Berkat bujuk rayu dari Zayn dibantu Paman Hasan dan juga Om Johan, Bapak penghulu mau bertahan. Lelaki dengan peci hitam itu menyuruh bisa untuk menghafalkan lafal ijab qobul. Sementara di kamar, riasan Nasya yang sudah luntur karena tangis kembali dipoles.
"Kenapa nama Nasya panjang banget sih, Bir?" keluh Reza pada Kak Sabiru. Wajahnya terlihat malas. Mulutnya bolak-balik mendesah.
Aku dan Kak Sabiru yang duduk tidak jauh darinya hanya mampu saling lempar senyum.
"Semangat, Bro!" Kak Sabiru menyemangati seraya menepuk pelan pundak sang kawan.
"Ananda Nasya ... Nadhira Ghani Halimaya Qodira." Reza membaca catatan di secarik kertas yang ia pegang. "Apa sih artinya?" tanyanya pada suamiku.
"Entahlah. Mana kutahu. " Kak Sabiru mengendikan bahu.
"Artinya Nasya itu anak dari Ibu Halimah dan Ayah Abdul Qodir." Aku menggantikan Kak Sabiru menjawab dengan asal.
"
Nasya! Kenapa kamu tega melakukannya?!" gertaknya penuh amarah. "Kenapaaa?" Jeritan Tara begitu menghebat. Pemuda itu mengguncang tubuh Nasya keras.Kami semua ternganga melihat kedatangan Tara. Tidak menyangka jika pemuda itu berani menampakkan batang hidungnya. Dan yang membuat kami mengernyit heran, Tara berkoar-koar marah. Seolah dia adalah korban yang teraniaya."Maksud kamu apa, Tara?" tanya Nasya sedih sekaligus bingung.Sementara Reza di sebelahnya hanya mampu terdiam. Bapak Penghulu yang tidak paham dengan permasalahan terbengong-bengong melihatnya. Beruntung dengan sigap Paman Hasan dan Om Johan mengajak bapak itu berlalu."Sudah kuikhlaskan untuk menerimamu apa adanya. Tapi kamu justru membalasnya dengan cara seperti ini?" Mata Tara menatap Nasya dengan sedih. "Apa yang kamu impikan sudah kupenuhi walau itu memakai uang Reza, tapi-"
"Kalian ingin tahu apa bukti itu?" tanya Tara santai.Tentu saja semua orang yang ada di situ antusias mengangguk. Mata kami tanpa kedip menatap gerak-gerik Tara. Bibir Tara tersungging senyum samar, sedangkan Reza mengalihkan pandangan dengan terus mengusap tengkuknya.Bagai adegan film slow motion, Tara mengambil kembali ponsel jadul tersebut. Jempolnya bergerak lincah memencet keyboard."Baca nih, Bang!" Masih dengan mengulas senyum, Tara mengangsurkan ponsel pendek berwarna hitam itu pada Kak Sabiru.Tanpa membuang waktu lagi, Sabiru lekas membaca bunyi SMS pada ponsel jadul tersebut. Sengaja pria yang hari ini terlihat sangat menawan dengan kemeja batik mega mendung itu membaca cukup lantang. Tujuannya agar didengar oleh semua orang.[Gunakan kepandaianmu untuk menguras isi saldo Tara!][Jangan samp
"Jangan sentuh aku! Aku bilang menjauuuh!" Terdengar Nasya berseru.Aku dan Kak Sabiru saling berpandangan. Ketika aku hendak turun dari ranjang, tangan Kak Sabiru mencekal. Lelaki itu menggeleng serius."Itu bukan urusan kita." Kak Sabiru memerintah sambil menarik lenganku agar kembali didekapnya."Tapi, Kak, Nasya-""Stt!" Kak Sabiru meletakan telunjuknya di bibirku. "Mending kita bikin adiknya Keanu aja, yuk!" bisiknya disertai cengiran nakal."Apaan sih?!" Walau bibir menolak, tetapi hati berbunga juga.Maklum hampir sepuluh hari kami disibukkan dengan urusan pernikahan Nasya. Makanya wajar jika malam ini Kak Sabiru minta pelayanan batin. Entahlah ... sebenarnya aku sungguh lelah malam ini. Namun, aku tidak ingin dilaknat semalam suntuk oleh para malaikat hanya karena menolak permintaan suami.Ketika bibir Kak Sabiru tengah mengendus leherku, suara Nas
"Riri?" Aku dan Kak Sabiru bergumam bersamaan.Kami saling menoleh. Beberapa warga yang menggerombol memberi jalan pada kami untuk mendekati Riri. Sementara Riri masih merintih sambil terus meniupi sikutnya yang berdarah.Hatiku sedikit merasa lega karena Riri kelihatannya tidak begitu parah. Helm bogo warna cokelat tuanya masih menaungi kepalanya. Lengan kemeja yang sengaja ia gulung membuat lecet-lecet di sekitar pergelangan tangan. Namun, suara desisan terus ke luar dari mulutnya."Bagaimana keadaanmu?" tanya Kak Sabiru dengan tenang. Sementara aku diam berdiri di sampingnya."Ohhh ... jadi mobil kalian yang menyerempet aku?!" ketus Riri dengan mendelik geram. "Pake nanya keadaan lagi. Sakit, tahu!" Kali ini penuh dengan bentakan. "Awww ... perih!"Kok jadi lebay begini? Perasaan tadi Riri wajar hanya merintih kesakitan. Kenapa mendadak meraung-raung kesakitan. Seakan tengah mencari sim
"Nasya?!""Kak Bila." Gadis itu langsung memelukku dan menangis. "Izinkan malam ini aku menginap di sini, aku mohon," pintanya sedih."Iya, tapi kenapa?" tanyaku bingung usai mengurai pelukan. "Kenapa sendiri? Ke mana Reza?"Nasya tidak menjawab. Bibirnya hanya mencebik menahan ledakan tangis."Sudah ... ayo kita masuk!"Kubimbing Nasya masuk ke rumah. Bajunya telah lembap. Hanya basah di beberapa tempat. Dia hanya mengenakan dress selutut bunga-bunga yang ditutup dengan sweater. Tas kecil selempang disandangnya."Ganti bajumu nanti kamu flu!" suruhku begitu kami memasuki rumah, "habis itu kita makan malam bersama, ya!" lanjutku penuh kelembutan."Iya." Nasya menjawab singkat.Tanpa berbicara lagi dia lekas menuju kamarnya yang biasa ia tempati dulu. Masih ada sisa-sisa pakaiannya yang tertinggal di di lemari."Siapa yang
(POV Nasya)Serangan dari Mas Reza yang begitu mendadak membuat Tara tersungkur. Tidak puas sampai di situ, lelaki yang baru beberapa hari ini sudah resmi menjadi imanku, gegas menarik lengan Tara. Ketika tangannya ingin menggampar Tara, aku dan Kak Nabila berteriak."Mas Reza apa-apaan sih?!" Aku berteriak kesal. Sementara Kak Nabila berdiri di depan Tara. Berusaha menjadi perisai bagi mantanku itu."Kamu yang apa-apaan?!" Mas Reza memutar balik pertanyaan. Matanya memandangku sengit, lalu beralih nyalang saat mendelik Tara.Saat Tara berniat untuk membalas atas perlakuan Reza, Kak Nabila menghalangi."Sudah ... Tara! Cukup!" Kak Nabila mengganduli lengan pemuda yang pagi ini masih terlihat santai itu."Tapi, Reza brengsek itu keterlaluan, Mbak Bila." Tara berujar dengan kesal, "seenaknya saja dia main pukul.""Karena lu emang pantes dipu
(POV Nasya)"Kenapa menangis?" Mas Reza bertanya.Kami masih di bawah selimut yang sama. Pria itu menyeruak di ceruk leher. Mengecupi tengkukku dengan lembut. Tangannya pun mendekap erat.Aku yang tidur memunggungi hanya sanggup terdiam. Rasa sedih bercampur marah yang tertahan membuat air mata ini luruh begitu lancar."Aku tanya kenapa kamu menangis, Sya?" Masih dengan suara lembut nan serak Mas Reza mengulang pertanyaan. Bibirnya tidak berhenti menyapu pundakku yang terbuka. Ketika mengibas, dia justru erat mendekap. "Kamu gak rela aku sentuh?" Kini Mas Reza membalik badanku. Tangannya membingkai wajahku agar mau membalas menatapnya. "Jawab, Sya!" Kali ini suaranya menekan."Aku ... istrimu, tentu saja rela, Mas. Hanya saja--""Apa?" Mas Reza menyela cepat."Aku tidak mau menanggung dosa lagi, Mas. Hiks!" Air mataku kembali berderai, "cu
(POV Nasya) "Kenapa menangis?" Mas Reza bertanya. Kami masih di bawah selimut yang sama. Pria itu menyeruak di ceruk leher. Mengecupi tengkukku dengan lembut. Tangannya pun mendekap erat. Aku yang tidur memunggungi hanya sanggup terdiam. Rasa sedih bercampur marah yang tertahan membuat air mata ini luruh begitu lancar. "Aku tanya kenapa kamu menangis, Sya?" Masih dengan suara lembut nan serak Mas Reza mengulang pertanyaan. Bibirnya tidak berhenti menyapu pundakku yang terbuka. Ketika mengibas, dia justru erat mendekap. "Kamu gak rela aku sentuh?" Kini Mas Reza membalik badanku. Tangannya membingkai wajahku agar mau membalas menatapnya. "Jawab, Sya!" Kali ini suaranya menekan. "Aku ... istrimu, tentu saja rela, Mas. Hanya saja--" "Apa?" Mas Reza menyela cepat. "Aku tidak mau menanggung dosa lagi, Mas. Hiks!" Air mataku kembali berder
Sedikit ragu aku melangkah menuju kamar. Membuka laci nakas. Aku memang menyimpan alat tes kehamilan. Usia Keanu genap 18 bulan, aku memang lepas KB.Kak Sabiru menginginkan adik untuk Keanu. Sebenarnya aku kasihan pada Keanu. Dia masih terlalu kecil. Namun, aku juga tidak bisa membantah perintah suami.Langkah pelan kuayun ke kamar mandi sembari membawa cawan kecil di tangan. Hati-hati zaman itu kuisi dengan air seni sendiri. Lalu mulai mencelupkan alat tersebut pada cairan berwarna kuning kecoklatan itu.Beberapa detik kemudian tanda dua garis merah muncul. Mulutku ternganga. Antara bahagia dan galau. Bahagia karena impian Kak Sabiru mendapat momongan lekas terpenuhi. Namun, kalau juga karena Keanu belum lepas ASI."Udah, Bil?" tanya Kak Sabiru dari luar. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Aku diam tidak menyahut. Hanya langsung membuka pintu kamar mandi saja. "Bagaimana hasilnya?" tanya Kak Sabiru antusi
"Sedang apa?" Aku dan Elma menyela cepat.Kak Sabiru bergeming. Dia tampak menyesali ucapannya."Ayo katakan, Biru! Apa yang sedang Zayn rencanakan?" desak Elma sambil menarik-narik lengan suamiku. Seperti anak kecil yang merengek pada kakaknya."Aduh gimana ya?" Kak Sabiru mengusap tengkuknya beberapa kali. "Sebenarnya ini tuh rahasia, El. Aku sudah berjanji untuk tidak membocorkannya padamu," tutur Kak Sabiru dengan wajah meragu. "Laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, jadi ... sorry to say. Aku gak bisa." Kak Sabiru angkat bahu, lalu menangkup kedua tangan."Yah ... Biru gak asyik," keluh Elma kecewa. Gadis itu sengaja memanyunkan bibirnya ke depan."Denger, El, percaya deh sama Zayn. Dia itu pemuda yang baik." Suamiku berucap yakin. "Udah yuk lanjut makan!" suruhnya sambil menunjuk makanan dengan matanya.
"Kiara?" sapaku dengan perasaan tidak menentu.Jika aku paling mencemburui Kiara, maka Zayn adalah lelaki paling mencemburui Kak Sabiru cemburui. Sama halnya Zayn yang masih saja perhatian padaku, Kiara bahkan tidak pernah mundur untuk mendapatkan suamiku."Hai, Bila? Baru pulang?" Kiara balas menyambut kalem. Tangannya terulur menjawil pipi Keanu. Bagai sehati bayi itu langsung merengek dijawil oleh wanita yang dicemburui ibunya.Reza menyusul usai mematikan mesin mobil. Pria itu menganguk ramah pada Kiara dan ditanggapi senyuman simpul oleh sang gadis."Iya, nih," sahutku sambil berusaha mendiamkan Keanu, "tumben main? Ada apa?" Aku mencoba santai saat bertanya."Kayaknya kamu gak suka aku menginjakkan kaki di sini deh." Kiara menebak sotoy sembari berkacak pinggang. "Cemburu, ya?" Kiara meledek dengan seringai kecil.Aku mendesah pelan. "Salut ya. Setelah serangkaian ak
Usia sholat Isya bersama, kuajak Kak Sabiru makan malam bareng. Lelaki itu menurut. Walau dia jujur mengaku sudah mampir makan di restoran favorit saat balik ambil laptop."Pantes saja aku nungguinnya lama," balasku dengan sedikit merajuk. Bibir pun sengaja kubuat cemberut. Kak Sabiru paling senang melihat aku bermanja-manja padanya.Begitu sampai di meja makan kubuka tudung saji. Hanya ada menu semur daging dan jamur goreng krispi. Walau begitu ada tatapanmupengyang kulihat dari matanya."Aromanya bikin cacing di perut menggeliat lagi," selorohnya sambil menarik kursi. Pria itu langsung menyomot jamur goreng tersebut. Lantas mengunyahnya perlahan-lahan.Bunyi kriuk-kriuk yang keluar dari mulut membuat aku tersenyum senang. Dengan semangat kuciduk nasi dari dalam rice cooker. Nasi putih pulen dengan asap yang masih mengebul kusiram dengan kuah semur dan potongan dagingnya.
Sambil menunggu kepulangan Kak Sabiru, Keanu aku kompres dengan air hangat. Saat menatap mata mungil Keanu yang terlelap, rasa menyesal menusuk sukma. Hanya karena uang aku mengabaikan anak ini. Padahal Kak Sabiru sudah mencukupi segala kebutuhan. Pantas rasanya jika lelaki itu kesal.Pelan-pelan suhu tubuh Keanu mulai turun. Rasa khawatir ini perlahan luntur. Kutengok jam kotak yang menempel pada dinding. Sudah satu jam lebih Kak Sabiru pergi. Namun, belum ada tanda-tanda ia kembali.Sembari menunggu kedatangan suami kesayangan, aku membersihkan badan. Tidak perlu lama-lama karena malam kian menjelang. Apalagi saat mendengar kumandang adzan Isya, kegiatan ini lekas kusudahi.Ketika melintas untuk kembali ke kamar tampak Ibu tengah menikmati hidangan makan malam sendiri. Wanita itu hanya menengok sekilas tanpa mau menyapa. Mungkin dia masih marah.B
Rasanya seperti maling yang tertangkap basah. Tiba-tiba aku dilanda gugup. Apalagi saat melihat wajah Kak Sabiru yang datar. Tidak ada senyum, tetapi tidak dingin. Di sisi lain Elma pun menampakkan muka yang sama. Dia yang biasanya ceria hanya menatapku sekilas. Lalu langsung mendekati Nasya yang masih betah berbaring. Tatapan dari Zayn, ia acuhkan. "Bagaimana keadaanmu, Sya?" tanya Elma pelan. "Sudah lumayan membaik," sahut Nasya lemah. "Syukurlah. Maaf ya, aku baru datang hari ini. Kalo Biru tidak mengabari kemarin, aku mana tahu," tutur Elma sambil melirik padaku. Aku sendiri agak tertohok mendengar ucapannya. Sungguh ... bukannya tidak mau memberi kabar pada yang lain, kekalutan pada kondisi Nasya membuat aku lupa melakukannya. "Gak papa, Mbak Elma." Nasya mengedip ramah. Elma tersenyum simpul pada Nasya. Kini tatapannya beralih pada sosok menju
Tidak salah lagi. Itu Kiara dan Zayn. Sedang apa mereka berdua di sini? Setahuku keduanya tidak begitu dekat.Baiklah dari pada otak dipenuhi tanya, lebih baik kuhampiri saja mereka. Tanpa berpikir lagi, kaki ini melangkah menuju tempat Zayn duduk. Tangisan kecil dari Keanu menyadarkan Zayn dan Kiara. Keduanya menoleh melihat kedatanganku."Bila ...." Zayn tampak terpana melihat kedatanganku. Bibirnya melengkung indah. Ya ... mana pernah dia cemberut jika ketemu aku. "Bareng Keanu aja?" Dia menebak sambil menyapu sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa aku datang."Iya." Aku membalas pelan. Lalu mulai duduk di samping Kiara. Keanu yang rewel kuberi sepotong muffin kudapan dua orang ini. Alhasil bocah itu diam menikmati makanan warna cokelat tersebut."Mau minum apa?" tawar Zayn hangat."Apa saja yang penting dingin. Sama air mineral buat Keanu.""Oke."
"Saya cari Sabiru," balasnya benar-benar datar tanpa senyum."Eum ... saya istrinya." Aku masih bersikap ramah. Bahkan tangan ini terulur. Sayangnya aku dibuat menahan ludah yang pahit, karena wanita itu mengabaikan tangan ini. Dirinya tetap menaikan dagu tanpa mau menjabat.Ini masih terlalu pagi untuk emosi. Dan aku juga mau tersulut karenanya. Oke ... tahan napas sejenak."Kalo boleh tahu apa keperluan Ibu mencari suami saya?" Pertanyaan yang ke luar dari mulut ini tetap kubuat selembut mungkin. Karena bagaimanapun juga melayani tamu dengan baik adalah kewajiban."Tolong pertemukan saya dengan suamimu!" pintanya tegas.Benar-benar wanita batu. Dia yang butuh kenapa lagaknya songong begini?Astaghfirullah hal adzim."Siapa, Bil?"Dari belakang Kak Sabiru datang. Lelaki yang masih santai dengan piyama tidurnya mendekat, sembari menggendong K
"Usir Mas Reza, Kak Bila! Aku mau bercerai dengan dia!' teriak Nasya lantang walau masih lemah. Telunjuknya mengarah pada Reza dengan tatapan sengit. Dan air matanya tetap saja berderai."Nasya Sayang---""Aku bilang pergi!" Nasya menyambar keras. Matanya mendelik marah pada suaminya."Sya ... tolong maafin, Mas. Sumpah---""Kamu dengar gak sih aku bilang pergi!" Nasya kembali menggertak."Sabar, Nak." Ibu Halimah menenangkan sang putri yang dipenuhi arah dengan dekapan lembut."Reza, tolong kamu patuhi perintah Nasya. Biarkan dia beristirahat untuk memulihkan kondisinya." Ibuku pun mulai angkat bicara.Namun, dasar Reza bebal! Seruan Nasya dan nasihat Ibu hanya jadi angin lalu saja baginya. Dia tetap bersikukuh berdiri di ruangan ini."Mas, tolong jangan buat keributan di sini!" Aku yang geregetan akhirnya turun tangan dengan menarik paks