Malam semakin larut, William dan Marsha memutuskan untuk segera pulang dari acara pernikahan Antonio dan Orina. Kini William dan Marsha melangkah menuju lobby, bersama dengan Renata yang berdiri di samping Marsha. Wanita berambut hitam itu pun memilih untuk segera pulang. "Renata, kau tinggal di hotel apa?" tanya Marsha sambil menatap Renata."Four Seasons Hotel, Marsha," jawab Renata. Marsha mengangguk. "Sejak tadi kau belum dijemput, apa kau mau pulang bersama denganku dan William?" "Tapi aku tidak mau mereporkanmu dan suamimu, Marsha," tukas Renata yang merasa tidak enak. Tatapan Marsha kini teralih pada William yang berdiri di sampingnya. "William, kita tidak apa-apa, kan pulang bersama Renata?" "Ya," jawab William singkat dengan menunjukan wajah datar. Marsha tersenyum, lalu dia melihat ke arah Renata seraya berkata, "Renata, lebih baik kau pulang saja bersama denganku. Bagaimana?" Renata mengangguk pelan. "Terima kasih, Marsha." Kini William dan Marsha masuk ke dalam mob
Suara kicauan burung menyapa di pagi hari. Perlahan Marsha yang tengah tertidur pulas, mulai membuka matanya, menggeliat, dan mengerjap beberapa kali. Saat mata Marsha sudah terbuka, Marsha langsung membawa tanganya meraba ke sampingnya, seketika dia sedikit terkejut ketika ranjang sudah kosong. Marsha mendengus, tidak mungkin William sudah berangkat. Kemudian tatapan Marsha teralih ke atas nakas, namun dia tidak menemukan satupun notes yang tergeletak di atas nakas. Ya, itu artinya sang suami belum berangkat ke kantor. "William di mana?" gumam Marsha seraya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamarnya. "Sudahlah, aku mandi saja..." Marsha beranjak dari ranjang, dia langsung berjalan menuju kamar mandi. Tidak lama kemudian, setelah Marsha mandi dan mengganti bajunya, tapi suaminya itu masih belum juga kembali ke kamar. Marsha langsung mengambil ponselnya, dan segera menghubungi William. Marsha berdecak kesal, saat nomor telepon William sedang sibuk. Kali ini dia yakin, William
William melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menelusuri Kota Milan menuju Miler Group. Ya, hari ini William harus menggantikan sang kakek dalam meeting. Mengingat Ansell Miller, kakeknya kini berada di Roma. Sebenarnya, William begitu enggan meninggalkan istrinya, tapi disisi lain, dia tidak mungkin mengabaikan tanggung jawab perusahaannya. Beruntung, istrinya mau memahami kondisi ini.Kini mobil yang membawa William telah tiba di Miller Group. William langsung turun dari mobil, lalu memberikan kunci mobilnya pada security untuk memarkirkannya. Kemudian, dia melangkah masuk ke dalam lobby perusahaan. Para karyawan yang berada di area lobby, langsung menundukann kepala serta menyapa William. Sedangkan William hanya membalas dengan anggukan singkat di kepalanya, dan terus meneruskan langkah masuk ke dalam lift pribadinya. TingPintu lift terbuka, William melagkah keluar pintu lift dan segera menuju ruang meeting. Namun, tepat di saat William hendak melangkah menuju ruang meeting
William berdiri di depan Ruang Unit Gawat Darurat. Di sampinnya ada Malvia, yang menemani dirinya. Dia hendak meninggalkan rumah sakit, dan membiarkan Malvia yang mengurus semuanya. Namun, dia mengurungkan niatnya, kala melihat sang dokter begitu panik menangani Renata. William menyandarkan punggungnya ke dinding dengan tangan yang melipat dada. Seketika, William teringat sesuatu, dirinya belum menghubungi istrinya. Dengan cepat William mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan hendak menghubungi istrinya itu. "Damn it!" William mengumpat, saat ponselnya ternyata kehabisan baterai. Tadi pagi, dia terlalu fokus mengurus sang istri yang sakit, itu yang membuatnya lupa mengisi daya baterai ponselnya. William membuang napas kasar, dia langsung melihat ke ara Malvia. "Kau ke mobilku, isi daya ponselku." William menyerahkan ponsel dan kunci mobilnya pada Malvia"Baik, Tuan..." Malvia mengambil ponsel dan kunci mobil yang diberikan William, lalu dia pamit undur diri dari hadapan Willia
Suara dering ponsel terdengar, Marsha yang tengah tertidur pulas, dia harus membuka matanya kala dering ponselnya tak kunjung berhenti. Ketika Marsha sudah membuka matanya, dia langsung mengambil ponselnya—menatap ke layar, tertera nomor Clara, Ibunya yang tengah menghubungi dirinya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilam, sebelum kemudian meletakan ketelinganya. "Ya, Ma?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa MAma mengganggumu?" tanya Clara dari seberang line. "Tidak, Ma. Ada apa, Ma?" "Begini, besok Mama akan membawa Sean menginap di rumah Mama dan Papa. Mama hanya ingin memberitahumu saja." Marsha tersenyum. "Iya, Ma. Aku yakin Sean pasti akan senang menginap di rumah Mama.." "Tapi Veronica tadi mempersulit Mama. Tadi dia tidak memberiarkan Mama membawa Sean. Mertuamu itu keterlaluan. Sering sekali tidak mau berbagi Sean. Padahal Sean, kan juga cucu Mama.." Clara menggerutu dari seberang line. Marsha terkekeh geli
Marsha mematut cermin, memoles wajahnya degan make up tipis. Kini tubuh Marsha telah terbalut oleh mini dress berwarna mustard tali spaghetti dan dipadukan oleh leather jacket. Ya, pagi ini, Marsha akan bersam sang suami menuju Galleria Vittorio Emanuele II. Marsha tentu antusias ke mall yang terkenal di Milan. Kali ini, dia akan berbelanja sepuasnya. Dia akan membelikan banyak oleh-oleh untuk keluarganya yang ada di Toronto. "Sayang, kau ingin kita sarapan di sini atau di luar?" William melangkah masuk ke dalam kamar, dia mengecup kening istrinya, lalu duduk di sofa seraya menyesap kopi yang baru saja diantar oleh pelayan. "Di sini saja, aku sudah lapar sekarang." Marsha pun duduk di samping William, dia mengambil sandwich tuna dan langsung menikmatinya. "William, kau sunggu akan menemaniku satu harian penuh? Kau tidak akan ke kantormu, kan?" tanyanya memastikan. Pasalnya, Marsha tidak ingin kecewa, ketika dia tengah berbelanja, sang suami mengatakan harus kembali ke kantor."Tidak
William berdiri di depan ruang unit gawat darutat, dia terus mengumpat sudah sejak tadi dokter memeriksa keadaan sang istri tapi belum juga selesai. William terus mondar-mandir, tidak tenang. Antonio dan Orina yang berada di sana, mereka pun ikut cemas. Terutama melihat William yang tidak bisa tenang.CeklekSuara pintu ruang pemeriksaan terbuka, tepat di saat Dokter keluar dari ruang pemeriksan, dengan cepat William langsung menghampiri sang Dokter. Begitupun dengan Antonio dan Orina yang juga menghampiri sang Dokter. "Bagaiamana keadaan istriku?" tanya William cepat ketika melihat sang Dokter. Terlihat wajahnya begitu panik dan cemas. "Tuan, istri anda tidak apa-apa, dia tidak sakit," jawab sang Dokter yang bername tag, Doker Beval. "Tidak apa-apa, bagaimana? Istriku pingsan dan kau bilang dia baik-baik saja?" seru William dengan kilat mata tajam pada sang Dokter. Sang Dokter pun tersenyum. "Tuan, selamat istri anda sedang hamil. Kandungan istri anda sudah memasuki minggu ke dua
Sudah tiga hari Marsha berada di rumah sakit. Sebenarnya Dokter sudah memperbolehkan Marsha untuk pulang. Tapi William masih tidak ingin Marsha langsung keluar dari rumah sakit. Tentu karena William ingin memastikan keadaan istri dan anak-anaknya baik-baik saja. Mengingat kehamilan Marsha kali ini kembar, membuat William jauh overprotective dari sebelumnya. Berita kehamilan Marsha pun sudah terdengar di keluarga, sekaligus media. Beberapa kali, William selalu bangga jika media meminta keterangan kehamilan tentang istrinya itu. Sejak dulu, William membiarkan meliput berita tentang anak dan istrinya. Selama berita itu adalah berita yang baik, maka William sama sekali tidak mempermasalahkan jika media memberitakan tentanga kehidupan rumah tangganya. Kini Marsha tengah duduk di ranjang, sambil menatap pelayan yang tengah mengemasi pakainnya. Ya, siang ini, Dokter akhirnya memperbolehkannya untuk pulang. Jujur saja, Marsha sudah tidak nyaman di rumah sakit. Bahkan rasanya, Marsha ingin s
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d