Bab 158Dengan tergesa – gesa, Amina menuruni lift dan langsung keluar melalui pintu samping kantor RTV yang tembus langsung ke jalan raya. Di sana ia tertegun mendapati sosok lelaki berdiri menantinya.“Amina, aku menunggumu dari tadi di sini,” kata Reynard dengan bibir gemetar. Lelaki itu merapatkan jaketnya, sedangkan rinai mulai turun menyapa.“B-bagaimana kamu tahu aku di sini?” tanya Amina gagap. Ia menyeka pipinya yang basah oleh air mata. Dirinya merasa begitu rapuh, dan ia tak menduga bertemu dengan Reynard di tengah malam begini.“Hanya insting! Ayo pergi, motorku ada di bawah pohon itu.” Reynard menunjuk motornya yang terparkir 5 meter dari tempatnya berada.Tanpa menunggu waktu, Amina mengangguk. Wajah Amina tampak kuyu dan terluka.“Kita mampir ke Café dulu yuk. Aku belum ngopi dari siang,” kata Reynard.“Oke, tapi sebentar saja ya, aku kepikiran anak – anak,” jawab Amina. Hatinya mendadak tidak enak.Lelaki itu menghela napas panjang sebelum membawa motornya ke sebuah ca
Bab 159 Tidak ada yang menyahut. “Apakah ada yang menculik anakku Rey?” Badan Amina gemetar membayangkan hal buruk terjadi pada anaknya. “Kita cari dulu.” Reynard dengan sigap menghidupkan semua lampu. Semua tampak lebih jelas sekarang. “Ini bukan perampokan biasa. Seperti ada yang sengaja mengangkut barang – barang di rumahmu,” kata Reynard heran, saat melihat korden di rumah Amina hilang. “Rey, baju dan barang – barang berharga ku dan Ayang tidak ada.” Amina lemas sekali saat membuka lemarinya. “Siapa pelakunya ini Rey?” tangis Amina pecah. “Tenang dulu. Kita cari anak – anak dan Bik Susi.” Rey berlari ke sana ke mari. Baju lelaki itu basah kuyup naik turun tangga. Amina menguatkan hatinya. Dia membuka semua kamar. Sayangnya Bik Susi dan anak – anak tidak ada. “Mereka tidak ada Rey. Aku mencarinya di semua kamar.” Kepanikannya semakin bertambah. Rey terdiam. “Kamar mandi Bik Susi!” Lelaki itu segera berlari ke belakang rumah. Amina mengejarnya. Pintu kamar mandi Bik Susi terk
Bab 160Dahi Amina mengernyit.Bik Susi yang sedari tadi mendengarkan membuka mata.“Pak Mukidi dan Asih yang membawa barang-barangnya, Bu. Tadi dia membawa 2 orang lelaki. Kemudian mereka mengikat saya dan anak – anak di kamar mandi,” kata Bik Susi pelan. Badannya masih sakit karena melawan Mukidi dan teman – temannya.“Asih tadi sempat memukul Ayang dan Fahri, karena menghalanginya mengambil kotak perhiasan dan baju - baju Ibu. Setelah itu dia dan kedua preman itu memukuli saya.” Bik Susi meringis menahan sakit di pinggangnya.“Benar Bu, Bik Susi tadi melindungi kami, kemudian mereka menghajarnya,” imbuh Fahri.Dada Amina nyeri sakit sekali mendengarnya. “Biadab sekali mereka!” katanya geram. “Terima kasih, Bibi telah melindungi Ayang dan Fahri. Soal Asih dan teman – temannya, saya yang akan balas dendam.” Perempuan itu terdiam. “Bagaimana dengan Bapak. Apakah dia ikut menyakiti kalian.”“Bapak Mukidi hanya mengawasi.”Amina manggut – manggut.Kecewa sekali hatinya, mengetahui justr
Bab 161“Kamu tahu dari mana Nak?” tanya Amina dengan ekspresi terkejut, bagaimana anak kecil itu tahu.“Dari You tube.” Fahri mencari Chanel RTV lalu memberikannya pada Amina. Irvan, salah satu host di RTV telah mengumumkan bahwa dirinya, Ayang dan Fahri tidak lagi ada di program acara Asyik Bersama Amina.Amina memejamkan matanya. Meski ia sudah menebak, hatinya tetap sakit. Bu Hesti telah melakukan ancamannya. Beberapa menit, perempuan itu memejamkan mata. Dikuatkan hatinya untuk tidak menangis.Ibarat pepatah, dirinya jatuh dan tertimpa tangga. Hidupnya saat ini benar- benar berantakan. Amina mengurai masalahnya satu persatu.Mula – mula Eril pergi dengan membawa semua uangnya, kemudian bapaknya punya hutang ratusan juta pada Jazuli. Bu Hesti merayu, setelah itu rumahnya dirampok Bapak, sekarang Bu Hesti memecatnya.“Ya Allah Ya Rab. Indah sekali rencanaMU. Tolong beri hamba kekuatanmu untuk melewati masalah ini,” gumam Amina perlahan.“Ibu, apakah kita akan pindah rumah lagi?” se
Bab 162 Amina memalingkan mukanya menghadap ke jendela, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di wajahnya. Berjuta kali ia berharap, berjuta kali pula harapannya runtuh. Masalah yang membelitnya makin lama makin erat memelintir hingga membuatnya susah bernapas. “Kamu jangan begitu. Aku dan Bik Susi akan tetap bersamamu, apapun yang terjadi,” tukas Reynard. “Ini sebagai tanggung jawabku karena membiarkan Eril pergi. Andai aku tahu masalahnya. Aku akan mengikat kaki Eril.” Ia mengumpat pelan. “Terima kasih Rey, tapi kamu jangan berspekulasi. Kamu dan Bik Susi butuh uang untuk hidup. Aku tidak mau kalian berdua terpuruk demi aku. Percayalah, aku bisa mengatasi masalah ini.” Amina berkata dengan tegar dan mata berkaca – kaca. “Semakin keras kamu menolak, semakin kuat aku mau membantumu.” Lelaki itu memperhatikan Amina. “Saya juga seperti Mas Rey. Saya mau membantu Ibu,” potong Bik Susi. “Apapun yang terjadi, kita tetap bersama.” Bik Susi memegang lengan Amina. Air mata Amina
Bab 163“Saya tahu dari Bude Surti. Tadi dia WhatsApp saya,” lanjut Bik Susi.Amina terperangah. Bodoh sekali dia, kenapa dia tidak ingat pada Bude Surti. Sontak, dia mengambil telepon dan menghubungi tetangga dekatnya itu. Lama ia berbincang, setelah selesai ia kembali menemui Bik Susi yang selesai berkemas.“Kurang ajar dia. Seenak udelnya mengambil milik orang. Informasi tentang Asih dan Bapak serta kedua preman yang membantunya sudah saya teruskan ke Reynard supaya dia memberikan informasi tersebut ke pihak Polisi.” Amina tegang sekali. “Setelah ini, Bibidan anak - anak bisa langsung ke kontrakan, nanti saya menyusul. Saya masih ada urusan di RTV.”Bik Susi menolak. “Saya mau ikut Ibu saja. Kita sama – sama ke kontrakan.” Ia ngeri jika harus datang bersama anak – anak tanpa Amina.“Baiklah, terserah Bibi.”Dengan memesan taksi, Amina bersama Bik Susi datang ke RTV. Saat wartawan melihatnya datang, mereka langsung sigap mewancarai Amina. Perempuan itu tak bisa mengelak lagi.“Mba A
Bab 164 “Polisi menangkap Asih dan salah seorang teman prianya di Bandara. Mereka akan terbang ke Thailand, setelah menjual semua barang – barangmu. Sedangkan jenazah bapakmu ada di RSCM.” Amina tercekat. “Jadi, maksudmu Asih memiliki pria lain?” tanyanya terbata – bata. “Iya, salah satu preman yang memukul Bik Susi adalah pacar Asih. Menurut informasi dari kepolisian, dia hanya mengincar harta kamu. Asih mengajak bapakmu pindah ke Jakarta, setelah dia menjual rumahmu di kampung.” “Ya Allah…” Amina menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis sesenggukan mendengar rumah masa kecilnya dijual Asih. “Sabar Amina, semua milik Allah,” kata Bu Anom mengelus pundak Amina. “Makasih Bu. Saya mau mengurus jenazah Bapak dulu,” jawab Amina dengan terbata – bata. “Amina, kalau boleh usul, daripada jenazah dibawa pulang ke kampung. Lebih baik dimakamkan di Jakarta saja. Biayanya lebih murah. Toh semua tanah ini milik Allah,” ucap Abah Anom. “Nanti saya bantu pengurusannya.” Amina mem
Bab 165Amina mencibir. “Dasar perempuan tidak punya malu! Enak sekali kamu meminta dibebaskan. Apa kamu sadar perbuatanmu telah merugikan orang lain. Apa kamu sadar ibu dan bapakku meninggal gara – gara kamu!” desisnya geram. Dia mencengkeram terali besi dengan kuat.“Aku punya bukti – buktinya. Semua ada di chat WhatsAppku.”“Mana buktinya?” tantang Amina dingin. Matanya tajam menatap Asih.Asih jengah dengan tatapan dingin Amina. “Nih… baca saja sendiri.” Ia mengulurkan ponselnya.Amina mengambilnya, tapi Asih mulai ragu, ia kembali memegang ponselnya kuat. Kemudian menaruhnya di saku celana. “Apa setelah ini aku bisa bebas?” tanyanya kaku.“Mana aku tahu.” Amina memperhatikan Asih.Asih terdiam, dia kesal karena hidungnya sekarang bengkok. “Aku tidak bersalah. Bapakmu yang mencintai aku dan sekarang kamu harus bertanggung jawab memperbaiki hidungku ini!!”Terdengar tawa dari penghuni lain di sel itu. “Huuuu… mau cantik kok ngerampok. Modal dong. Patahin aja sekalian hidungnya teru
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men