Marsha menyentuh sebuah gaun model Helter Top Dress. Gaun berwarna merah ini benar-benar sungguh indah. Tadi pagi Marsha meminta Alana mengirimkan gaun rancangan terbarunya. Marsha kali ini tidak tampil terlalu seksi seperti di pesta pertunangan Gilbert. Marsha tidak ingin berdebat dengan suaminya, karena masalah gaun. Lebih baik Marsha memilih gaun yang sedikit tertutup, namun tidak mengurangi kesan classy dari gaun yang Marsha pilih. Kini Marsha mengganti pakaiannya dengan gaun yang dia pegang itu, lalu memoles wajahnya dengan make up tipis. Marsha membiarkan rambut pirangnya, tergerai dengan indah. Tidak lupa, lipstik warna yang senada dengan gaun yang dia pakai malam ini. Warna merah, membuat penampilan Marsha malam ini sangat cantik. Marsha mengambil tas dan ponselnya, dia mengirim pesan pada William jika dia akan segera berangkat ke pesta itu. Setelah mengirim pesan pada William, Marsha langsung berjalan meninggalkan kamarnya. Saat Marsha sudah tiba di bawah, dia melihat Laur
"No, kau sangat cantik. Kau tahu? Aku sangat menyukai wanita hamil. Mereka menunjukan aura kecantikannya dengan tubuhnya yang berisi, dan perutnya yang membuncit," ujar Amanda. "Aku berharap suatu hari nanti, aku bisa diberikan kesempatan untuk mengandung. Karena menjadi seorang ibu adalah impian semua orang."Laura tersenyum. "Suatu saat, kau pasti akan menjadi ibu yang sangat baik. Aku bisa melihat itu dari wajahmu.""Sudah cukup memujiku, lebih baik kita ke dalam. Banyak teman-temanku mereka sejak tadi melihat kalian berdua. Aku yakin mereka ingin berkenalan dengan kalian," ujar Amanda. Kini Amanda membawa Marsha dan Laura berkumpul dengan teman-temanya. Marsha tersenyum canggung, dia tidak bisa dikenalkan dengan banyak orang seperti ini. Biasanya Marsha hanya selalu bersama dengan Karin sejak dulu. Marsha berusaha mengulas senyum hangat, meski Marsha terlihat tidak nyaman berada bersama degan mereka. "Ladies, maaf aku terlambat." Suara seorang perempuan saat memasuki ruangan par
Sepanjang perjalanan, suasana begitu menegangkan. Laura ikut di mobil William, dia tidak diperbolehkan ikut ke dalam mobil Raymond. Marsha melihat ke arah Laura yang duduk di sampingnya, adik iparnya itu terlihat begitu takut. Tangan Laura bergetar ketakutan, bahkan Laura terus menggigit bibir bawahnya untuk menangani rasa takut wanita itu. William duduk di kursi depan, Marsha sangat tahu suaminya kini sangat marah. Malam ini, apa yang dilakukan Celine memang sudah diluar batas. Marsha tidak pernah terpikir, Celine akan mempermalukan Laura. Bahkan apa yang dilakukan Celine dilihat langsung oleh William dan Raymond. Marsha sangat mengenal sifat suaminya itu. Marsha melihat ke arah belakang, mobil suaminya beriringan dengan beberapa mobil pengawal dan juga mobil Raymond. Marsha mengingat wajah Raymond tadi yang terlihat begitu muram. Marsha memahami, Raymond mencemaskan Laura. Tapi disisi lain, Raymond ingin dirinya sendiri yang menghukum Celine. Namun, kenyataannya itu akan sulit ter
Dua minggu kemudian... Marsha duduk di tepi ranjang, dia menatap nanar layar ponselnya. Sudah dua minggu William tidak pulang. Tidak hanya itu telepon dan pesan darinya juga diabaikan. Marsha hanya mengetahui kabar William dari Albert. Marsha ingin sekali ke kantor William, tapi dia masih tidak berani. Terakhir Marsha mendapat kabar dari Albert, jika William tidak dalam emosi yang baik. Marsha membiarkan sementara William menenangkan diri. Meski itu sangat menyiksa dirinya, tapi Marsha berusaha untuk mengerti. Hari demi hari, Marsha melewati tanpa ada William di sampingnya. Marsha tahu, suaminya sangat kecewa pada dirinya. Terlebih selama ini dirinya yang keras kepala, dan selalu memaksakan kehendak dirinya sendiri. Tidak hanya Marsha yang merasakan hari yang begitu berat, tapi Laura juga merasakan hal yang sama. Laura tidak diperbolehkan keluar rumah. William telah memperketat penjagaan di mansion. Marsha juga tidak bisa dengan mudah keluar rumah. Luna sang assistant, selalu melapo
William duduk di kursi kebesarannya sembari menyesap wine di tangannya. Sudah dua minggu dirinya tidak bertemu Marsha. Pikirannya tidak bisa berpikir jernih saat ini. Terlalu banyak masalah yang datang belakangan ini. Terlebih kenyataan istrinya menutupi sesuatu darinya."Tuan," sapa Albert menundukan kepalanya saat masuk ke dalam ruangan William. William menaikan sebelah alisnya. "Ada apa?""Saya ingin melaporkan tentang Celine Jefferson tuan," jawab Albert. "Pagi ini sudah ada berita tentang Celine Jefferson yang tengah berada di dalam penjara. Saya yakin, dalam beberapa hari ke depan Jefferson Group akan mengalami penurunan saham." William menyeringai puas, dia menggerakan gelas sloki di tangannya berirama. "Itu pantas mereka dapatkan, aku masih berbaik hati tidak langsung menghancurkannya." "Tapi tuan, beberapa kali Raymond Jefferson, ingin mencoba bertemu dengan anda," ujar Albert. "Jika dia datang ke sini, kau langsung usir dia. Aku tidak mau bertemu dengannya," tukas Willia
Laura duduk di taman, menikmati suasana taman yang indah. Hembusan angin menyentuh kulit begitu menyejukan. Berada di taman, adalah pilihan terbaik bagi Laura. Pikirannya tidak henti, memikirkan masalah dengan Raymond. Hingga detik ini Laura tidak tahu harus melakukan apa, mengingat ancaman yang diberikan William membuat Laura tidak mampu berkutik. Laura tidak ingin membahayakan perusahaan Raymond, meski Raymond selalu mengatakan dirinya baik-baik saja. Tapi Laura tahu, berhadapan dengan kakaknya adalah hal yang paling tersulit. Terdengar suara dering ponsel membuat Laura menghentikan lamunanya. Laura mengambil ponsel, dia menatap ke layar. Laura terdiam sesaat ketika membaca nama yang tertera di layar itu. Raymond tengah menghubunginya. Hingga kemudian, Laura memilih untuk menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian menempelkan di telinganya. "Raymond?" Laura menjawab dengan suara tenang saat panggilan terhubung. "Laura? Apa aku mengganggumu?" tanya Raymond d
Mobil Marsha mulai memasuki lobby perusahaan William. Marsha turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam. Marsha mengatur napasnya saat masuk ke dalam perusahaan William. Kali ini Marsha harus memberanikan diri untuk bertemu dengan suaminya. Setidaknya Marsha sudah berusaha untuk menemui suaminya. Marsha melangkah masuk ke dalam lift pribadi yang sering digunakan William. TingPintu lift terbuka, Marsha melangkah keluar dari lift dan langsung menuju ruang kerja Wiliam. Namun, saat Marsha melangkah dia menatap Albert yang kini mendekat ke arahnya. "Nyonya," sapa Albert menundukan kepalanya ketika berada di hadapan Marsha."Albert? Apa suamiku ada di dalam?" tanya Marsha. "Tuan sedang meeting dengan Tuan Dimitry, nyonya," jawab Albert. "Baiklah, aku akan menunggunya," balas Marsha. "Aku ingin menunggu di ruangan William." "Baik nyonya, silahkan..." Albert mempersilahkan Marsha untuk melanjutkan langkahnya. Marsha melangkah menuju ruang kerja William, ketika Marsha hendak masu
Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Matanya masih sembab, hatinya begitu terluka mendengar semua perkataan William. Tapi, sebisa mungkin Marsha menerimanya. Marsha tahu, dirinya sering mengikari janji dan selalu tidak pernah dia tepati. Marsha memang menutupi masalah, karena Marsha tidak ingin William marah. Mengingat William tidak pernah bisa mengendalikan emosinya, itu yang membuat Marsha memilih untuk menutupi masalah darinya. Marsha berusaha melupakan perkataan William, namun kenyataannya tidak bisa. Marsha terus mengingat William mengatakan dirinya mengganggu. Selama ini semarah apa pun Wiliam padanya, suaminya itu tidak pernah mengatakan perkataan kasar. "Marsha?" Luara yang baru saja menurun tangga, dia menatap Marsha masuk ke dalam rumah.Marsha tersenyum lirih, dia berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya. "Laura, aku pikir kau di studio lukis."Laura tidak menjawab perkataan Marsha, pandangan Laura kini menatap wajah yang terlihat sedih. Denga
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d