Siapakah yang telah menanti Poppy di sana?
Poppy membuka mulutnya cukup lama. Jika Donna tak menyikut pelan perutnya, dia mungkin lupa menutup mulutnya.“Anda ….”“Selamat datang di tempat tinggalku. Kau pasti sangat lelah. Ikut denganku, Poppy. Aku akan menyiapkan kebutuhanmu selagi kau istirahat.”Poppy masih diam di tempat, melepaskan tangan Donna. Ketika dia sadar jika saat ini adalah kenyataan, dia segera menyusul wanita itu, meraih lengannya sampai berhenti berjalan.“Nyonya Sienna … kenapa Anda ada di sini?”Sienna Lori tersenyum hangat padanya. “Nanti saja bicaranya. Kita masuk ke rumah dulu.” Lalu menepuk-nepuk punggung tangan Poppy singkat, kembali ke arah rumah di tengah pepohonan besar yang jauh dari penduduk sekitar.“Donna, bagaimana kau bisa mengenal Nyonya Sienna? Tidak, apa kau bahkan tahu siapa wanita itu?”Donna tersenyum lega setelah Poppy tak lagi menatapnya penuh penghakiman. “Tuan Rafael yang menyuruh saya pergi ke tempat ini untuk menemui ibunya. Dia mengatakan jika Nyonya Sienna akan menjaga Anda dari
“Jangan mendekat!” teriak seorang wanita di gang dekat bangunan tinggi pada tengah malam.Rose–nama panggilan wanita itu–terpojok di gang buntu. Hanya langkah kaki Rose yang terdengar, menggema di antara dinding beton yang tinggi dan rapat.Kakinya lelah setelah berlari tiada henti. Melarikan diri dari tangan kanan bos besar yang memergoki dirinya akan membebaskan seorang tawanan, Flint.Usaha Rose pun hampir berhasil, dengan ikut di sebuah kapal angkutan barang. Namun, ternyata tidak semudah itu untuk lolos dari pulau yang bernama Solterra ini. Terlalu banyak anak buah bos besarnya, termasuk Flint yang melihat Rose naik ke kapal. Flint lantas menyuruh rekan-rekannya yang lain untuk mengejar Rose dan mengadukannya kepada bos besar. Dan di sinilah dirinya sekarang. Seperti tikus terpojok yang siap dimangsa. Flint lantas mengancam akan mengadukan Rose pada bos besar atas perbuatannya. Selama empat tahun berada di pulau Solterra yang dihuni oleh para mafia ini, bahkan perdagangan manus
“Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan.” Pria itu mengamati wajah kuyu milik Rose. “Jadilah istriku dan lahirkan keturunan untukku.”Mulut Rose terbuka lebar. Masih tak percaya dengan ucapan pria itu. Dilihat dari mana pun, Rose dan Robin seperti kerak bumi dan langit tertinggi.“Apa Anda sedang bergurau?” Rose tak menganggap dirinya buruk rupa. Hanya saja, penampilannya selalu terlihat lusuh dan kumal selama dikurung di gedung milik bos besar, yang digunakan sebagai tempat transaksi perdagangan manusia.“Apa aku terlihat sedang bercanda?”Rose sontak menggeleng. Meski tampan, ekspresi dingin Robin tak mencerminkan pria yang suka bergurau.“Tuan Robin Luciano!” seruan Saul dari jauh sedikit mengikis ketegangan yang Rose rasakan.Pria berbadan besar dan terlihat berisi itu menunduk hormat secara singkat kepada Robin. Rose langsung takjub dibuatnya.Bos besar yang tak pernah menekuk wajah di hadapan orang lain, dan saat ini … tampak seperti pelayan di depan Robin. Namun, ha
Sambil menggertakkan gigi, Saul mengibaskan tangan pada para anak buahnya untuk mundur. “Kita akan bertransaksi di dalam.”Robin memerintahkan anak buahnya untuk membawa masuk Rose ke helikopter. Para wanita yang sudah dipesan Robin juga dibawa masuk memenuhi helikopter lainnya. Tak berselang lama, Robin keluar dari gedung bersama dengan Saul yang telah menemukan keceriaan kembali. Orang mana yang tak bahagia mendapatkan uang sebanyak itu?“Kau bisa membaca, bukan?” tanya Robin begitu memasuki helikopter yang sama dengan Rose.Rose diculik saat usianya delapan belas tahun. Tepatnya, selepas dirinya merayakan kelulusan SMA. Tentu saja dirinya bisa membaca dan menulis.Namun, karena masih bingung dan takut dengan situasi yang baru saja terjadi, Rose bahkan tak merasa marah dianggap seperti orang tak berpendidikan.“Bisa,” balas Rose singkat.“Baca ini.” Robin mengulurkan map kuning padanya. Tanpa berkata-kata, Rose langsung menuruti perintahnya.Map tersebut berisi dokumen-dokumen iden
Pria di depannya yang kini sah menjadi suaminya duduk dengan tenang, seperti tidak terganggu sama sekali oleh situasi ini.Robin menyandarkan punggungnya pada sofa, lengan kanannya diletakkan di sandaran, menatap Poppy dengan ekspresi tenang tapi penuh pengamatan. “Kakekku, Dante Luciano, mengharuskan kita tinggal di rumahnya selama satu minggu ke depan,” ujarnya, memecah keheningan.Poppy mengangkat wajahnya, menatap Robin dengan sedikit bingung. “Di rumahnya?” tanyanya pelan.Robin mengangguk. “Dia ingin memastikan pernikahan ini berjalan sesuai harapannya. Dante adalah pria yang selalu mencari kepastian, dan aku yakin dia akan mengamatimu mulai sekarang.”Poppy menunduk, jemarinya saling meremas. “Aku mengerti.”Robin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Poppy lebih lekat. “Kau tidak perlu khawatir. Tugasmu hanya bermain sesuai peran kita. Bersikaplah seperti yang sudah kita sepakati. Jika kau bisa melakukannya dengan baik, tidak ada yang perlu kau takutkan.”Poppy menga
Masih dengan pemikirannya sendiri, Poppy benar-benar semakin merasa khawatir dan takut dengan Dante, karena Robin sendiri yang memperingatkan.Dan saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar yang sudah disediakan oleh Dante. Jantung Poppy seakan hampir meledak ketika dia dan pria yang kini sudah menjadi suaminya berada di dalam kamar yang sama untuk pertama kalinya. Selama satu minggu ke depan, Dante Luciano mengharuskan pengantin baru itu tinggal di sana. Walaupun bersikap baik kepada Poppy, Dante belum sepenuhnya percaya kepada cucunya sendiri. Robin tak pernah mengenalkan seorang wanita kepada kakeknya, dan bahkan tak pernah berhubungan dekat dengan wanita mana pun. Namun, Robin tiba-tiba pulang dengan membawa wanita untuk dinikahi. Hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, walau Dante sendiri sudah mengetahui kabar pernikahan cucunya itu. Dante tak akan tinggal diam dan akan menelisik tentang wanita yang sudah menjadi cucu menantunya. “Kau rupanya punya bakat menjadi patung
“Baik ….” ujar Poppy tertahan. Robin bahkan tak mendengar suara lemas dan lirih istrinya.Setelahnya, Poppy tak bisa tidur nyenyak karena sang suami langsung menghilang setelah menyelesaikan kegiatan panas mereka. Dia tertidur dan terbangun berulang-ulang untuk melihat jam, berjaga-jaga jika Robin akan masuk ke kamar. Namun, Robin tetap tak kembali.Walaupun sudah paham tentang perjanjian mereka, tak elak jika Poppy merasa kecewa. Wanita mana yang akan merasa bahagia ketika sang suami menghilang setelah mendapat kenikmatan darinya? Dia mengira jika hubungan intim itu bisa sedikit mendekatkan mereka.‘Apa mungkin dia sedang mengadakan pesta dengan teman-temannya?’ pikir Poppy menenangkan diri.Kini, satu minggu telah berlalu, dan rutinitas yang sama terus berulang. Setiap malam, Robin akan pergi, kemudian meninggalkannya lagi tanpa banyak berbicara. Hal tersebut terus terjadi, bahkan ketika mereka kembali di kediaman Robin. Dia tahu bahwa suaminya lebih memilih untuk berada di luar rum
Poppy terkejut oleh jawaban suaminya. Dia sempat melempar kain pel agar tak membuat Robin marah karena menunjukkan dirinya terbiasa disuruh-suruh. Akan tetapi, Robin ternyata tak mencegah ataupun marah karena Mia memperlakukan Poppy seperti pelayan.Meski tak memiliki perasaan istimewa kepada Robin, selain rasa terima kasih karena telah membebaskan dirinya dari pulau terkutuk itu, Poppy merasakan sakit hati yang begitu menusuk dada. Tak cukup Robin hanya mendatanginya ketika waktunya bercinta, tetapi juga mengizinkan para pelayan memperbudak dirinya.“Setelah kau selesai dengan pekerjaanmu, temui aku di ruang kerja yang ada di lantai satu,” titah Robin.Begitu Robin mengayunkan langkah kaki menjauh, Mia kembali cekikikan, mentertawakan raut wajah kecewa Poppy yang diabaikan suaminya. Pelayan lain yang mendengar kejadian itu, sekarang tak akan segan lagi memerintah apa pun kepada si nyonya besar palsu.Dibanding penghinaan para pelayan pada dirinya, Poppy lebih kecewa kepada sikap Robin
Poppy membuka mulutnya cukup lama. Jika Donna tak menyikut pelan perutnya, dia mungkin lupa menutup mulutnya.“Anda ….”“Selamat datang di tempat tinggalku. Kau pasti sangat lelah. Ikut denganku, Poppy. Aku akan menyiapkan kebutuhanmu selagi kau istirahat.”Poppy masih diam di tempat, melepaskan tangan Donna. Ketika dia sadar jika saat ini adalah kenyataan, dia segera menyusul wanita itu, meraih lengannya sampai berhenti berjalan.“Nyonya Sienna … kenapa Anda ada di sini?”Sienna Lori tersenyum hangat padanya. “Nanti saja bicaranya. Kita masuk ke rumah dulu.” Lalu menepuk-nepuk punggung tangan Poppy singkat, kembali ke arah rumah di tengah pepohonan besar yang jauh dari penduduk sekitar.“Donna, bagaimana kau bisa mengenal Nyonya Sienna? Tidak, apa kau bahkan tahu siapa wanita itu?”Donna tersenyum lega setelah Poppy tak lagi menatapnya penuh penghakiman. “Tuan Rafael yang menyuruh saya pergi ke tempat ini untuk menemui ibunya. Dia mengatakan jika Nyonya Sienna akan menjaga Anda dari
Di atas kapal motor berukuran besar, Robin baru sempat membuka kertas yang ditinggalkan Rafael. Dia langsung menggertakkan gigi ketika melihat gambaran anak kecil dalam kertas itu, bukan lokasi Poppy.“Sampai akhir pun, kau masih menipuku ….”Dia awalnya tak menyadari makna pada gambar, hampir membuang kertas itu. Namun, dia tiba-tiba mengingatnya.“Kenapa dia masih menyimpan barang yang tidak berguna ini?” geram Robin.Kertas itu berisi gambar mereka ketika Robin berusia enam tahun, saat mereka masih selalu bermain bersama. Mereka sering mencoret-coret pada kertas, melanjutkan bergantian sampai membuat sebuah bentuk gambaran yang utuh.Dada Robin terasa sesak membayangkan masa itu. Tangan kanannya langsung mengepal saat teringat telah menembak adik kecilnya. Namun, bukankah itu adalah keinginan terpendamnya selama ini?‘Dia hanya orang asing yang tidak berhubungan denganku,’ batin Robin, mencoba menyingkirkan Rafael dari benaknya.“Apa kau menyesali perbuatanmu, Robin?” Bruno yang dii
Robin memungut kertas yang tadinya dibawa Rafael. Dia segera meluruskan pikiran agar fokusnya kembali pada sang istri. Lagi pula, dia memang berencana melenyapkan Sienna beserta orang-orang yang berhubungan dengannya, meski hatinya masih sesak oleh sesuatu yang menyakitkan.Sebelum membaca kertas itu, terdengar teriakan dari arah belakang, “Rafael!” Bruno tak memedulikan bahaya ketika berlari melewati Robin. Dia langsung menuju tepi tebing, bersimpuh hampir terjatuh saat melihat Rafael telah menghilang. Hanya terlihat debur ombak besar menghantam dinding batu tebing di bawahnya.“Ternyata, kau datang bersama ayahmu,” gumam Robin.Rasa bersalah yang berusaha menggerogoti jiwanya perlahan menghilang. Dia segera mengambil pistol yang ada di tanah, lalu mendekat perlahan ke arah Bruno yang masih memanggil Rafael dengan teriak keputusasaan.“Tidak! Rafael!!!” Bruno meraung histeris. Dia datang terlambat!! “Tidak!! Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak berbuat sejauh ini, Rafael!!” Tang
Ucapan Rafael justru terdengar seperti hinaan, tantangan untuk membuktikan kata-katanya. Robin memantapkan pegangan pada pistol agar tak goyah. “Kau pikir, aku tidak sanggup menembakmu?” Benar, Robin sempat ragu. Dia sempat bimbang untuk sesaat. Namun, saat ini adalah waktu yang dinantinya. Dia pun akan melakukan hal yang sama pasa Sienna nanti. Dia tak boleh goyah! “Coba saja,” tantang Rafael. Rafael langsung terkejut saat Robin menarik slide pistol, sungguh bersiap menembaknya. “Kau … sungguh akan menembakku? Aku adikmu, Kakak! Sadarlah!” Robin tahu jika Rafael hanya mengulur waktu. Seperti ucapan Rafael, Poppy mungkin dalam bahaya saat ini. Dia harus bertindak cepat dan menemukan istrinya. "Kau pasti akan menyesali perbuatanmu ini, Robin. Poppy, tidak, Stella Valentine akan membencimu seumur hidup kalau kau membunuh adikmu sendiri." Rafael kini sadar bahwa Robin tak pernah menganggapnya keluarga. Namun, dia malah tersenyum di balik kesedihannya. “Aku bertanya untuk yang terak
“Di mana istriku, Rafael?!” bentak Robin Rafael menyeringai. “Kupikir kau mencari mama kita. Bukankah kau akan balas dendam padanya?” Seperti ucapan Larry, Rafael sangat mirip dengan Sienna. Dia bekerja dalam diam, menyelidiki sekitarnya. Meski tak sepenuhnya tahu rencana Robin, dia dapat memastikan jika Robin berniat membalas dendam pada Sienna. Dia tak mungkin membiarkan kakaknya larut dalam balas dendam hingga membunuh wanita yang melahirkan mereka. Apa pun kesalahan Sienna, Rafael tetap menyayanginya. Tak ada satu pun di dunia seorang anak yang menginginkan kematian ibunya, kecuali orang dengan gangguan jiwa, pikirnya. “Jawab saja pertanyaanku kalau kau masih sayang dengan nyawamu,” ancam Robin. Saat Rafael berdiri, kursi tua yang didudukinya berderit. Robin yang sensitif mendengar suara ketika sedang berkonsentrasi memegang senjata, langsung mengarahkannya pada Rafael. Rafael yang melihat kesiapsiagaan kakaknya hanya tersenyum tanggung. Dia bahkan tak memedulikan s
Di sebuah kamar motel, Poppy sedang menatap tajam Marcello dan Donna yang duduk sopan di depannya. Sebelumnya, Marcello terpaksa mengikat tangan dan membungkam mulut Poppy dengan lakban karena terus berteriak di jalan. Setelah sampai di kamar motel itu, mereka baru melepaskannya. Marcello menyembunyikan kunci pintu agar Poppy tak bisa melarikan diri.“Siapa yang menyuruh kalian berbuat seperti ini?”Marcello menatap Donna, meminta persetujuannya untuk menjawab Poppy. Namun, pelayan itu menggeleng sebagai tanda ketidaksetujuan.“Apa kalian mengkhianati Robin?” Poppy bergeleng-geleng tak percaya. “Kalian sendiri yang mengatakan jika hidup kalian jadi lebih baik setelah Robin menyelamatkan kalian.”“Jangan salah paham dulu, Nyonya. Kami–”“Bagaimana aku tidak salah paham?! Aku sudah mengatakan tidak mau pergi dan akan mengajakmu ke tempat aman! Tapi, kalian malah menyeretku, mengikat, dan membekapku begini!” teriak Poppy frustasi.“Situasi di kediaman sedang bahaya. Bisa jadi, mereka sa
Robin marah besar! Dia tak bisa duduk dengan tenang di ruang kerjanya, lalu berdiri selagi menelepon Antonio.“Lanjutkan rencana kita tanpaku. Kalau aku sudah menemukan istriku, aku akan segera menyusulmu.”“Baik, Tuan. Jangan khawatirkan kami. Anda tahu kemampuan kami, bukan?” balas Antonio dari seberang telepon.“Aku percaya padamu, Antonio. Jangan mengecewakanku.”Setelah bicara singkat tentang kemajuan rencana mereka, Robin kembali berteriak memanggil pengawal, menanyakan informasi terbaru istrinya. Namun, dia lagi-lagi dibuat marah karena Poppy belum ditemukan.“Tuan, ada satu pengawal yang juga menghilang bersama Nyonya Poppy.”Robin mendadak teringat dengan kenangan buruk keluarganya di masa lalu. Dia sontak terbayang wajah Dell, pengawal yang mengaku tertarik pada istrinya.“Panggil para pengawal yang selalu bersama istriku kemari!” perintahnya.Dia lupa dengan nama Dell. Pikirannya akhir-akhir ini hanya dipenuhi oleh Poppy dan rencana besarnya. Namun, dia masih mengingat waja
“Wah, aku menunggu kakak iparku, kenapa malah kakakku yang datang?” sambut Rafael dengan nada kecewa yang dibuat-buat.Ketenangan Rafael justru membuat Robin sedikit resah. Dia pikir, Rafael akan kecewa setelah melihat kemunculannya, bukan Poppy. Akan tetapi, Rafael hanya duduk di kursi, tanpa memperlihatkan kekagetan.Kendati demikian, Robin menunjukkan ketenangan. Rafael mungkin hanya menyembunyikan kegelisahan.“Sayang sekali, kau tidak bisa mencuri milikku, Rafael.”“Milikmu apa yang kau maksud? Istrimu atau kerajaan mafiamu?” Rafael menyeringai. “Katakan yang jelas, karena aku menginginkan keduanya.”Robin mengepalkan tangan, menahan diri agar tak gegabah menghadapi Rafael. Melihat keyakinan adiknya, Robin yakin bahwa Rafael telah menyiapkan sesuatu.“Aku sedang sangat sibuk. Katakan apa maumu yang sebenarnya?”Rafael terkekeh sampai memegang perutnya, menganggap pertanyaan kakaknya sangat menggelikan. “Kau benar-benar seperti kakek kita, Robin, selalu menganggapku sedang bermain
Robin Luciano telah mendapat kabar bahwa Alice sudah menggantikan istrinya di kamar, Poppy juga telah berada di luar bahaya. Dia tak akan ragu lagi menggunakan senjata, melangkah tegas bersama para pengawal.“Bangun! Sudah saatnya menjebak tikus-tikus sialan itu!” Para pengawal yang tadinya dikabarkan pingsan di dekat gerbang, langsung berdiri tegak setelah mendengar perintah Robin, sandiwara mereka berakhir. Mereka lalu mengikuti di belakang pengawal Robin yang lain.Robin menyeringai dalam kegelapan. Para penyusup itu mematikan listrik sehingga tak ada pencahayaan.“Untung saja aku mengikuti ucapan Antonio.”Saat dalam perjalanan pulang, Robin mendapat informasi baru mengenai pergerakan Rafael dan sekutunya. Dia segera menyiapkan perangkap setelah tahu bahwa Rafael akan mempercepat rencananya.Suara tembakan masih terdengar di dalam kediaman. Namun, Robin tak sedikit pun khawatir. Dia sudah menambah jumlah pengawal khusus tanpa ada yang tahu, serta menyuruh pengawal lama untuk meng