Setelah selesai meeting, tuan Sanjaya dan Ressa bergegas pulang. Di rumah, mereka disambut nyonya Mira. “Bagaimana meeting hari ini Yah?” tanya nyonya Mira sembari mengambil tas dari tangan suaminya. Meski terus berjalan masuk ke rumah, tuan Sanjaya tetap menjawab santai, “lancar Bu. Apalagi ternyata rekan bisnis ayah kali ini adalah mantan bosnya Ressa.”“Oh, ya? Dia baik? Apa dia tau kalau Ressa putri ayah?” tanya nyonya Mira penasaran. “Sikapnya sih sopan. Nggak tahu kepribadiannya bagaimana. Awalnya Erik tidak tahu kalau Ressa putri ayah. Baru setelah makan siang, akhirnya tahu kalau Ressa putri bungsunya ayah.”Nyonya Mira kaget mendengar jawaban suaminya, “loh? Jadi kalian sudah makan siang? Terus sekarang ibu makan sendiri?” Ressa tertawa mendengar ibunya merajuk pada ayahnya. Tingkah mereka mirip anak yang baru gede. Ressa berjalan di belakang mereka sembari terus memperhatikan gurauan-gurauan ayah dan ibunya. Tiba-tiba senyumnya hilang kala mengingat pernikahannya yang ka
Ketika masuk ke rumah, nyonya Mira sangat terkejut karena Ressa pulang sendirian. Ia terlihat sangat khawatir. Tanpa ba bi bu, nyonya Mira segera memberondong putrinya dengan banyak pertanyaan. “Di mana ayahmu?” tanya nyonya Mira dengan nada khawatir. “Ayah masih ada meeting, Bu. Jadi Ressa pulang duluan,” jawab Ressa santai. “Ayahmu itu bagaimana, kok bisa-bisanya nyuruh kamu pulang sendirian?”Ada nada marah di sorot mata nyonya Mira. Bukan apa-apa, ia hanya merasa khawatir terhadap keadaan putrinya. Rasa khawatirnya kini bahkan melebihi rasa khawatir saat Ressa belum menikah. Sebab kini, Ressa masih dalam pengobatan gejala depresi di psikiater. Sebagai caregiver, nyonya Mira harus ekstra waspada dan ekstra peduli terhadap putri bungsunya. Ressa menangkap ada sebersit emosi di kalimat ibunya, karena itulah ia segera menenangkannya, “Ibu jangan berburuk sangka dulu sama ayah. Tadi ayah udah mau nganter Ressa, tapi Ressa yang menolaknya. Karena kan jarak ke rumah lebih jauh dari j
“Hati-hati di jalan!” seru Ressa pada Erik yang hendak masuk ke mobilnya setelah mengantar Ressa pulang kembali ke rumahnya. Sejak menjanda beberapa bulan yang lalu, Ressa membatasi diri untuk dekat dengan laki-laki. Tetapi hari ini, Ressa memberikan kesempatan pada Erik untuk mengenalnya lebih dekat. Ia masuk ke kamar setelah seharian berkeliling di pameran seni. Direbahkan tubuhnya yang masih berbalut gaun siang tadi. Rasanya sangat lelah. Apalagi harus bertemu dengan Tristan saat sedang asyik melihat pameran. Benar-benar cukup menguras emosi. Tring. Ponselnya berbunyi. Ia segera mengecek notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya. Sebuah pesan dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Meski malas, tetapi ia sangat penasaran dengan pesannya. “Selamat malam Ressa, apa kabar? Semoga sehat selalu.”Hanya secuil pesan tapi sukses membuat Ressa kembali menatap nomor si pengirim pesan. Deg. Tidak salah lagi. Itu nomor yang sangat dihafal oleh Ressa bahkan meski setahun belakangan
“Ar! Kamu dari mana saja?” tanya Dika sembari menyiapkan pesanan driver ojek online. “Ketemu Ressa. Seperti saran dari kamu tempo hari.”Arya menjawab dengan santai. Ia meletakkan tas selempang di rak dan segera mencuci tangan lalu ikut membantu Dika menyiapkan beberapa pesanan. Sontak saja Dika terkejut, “woah? Serius? Gimana gimana ceritanya? Respon dia gimana?” tanya Dika antusias mendengar sahabatnya bercerita tentang pertemuan dengan mantannya hari ini. “Ya begitu, hanya bertukar kabar.”“Ar, ayolah cerita!”“Ntar aja gampang. Kamu gimana sama Winda? Sudah ada kemajuan belum?”“Entahlah. Dia kayak narik ulur gitu. Males banget kayak enggak serius. Mungkin karena aku cuma barista aja kali ya.”“Barista mata lu soak! Kamu tuh punya saham di beberapa perusahaan gede. Kasih tau Winda dong!”“Terserah dah. Aku nggak mau Winda tahu itu.”“Lah, kenapa?”“Buat liat seberapa tulus dia sama aku.”“Ya elah. Cewek itu butuh kepastian Dik. Termasuk kepastian kehidupannya mereka ke depan. J
Siang itu Ressa sedang duduk sendiri di sebuah kafe di tengah kota. Sebuah minuman dingin berada tepat di hadapannya. Tangannya masih sibuk menggulirkan layar ponselnya. Netranya fokus pada tulisan dan gambar yang muncul di beranda sosial medianya.“Hai Ressa, bagaimana sudah sembuh dari depresinya ditinggal suami yang lebih memilih aku?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri mejanya. Dia tersenyum licik sembari menggandeng tangan suaminya.Sontak saja Ressa menatap sumber suara. Siska. Dia bergelayut manja di lengan suaminya yang kekar, yang tak lain adalah mantan suami Ressa, Gilang. Dia menatap perut Siska. Sudah rata. Memang seharusnya dia sudah melahirkan. Pantas saja perutnya sudah terlihat rata begitu.Tiba-tiba ia mengingat calon bayinya yang tidak dapat diselamatkan. Seharusnya dirinya juga sudah melahirkan sama seperti Siska. Tapi takdir berkata lain.Buru-buru Ressa melupakan kesedihan itu agar tidak terlihat menyedihkan di hadapan orang-orang yang tidak punya hat
Pertemuan Ressa dan Erik siang ini murni hanya untuk makan siang dengan alasan mumpung Ressa sedang berkunjung ke kota. Sayangnya mereka berangkat sendiri-sendiri karena kesibukan Erik di kantornya yang tidak memungkinkan menjemput Ressa. Beruntung Ressa mau diajak keluar. Biasanya, Ressa akan menolak dengan berbagai alasan. Apakah ini merupakan lampu hijau bagi Erik?“Ress, kamu pulang naik apa?” tanay Erik lada Ressa setelah menyeklesaikan makan siangnya.“Aku naik taksi.”“Aku anterin yah?” tawar Erik pada wanita pujaan hatinya.“Tapi ini sudah hampir jam satu. Bukannya kamu harus kembali bekerja?” Ressa mencoba mempertanyakan waktu Erik.“Tidak apa-apa jika harus mengantarkan kamu dulu.”Tring. Tiba-tiba ponsel Erik berbunyi.“Maaf, Ress. Aku angkat telepon dulu, ya.”Ressa mengangguk. Ia mengalihkan perhatiannya ke arah lain.Deg. Seseorang yang sangat dikenalnya berada di sana. Arya? Dia bersama beberapa wanita? Apa salah satu di antara mereka itu kekasihnya? Kelihatannya mereka
Sore hari setelah ayahnya menyelesaikan pekerjaannya, Ressa kembali bertolak ke desa. Hal yang biasa jika harus bolak-balik dari desa ke kota. Perjalanan sekitar 45 menit sangat tidak terasa.Di desa, ia kembali disibukkan urusan pekerjaan di usaha ayahnya. Baik itu di kantor maupun di pabriknya. Ia baru akan beristirahat jika hari sudah mulai sore atau jika jam kerja sudah selesai. Setidaknya kesibukannya ini akan membuatnya melupakan rasa sakitnya.Tok tok tok ….Pintu kamar Ressa diketuk. Dengan malas ia bangun dari posisi rebahannya dan membuka engsel pintu.“Non, di bawah ada tamu.”“Siapa Bi?” tanya Ressa.“Pak Erik.”“Bukan mau ketemu ayah? Kenapa malam-malam?”“Tuan Sanjaya tidak ada di rumah, Non. Lagi keluar bareng Ibu. Bibi tidak tahu kemana.”“Oh. Ya nanti aku turun. Bibi bikinin minuman dulu.”“Baik, Non.”Ada urusan apa sih malem-malem kesini. Tidak bisa besok aja apa. Hah? Batin Ressa. Ia kesal karena jam istirahatnya diganggu.Dengan dandanan ala kadarnya, Ressa menemu
Brak. Sebuah truk kontainer menabrak beberapa mobil dan motor yang tengah berhenti di lampu merah. Karena keadaan truk yang mengalami rem blong, kecelakaan beruntun pun tak dapat dihindari. Beberapa saat kemudian polisi berhasil mengamankan TKP. Sirine mobil ambulan pun bersahutan mengevakuasi korban laka lantas.Ressa yang sedang berada di kantor sangat kerkejut dengan kabar yang ia dapat lewat sambungan telepon dari rumah sakit umum daerah yang mengurus para korban.“Ress, segera ke rumah sakit sekarang. Ayahmu kecelakaan. Hubungi kakak-kakakmu suruh ke rsud sekarang. Ibu sudah di sini. Keadaan ayah kritis.”Tuan Sanjaya adalah salah satu korban laka lantas yang keadaannya kritis. Beberapa dari korban bahkan meninggal dunia di tempat.Setelah sambungan telepon dengan ibunya berakhir, Ressa menelepon kedua kakaknya agar segera menuju ke RSUD. Sementara dia sendiri bergegas menuju rumah sakit sendirian.Suasana rumah sakit sangat ramai. Orang-orang berseragam perawat berlarian kesana-
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun