Marsha menatap cermin, ia memoles wajahnya dengan make up tipis. Ia melirik jam dinding kini sudah pukul delapan pagi. Seperti biasa William berangkat lebih awal. Bahkan saat Marsha bangun, William hanya memberikan note jika dia ada meeting di pagi hari. Marsha membuang napas kasar, William memang sangat menyebalkan. Berangkat di pagi hari dan pulang saat dirinya sudah tertidur. Dalam beberapa hari ini memang William disibukan dengan pekerjaannya. Marsha mengambil tasnya, lalu ia melangkah keluar kamar menuju ruang makan. Marsha tersenyum mengingat dirinya sebentar lagi akan lulus kuliah. Ia memang ingin segera menyelesaikan kuliahnya. Rasanya, ia mulai merasa bosan jika harus selalu belajar dan ujian. "Morning Marsha." sapa Laura saat melihat Marsha melangkah masuk ke dalam ruang makan. "Morning Laura." balas Marsha. "Kau kenapa tersenyum? apa ada hal yang membuat mu bahagia?" tanya Laura sejak tadi ia menatap Marsha yang tersenyum. Marsha duduk tepat di hadapan Laura. "Tidak se
William membaca berkas yang diberikan oleh Albert. William ingin mencari assistant pribadi untuk Marsha, meski istrinya menolak tapi dia akan tetap mencarinya. Kali ini William tidak memberikan sepenuhnya pada Albert. William meminta Albert untuk mencari beberapa orang yang berkualifikasi tinggi menjadi assitant pribadi istrinya. William akan menyaring asssiatnt untuk istrinya dengan baik. Ia tidak akan pernah membiarkan kesalahan terjadi untuk kedua kalinya. Bahkan ini pertama kalinya, William tidak menyerahkan sepenuhnya pada Albert. Kejadian Anneta membuat William jauh lebih waspada. Saat William tengah membaca berkas yang diberikan Albert, terdengar interkom masuk dari sekretarisnya. William menekan tombol dan berkata dengan suara dingin. "Ada apa Aluna?" "Tuan William, maaf menganggu. Tapi ada Tuan Raymond Jefferson datang menemui anda." ucap Aluna. William membuang napas kasar, ia sudah tahu pasti Raymond akan datang menemuinya. "Persilahkan dia masuk." jawab William dingin.
Marsha melangkah masuk ke dalam perusahaan William, ia langsung menuju lift pribadi yang sering di pakai oleh William. Marsha berharap William tidak memiliki jadwal meeting hari ini. Marsha sudah tidak sabar untuk bertemu William, ia ingin segera meminta maaf. Sebenarnya Marsha sangat senang William ternyata mau membantu Raymond. Kini Marsha bisa bernapas lega, karena Laura adik iparnya tidak perlu lagi merasa khawatir tentang Raymond. TingPintu lift terbuka, Marsha melangkah keluar dari lift. Ia langsung berjalan menuju ruang kerja William. Aluna sekretaris William langsung berdiri dan menundukan kepalanya saat melihat Marsha datang. Aluna tidak mungkin menghalangi Marsha, karena sekarang Aluna sudah mengetahui Marsha adalah istri dari atasannya. "William." suara Marsha memanggil William dengan lembut, saat masuk ke dalam ruang kerja William.William yang tengah membaca berkas yang diberikan Albert, ia menoleh dan melihat ke arah pintu. Senyum di bibirnya saat melihat ternyata ist
Sinar matahari pagi menembus jendela, perlahan Marsha mulai membuka matanya ia menguap dan menggeliat. Tangan Marsha meraba kesamping, tapi saat ia merasakan ranjangnya sudah kosong. Marsha langsung menoleh kesamping, ternyata William sudah tidak ada di ranjang. Marsha mendengus kesal, ini bukan pertama kali tapi rasanya ia masih kesal jika William tidak ada disampingnya. Marsha beranjak, ia mengikat rambutnya dengan asal lalu berjalan menuju kamar mandi. Hari ini, Marsha tidak memiliki jadwal kuliah. Ia memilih untuk bersantai di rumah. Biasanya jika Marsha tidak memiliki jadwal kuliah, ia selalu menemani Laura di studio lukisnya. Tiga puluh menit kemudian, Marsha sudah selesai membersihkan diri. Ia mengganti pakaiannya dengan dress sederhana berwarna kuning. Marsha berjalan keluar dari walk in closet. Saat Marsha berjalan, ia terkesiap melihat William tengah duduk di sofa. "William, kau tidak ke kantor?" tanya Marsha. Ia sedikit terkejut karena suaminya masih di rumah. Padahal ta
Cuaca begitu cerah, Laura duduk di taman sambil menatap bunga-bunga yang tumbuh dengan sangat indah. Bersantai di pagi hari menikmati cuaca yang begitu cerah sangat menyejukan hati. Hari ini Laura tahu, Marsha dan William sedang menikmati waktu bersama mereka. Laura tidak ingin mengganggu kakaknya.Kandungan Laura kini sudah memasuki dua belas minggu. Perutnya sudah mulai terlihat sedikit membesar, ia melewati masa masa kehamilannya dengan baik. Meski orang tuanya masih belum mau menerima dirinya tapi paling tidak Laura masih memiliki kakak yang begitu menyayangi dirinya. Tidak hanya itu, Marsha juga selalu menemani dirinya. Bahkan Laura sudah menganggap Marsha sebagai sahabatnya sendiri. Sebenarnya Laura sangat nyaman tinggal di mansion kakaknya ini. Mansion yang tidak hanya mewah tapi Laura merasakan kenyamanan di mansion ini. Marsha yang selalu bersikap baik padanya itu merupakan salah satu alasan Laura menyukai tinggal di mansion William. Tapi meski demikian, terkadang Laura mera
Marsha kini masih menonton film romance kesukaannya ditemani William. Satu harian ini Marsha ingin menghabiskan waktu bersama dengan William. Kapan lagi William akan meliburkan diri dari pekerjaan. Biasanya suaminya itu selalu saja sibuk. Jadi Marsha tidak mau menyia-nyiakan waktunya bersama dengan William."William, kita sejak tadi dikamar aku tidak enak dengan Laura." ujar Marsha, ia sungguh tidak enak pada Laura. Pasti Laura kini menyendiri di studio lukisnya. "Dia pasti mengerti." jawab William singkat. Marsha mendesah pelan. "Ya, tapi aku hanya kasihan dia sendiri." "Dia selalu menghabiskan waktunya distudio lukis." balas William. Terdengar suara ketukan pintu, Marsha menoleh ke arah pintu dan langsung memintanya untuk masuk. William menggeram, ia sudah mengatakan dirinya tidak ingin diganggu. "Tuan, nyonya maaf sayang menganggu." ucap sang pelayan menundukan kepalanya masuk ke dalam. "Aku sudah mengatakan pada mu bukan. Jangan ada yang menganggu ku dan istri ku." tukas Wil
William membawa Marsha masuk ke dalam kamar. Kini Marsha duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. William juga meminta pelayan membawakan coklat hangat untuk istrinya. Frans sudah berpamitan pulang, dia tidak ingin mengganggu Marsha dan William. Sedangkan Laura, sebenarnya Laura tadi menawarkan diri untuk menghibur Marsha. Tapi William meminta Laura untuk masuk ke dalam kamar. William duduk disamping istrinya, ia menatap lembut Marsha yang masih terdiam. "Marsha, aku yakin ibu mu hanya karena sedang marah." "Mama mengatakan pada ku, dia akan bercerai dan akan pindah menetap di Indonesia. Aku tidak ingin orang tua ku bercerai William. Aku juga tidak mau mama pindah ke Indonesia. Aku tidak bisa jauh darinya." ucap Marsha, air matanya terus berlinang membasahi pipinya. William menarik tangan Marsha dan membawanya kedalam pelukannya. "Ssst, aku tidak suka melihat mu menangis seperti ini." "William, kenapa orang tua ku ingin bercerai? mereka saling mencintai
Mario membawa Marsha masuk ke ruang kerjanya. Dia ingin berbicara berdua dengan putrinya. William dan Clara berada di bawah, bukan Mario tidak ingin mereka mengetahui apa yang dia akan katakan. Tapi Mario, ingin berbicara berdua dengan putrinya. Dia tidak ingin putrinya salah paham mengenai dirinya. Marsha duduk dan menatap lekat ayahnya yang yang berdiri di hadapannya. Marsha menunggu apa yang akan dikatakan oleh ayahnya. Penjelasan apa yang akan dijelaskan hingga memintanya untuk berbicara berdua. "Sekarang apa yang ingin papa jelaskan hingga meminta kita berbicara berdua?" suara Marsha bertanya terdengar begitu dingin. Ini pertama kalinya Marsha berbicara dingin pada ayahnya sendiri. Ia masih kecewa mendengar apa yang dikatakan oleh ayahnya. Rasanya sangat sakit saat mendengar ayahnya telah memiliki anak dari wanita lain. Mario menghela napas dalam, ia melangkah mendekat kearah Marsha dan duduk di samping putrinya. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan sayang." "Jika tidak seper
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d