"Mas Azam beberapa hari yang lalu kepergok sedang makan bersama wanita lain oleh Alma.”“Kamu ada buktinya, enggak?”“Enggak ada, Mas. Aku percaya kepada Alma, enggak mungkin dia bohong. Alma sahabat baikku, Mas!" jawabku dengan penuh keyakinan.“Dek, zaman sekarang ini kita tidak boleh percaya kepada siapapun tanpa ada bukti yang nyata. Termasuk kepada orang yang dekat dengan kita sekalipun. Kita enggak pernah tahu hati seseorang seperti apa. Kalau kata pepatah, dalamnya laut masih bisa diselami, tetapi dalamnya hati manusia belum tentu bisa diselami, Dek.”Aku semakin tertampar oleh ucapan Mas Akbar, karena begitu mudahnya percaya kepada Alma tanpa meminta bukti yang nyata darinya. Padahal, itu menyangkut kelangsungan rumah tanggaku.“Menurut Mas, sebaiknya apa yang harus aku lakukan,?”“Kamu sebaiknya lebih berhati- hati dengan kabar atau berita yang diterima apalagi jika menyangkut rumah tanggamu. Jangan mudah percaya tanpa ada bukti yang jelas. Kalau perlu, kamu sendiri yang menca
Mbak Nisa tertegun mendengar pertanyaanku. Tangan yang tadinya hendak meraih cangkir berisi kopi pun, ditariknya kembali. Dia menatap ke arahku dengan tatapan sinis. Sungguh aku merasa Mbak Nisa yang sekarang berbeda dengan yang dulu.“Rumah tangga Mbak dan Mas Akbar sebenarnya tidak ada masalah, kami baik-baik saja. Hanya saja….”Mbak Nisa menggantung ucapannya sehingga membuatku penasaran.“Hanya saja apa, Mbak?”“Hanya saja, Mbak sudah tidak mencintainya lagi.”Mbak Nisa berucap dengan begitu santai, sementara aku terkejut dibuatnya.“Mbak enggak becanda, kan? Setelah enam belas tahun mengarungi bahtera rumah tangga, dengan mudahnya Mbak mengatakan tidak cinta lagi kepada Mas Akbar?” tanyaku dengan penuh penekanan. Aku tidak setuju dengan jawaban yang dilontarkan kakak ipar yang dulu disayangi ini.“Untuk apa Mbak becanda, Sha? Mbak serius. Bukankah tidak baik jika pernikahan dijalani tanpa ada rasa cinta?” Mbak Nisa malah melontarkan pertanyaan kepadaku. Seolah apa yang diperbuatn
Aku menoleh ke arah sumber suara. Mas Azam sudah berdiri di belakangku. Refleks aku terbangun dari tempat duduk. Sementara Pak Askara, terlihat sama terkejutnya denganku."Istri macam apa kamu, pergi tanpa berpamitan dan ternyata sedang bersama laki-laki lain? Apa jangan-jangan kamu pergi bersama polisi ini?" hardik Mas Azam dengan wajah yang terlihat garang. Kedua netranya memancarkan kilatan emosi yang membara."Mas, kamu salah paham. Aku tidak pergi bersama Pak Askara, semalam aku menginap di rumah Mas Akbar." Aku berusaha meluruskan kesalah pahaman ini. Memang salahku karena pergi tanpa berpamitan lebih dahulu kepadanya."Jangan banyak alasan. Kamu tega mengkhianatiku, Aisha? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan jika membenci yang namanya pengkhianatan. Akan tetapi kenapa kamu sekarang melakukannya?" cecar Mas Azam masih dengan emosi yang tertahan. Urat lehernya hingga timbul, sementara giginya terdengar gemeretak. Aku tahu dia sedang diliputi emosi yang hampir tidak terbendung.
Aku sedikit terkejut saat membaca nama Alma di layar ponsel. Ada perlu apa dia menelpon pada pagi hari begini?“Assalamualaikum, Alma. Bagaimana kabarmu?” tanyaku dengan antusias. Rindu rasanya tidak bertemu dengannya beberapa lamanya. Biasanya setiap hari aku bertemu dan berkomunikasi dengannya.Namun tidak ada jawaban dari Alma, yang terdengar hanya isak tangis. Aku sedikit heran. Siapakah yang menangis? Apakah Alma?“Al … kamu kenapa? Kamu nangis?” tanyaku penasaran.Masih belum ada jawaban. Aku kembali memanggil namanya hingga beberapa kali, barulah kemudian terdengar suara Alma yang terdengar serak dan berat seperti orang yang sedang terkena flu.“A-i-sha. Mas-An-ton….” jawab Alma dengan terbata-bata.“Mas Anton kenapa, Al?” tanyaku tidak sabar.“Mas An-ton… me-ning-gal….”“Apa? Mas Anton meninggal? Kamu enggak bercanda, kan?" Aku tidak percaya dengan jawaban Alma. Dia pasti bercanda.“Aku serius….” Alma kembali terisak dan tangisannya semakin keras.“Kenapa? Bukannya semalam kam
Mas Azam menghampiriku dan tersenyum ke arah Alma serta Shania. Alma membalas senyuman Mas Azam lalu kemudian berpamitan. Sepertinya dia sengaja memberikan ruang agar aku bisa berbicara dengan Mas. Setelah kepergian Alma, tiba-tiba aku merasa gugup.Aku seperti anak gadis yang akan bertemu dengan kekasih hati yang sudah lama dirindukan. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebaiknya aku segera meminta maaf kepada Mas Azam."Apa kabarmu, Mas?" tanyaku malah bertanya kabar, padahal tadinya ingin meminta maaf kepadanya."Kabar aku baik," jawab Mas Azam singkat.Aku jadi semakin gugup dan salah tingkah melihat sikap Mas Azam yang masih terlihat dingin Tenggorokanku rasanya tercekat ingin mengatakan sebuah kata maaf."A...," baru saja aku akan meminta maaf, Mas Azam secara bersamaan memotong ucapanku."Aku ada undangan tausiyah ke luar daerah selama satu minggu. Jadi tolong jangan hubungi aku!" Mas Azam akhirnya mengucapkan apa yang akan disampaikannya, lalu kemudian berlalu pergi
Aku segera meraih ponsel yang terletak di atas meja. Menatap layarnya dengan bersemangat. Namun ternyata bukan nama Mas Azam yang tertera, melainkan Pak Askara.Aku merasa ragu untuk menerimanya karena teringat pesan Alma agar menjaga jarak dengan Pak Askara. Alma juga berpesan kalaupun bertemu dengan Pak Askara, usahakan bersama Mas Azam. Akan tetapi aku takut Pak Askara menghubungi karena ada hal yang penting. Mungkin saja dia mempunyai informasi terkait dengan peneror itu.“Kok enggak diangkat, Dek?” tanya Mas Akbar menatapku heran.“Emhhh ... iya Mas. Ini mau diangkat kok,” jawabku ragu.Akhirnya aku memutuskan untuk menerima panggilan masuk dari Pak Askara karena tidak sendirian, melainkan ada Mas Akbar. Tidak mungkin rasanya berbicara yang macam-macam di hadapan kakakku.“Hallo ... Pak Askara, ada apa?” tanyaku saat telepon sudah terhubung tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.“Bu Aisha, saya mendapatkan informasi ada yang mendapatkan photo plat nomor mobil peneror itu. Sebentar sa
Aku terdiam melihat buku dalam genggaman. Mencoba mengingat apakah buku ini milikku atau bukan? Namun akhirnya yakin, aku bukan pemilik buku diary itu. "Lalu, milik siapa?" tanyaku dalam hati.Apa mungkin buku ini milik Mas Azam? Atau buku Mas Adnan? Namun rasanya tidak mungkin jika buku itu milik Mas Adnan. Seingatku, semua barangnya sudah dibawa saat dia ketahuan berselingkuh. Aku semakin penasaran. Perlahan aku membuka buku bersampul biru itu.Saat buku itu terbuka, aku merasa heran karena halamannya kosong. Kembali membuka lembaran demi lembaran untuk menemukan sebuah titik terang jawaban dari pertanyaanku. Sampai akhirnya aku menemukan tulisan yang berada di tengah halaman.Lengkaplah sudah sepi ini mengurung sendirikuTerkulai dikunyah nelangsa yang berapi-apiMenyusuri jalanan lengangBersimbah angan tanpa tujuanDalam derap gerimis yang pongah menghujamTerbuai wajahmu menyusup bertubi-tubiMembawa sebaris kata bahagia yang menenggelamkan nuraniDiatas pengharapan tak berkesud
Aku berpamitan kepada Abraham untuk membukakan pintu gerbang. Lagi-lagi tugas Bi Inah tergantikan olehku. Aku melangkah lebar menuju pintu gerbang untuk membukanya sekaligus menyambut kedatangan orang yang paling dinantikan. Entah kenapa hatiku begitu yakin jika yang datang itu adalah Mas Azam. Jantungku berdebar saat perlahan membuka pintu gerbang, tanpa terlebih dahulu melihat melalui lubang yang tersedia di pintu gerbang. Lagi-lagi harus kecewa, karena yang datang bukan Mas Azam, melainkan Mbak Nisa.Dia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, padahal hanya memasuki halaman rumah.“Apakah yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mbak Nisa mengemudikan mobilnya seperti orang yang sedang emosi?" tanyaku dalam hati. Aku bergegas meninggalkan pintu gerbang yang belum tertutup. Mengejar Mbak Nisa untuk memastikan keadaannya. Namun dengan cepat Mbak Nisa turun dari mobil dan melangkah lebar memasuki rumahku. Tidak disangka, dia berteriak seperti orang kerasukan memanggil Abraham. Ra
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag