Jemari Chan merengkuh pinggang Rossie dan semakin erat. Awalnya Rossie ingin memberontak, tetapi entah mengapa rasa nyaman kian berselimut.
Menopangkan kepala di pundak Rossie, sesekali Chan mencuri ciuman di salah satu pipi wanita tersebut.
"I miss you so bad, Rossie," ucap Chan pelan. Hawa panas yang dihasilkan dari bibirnya menyentuh bagian belakang telinga Rossie. Membuat bulu kuduk wanita itu meremang.
Cahaya temaram yang dihasilkan oleh bulan malam itu menambah keromantisan yang tercipta. Sinar bintang yang tadinya malu-malu kini terlihat lebih terang.
"I'm really sorry, Chan," tutur Rossie. Tangannya ikut menggenggam lengan kukuh Chan yang merengkuh keseluruhan tubuh ramping itu.
Kuku jemari Amber yang berpulaskan kuteks warna merah tua mengusap setiap bagian gelas panjang minuman dinginnya. Netra wanita itu masih tertuju pada jengkal demi jengkal tubuh gagah Edric. Ia sedang berbincang serius bersama Ling Dao, pria kaya yang akan ditemani oleh Amber malam ini. Bibir Amber bergerak sensual ketika membayangkan tubuh Edric menindih kemudian bercinta. Ah, pasti sangat nikmat jika bisa melewati malam panas bersama pria itu. Selama ini Amber harus menutup mata dan tidak melihat wajah pria yang menikmati tubuhnya. Ia ingin sekali saja bisa bercinta dengan pria yang diinginkan, seperti Edric.Amber memanggil barista yang baru saja menyiapkan pesanan tamu yang lainnya. “Excuse me.”“Yes Miss. Can I help you?”
Rossie menangkupkan kedua tangan di mulutnya yang membulat. Badannya gemetar ketika melihat mayat Andrew yang bersimbah darah dan Edric secara bergantian. Pria itu melemparkan pistolnya sembarangan, kemudian Matthew mengambilnya dengan menggunakan selembar sapu tangan.“E-Edric, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Kau lihat ini hanya acara fansite saja dan tentu saja direkam. Ba-bagaimana kau bisa melakukan hal jahat itu?” Rossie masih terbata-bata.Well, Edric bukanlah pria bodoh. Sebelum membunuh pria yang menyentuh Rossie itu, terlebih dahulu beberapa anak buah Edric membius kameramen dan staf yang bersembunyi untuk mengambil adegan tersebut agar terlihat lebih natural. Tidak lupa mematikan semua kamera cctv. Edric tidak akan mau berurusan dengan polisi secara sia-sia.&nb
Amber tersenyum miring ketika melihat reaksi Edric. Ia seperti merasakan awal dari kemenangan. Well, jika tidak bisa mendapatkan Edric, setidaknya bisa menggantikan posisi Rossie menjadi model nomor satu di Internasional. Selama ini ia selalu menjadi nomor dua dan bayang-bayang dari Rossie saja.“Jika kau butuh bantuan Ling Dao jangan sungkan untuk berbicara kepadaku,” ucap Amber sambil memasukkan potongan truffle ke dalam mulut.“Bukankah kau hanya wanita satu malamnya?” Edric menjawab spontan. Well, apa perlu sungkan berbicara dengan wanita jalang?Mendengar hal itu Amber terkekeh. Edric menganggap Amber tidak memiliki kendali atas pengusaha kaya satu
Sesaat Chan tidak memperdulikan peraturan lalu lintas. Ia terus melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal. Chan harus tiba di rumah Edric dengan cepat, hanya itu yang memenuhi pikiran pria berlesung pipi itu.Biasanya Chan membutuhkan waktu 45 menit untuk tiba di mansion Edric, tetapi kali ini hanya perlu 20 menit saja. Jangan bayangkan kecepatan yang dipacu oleh pria itu. Tentu saja sangat cepat, menyusuri jalanan Beverly Hills yang untung saja masih lengang, hanya ada beberapa mobil sport yang berlalu lalang.Ketika hampir tiba di depan pintu gerbang mansion Edric, dua mobil sedan keluar dari sana. Netra Chan memperhatikan mobil tersebut dan bisa menebak jika Rossie berada di dalam mobil tersebut. Tanpa pikir panjang, Chan membanting setir dan membuntuti mobil itu. Ia berusaha memacu kecepatan agar tidak kehilangan j
Edric menghela napas panjang sembari berjalan mendekati Rossie. Tubuh wanita itu bergetar diikuti otot wajah yang menegang. Ia sudah tidak memikirkan hal lain selain berusaha menghubungi keluarganya dan kabur dari pria yang menyeramkan itu.Tanpa sepatah kata, Edric mencengkeram bagian tajam pecahan vas tersebut hingga menyayat lapisan kulitnya. Hingga darah segar menetes dari sana. Ia menarik pecahan kaca tersebut dari tangan Rossie yang melemah."Jangan membantah, kau akan mendapatkan semuanya jika menurut," ucap Edric santai. Ia seakan tidak merasakan perih yang menyayat lapisan tangannya. "Aku akan memberikan ponselmu, cepat mandilah. Sebentar lagi kita akan sampai."Rossie mengusap air matanya sambil tersedu. Dadanya naik turun karena mengatur ritme na
Rossie menyugar rambutnya frustasi, entah apa yang harus dilakukannya saat ini. Sesekali ia mengembuskan napas kasar untuk mengurai segala rasa kesal yang bercokol hebat di dalam batin. Kali ini ia tidak boleh menggunakan emosi untuk melawan Edric, karena hanya akan menjadi sia-sia. Ia harus mencari cara yang lebih halus dan pintar. Yah, mengikuti permainan dan segala keinginan Edric adalah satu-satunya cara. Semakin Rossie memberontak maka akan semakin sulit untuk lolos dari jeratan pria itu. Bangkit dari duduknya di lantai dan memungut ponsel yang sudah pecah menjadi dua bagian. Yah, ini akan lebih baik. Setidaknya Chan akan benar-benar aman karena sudah tidak bisa menghubungi nomor itu lagi. “Huft.” Rossie mengembuskan secara kasar oksigen yang sebelumnya memenuhi rongga dada. “Kau harus berpikir secara jernih Ross
Memutar kran shower dan buliran air segar membasahi seluruh permukaan tubuh Rossie. Sampai kapan ia akan terperangkap dalam cengkeraman Edric? Ia terlalu takut untuk melawan pria itu, karena keselamatan kedua anggota keluarga Rossie berada di tangan Edric.Air yang membuat basah seluruh rambut Rossie, memaksanya untuk menyugar je arah belakang. Ia memejamkan kedua mata dan berharap ini semua adalah mimpi. Well, meskipun itu sangatlah mustahil. Rossie sudah terjebak dalam kandang buaya. Ia bahkan sudah kehilangan cara untuk bisa segera pergi dan menghirup udara bebas.Mungkin Rossie dulu sempat berpikir jika Edric akan berubah, tetapi itu hanya sekedar menjadi harapan kosong belaka. Seseorang tidak akan pernah berubah jika tidak dilandasi keinginan kuat dari dalam hati.
Tatapan Edric kala itu mampu meluluhkan hati Rossie. Bahkan ia bisa dengan seketika melupakan bayangan tentang Chan. Awal pertemuan mereka, tepat 3 bulan setelah berpisah dengan Chan lantas pindah ke Italia.Sebenarnya ayah Rossie sudah kerap kali bercerita tentang kebaikan Edric kepada keluarga Ramos. Tetapi, karena kesibukan pria itu, Rossie membutuhkan waktu cukup lama untuk bersua dengan pribadi Edric.Sebuah mobil sport warna merah sudah terparkir manis di depan rumah Rossie. Edric dengan sangat gentleman membukakan pintu tersebut dan mempersilahkan Rossie untuk duduk.Dengan ulasan senyum, Rossie membalas kebaikan tindakan Edric kala itu. Kemudian ia meletakkan bokong di kursi samping kemudi. Tidak lama kemudian Edric sudah berada di belakang kemudi d
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia