Empat hari sudah Ressa dirawat di rumah sakit. Hari ini akhirnya ia diperbolehkan pulang oleh dokter. Dengan ditemani ayah dan ibunya, Ressa pulang ke rumah. Ressa merasa senang karena akhirnya ia terbebas dari jarum infus yang menempel di tangannya berhari-hari.
Di rumah, mereka disambut Bi Wati dan Paman Toni. Paman Toni dengan sigap membawakan barang bawaan Ressa dari rumah sakit.
“Nyah, di dalam ada keluarga Mas Gilang, mereka sampai tepat setelah mobil Tuan pergi menjemput Non Ressa,” ujar Bi Wati.
“Udah dibuatin minum belum Bi?” tanya nyonya Mira.
“Udah, terus saya suruh nunggu di ruang keluarga sesuai perintah Nyonya,” jelas Bi Wati.
“Hmm... Baiklah, terima kasih ya Bi.”
“Sama-sama Nyah, sudah tugas saya.”
Nyonya Mira, Tuan Sanjaya, dan Ressa melangkah melewati Bi Wati. Mereka langsung menuju ruang keluarga. Sedangkan Bi Wati, menuju ke belakang
Dua bulan berlalu sejak pembahasan rencana pernikahan antara Ressa dan Gilang. Kini persiapan pernikahan sudah hampir 90 persen selesai. Tetapi sampai detik ini Arya tidak mengetahui rencana tersebut. Ressa masih belum tega memberitahu Arya. Sedangkan Winda, sepertinya ia belum memberitahu Arya, atau ia tak ingin dan tak ada niat untuk memberitahu Arya? Entahlah.Hubungan Ressa dengan Arya berjalan biasa saja, seperti permintaan Arya tempo hari. Meski sebenarnya di hati mereka masing-masing masih punya harapan untuk bisa bersatu membina mahligai rumah tangga. Tapi apalah daya tangan tak sampai.Saat ini, yang bisa dilakukan keduanya hanya berpasrah pada takdir Yang Maha Kuasa setelah berbagai macam cara dilakukannya.“Ressa, hari ini ada jadwal untuk fitting baju. Kamu tidak lupa, kan?” tanya nyonya Mira pada Ressa yang sedang duduk manis di ruang keluarga sembari nyemil kacang.Hari ini adalah jadwal Ressa untuk fittin
Sebuah suara membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan mengantarkan pesanannya. Ressa berusaha melupakan kejadian yang baru saja menyayat hatinya. Ia mengambil makanannya dan menatap lelaki di depannya. Lelaki yang telah menjadi tunangannya sejak beberapa bulan yang lalu.“Hei, kenapa liatnya gitu?” tanya Gilang.Ressa tergagap karena terpergok menatap Gilang, “E... Enggak apa-apa.” Ia menjadi salah tingkah. Pandangannya segera beralih kembali ke makanan di hadapannya.Gilang tersenyum lebar menyaksikan Ressa menatapnya lumayan lama, “Sudah mulai menyadari pesonaku?” Ia menaikkan kedua alisnya.“Hah, jangan kegeeran deh,” tampik Ressa. Ia memberanikan diri menatap Gilang kembali.“Bukan geer, itu memang fakta kamu terpesona kepadaku, buktinya kamu natap aku aja sebegitunya,” cibir Gilang.“Hah, terserah deh.” Ressa mulai menyuap makannya.&nb
Tok tok tok. Pintu kamar Ressa diketuk. Ia menggeliat. Perlahan ia membuka matanya. Rasanya agak berat. Wajar saja karena dia menangis semalaman. Mungkin matanya masih terlihat sembab. Tapi ia tidak terlalu peduli.Ressa turun dari ranjangnya dan berjalan menuju pintu kamar.Ceklek. Pintu kamar dibuka. Ternyata Bi Inah.“Ada apa, Bi?” tanya Ressa sembari mengucek matanya.“Ada Mas Gilang Non di bawah,” jawab Bi Inah.Netra Ressa yang tadinya masih susah membuka sontak saja bisa membuka lebar, “hah? Sepagi ini?”Bi Inah mengangguk, “iya, Non.”“Ya sudah suruh nunggu bentar. Aku mandi dulu.”“Baik, Non.” Bi Inah segera menuruni tangga untuk menyampaikan pesan anak majikannya itu.Ressa kembali menutup pintu kamar dan bersiap untuk mandi. Hari ini memang Ressa memiliki janji dengan Gilang untuk ikut menemani tunangann
Matahari terus bergeser ke arah barat, hingga tak terasa sudah masuk pertengahan hari. Pintu kamar Ressa diketuk Bi Wati. Sang empunya kamar membuka sembari terus menguap.“Hmm... Ada apa Bi Wati?”“Di depan ada Mas Gilang, Non,” jawab Bi Wati.“Hah? Katanya kerjaannya selesai nanti malam, kok malah kesini,” Gumam Ressa.Ia segera menghampiri Gilang di ruang tamu. Lelaki itu duduk tenang menunggu tunangannya. Auranya sangat positif. Seharusnya Ressa bisa merasakan energi positif dari Gilang.“Udah lama nunggunya, Lang?”Ya, Ressa mencoba memanggil Gilang dengan nama. Meski usia Gilang sama dengan Arya, tapi ia tidak mau memanggilnya “Mas” atas inisiatif diri sendiri. Kecuali nantinya Gilang yang meminta. Beda kasusnya dengan Arya.“Nggak kok,” jawab Gilang. Ia memperhatikan Ressa dengan saksama, “kamu baru bangun tidur ya?&rdquo
Malam ini Ressa bertemu dengan Tristan di sebuah club. Tidak hanya Tristan, ada beberapa teman kantornya juga yang dulu sempat akrab.“Ress, aku denger kamu mau nikah?” tanya salah satu dari mereka.“Hmm iya,” jawab Ressa dengan nada datar. Ia seperti tak tertarik membahas pernikahannya.“Kapan Ress?”“Dua minggu lagi,” jawab Ressa sembari menunjukkan dua jarinya.“Buset dah, anak kemarin sore udah mau nikah aja, aku aja belum kepikiran, hahaha.”Rekan kerjanya semakin menertawakan nasibnya. Mereka semua menyayangkan keputusannya untuk menikah di usia yang terbilang masih sangat muda. Rekan kerjanya pikir, di usianya, seharusnya bisa produktif bekerja, bukan produktif beranak.“Eh, kita dapat undangan nggak nih?”“Dapat, tenang saja, datang ya.” Ressa mencoba pura-pura tersenyum meski pahit.“Baik
Hari yang ditunggu sudah datang. Hari yang istimewa untuk keluarga Sanjaya juga keluarga Budiman. Hari pernikahan antara anak mereka, Ressa dan Gilang.Dengan kebaya putih dan kain jarik yang melilit tubuhnya, rambut indahnya yang disanggul, tidak ketinggalan bunga melati yang menghiasi sanggulnya, Ressa terlihat anggun. Serasi dengan Gilang yang mengenakan kemeja putih dipadu dengan setelan jas hitam.Sah. Satu kata yang terucap dari bibir para saksi dan tamu undangan, membuat status dua insan itu telah berubah. Gilang dan Ressa telah resmi menjadi suami-istri di mata hukum dan agama.Ressa mencium tangan Gilang yang sekarang sudah menjadi suaminya itu. Gilang membalas dengan mencium kening istrinya. Dilanjutkan dengan acara sungkeman dengan keempat orang tua mereka. Begitu tradisi yang terus dilestarikan.Di acara resepsi, Ressa mengenakan gaun dengan warna peach di setengah acara, serta gaun marun di setengah acara berikutnya. Gilang
Setelah selesai mengelap embun di sudut matanya, Ressa menatap Gilang dan mencoba mengukir senyum untuk menutupi perasaannya yang campur aduk.Ia kembali pada dunianya yang nyata. Yaitu bersama Gilang. Dan Arya, akan menjadi masa lalu baginya. Ia berharap, setelah mobil sampai di rumah, ia bisa sepenuhnya memberikan cintanya pada Gilang. Beberapa menit kemudian mobil mulai memasuki halaman rumah Sanjaya. Gilang turun dari mobil lebih dulu kemudian membukakan pintu dan membantu Ressa untuk turun. Perlakuan Gilang terlihat sangat romantis. Entah memang itu wataknya atau hanya karena mereka baru saja menikah. Ressa menatap mata Gilang. Ia kembali tersenyum lalu melingkarkan tangan kanannya di tangan kiri Gilang dan mereka berjalan beriringan masuk ke rumah. Di dalam rumah sudah ada kerabat yang duduk santai di ruang tamu, di ruang keluarga, di teras samping, serta anak-anak yang berlarian ke sana kemari. Suasana sangat ramai. Mereka semua menyambut kedatangan pasangan pengantin baru d
Gilang kembali melangkah ke samping ranjang. “Nggak jadi mandi, Mas?” tanya Ressa. “Jadi, ini mau ambil handuk di koper dulu.”“Pakai handuk yang di rak lemari itu saja, stok handuk baru ada di rak atas,” jawab Ressa seraya menunjuk rak handuk yang digantung di tembok depan kamar mandi. Gilang menunjuk ke sebuah rak dinding, “oh, ini? Oke baiklah.”Gilang masuk ke kamar mandi setelah mengambil satu buah handuk warna putih milik Ressa. Ya, semua handuk Ressa berwarna putih dan dusty pink. Tidak mungkin Gilang mengambil handuk warna pink selagi ada warna yang lain. Sementara Gilang mandi, Ressa merebahkan tubuhnya di kasur. Ia menutup mukanya dengan bantal. Masih merasa malu dengan Gilang karena prasangkanya sendiri barusan. Lelaki itu benar-benar membuat Ressa salah tingkah. Sekitar sepuluh menit kemudian Gilang keluar dari kamar mandi. Ia melihat Ressa berbaring di atas ranjang dan menghampirinya. Setelah didekati, ternyata mata Ressa terpejam. istrinya itu sedang terlelap. Kare
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun