Perkataan Mas Bhanu berputar di kepalaku. Bahkan ketika bertemu dengan orang tua Airin konsentrasiku juga buyar. Beruntung ada Liza yang membantuku berbicara.
Andai, tadi ayahnya Airin tak menghubungi, aku pasti sudah minta penjelasan terkait wanita itu pada Mas Bhanu.
“Deema, bagaimana?” Liza memandangku. “Apa kamu menerima tawaran Pak Farabi?”
Aku mengangguk setuju. Padahal aku sendiri tak tahu apa yang mereka bicarakan. Yang aku tangkap hanya les privat seminggu tiga kali, selasa, kamis, dan sabtu.
Setelah semua urusan dengan Pak Farabi selesai, aku dan Liza pamit pulang.
“Sudah jangan dipikirkan masalah tadi. Kamu masih muda, jangan takut kehilangan dia.” Liza menyentuh tanganku dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya mengemudi.
Aku tersenyum memandang wanita itu sebagai isyarat kalau aku dalam keadaan baik-baik saja.
Memang benar kata Liza. Tak pantas untukku meratapi Mas Bhanu. Pria seperti itu tak pantas untukku. Andai dia meminta maaf dan ingin kembali. Mungkin saja suatu saat hal itu akan terulang kembali. Padahal pernikahan kami belum genap tiga bulan. Namun, pria itu sudah berani main belakang.
***
Malam harinya, aku menunggu kepulangan Mas Bhanu. Malam ini juga aku harus meminta penjelasan perihal wanita bernama Afseen serta maksud dari perkataannya.
Berkali-kali aku melihat jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Bhanu. Aku berjalan mondar-mandir di depan pintu. Gelisah memikirkan pria itu. Takut dia sedang berduaan dengan wanita itu. Bukan takut karena kehilangannya, tapi rasa takut jika pria itu terjerumus dalam lubang dosa.
Kumandang Azan Subuh membangunkanku. Entah pukul berapa aku tertidur di kursi. Aku memandang ke arah pintu, tidak ada tanda-tanda kepulangan Mas Bhanu. Bergegas aku bangun menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.
“Deema!”
Baru saja selesai berdoa, terdengar suara pintu diketuk dengan keras di susul suara teriakan Mas Bhanu memintaku untuk segera membuka pintu. Aku bergegas melepas mukena yang kukenakan dan melipatnya.
“Ya, Mas.” Bergegas aku berlari untuk membukakannya pintu.
“Lama sekali dari mana saja kamu?” tanya Mas Bhanu.
Wajah pria itu tampak lesu. Sepertinya semalaman dia tak tidur. Rambutnya juga terlihat acak-acakan.
“Salat, Mas. Harusnya aku yang bertanya dari mana saja kamu?”
Mas Bhanu tak menjawab pertanyaanku. Pria itu justru berjalan melewatiku.
“Berhenti!” Aku berjalan menyusulnya dan berdiri tepat di hadapan pria itu. “Kamu habis zi*n*a dengan wanita itu kan, Mas?” Amarahku memuncak karena tak tahan membayangkan kebersamaan mereka.
“Jaga mulutmu itu, Deema!” Mas Bhanu menunjukku.
“Memang itu kenyataannya kan, Mas? Kalau itu benar, maka kewajibanku untuk menasihatimu, Mas.”
“Jangan sok suci kamu, Deema. Bagaimana denganmu? Apa kamu masih perawan saat menikah denganku?”
Lagi-lagi Mas Bhanu mengungkit hal itu.
“Aku tak seperti yang kamu sebutkan, Mas.”
“Bohong! Kalau kamu masih perawan kenapa tak ada bercak darah ketika kita pertama kali melakukannya.”
Pada malam pernikahan, pria itu begitu kecewa ketika tak mendapati bercak di seprai. Aku juga sudah menjelaskan semua kalau diriku tak pernah berhubungan dengan pria mana pun. Namun, pria itu tak terima. Beruntung ada ibu Mas Bhanu yang menjelaskan pada pria itu. Sejak saat itu dia mau menerimaku kembali. Akan tetapi, semua tak lagi sama. Pria itu berubah dingin terhadapku.
“Mas!” Aku begitu terpukul dengan perkataan pria itu. “Harus berapa kali aku menjelaskan padamu kalau tak ada pria lain yang pernah menyentuhku.”
“Aku benar-benar kecewa padamu Deema.” Pria itu membuang muka. Dia berdiri membelakangiku.
Aku kembali berdiri di hadapan pria itu. Namun, dia tak mau memandangku. “Apa bercak darah menjadi tolak ukur kesucian seorang wanita? Bagaimana denganmu? Hah!”
“Iya, aku akui itu. Aku memang pria tak tahu diri yang suka bergonta-ganti wanita. Namun, aku tak sepertimu yang luarnya tampak alim, tapi aslinya busuk.” Pria itu meludah di hadapanku
Perkataan Mas Bhanu memang keterlaluan. Aku sudah tidak tahan dengan sikapnya. Andai saat ini juga dia meminta berpisah, aku terima dengan lapang dada.
“Dengar Deema.” Pria itu mendekatkan wajahnya ke telingaku. “Pertama kali aku melakukan itu dengan Afseen, ada noda darah di seprai dan kamu tahu Deema. Rasanya sangat berbeda ketika menyentuhmu dan Afseen. Dia begitu menggairahkan. Tak sepertimu yang membosankan.”
“Mas!” Tak tahan aku mendorong pria itu. Tak cukup sampai di sana, aku juga mendaratkan telapak tanganku di pipinya dengan keras.
Mas Bhanu begitu menjijikkan. Rasanya aku tak sudi melihat wajah pria itu. Berkali-kali aku memukulinya. Namun, pria itu justru menertawakanku.
“Deema, aku masih menerimamu saat ini, itu semua karena ibuku. Jujur aku mencintai Afseen jauh sebelum aku mengenalmu.”
Mas Bhanu menceritakan padaku tentang hubungannya dengan Afseen. Termasuk alasan mereka sempat berpisah. Dia menyalahkanku atas perpisahan mereka. Jika ibunya tak me jodohkannya denganku, mereka pasti sudah hidup bahagia.
Aku hanya bisa menangis mendengar semua pengakuannya.
Pria itu lantas memegang kedua pipiku dengan satu tangannya, membuat bibirku monyong ke depan. “Dengar Deema. Kalau aku harus memilih, aku lebih memilih Afseen dari pada kamu. Wanita bukan hanya ladang uang untukku. Namun, hatiku ini.” Dia menunjuk dadanya. “Hanya ada namanya.”
Aku mencoba melepaskan diri darinya. Sekuat tenaga aku mendorong tubuh pria itu. “Aku juga tidak sudi hidup denganmu. Sekarang juga talak aku, Mas.”
“Baiklah. Sekarang juga aku talak kamu Deema.”
Bersambung ....
“Apa-apaan kamu, Bhanu!”Ibu sangat marah ketika mendengar Mas Bhanu mengucapkan talak padaku. Wanita berusia 55 tahun itu datang pada waktu yang tidak tepat.Beliau menghampiri kami yang masih bersitegang di ruang tamu. Wanita bernama Nirmala itu memandang putranya nyalang.Nirmala—ibu mertuaku—meminta kami untuk duduk bersama.Kami bertiga duduk di ruang keluarga. Suasana sangat tegang pagi itu. Sesaat kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Mas Bhanu duduk menunduk di samping kanan Ibu. Sedangkan aku duduk di samping kiri.Beliau menasihati kami agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.“Bu, saya mencintai Afseen. Bukan Deema.”Aku hanya bisa mendengar perdebatan antara anak dan ibu itu. Ibu melarangku untuk ikut bicara. Hanya dia yang bisa merubah pemikiran pria itu.“Tapi ibu tidak
Untuk apa bertahan kalau pada akhirnya akan mengecewakan. Untuk apa tetap diam, kalau diam akan menjadi senjata paling tajam dalam menyakiti diri sendiri. Yang harus dilakukan melawan. Melawan hati yang tak pernah dicintai. Menghancurkan hati lain yang ingin menyakiti.“Deema, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?” Bu Nirmala mendekatiku yang sedang berkemas.Aku menghentikan aktivitas sejenak dan memandang Bu Nirmala. “Insya Allah Deema yakin, Bu.”Keputusanku sudah bulat untuk pergi dari Mas Bhanu. Jika aku bertahan, pria itu akan merasa menang dan memperlakukanku semakin semena-mena. Dia akan berpikir hidupku tergantung padanya. Aku tidak menginginkan itu. Hidup dalam belenggu seorang pria.Aku wanita merdeka. Bebas menentukan kehidupan sendiri. Aku punya pekerjaan. Masih juga memiliki orang tua. Ada tempat untukku bersandar.Setelah semua siap, aku menarik koperku hendak keluar dari rumah Mas Bhanu.“Deema.
Pagi itu aku sedang bersiap hendak berangkat mengajar. Aku baru mengenakan sepatu ketika Bu Nirmala datang ke rumah. Wajah wanita itu terlihat sebab. Entah berapa lama dia menangis. Tak tega aku mempersilakannya masuk.“Silakan diminum, Bu.” Usai membuatkannya minum, aku duduk di sampingnya.Tak ada salahnya untuk berbicara dengan wanita itu sebentar. Jam juga baru menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.“Bu, ada apa dengan Ibu?”Masih dalam keadaan terisak Ibu menceritakan yang terjadi. Menurut wanita itu, kini Afseen tinggal di rumah Mas Bhanu. Tepatnya sejak aku tanpa sengaja bertemu dengan waktu itu di rumah Bu Nirmala.Ibu juga menceritakan kalau Mas Bhanu mendesak wanita itu untuk menjual rumah yang ditinggalinya. Pria itu beralasan hendak menggunakan uang tersebut sebagai modal usaha. Ibu menolaknya. Karena rumah itu peninggalan almarhum suami Ibu. Kalaupun dijual beliau tak lagi memiliki tempat dia. Bu Nirmala
Pukul sembilan malam. Aku masih sibuk dengan laptop di hadapan. Membuat soal ulangan untuk lusa. Bagaimana aku akan cepat menyelesaikannya. Sedangkan pikiranku terbagi dua. Pikiranku terus tertuju pada Bu Nirmala. Aku begitu khawatir dienggan keadaannya. Apalagi setelah tahu yang dilakukan putranya.“Deema.” Ayah mengetuk pintuku.“Masuk Ayah.”Ayah menghampiriku yang sedang menatap layar laptop di kamar. Pria itu duduk di tepi ranjang.“Ada apa, Ayah? Apa ada yang Ayah butuh kan?”Pria itu menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. “Ayah tadi hendak ke kamar mandi. Melihat lampu kamarmu masih menyala, ayah ke sini.” Pria itu menatap laptop di hadapanku.“Deema, sedang membuat soal ulangan, Ayah,” jawabku.“Ayah tahu, kamu sedang memikirkan suamimu itu. Ayah juga tahu kalau kamu tadi dari rumahnya. Untuk apa kamu ke sana?”Aku menjelaskan semua
“Zafran.”Entah aku harus bahagia atau bersedih melihat pria itu. Melihatnya sama saja mengusik luka masa lalu. Andai dia tak menikahi Namira, saat ini pasti kami bersama.Aku kembali berjalan menuju tukang tambal ban. Menghindarinya adalah pilihan tepat. Nyatanya perkenalan yang cukup lama tak membuat kami berjodoh. Memang sedari awal kami tak mengikat diri dengan ikatan yang disebut pacaran. Hanya saja dia pernah berjanji untuk menikahiku usai kami lulus kuliah.“Deema, berhenti!” Pria itu turun dari mobilnya dan berlari menghampiriku. Zafran hendak mengambil alih motorku. Aku tahu pria itu hendak membantuku menuntunnya ke tukang tambal ban.“Tidak usah, aku bisa sendiri.” Aku menolak tawarannya.“Sini biar aku saja. Lihat badanmu penuh dengan keringat. Wajahmu juga pucat. Pasti kamu sangat kelelahan.”Aku memang merasakan lemas. Kepala juga rasanya seperti mendidih karena terlalu lama berjem
Zafran berjalan mendekati kami. Entah bagaimana bisa pria itu ada di sini.“Om, kapan pulang?” tanya Airin.Zafran berjalan mendekati gadis kecil itu.Aku bingung dengan mereka. Ada hubungan apa sebenarnya mereka.“Farabi ini kakakku.” Zafran memandang pria di hadapannya.Kalau dilihat tidak ada kemiripan di antara mereka. Kalaupun jalan bersama tidak ada yang mengira kalau mereka bersaudara.“Deema aku antar kamu pulang, ya.”Cepat aku menggelengkan kepala. Gegas aku berpamitan dan ke liar dari rumah itu.Kondisi yang tidak memungkinkan membuatku melajukan motor perlahan. Tanpa sengaja aku melihat sebuah mobil berjalan di belakangku. Mobil itu sama seperti milik Zafran. Pasti pria itu sengaja mengikuti.Setibanya di rumah, Ayah ternyata sudah menunggu kepulanganku. Pria itu berdiri di teras rumah. Senyumnya mengembang ketika melihatku memasuki halaman. Namun, ketika melihat sebuah mob
“Kenapa aku bukan kamu?” Aku menunjuknya. “Kamu yang hendak menikah dengan Afseen. Harusnya kamu yang mengurus segalanya.“Deema. Sulit untukku mengajukan perceraian ke pengadilan.”“Karena sulit atau memang pelit,” sanggahku. Pasti pria itu tak mau keluar uang untuk mengurus perceraian. Dia juga tidak mau repot mengurus semuanya. Enak aja. Aku tidak mau melakukannya. Dia yang berbuat salah, kenapa aku yang harus menanggung segalanya.Pria itu seperti bingung mendengar jawabanku. “Deema, bukan seperti itu. Tak ada alasan untukku mengajukan perceraian ke pengadilan. Tak ada kesalahan dalam dirimu. Jadi tak ada alasan untukku menceraikanmu Sedangkan kamu, bisa saja kamu menggugatku dengan alasan tidak memberimu nafkah selama enam bulan. Beres.”“Bayar pengacara, Mas. Kamu tinggal ongkang-ongkang di rumah. Pengacara yang akan urus segalanya. Beres.”Tak mau mendengar apa-apalagi, aku be
“Ada apa denganmu Zafran?” Pria itu memandang adiknya lalu beralih memandangku. “Apa yang salah dengan perkataanku. Bukankah memang benar perkataanku.” Pak Farabi menjelaskan kalau guru merupakan orang tua kedua bagi muridnya.Zafran menghela napas lega mendengar penjelasan kakaknya. Pria itu lalu kembali melanjutkan makannya. Aku hanya bisa menghela napas lega, karena awalnya aku berpikir ada maksud lain dari perkataannya.“Tapi, Papa.” Airin memandang Ayahnya. Gadis seakan tak terima dengan ucapan Pak Farabi “Itu beda.”“Beda gimana?” tanya Pak Farabi.“Airin maunya ibu beneran!” Gadis cilik itu memandang papanya.Mendengar hal itu aku kembali terlonjak. Sedangkan Zafran menundukkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya.“Mana bisa, Airin. Ibu Deema kan sudah punya suami.” Pria itu memandangku.“Ya ....” Mendengar jawaban papanya, Airi
Hal itu membuatku malu, aku lantas menyenggol lengan pria itu karena malu. Sedangkan Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Ayah, Deema punya kabar bahagia,” ucapku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan perihal kehamilanku pada Ayah. “Kabar apa, Deema?” Ayah yang duduk di teras bersama kami memandangku. Pria itu sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarnya. Sejenak aku memandang Pak Farabi yang duduk di sampingku untuk meminta izin padanya. Pria itu mengangguk. Gegas, aku mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ayah. “Buka, Yah. Kabar bahagianya ada di sana.” Aku menunjuk kotak beludru berwarna biru itu pada Ayah. Perlahan, Ayah membukanya. “Apa ini, Deema?” tanya Ayah memandangku. Pria itu lantas mengamati benda kecil yang berada di dalam kotak. “Deema hamil Ayah.” Mendengar itu, mata Ayah berkaca-kaca. “Benarkah itu, Deema?” Pria itu seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Iya, Ayah. Sebentar lagi, Ayah akan memiliki cuc
Aku begitu terharu ketika dokter menyatakan aku telah hamil delapan minggu. Memang aku terakhir datang bulan sebelum berangkat bulan madu. Sehari setelah mengetahui kabar kehamilan, aku dan Pak Farabi pulang ke kota kelahiran kami. Kepulangan kami tak ada satu keluarga pun yang tahu. Pun dengan berita kehamilanku. Aku dan Pak Farabi berencana ingin memberi kejutan pada semua keluarga. Pulang dari bandara kami sengaja tak menelepon sopir untuk menjemput. Melainkan mengendarai taksi daring. “Deema, Farabi, kenapa kalian sudah pulang?” tanya Bu Sekar. Beliau begitu terkejut melihat kepulanganku dan Pak Farabi malam itu.Berbeda dengan beliau, Airin justru sangat bahagia melihat kehadiran kami. Gadis kecil itu bahkan berlari untuk memelukku.Kami berdua hanya diam mendengar pertanyaan Bu Sekar.“Apa ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Bu Sekar kembali.Pak Farabi yang sedari tadi pura-pura memasang wajah memelas, menjawab kalau aku tak mau disentuh olehnya.Sontak Bu Sekar marah pad
Hubunganku dengan Pak Farabi juga semakin baik, hanya saja aku belum melakukan ritual malam pertama dengan pria itu. Padahal sebelumnya kami berdua sama-sama pernah menikah. Aku heran juga pada pria itu, kenapa dia bisa begitu sabar menahan hawa nafsunya. “Farabi, kapan kamu punya anak dari Deema?” Minggu siang, Bu Sekar ke rumah bersama dengan Rana. Waktu itu Rana dan Airin asyik bermain di ruang keluarga. Aku menemani mereka berdua. Sedangkan Ibu dan Pak Farabi duduk di sofa. Seketika tatapan Pak Farabi beralih padaku. Pria itu seakan-akan memintaku untuk menjelaskan semua pada Ibu. Tak mau ambil pusing, aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sedang asyik main kereta es krim di sampingku. “Kalau perlu, kalian pergi ke dokter.” Wanita itu semakin memojokkan Pak Farabi. “Bu, bagaimana bisa Deema hamil, Farabi aja belum menyentuhnya.” Entah pria itu keceplosan atau memang sengaja. Suara Ibu seketika menggelegar, memenuhi ruang keluarga. Tak ingin mendengar obrolan orang
Menurutnya, semalam yang melihatku dan menahan agar tidak jatuh adalah Mbak Darsi. Wanita itu juga yang menjagaku hingga Pak Farabi pulang. Mengenai kepulangan Pak Farabi, Zafran yang menghubunginya.“Deema bagaimana keadaanmu saat ini? Sudah enakkan kah?” Aku tak menjawab pertanyaan pria itu. Melihatku hanya diam saja, Pak Farabi coba meraih tubuhku.“Eh! Bapak mau ngapain?”“Membawamu ke dokter.”“Aku sudah tidak apa-apa. Mungkin karena semalam aku lupa makan. Jadi masuk angin.”Melotot, Pak Farabi memandangku. Dia bertanya kenapa aku tak makan semalam. Alih-alih menjawab, aku justru mengalihkan perhatian dengan menanyakan kenapa dirinya pulang lebih cepat. Tak mungkin juga aku mengatakan Zafran adalah alasanku tak makan.“Mendengarmu sakit saja sudah mampu mengalihkan duniaku. Beruntung pekerjaan sudah selesai hanya Ayah yang tinggal di sana. Sedangkan aku memilih pulang. Mana sanggup aku jauh darimu!” Pria itu menoel hidungku.Aku begitu bersyukur bisa memiliki Pak Farabi. Walaup
“Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.
Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam
Heran, aku memandang pria itu.“Aku ikut denganmu.” Pria itu memandangku dengan tatapan entah.Mengangguk, aku mengiyakan permintaannya.Kopi dalam gelas pun segera dihabiskan. Ingin jalan bersama alasannya.Diam, itu yang bisa aku lakukan ketika jemari kami saling terkait. Semakin hari, aku semakin nyaman dengan pr8a itu. Walaupun, hubungan kami berawal dari sebuah keterpaksaan karena tragedi yang menimpa ayahku, diri ini berharap, rumah, pernikahan kami akan langgeng hingga maut memisahkan.***Sebelum berangkat ke kantor, Pak Farabi mengantarkanku ke rumah Bu Diah. Pikirku, pada pukul enam pagi Bu Nirmala pasti belum berangkat bekerja. Usai dari rumah Bu Nirmala, aku langsung berangkat bekerja. Rana, sementara bersama pengasuhnya. Sedangkan Airin ada Mbak Darsi.Pagi tadi, aku juga menyiapkan sarapan buat Bu Nirmala. Pasti wanita itu kerepotan karena harus bekerja. Aku berharap, makanan yang aku bawa bisa bermanfaat untuknya.“Deema, apa kamu tidak takut untuk bertemu dengan Bhanu
Di luar rumah angin bertiup cukup kencang. Ditambah mendung merajai malam. Sendiri aku menyepi. Duduk menatap ke luar melalui jendela. Korden yang menutupi sebagian jendela, melambai. Aku kembali mengingat perkataan Ayah siang tadi. Entah. Haruskah aku tertawa? Menertawakan kabar yang dibawa Ayah atau aku harus bersedih mendengar sang mantan mendapat karma dari segala yang dilakukan padaku pada masa lalu. Tidak! Aku bukan wanita seperti itu. Aku bukan wanita jahat, yang akan menyimpan dendam karena kejadian masa silam. Semua yang terjadi pada Mas Bhanu ada sebab dan akibatnya. Andai, dia tak terlalu diperbudak oleh cinta, maka hal tragis itu tak akan terjadi. Dari cerita Ayah, nasib Mas Bhanu dan ibunya kini terlunta-lunta. Rumah mereka sudah dijual oleh Afseen. Beberapa waktu mereka tinggal di rumah wanita itu. Hingga pada akhirnya, anak dan ibu itu diusir dari rumah wanita kejam itu seperti anjing. Bukan hanya itu, janin dalam kandungan Afseen juga buka darah daging Mas Bhanu. M
Malam itu, Pak Farabi dan Zafran pergi untuk menunaikan Salat Magrib, aku memilih menunaikan salat di ruang perawatan Namira. Usai melaksanakan kewajiban tiga rakaat, tak lupa kupanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa untuk kesembuhan Namira. Memang wanita itu sudah merebut kebahagiaanku dulu. Namun, aku sama sekali menaruh dendam padanya. Toh semua yang terjadi bukan keinginan wanita itu. “Deema.” Mendengar seseorang memanggil, aku mengedarkan pandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu, hanya ada aku dan Namira. Bergegas aku melipat mukena dan perlahan mendekati ranjang. Aku memandang wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Beruntung tak ada luka serius yang didapat. Hanya kaki dan tangannya yang terluka. Kaki yang dulu patah, kini kembali patah. Menurut dokter, hal itu akan sulit untuk disembuhkan. Ternyata wanita itu sudah terjaga. Dia tersenyum memandangku. Ada setitik air menetes melihat wanita itu telah sadar. Ada perasaan lega bisa kembali mendengar suaranya. Be