“Ada apa denganmu Zafran?” Pria itu memandang adiknya lalu beralih memandangku. “Apa yang salah dengan perkataanku. Bukankah memang benar perkataanku.” Pak Farabi menjelaskan kalau guru merupakan orang tua kedua bagi muridnya.
Zafran menghela napas lega mendengar penjelasan kakaknya. Pria itu lalu kembali melanjutkan makannya. Aku hanya bisa menghela napas lega, karena awalnya aku berpikir ada maksud lain dari perkataannya.
“Tapi, Papa.” Airin memandang Ayahnya. Gadis seakan tak terima dengan ucapan Pak Farabi “Itu beda.”
“Beda gimana?” tanya Pak Farabi.
“Airin maunya ibu beneran!” Gadis cilik itu memandang papanya.
Mendengar hal itu aku kembali terlonjak. Sedangkan Zafran menundukkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Mana bisa, Airin. Ibu Deema kan sudah punya suami.” Pria itu memandangku.
“Ya ....” Mendengar jawaban papanya, Airin lesu. “Emang enggak bisa ya, kalau sudah bersuami jadi ibunya Airi.”
“Airin. Kalau kamu mau kamu bisa anggap ibu seperti ibumu.” Aku menerangkan pada gadis kecil itu. Andai dia ingin makan, makanan masakkanku, aku akan memasak untuknya.
Mendengar penjelasanku Airin berlari menghampiriku yang masih berdiri tak jauh dari mereka. Erat, Airin memelukku. “Beneran ya, Bu.” Dia mendongak memandangku. “Tapi Airin akan lebih senang kalau Bu Deema jadi ibunya Airin beneran.”
Semua yang ada di sana memandangku. Aku merasa tidak nyaman pada situasi ini. Akhirnya, aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya. Merasa canggung aku segera berpamitan pada mereka. Sebelumnya aku meminta izin untuk meminjam mantel.
“Apa tidak sebaiknya Bu Deema saya atau Zafran yang mengantarkan. Soalnya masih hujan. Jalan juga licin. Sangat berbahaya.”
Aku meyakinkan pria itu agar tidak khawatir dengan mengatakan aku sudah biasa bawa motor sendiri dalam segala situasi dan kondisi.
Setelah mendengar penjelasanku, pria itu memanggil Mbak Darsi untuk mengambilkan mantel.
***
Aku merebahkan diri usai melaksanakan kewajiban dua rakaat. Badan terasa sangat lelah hari ini. Apalagi setelah terkena guyuran hujan semalam membuat badan serasa akan meriang.
“Deema.” Ayah beberapa kali mengetuk pintu. Aku memintanya masuk karena memang pintu tidak aku kunci.
Membawa sebuah cangkir dengan asap yang masih mengepul Ayah berjalan mendekatiku. Aku tahu isi cangkir itu. Jahe. Aromanya menguar hingga ke hidungku.
Ayah masih sama seperti dulu. Selalu merasa khawatir ketika putrinya ini terkena guyuran hujan. Seperti saat ini, dia membuatkan wedang jahe untuk menghangatkan tubuhku. Pria itu sangat mengerti kalau putrinya tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
“Deema, minumlah ini.” Ayah duduk di tepi ranjang.
Aku menyikap selimut yang menutupi diri lalu duduk. “Terima kasih, Ayah.” Aku mengambil alih gelas yang ada di tangan.
Sedikit demi sedikit aku menyeruput wedang jahe yang dibuatkan Ayah. Rasanya enak, tak terlalu pedas, dan manis. Semua terasa pas dilidahku.
“Deema.”
Aku memandang Ayah. “Ya, Ayah.”
“Tempo hari Bhanu ke sini ada perlu apa?”
“Tidak apa-apa, Ayah.”
“Nak, Ayah melihat kedatangannya waktu itu. Ayah melihat pria itu sangat marah. Apa dia memintamu untuk kembali?”
Aku menggelengkan kepala. Aku menceritakan pada Ayah tentang pertemuan kami tempo hari pada beliau.
“Syukurlah kalau begitu. Zafran, apa kamu bertemu dengannya lagi?”
Aku menggelengkan kepala. Aku terpaksa membohongi Ayah. Bila beliau tahu kalau aku sering bertemu di rumah Pak Farabi, pasti Ayah akan memintaku untuk tidak mengajar les lagi di rumah Airin.
“Bagaimana dengan jualanmu?”
“Iya.”
“Jangan terlalu memforsir energimu, Deema.”
Aku menjelaskan pada Ayah kalau aku hanya sebagai reseller. Aku hanya mencari pembeli tanpa stok barang. Hampir semua menangani dari agen resmi yang aku ikuti. Jadi aku tidak perlu repot. Hanya mengunggah barang dan membalas pesan.
“Ingat jangan terlalu berambisi untuk suatu hal. Ayah tahu kamu sedang ingin membuktikan kalau kamu bisa hidup lebih baik lagi. Namun, ingat jaga kesehatanmu.”
Aku menganggukkan kepala.
“Nak dengarkan Ayahmu. Hidup tak hanya sekedar untuk membuktikan kalau diri kita lebih baik dari orang lain. Terutama orang yang dibenci. Akan tetapi, hidup itu bagaimana cara kita agar menjadi baik di mata-Nya.” Ayah mendongak ke atas.
“Iya, Ayah. Deema paham.”
“Besok jangan lagi menerobos hujan. Lebih baik kamu pulang mengendarai ojek daring. Ayah tidak mau kalau sampai sakit.”
Aku meyakinkan Ayah bila dalam keadaan baik-baik saja.
Setelahnya Ayah pamit. Sebelum pergi dia memintaku untuk beristirahat saja hari itu. Karena Ayah tahu setelah kehujanan aku pasti akan terserang flu. Pria itu adalah satu-satunya orang yang sangat memahamiku.
Pukul setengah tujuh, aku sudah siap untuk berangkat mengajar. Aku mengendarai motor perlahan. Walau matahari sudah meninggi, aku masih merasakan hawa dingin yang begitu luar biasa. Padahal aku juga sudah mengenakan jaket tebal. Kalau begini aku harus meminum parasetamol. Kalau tidak aku tidak bisa mengajar. Sedangkan sebentar lagi akan diadakan penilaian tengah semester.
Setibanya di sekolah, aku mencari parasetamol dari dalam tasku. Biasanya aku membawa beberapa di dalam tas untuk berjaga-jaga. Namun, kali ini aku tidak membawanya. Biasanya juga aku membawa obat masuk angin cair. Kali ini juga tidak ada satu pun dalam tasku.
“Bu Deema cari apa?” tanya Bu Citra wali kelas lima
“Obat, Bu,” jawabku dengan pandangan dan tangan yang masih sibuk mencari obat dalam tas.
“Bu Deema sakit?”
Aku menggeleng dan mengatakan pada wanita itu kalau aku hanya sedikit tak enak badan karena kehujanan semalam.
“Oh.” Wanita itu lantas membuka tas dan mengambil sesuatu dari dalamnya. “Kebetulan saya ada obat masuk angin. Silakan kalau Bu Deema berkenan.”
Aku meraih obat masuk angin dari tangan Bu Deema. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih padanya. Untuk sementara aku aman dan bisa mengajar dengan tenang.
Setelah meminum obat masuk angin, aku masuk kelas. Hari ini ulangan harian. Jadi aku agak sedikit santai. Hanya mengawasi mereka saja.
Usai membagikan soal, aku kembali duduk. Sesekali aku berjalan berkeliling mengawasi mereka. Tiba-tib keringat membasahi wajah dan tubuhku. Badan juga terasa lemas. Aku pun duduk dan mengambil air minum dalam botol yang kubawa. Sebelumnya aku meminta maaf terlebih dahulu pada anak-anak karena minum di kelas. Aku juga mengatakan alasanku.
Bel tanda pelajaran telah berakhir pun berbunyi. Aku meminta Airin untuk mengumpulkan lembar jawaban.
“Bu Deema sakit, ya?” tanya gadis kecil itu.
“Ibu sedikit tak enak badan.” Aku mengambil lembar jawaban pada gadis cilik itu. Tak lupa aku berterima kasih padanya dan kembali ke kantor.
Kebetulan sekali jam berikutnya adalah mata pelajaran agama. Jadi aku bisa izin untuk pulang dan beristirahat.
Pukul sepuluh, aku tiba di rumah. Bergegas aku menuju kamar dan merebahkan diri tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Rasanya sudah tidak tahan dengan kondisi badan. Demam, menggigil. Aku menarik selimut untuk menutupi diri dan tidur.
Ayah sedang tak di rumah kala itu. Beliau seperti biasa ke kebun yang ditanami berbagai sayuran miliknya. Dan baru akan pulang setelah dhuhur.
Aku kembali terjaga, ketika pintu rumah diketuk dengan keras. Semakin lama semakin keras. Aku pun bangun untuk melihat siapa yang datang. Waktu itu jam menunjukkan pukul setengah dua belas.
Aku berjalan ke depan dengan berpegangan dinding. Kepala rasanya berputar. Perut juga terasa mual. Sungguh lengkap ujian yang aku alami.
Ketukan pintu kembali terdengar. Disusul ucapan salam. Aku pun menjawabnya.
“Mas Bhanu.”
“Deema kenapa lama sekali kami?” Pria itu memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Kepala yang pusing membuatku samar-samar mendengarnya.
“Kamu mau apa ke sini lagi?” tanyaku yang masih berdiri di ambang pintu. Aku sengaja tak memintanya masuk ke rumah.
“Aku mau kamu segera mengurus perceraian kita.”
Aku sebenarnya malas sekali berdebat dengannya. Apalagi kondisiku sedang tak memungkinkan.
“Urus saja sendiri. Aku sudah tak mau tahu soal kamu.”
“Kamu yang urus?”
“Kenapa bukan kamu? Apa kamu takut aku meminta harta gono gini?”
Pria itu terdiam. Pasti Afseen takut aku meminta sebagian harta Mas Bhanu. Jadi dia yang meminta pria itu untuk mendesakku menggugat cerai Mas Bhanu.
“Tenang saja, Mas. Aku bukan wanita gila harta. Kamu urus saja perceraian kita. Aku tak akan meminta apa pun darimu.” Sudah tak kuat berdiri, aku membalikkan badan dan berjalan masuk. Rasanya sudah tak tahan untuk kembali merebahkan diri.
“Deema.” Mas Bhanu menarikku. “Aku belum selesai.”
“Mas, lepaskan. Apa lagi yang kamu mau dariku.” Aku coba melepaskan tangannya dariku.
“Aku mau kamu yang urus perceraian kita!”
“Aku bilang tidak ya, tidak.” Aku mengentakkan tangan. Terlepas. Aku segera masuk dan menutup pintu. Namun, pria itu menahannya. Dia ikut masuk rumah dan mengunciku pada dinding. Kedua tangannya memegang kedua tanganku. Tatapannya tajam memandangku.
“Mas lepaskan aku!” Aku berteriak, menangis, meronta memohon padanya untuk melepaskanku dan pergi.
“Kalau kamu tak mau melakukannya, kita kembali lagi bersama.” Pria itu sungguh menjijikkan. Aku coba melepaskan diri. Kondisi yang lemah membuatku tak berdaya.
Mas Bhanu semakin memojokkanku ke dinding. Dia juga semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Apa yang akan kamu lakukan, Mas.”
“Kembali memilikimu. Bukankah kamu menginginkannya?”
Bersambung ....
“Jangan sentuh aku!”Aku hendak menendangnya. Sayang, kedua kakiku diinjaknya. Sakit. Bukan hanya kaki yang sakit, tapi juga hatiku. Aku sangat takut jika pria itu akan berbuat yang tidak-tidak.Mas Bhanu merapatkan kedua tanganku di atas kepala. Dengan posisi masih menempel di dinding dengan satu tangannya. Sedangkan tangan satunya meraih wajahku. Mencengkeram antara dua rahang dan mendekatkan ke wajahnya.“Jangan la-kukan itu, Mas,” Aku coba memalingkan wajah. Namun, cengkeramannya semakin kuat. Saat itu aku ingin berteriak, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa menangis seraya berdoa agar selamat dari pria itu.Aku coba menarik kaki dan tanganku agar bisa terlepas darinya. Akan tetapi tidak bisa. Sedangkan tubuhku semakin terasa lemas. Kepala semakin berputar. Aku bisa merasakan keringat dan air mata jatuh bersamaan. Setelahnya gelap.Ketika terbangun, aku sudah berada di tempat tidur. Di dahiku ada sapu tangan basah yang
Siang itu aku jadi menemui Zafran. Di hadapan kami hanya ada dua jus alpukat. Aku menolak tawaran makan dari pria itu. Kafe yang berada di jantung kota itu, dulu menjadi saksi bisu pertemuan dua hati yang tak akan pernah bersatu. Dari dulu tempat makan yang sering kami datangi itu selalu ramai, walau begitu aku sering mengajak Liza untuk menemui Zafran. Namun, kali ini aku menemuinya sendiri. “Segera ceraikan suamimu. Aku akan membiayainya.” Perkataan Zafran begitu mengejutkanku. Aku memandang pria yang pandangannya tertuju pada jus alpukat yang sedang di aduk-aduknya. “Apa maksudmu?” “Ceraikan suamimu dan kembalilah kepadaku.” “Apa?!” Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakannya. “Bagaimana dengan Namira?” “Terus bagaimana denganmu? Apa selamanya kamu akan bertahan dengan pria yang akan menyakitimu itu!” Zafran terlihat sangat kesal. &ldqu
Ayah begitu marah melihat kehadiran Mas Bhanu. Apalagi pria itu menuduhku atas perbuatan yang tak aku lakukan. Tak ingin ada keributan, aku meminta Ayah untuk membiarkan pria itu mencari Bu Nirmala di setiap sudut rumah. Setelah tidak menemukan apa yang dicari pria itu pergi tanpa pamit. Aku menghampiri Ayah yang berdiri ruang tamu. Pikiranku tak tenang memikirkan keberadaan Bu Nirmala. Entah di mana saat ini beliau berada. Tak ingin berdiam diri, aku pun meminta izin untuk mencari ibu mertuaku itu pada Ayah. “Deema, hari sudah malam. Ayah takut kamu kenapa-napa?” Aku coba meyakinkan Ayah kalau aku bisa menjaga diri. Apalagi tempat yang hendak aku tuju tergolong ramai, karena berada di daerah pemukiman padat. Apalagi jarak dan jalan menuju ke sana masih aman. Sebab tak melewati jalanan yang sepi. “Baiklah, Nak. Namun, jangan terlalu ikut campur dengan urusan mereka.” Aku mengiyakan perkataan Ayah. Bergegas aku
“Turun!” Salah satu mereka memintaku turun. Aku pun menurut karena takut. Aku seorang diri, mereka berdua. Apalagi badan mereka juga terlalu besar. Tidak ada cukup tenaga untuk melawan dua pria tersebut. Aku memandang dua pria itu dari atas ke bawah. Pria pertama berbadan besar, mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan celana jeans. Pria satunya berbadan tinggi, kurus dengan tangan penuh tato. Mereka berjalan mendekat, seketika aku mundur beberapa langkah. Aku begitu takut bila mereka berbuat yang tidak-tidak padaku. Aku menatap ke sekeliling. Berharap ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Namun, tak ada siapa-siapa. Suasana malam itu benar-benar sepi, tak ada seorang pun yang melintas. Suasana semakin mencekam. Ditambah angin yang berembus kencang. “Mau ke mana kamu!” Pria berbadan besar itu berjalan mendekat dengan senyum yang menyeringai. Jantungku pun berdetak kencang. Keringat juga bercucu
Hening .... Hanya suara angin yang berembus yang menemani kebersamaan kami. Entah apa yang hendak pria itu katakan. Sudah beberapa saat berlalu, pria itu belum mengatakan apa yang hendak disampaikannya. “Pak, saya harus pulang,” kataku pada akhirnya. Hari juga semakin sore. Aku harus bergegas pulang. Ada Ayah di rumah yang menanti kedatanganku. Tak ingin lagi diri ini membuatnya cemas. Aku pun bangun. “Deema, tunggu.” Pria itu memegang tanganku. Sontak aku menolehnya. Dia pun melepas tangannya dariku. “Maaf.” Aku pun berjalan menuju motor. Tak di sangka Pak Farabi mengikuti. Pria itu memegang helm yang hendak aku pakai. Dia meminta waktu sebentar. Pria itu menarik napas lalu berkata, “Deema. Ada debar aneh saat berada di dekatmu. Ada luka saat melihat air mata jatuh di pipimu. Ada rasa benci ketika melihat orang lain menyakitimu. Ada rasa ingin selalu menjaga dan berada di sampingmu.&rdq
Aku menghela napas lega, ketika dokter menyatakan Afseen dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja. Jika tidak, seumur hidup aku pasti akan dihinggapi perasaan berdosa. Wanita yang terbaring di tempat tidur itu tampak tak suka. Aku tahu, pasti dia semakin membenciku dengan apa yang terjadi padanya tadi. “Maafkan aku, Afseen. Aku tak bermaksud ....” Belum selesai berbicara wanita itu menyela. “Diam kamu! Aku tahu kamu tidak ingin melihat aku dan Mas Bhanu hidup bahagia kan?” “Tadi kalau kamu tidak memulainya, pasti aku tidak akan mendorongmu.” “Halah! Itu hanya alasanmu saja.” Mimik wajah wanita itu berubah, bersamaan dengan suara pintu terbuka. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang datang. “Afseen. Bagaimana keadaanmu.” Pria itu mendekati istrinya. Aku bisa melihat mulut Afseen komat-kamit. Pasti wanita itu menceritakan semua pada Mas Bhanu. “Deema.” Ma
Angkutan berwarna merah itu perlahan melaju di jalanan. Terkadang sang sopir melajukan cepat, menyalip kendaraan yang ada di depannya. Aku yang duduk di deretan bangku nomor tiga dari kemudi menatap ke luar jendela. Memandang tiap kendaraan yang berlalu lalang dan jejeran toko di sepanjang jalan. Aku menghela napas berat. Rasanya dadaku begitu sesak. Kepalaku juga berdenyut hebat ketika kembali teringat kejadian tadi di swalayan. Wanita dan gadis kecil yang kutemui ternyata dia Namira yang telah merebut separuh jiwaku dulu. Sakit. Itu yang kurasakan saat itu. Kali ini luka itu kembali menganga ketika aku melihat kebersamaan mereka sebagai keluarga bahagia dan sempurna. Apalagi kebahagiaan mereka semakin sempurna dengan kehadiran Rana. Di hadapan mereka aku tetap tegar. Walaupun sebenarnya terluka. Aku juga sempat berbasa-basi menanyakan kabar pada wanita yang kini sudah bisa kembali berdiri tegak. “Permisi, Mbak.” Ke
Aku begitu prihatin dengan kondisi Ayah. Beliau tak menceritakan apa pun padaku. Entah apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tidak seperti sebelumnya, Ayah jadi berubah diam. Beliau juga tak lagi ke sawah akhir-akhir ini. Tak tahan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku memutuskan mendekatinya dan coba bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Pagi itu, Ayah sedang duduk sendiri di ruang keluarga. Televisi di hadapannya menyala. Namun, pandangan pria itu entah ke mana. Dengan secangkir teh hangat aku menghampiri Ayah dan duduk di samping beliau. Aku meletakan telapak tangan di atas punggung tangannya. Sontak pria itu menoleh padaku. Beliau tersenyum. Senyum yang dipaksakan menurutku. Aku bisa melihat ada duka yang disembunyikannya. “Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?” Pria yang sudah membesarkanku dengan penuh cinta itu mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. Ayah mengambil teh yang kubuatkan tadi. Menyeruputnya secara perlahan. Ak
Hal itu membuatku malu, aku lantas menyenggol lengan pria itu karena malu. Sedangkan Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Ayah, Deema punya kabar bahagia,” ucapku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan perihal kehamilanku pada Ayah. “Kabar apa, Deema?” Ayah yang duduk di teras bersama kami memandangku. Pria itu sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarnya. Sejenak aku memandang Pak Farabi yang duduk di sampingku untuk meminta izin padanya. Pria itu mengangguk. Gegas, aku mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ayah. “Buka, Yah. Kabar bahagianya ada di sana.” Aku menunjuk kotak beludru berwarna biru itu pada Ayah. Perlahan, Ayah membukanya. “Apa ini, Deema?” tanya Ayah memandangku. Pria itu lantas mengamati benda kecil yang berada di dalam kotak. “Deema hamil Ayah.” Mendengar itu, mata Ayah berkaca-kaca. “Benarkah itu, Deema?” Pria itu seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Iya, Ayah. Sebentar lagi, Ayah akan memiliki cuc
Aku begitu terharu ketika dokter menyatakan aku telah hamil delapan minggu. Memang aku terakhir datang bulan sebelum berangkat bulan madu. Sehari setelah mengetahui kabar kehamilan, aku dan Pak Farabi pulang ke kota kelahiran kami. Kepulangan kami tak ada satu keluarga pun yang tahu. Pun dengan berita kehamilanku. Aku dan Pak Farabi berencana ingin memberi kejutan pada semua keluarga. Pulang dari bandara kami sengaja tak menelepon sopir untuk menjemput. Melainkan mengendarai taksi daring. “Deema, Farabi, kenapa kalian sudah pulang?” tanya Bu Sekar. Beliau begitu terkejut melihat kepulanganku dan Pak Farabi malam itu.Berbeda dengan beliau, Airin justru sangat bahagia melihat kehadiran kami. Gadis kecil itu bahkan berlari untuk memelukku.Kami berdua hanya diam mendengar pertanyaan Bu Sekar.“Apa ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Bu Sekar kembali.Pak Farabi yang sedari tadi pura-pura memasang wajah memelas, menjawab kalau aku tak mau disentuh olehnya.Sontak Bu Sekar marah pad
Hubunganku dengan Pak Farabi juga semakin baik, hanya saja aku belum melakukan ritual malam pertama dengan pria itu. Padahal sebelumnya kami berdua sama-sama pernah menikah. Aku heran juga pada pria itu, kenapa dia bisa begitu sabar menahan hawa nafsunya. “Farabi, kapan kamu punya anak dari Deema?” Minggu siang, Bu Sekar ke rumah bersama dengan Rana. Waktu itu Rana dan Airin asyik bermain di ruang keluarga. Aku menemani mereka berdua. Sedangkan Ibu dan Pak Farabi duduk di sofa. Seketika tatapan Pak Farabi beralih padaku. Pria itu seakan-akan memintaku untuk menjelaskan semua pada Ibu. Tak mau ambil pusing, aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sedang asyik main kereta es krim di sampingku. “Kalau perlu, kalian pergi ke dokter.” Wanita itu semakin memojokkan Pak Farabi. “Bu, bagaimana bisa Deema hamil, Farabi aja belum menyentuhnya.” Entah pria itu keceplosan atau memang sengaja. Suara Ibu seketika menggelegar, memenuhi ruang keluarga. Tak ingin mendengar obrolan orang
Menurutnya, semalam yang melihatku dan menahan agar tidak jatuh adalah Mbak Darsi. Wanita itu juga yang menjagaku hingga Pak Farabi pulang. Mengenai kepulangan Pak Farabi, Zafran yang menghubunginya.“Deema bagaimana keadaanmu saat ini? Sudah enakkan kah?” Aku tak menjawab pertanyaan pria itu. Melihatku hanya diam saja, Pak Farabi coba meraih tubuhku.“Eh! Bapak mau ngapain?”“Membawamu ke dokter.”“Aku sudah tidak apa-apa. Mungkin karena semalam aku lupa makan. Jadi masuk angin.”Melotot, Pak Farabi memandangku. Dia bertanya kenapa aku tak makan semalam. Alih-alih menjawab, aku justru mengalihkan perhatian dengan menanyakan kenapa dirinya pulang lebih cepat. Tak mungkin juga aku mengatakan Zafran adalah alasanku tak makan.“Mendengarmu sakit saja sudah mampu mengalihkan duniaku. Beruntung pekerjaan sudah selesai hanya Ayah yang tinggal di sana. Sedangkan aku memilih pulang. Mana sanggup aku jauh darimu!” Pria itu menoel hidungku.Aku begitu bersyukur bisa memiliki Pak Farabi. Walaup
“Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.
Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam
Heran, aku memandang pria itu.“Aku ikut denganmu.” Pria itu memandangku dengan tatapan entah.Mengangguk, aku mengiyakan permintaannya.Kopi dalam gelas pun segera dihabiskan. Ingin jalan bersama alasannya.Diam, itu yang bisa aku lakukan ketika jemari kami saling terkait. Semakin hari, aku semakin nyaman dengan pr8a itu. Walaupun, hubungan kami berawal dari sebuah keterpaksaan karena tragedi yang menimpa ayahku, diri ini berharap, rumah, pernikahan kami akan langgeng hingga maut memisahkan.***Sebelum berangkat ke kantor, Pak Farabi mengantarkanku ke rumah Bu Diah. Pikirku, pada pukul enam pagi Bu Nirmala pasti belum berangkat bekerja. Usai dari rumah Bu Nirmala, aku langsung berangkat bekerja. Rana, sementara bersama pengasuhnya. Sedangkan Airin ada Mbak Darsi.Pagi tadi, aku juga menyiapkan sarapan buat Bu Nirmala. Pasti wanita itu kerepotan karena harus bekerja. Aku berharap, makanan yang aku bawa bisa bermanfaat untuknya.“Deema, apa kamu tidak takut untuk bertemu dengan Bhanu
Di luar rumah angin bertiup cukup kencang. Ditambah mendung merajai malam. Sendiri aku menyepi. Duduk menatap ke luar melalui jendela. Korden yang menutupi sebagian jendela, melambai. Aku kembali mengingat perkataan Ayah siang tadi. Entah. Haruskah aku tertawa? Menertawakan kabar yang dibawa Ayah atau aku harus bersedih mendengar sang mantan mendapat karma dari segala yang dilakukan padaku pada masa lalu. Tidak! Aku bukan wanita seperti itu. Aku bukan wanita jahat, yang akan menyimpan dendam karena kejadian masa silam. Semua yang terjadi pada Mas Bhanu ada sebab dan akibatnya. Andai, dia tak terlalu diperbudak oleh cinta, maka hal tragis itu tak akan terjadi. Dari cerita Ayah, nasib Mas Bhanu dan ibunya kini terlunta-lunta. Rumah mereka sudah dijual oleh Afseen. Beberapa waktu mereka tinggal di rumah wanita itu. Hingga pada akhirnya, anak dan ibu itu diusir dari rumah wanita kejam itu seperti anjing. Bukan hanya itu, janin dalam kandungan Afseen juga buka darah daging Mas Bhanu. M
Malam itu, Pak Farabi dan Zafran pergi untuk menunaikan Salat Magrib, aku memilih menunaikan salat di ruang perawatan Namira. Usai melaksanakan kewajiban tiga rakaat, tak lupa kupanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa untuk kesembuhan Namira. Memang wanita itu sudah merebut kebahagiaanku dulu. Namun, aku sama sekali menaruh dendam padanya. Toh semua yang terjadi bukan keinginan wanita itu. “Deema.” Mendengar seseorang memanggil, aku mengedarkan pandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu, hanya ada aku dan Namira. Bergegas aku melipat mukena dan perlahan mendekati ranjang. Aku memandang wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Beruntung tak ada luka serius yang didapat. Hanya kaki dan tangannya yang terluka. Kaki yang dulu patah, kini kembali patah. Menurut dokter, hal itu akan sulit untuk disembuhkan. Ternyata wanita itu sudah terjaga. Dia tersenyum memandangku. Ada setitik air menetes melihat wanita itu telah sadar. Ada perasaan lega bisa kembali mendengar suaranya. Be