. Berikan apa pun yang terbaik
Kelopak mata Jenna bergerak-gerak pelan. Menarik kesadaran mulai memenuhi dirinya.“Singapore?”“...”Suara kuat itu menyelinap di antara kabut kantuk yang masih berusaha menyelubungi kesadarannya. Singapore? Sepertinya kata itu tidak terlalu asing untuk Jenna. Hingga kemudian ia tersentak sepenuhnya dan kelopak matanya terbuka sempurna.Singapore?Bukankah Daniel sedang pergi ke sana untuk mencari Liora.Apakah Jerome sudah menemukan keberadaan Daniel?“Kau tak punya batasan untuk menggunakan segala sumberdaya demi menemukan mereka, Max. Jangan menggunakan alasan tak bertanggung jawab yang menahanmu membawa mereka padaku.”Jenna menggerakkan kepala, mencari asal suara. Sepertinya anak buah Jerome belum berhasil menemukan Daniel.“LA?”“...”“Tinggalkan beberapa orang di sana untuk berjaga dan suruh yang lainnya ke LA. Kau harus mendapatkan s
“Aku tak butuh kabar buruk,” sentak Jerome siang itu ketika ponsel di meja bergetar dan ia langsung menjawabnya.“...”Jenna yang duduk di kepala ranjang tersentak pelan. Geraman Jerome memberitahu Jenna bahwa kabar buruk itu sudah dikatakan meski pria itu tidak membutuhkan. Sepertinya ini tentang Liora dan Daniel, yang tak kunjung ditemukan meski anak buah pria itu pergi ke LA.Satu-satuny keuntungan yang bisa Jenna manfaatkan dengan keberadaan Jerome di ruangan ini. Ia bisa memantau perkembangan pencarian Daniel dan Liora.Braakkkk ...Ponsel di telinga Jerome melayang ke meja kaca. Pecahan kaca berhambur di lantai, Jenna membekap mulut menahan jeritan kagetnya.“Kau senang, bukan?”Jenna menelan gumpalan ludahnya yang terasa berhenti di tenggorokan, lalu mengangkat wajahnya pada Jerome yang kini melangkah ke dekat ranjang. Dengan kegelapan yang melapisi setiap gurat di wajah pria itu.&ldq
Ketika mobil Jerome berhenti di halaman depan rumah pria itu yang luas, Jenna menatap kemegahan rumah besar tersebut dengan pandangan kosong. Akhirnya, dia kembali lagi ke rumah ini. Ke sangkar emasnya.“Turunlah,” perintah Jerome melihat Jenna yang hanya melamun setelah ia membukakan pintu mobil untuk wanita itu.Sejenak Jenna menatap tangan Jerome yang terulur sebelum menerimanya dan turun dari mobil. Ketika ia sudah berdiri dengan kedua kakinya, pria itu menarik pinggangnya hingga menempel di dada“Home sweet home,” gumam Jerome dalam bisikan berat di depan wajah Jenna. “Selamat kembali ke rumah kita, istriku.”Jenna merasakan desiran familiar setiap napas Jerome menerpa wajahnya. Posisi pria itu sangat dekat, nyaris tak berjarak. Membuat napasnya terhenti karena menahan degupan yang bertalu di dadanya. Sial, sudah cukup seluruh harga dirinya diinjak oleh Jerome. Jika Jerome tahu reaksi tubuhnya yang berada di luar k
Jenna menatap baju renang dengan tujuh warna pelangi di lemari yang disiapkan oleh Jerome dengan pandangan jijik. Semua modelnya tak lebih dari pakaian dalam. Dengan lubang di mana-mana seperti pakaian yang dibuat dari kain sisa. Meskipun begitu, Jenna tetap mengambil salah satu di bagian depan yang bisa dicapai tangannya. Rasanya semua pakaian itu sama saja. Kemudian ia membawanya masuk ke kamar mandi dan bergegas mengganti pakaiannya dengan kain tersebut.Sejenak, ia menyempatkan menatap tubuhnya di depan cermin wastafel dengan malu sebelum keluar. Kain itu begitu menempel di tubuhnya seperti kulit kedua. Membuat belahan dadanya terlihat begitu jelas, belum dengan tiga lubang di samping tubuhnya yang nyaris memamerkan kulit telanjang perutnya, juga tubuh bagian bawahnya dan seluruh kulit pahanya. Menghela napas panjang dengan penampilannya, Jenna mengambil jubah mandi untuk menutupi tubuhnya. Ia tak mungkin turun dengan pakaian seperti ini di hadapan para pelayan, kan.
“Kau membatalkan pertemuan penting hanya untuk mengurusi urusan semacam ini? Kau benar-benar telah berubah, Jerome.”“Aku tak butuh komentarmu, Monica.” Jerome bangkit berdiri sambil menyarungkan kembali pistolnya. Kemudian pria itu menangkap dan menarik lengan Jenna bangun dari simpuhan. Menjauhkan wanitanya dari tubuh pria sialan itu. “Singkiran dia,” pintahnya pada anak buahnya. Yang bergegas mengangkat tubuh tak berdaya itu menyingkir dari pandangannya dalam hitungan detik.“Hapus air matamu, Jenna. Jangan terlihat menyedihkan hanya karena pria lain yang bukan suamimu. Aku terlalu pecemburu, termasuk jika harus membagi perhatianmu dengan siapa pun itu,” sergahnya pada Jenna yang masih terisak pelan dengan tubuh tangan bergetar.Jenna menghapus air matanya dengan punggung tangan, seolah kembali bernapas karena Jerome tidak jadi memecahkan kepala Mike. Dan meskipun ia tak yakin Mike sudah mati apa belum.&
Terlalu banyak sentuhan yang diberikan oleh Jerome, terlalu banyak pula kenikmatan yang tak pernah mampu Jenna tampung. Sekuat apa pun kepalanya berkutat untuk menolak, pada akhirnya tubuhnya selalu pasrah dalam kenikmatan yang Jerome hadiahkan. Tubuhnya merespon pria itu dengan sangat sensitif. Membawanya dalam pusaran gairah yang belum pernah ia selami sekaligus terasa begitu familiar.Ya, hanya Jerome lah satu-satunya pria yang mengenalkannya akan kenikmatan yang membuatnya seperti melayang. Merasakan detik puncak kenikmatan yang terasa begitu panjang. Yang membuatnya sudah tak bisa berkata-kata lagi akan kenikmatan yang ia rasakan.Jerome membuatnya kelelahan, menguras habis tenaganya tetapi di saat yang bersamaan pria itu selalu berhasil memuaskannya. Setelah pria itu berhenti menggerakkan tubuh Jenna dan keduanya mencapai puncak bersamaan, kepala Jenna terkulai di pundak Jerome. Dadanya dan dada Jerome yang menempel naik turun oleh napas mereka yang terengah.
Siang itu, saat pelayan memberitahu bahwa pelatih renangnya sudah datang. Jenna tak langsung beranjak dari tempat duduknya meskipun majalah di pangkuannya pun tak juga menarik. Setelah beberapa saat, ia baru pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian renang. Dan ia sudah mengambil salah satu pakaian kurang bahan itu secara sembarangan ketika tiba-tiba ide itu muncul begitu saja. Jenna memilah-milah di antara helaian tersebut dan memutuskan memakai bikini. Yang jelas hanya menutupi dada dan pangkal pahanya.Berusaha terlihat setenang mungkin saat menggantinya di depan cermin, mengabaikan CCTV yang ada di sudut kamar mandi. Ia tahu Jerome mungkin saja mengawasinya, atau pria itu sedang sibuk rapat. Jenna tak terlalu peduli apa yang sedang pria itu lakukan, tapi ia tahu pria itu pasti akan melihat rekamannya. Sekarang ataupun nanti.Saat Jenna turun ke lantai satu, pelayan yang berpapasan dengannya membelalak terkejut dan langsung menundukkan pandangan
“Tidak ada.” Jerome menggelengkan kepala, tatapan matanya terlihat geli dengan kepucatan di wajah Jenna. “Aku sendiri tidak tahu apa yang Liora lakukan hingga kau rela menukar hidupmu yang sederhana dan penuh ketenangan dengan kekacauan yang dibuatnya di sini.”Jenna pun dibuat bertanya-tanya. Kenapa kakaknya meminta maaf tentang Juna.“Tapi ...” Jerome sengaja mengulur kalimatnya. “Aku curiga itu ada hubungannya dengan mantan kekasihmu itu.”Jenna mulai menyusun ingatannya. Kehidupannya yang penuh ketenangan, Liora datang meminta tolong, patah hatinya ketika melihat Juna berselingkuh, dan semua itu mengantarnya ke dalam jeratan Jerome. Mengikat lehernya pada pernikahan mereka.Atau ...‘Apakah Juna tak benar-benar mengkhianati hubungan mereka?’‘Apakah semua ini hanya rekayasa Liora yang mendorong dirinya untuk memenuhi permohonannya?’Pertanyaan yang tiba-tiba m
Jangan lupa baca cerita baru author, yaPeringatan : KHUSUS 21+ Di bawah umur sebaiknya melipir. Mengandung adegan dewasa dan kekerasan, TETAPI yang berharap menemukan adegan ena-ena dan eksplisit sebaiknya menjauh sebelum harapan kalian runtuh. Blurb : Anne Lucas, dengan kecantikannya yang begitu memesona berhasil menarik perhatian seorang Luciani Enzio. Supermiliader, filantropis, aktivis dan tak lupa predikat bujangan paling diagungkan di lingkungan sosial atas. Segala macam pujian dipersembahkan oleh semua orang untuk pria itu. Tetapi Anne tak pernah terkecoh dengan semua topeng pria itu yang digunakan untuk menjilat kedua orang tuanya demi restu mereka untuk menikahkan Anne dengan Luciano. Ia tahu, di balik kesempurnaan Luciano. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Segala cara ia lakukan untuk merobek topeng dan menunjukkan pada dunia wajah Luciano yang sebenarnya. Termasuk menghancurkan tubuhnya yang berhasil menarik pria itu. Tetapi, semua rencananya ta
Jerome berhasil menangkap tubuh Jenna yang terhuyung ke depan tepat sebelum kepala sang istri menyentuh lantai. Wajah Jenna benar-benar seputih kapas. Matanya terpejam. Wanita itu pasti benar-benar terkejut mendengar bahwa Daniel menemukan Liora lebih dulu. Yang artinya Xiu akan dipisahkan dari sang kakak, juga dari mereka berdua.Ya, selama dua tahun merawat Xiu, dan meski balita itu bukan anak kandungnya. Kasih sayang mereka tak berkurang sedikit pun untuk Xiu. Tak ada bedanya dibandingkan dengan Axel dan Alexa. Penyesalan bercokol di dadanya, sepertinya ia memang harus bertemu dengan Daniel."Bangun, Jenna," panggil Jerome dengan telapak tangan yang menepuk lembut pipi sang istri. Tak ada reaksi, Jerome pun menggendong Jenna ke dalam kamar. Membaringkan dengan hati-hati di tempat tidur.Jerome sedikit melonggarkan pakaian dalam Jenna agar lebih mudah bernapas. Mengambil minyak kayu putih di laci dan mengoleskan di dekat hidung. Setelah menunggu beberapa saat, perlahan Jenna terban
Jerome menatap Juna yang berdiri di ambang pintu gandanya yang tinggi dan megah. Berbanding terbalik dengan pakaian sederhana yang dikenakan pria itu. Kaos polos dan celana jeans, juga sepatu kets yang dikotori debu.Di samping Juna berdiri Abe yang mengangguk patuh begitu mendapatkan isyarat pergi dari Jerome.Kedua mata Juna menatap lurus pada Jerome, denga keberanian sebesar itu, Jerome tahu siaa jati diri pria itu yang sebenarnya. Sudah belasan tahun yang lalu, sejak terakhir ia melihat Julian yang dipaksa naik ke dalam mobil oleh anak buah mamanya. Tanpa tahu remaja itu tak akan pernah kembali ke kediaman Lim untuk waktu yang lama. Kecurigaan sempat hinggap di hati Jerome ketika menyuruh anak buahnya menyelidiki tentang tujuan Juna Fadli karena pria itu kembali ke hidup Jenna. Ada sesuatu tang familiar mengamati berkas laporan yang didapatkan oleh anak buahnya. Sekarang kecurigaan itu semakin meruncing."Sudah lama tak bertemu, Jerome," sapa Juna tanpa sedikit pun getaran dalam
"Gali lebih dalam." Jerome melempar berkas di tangannya ke hadapan Max. Wajahnya dipekati kegusaran yang begitu dalam. Menahan kemarahan di dadanya kuat-kuat. Kenapa harus ada kebetulan sialan semacam ini di hidupnya dan Jenna. Yang rasanya baru saja dipenuhi ketenangan. "Cari tahu apakah dia ada hubungannya dengan Karina Darleen."Max mengangguk patuh sembari memungut berkas yang jatuh di lantai. Suasana hati sang tuan jauh dari kata baik. Sedikit saja kekesalan, sang tuan tampak siap mengamuk di detik berikutnya. Beruntung informasi yang didapatkannya tentang asal usul Juna Fadli di kampung halaman pria itu cukup memuaskan sang tuan. Meski perlu informasi lebih dalam lagi. Max pun berpamit undur diri dan berjalan keluar. Berpapasan dengan Jennifer."Karina Darleen?" Jennifer memasuki ruangan Jerome dengan penuh keheranan dan kemarahan yang bercampur jadi satu. Berhenti tepat di depan meja Jerome. "Untuk apa kau mencari tahu tentang wanita itu, Jerome. Dia sudah mati, kan?""Ya, di
"Nyonya?" Mata Jenna terpejam mendengar suara memanggil yang mendadak muncul dari arah belakangnya. Baru saja ia keluar dari lift dan hendak memasuki ruang IGD. Mendesah pendek dan berbalik. "Ada apa lagi?""Tuan meminta saja …""Aku bisa mengurus urusanku sendiri," potong Jenna. "Kau pergilah ke kamar Xiu dan tanyakan apa yang dibutuhkan oleh kakakku.""T-tapi Anda …""Aku akan mengurusnya diriku sendiri.""Tuan Lim …""Abe, aku yang akan bertanggung jawab jika suamiku memarahimu."Abe pun mengangguk menangkap kemarahan yang mulai memekati wajah sang nyonya. Ia mengangguk undur diri dan menunggu sejenak di depan lift untuk naik ke atas.Jenna berbalik setelah pintu lift tertutup, menyusuri lorong pendek dan langsung ke ruang IGD. Tetapi tak menemukan Juna."Pasien yang tadi malam?" Perawat yang berjaga memasang senyum ramahnya. "Atas nama?"Jenna mengangguk. "Juna Fadli."Perawat itu menatap layar komputer di hadapannya, mencari sejenak. "Pasien sudah pulang."Mata Jenna melebar. "B
Abe mengatakan Jenna menyerempet seseorang di basement dan membanting setir hingga menabrak tiang. Saat pengawal wanita itu menemukan Jenna, Jenna sudah ditolong oleh seseorang yang ditabrak istrinya dan dibawa ke ruang UGD.Wajah Jerome yang dipenuhi kepanikan seketika berubah merah padam dan mengeras dengan kuat melihat pemandangannya di hadapannya. Kekhawatiran yang memenuhi dadanya dalam sekejap ditimbun oleh kemarahan melihat Jenna yang berbaring di ranjang pasien salah satu bilik dengan seorang pria. Tangan Jenna berada dalam genggaman jemari pria itu, dengan ibu jari yang mengelus lembut punggung Jenna."Lancang sekali," desis Jerome. Yang membuat pria itu menoleh dan Jerome dikejutkan untuk kedua kalinya. Mengenali si pria dengan sangat baik meski ini adalah pertemuan pertama mereka.Bagaimana mungkin ada kebetulan konyol semacam ini? Jerome jelas tak terima orang yang ditabrak oleh Jenna adalah Juna Fadli. Dari jutaan orang di kota ini, tidak adalah korban lain?"Apa yang k
Napas Jenna masih tertahan akan ancaman yang terselip dalam peringatan yang diucapkan oleh Jennifer. Tetapi terlihat rapuh dan ketakutan sama sekali bukan pilihan bagi Jenna. “Jika kau ingin membuatku ketakutan, kuakui kau sedikit membuat goyah, Jennifer. Tapi maaf mengecewakanmu, aku tak akan tersingkirkan semudah itu. Aku tahu apa yang kumiliki dengan Jerome jauh lebih besar dan kuat dari apa yang kau katakan.”Jenna memajukan tubuhnya lebih dekat ke arah Jennifer yang tampak terdiam. Ada secercah keterkejutan di wajahnya akan keberanian dan keyakinan yang ditampilkan oleh Jenna, tapi ia tahu itu hanyalah penampilan di permukaan saja.“Dan aku tak perlu membuktikan apa pun padamu. Pernikahan ini, kami sendiri yang tahu dan kami yang menjalaninya. Kami memiliki beberapa masalah, ya tidak ada hubungan yang lurus dan lancar-lancar saja. Kadang kami bertengkar karena hal besar maupun kecil, tapi disitulah hubungan kami tumbuh. Dan kami tak membutuhkan masalah lainnya. Seperti dirimu.”K
“Siapa namanya?” Tiga tahun lalu, Jerome ingat Jenna pernah memiliki kekasih yang hubungannya sudah dihancurkan oleh Liora. Tetapi ia tak ingat pasti siapa nama belakang pria itu.“Juna Fadli.”“Cari setiap informasi tentangnya. Alamat dan pekerjaannya sekarang. Sedetail mungkin dan letakkan di atas meja di ruanganku. Secepatnya.” Setelah memungkasi perintahnya, Jeroma menurunkan ponselnya dan meletakkannya di meja wastafel. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Bola matanya yang sepekat arang menghiasi wajahnya yang mengeras. Sekecil apa pun, ia tak akan menciptakan celah sekecil apa pun bagi Jenna untuk mengkhianatinya.Orang tua, kakak, kekasih, tunangan, dan bahkan sepupunya sendiri. Mereka semua mengkhianatinya di belakangnya. Hanya Jenna dan si kembar yang dimilikinya. Ia sudah memberikan apa pun dan menjadikan Jenna kelemahannya. Jika Jenna pun mengkhianatinya juga, maka selesailah sudah.***Jenna tak menemukan Jerome di manapun meski pria itu berpamit akan turun ke lantai satu
Jenna baru saja menuruni anak tangga, Jerome mengatakan akan sampai di rumah dalam sepuluh menit setelah menanyakan si kembar yang sudah terlelap. Ia hendak membantu menyiapkan makan malam di ruang makan, tetapi langkahnya tiba-tiba dihadang oleh Jennifer.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap wanita angkuh itu, melirik ke arah Abe yang berdiri beberapa meter di belakang Jenna. Membuatnya kesal akan keberadaan pengawal wanita itu. “Di ruang makan.”Jenna mengangguk, mengikuti langkah Jennifer. Keduanya duduk berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh meja makan yang besar. Saat Jennifer meletakkan sebuah berkas yang baru disadari keberadaannya. Yang kemudian disodorkan tepat di hadapannya. Berikut sebuah pen yang terselip di dalamnya.“Baca dan tandatangani,” perintah Jennifer.Jenna mulai membaca lembaran tersebut. Surat Perjanjian Pernikahan.“Apa ini?” Jenna bukannya tak memahami surat yang disodorkan oleh Jennifer. Dari judulnya semuanya sudah jelas.“Kenapa? Kau tidak mau menandatanganinya