Mendengar suara Rossie yang meminta pertolongan diikuti pintu yang diketuk dengan sangat keras dan intens. Chan lantas membalikkan tubuh dan menendang tepat pada ulu hati penjaga berbadan gagah itu. Tendangan yang sangat kuat dan tanpa ampun. Kedua netra Chan berselancar ke sekeliling untuk mencari benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Namun, sebelum itu ia memegang tengkuk dan mendapati warna merah dari sana. Ia menggeleng kepala pelan untuk mengusir rasa berat yang mulai mampir. Hingga kemudian saat penjaga itu bangkit dan siap menghunuskan pisau kepada Chan, tangannya lantas meraih kursi dan dilemparkan ke tubuh lawan. Memegang pergelangan tangan penjaga itu dan melumpuhkannya. Chan mengambil alih senjata tajam itu kemudian dihunuskan pada perut. Lawan Chan terjatuh. "Clara! Lepaskan aku! Seseorang tolong bantu aku!" "Rossie! Aku akan menyelamatkanmu!" pekik Chan. Ia berjalan sedikit terhuyung karena rasa pusing di kepala. Langkah Chan yang tertatih mulai menaiki anak tan
"Edric!" lirih Rossie ketika melihat pribadi Edric yang menatap dengan wajah garang. Chan tidak gentar ketika melihat Edric yang menodongkan eagle desert tepat di hadapannya. "Don't touch my girl!" ujar Edric dengan kedua bagian gigi yang beradu. Rahangnya menegang diikuti sorot mata tajam tidak terima. "Dia bukan barang. Dan dia bukan milik siapapun, asal kau tahu itu!" jawab Chan tidak takut. Rossie masih berada di gendongan Chan dengan tubuh bergetar. Membayangkan bagaimana amarah yang akan muncul dari diri Edric sudah membuatnya takut. "Rossie! Turun!" titah Edric yang membuat Rossie menyembunyikan wajahnya. "Turun atau pria ini akan kubunuh!" Mendengar ancaman dari Edric, Rossie turun dari gendongan Chan. Ia melangkah dengan berani meskipun kedua kakinya terasa sakit. Tangan Chan hendak menghalangi Rossie, supaya tidak dicelakai oleh Edric. "Aku tidak akan mengikuti semua omongan kamu Edric! Aku tidak sudi berada dalam kontrolmu lagi!" Chan maju satu langkah untuk melindu
Rossie memasang badan tepat di depan tubuh Chan. Kedua netra wanita itu sama sekali tidak menyiratkan ketakutan. Ia berdiri dengan wajah mengarah pada Edric tanpa getar. "Rossie, larilah. Aku akan melawannya," lirih Chan pada salah satu telinga Rossie. "Tidak Chan, aku tidak akan pergi. Aku tidak akan membiarkan Edric menyakitimu," ucap Rossie. Mendengar ucapan dari Rossie, hati Edric seakan terbakar cemburu. Wanita yang selama ini dicintai oleh Edric luar biasa besarnya ternyata lebih memilih pria lain. Tangan Edric yang membawa pistol teracung ke langit. Ia lantas menarik pelatuk dan menciptakan bunyi letusan yang membuat burung Pipit yang bersembunyi di pohon terbang. DORRRKedua bagian gigi Edric menggertak. Ingin rasanya langsung mematahkan kaki Chan."Rossie, kau hanya milikku. Tidak seharusnya kau meninggalkanku seperti ini Rossie. Mengkhianatiku," ujar Edric. "Edric aku mohon berhentilah. Ini salah Edric," ucap Rossie. "Apa yang salah? Aku mencintaimu! Apakah mencintai
"Rossie!" Teriakan Chan semakin menggema ketika tubuh Rossie terjatuh ke dasar jurang. Sementara peluru dari tim pencari menembus dada Edric. Pria itu terjatuh dengan darah yang bersimbah. Dengan sisa-sisa tenaga, Chan berusaha bangkit dan melihat ke dasar jurang. Ia ingin memastikan jika Rossie masih selamat. Mungkin tersangkut pada dahan pohon atau apapun. Chan berharap ada keajaiban. "Tolong bantu, Rossie ada di bawah!" teriak Chan meminta pertolonga. Beberapa tim penolong lantas menghampiri Chan. Mereka langsung ke lokasi setelah seorang wanita misterius melakukan panggilan dan meminta pertolongan. Sinyal yang diterima bisa dilacak dan membawa para tim penolong menuju tempat tersebut. Menyusuri hutan pinus dan juga mengikuti suara tembakan yang mengaung di atas langit. "Rossie!" teriak Chan ketika melihat Rossie masih bergelantungan pada tebing dengan sisa-sisa tenaganya. Jika ia melepaskan pegangan itu, maka Rossie akan terjatuh pada dahan pohon yang cukup besar. Berharap ti
Langkah Chan lantas mundur, ketika kalimat yang dilontarkan oleh dokter yang menangani Rossie. Chan berharap salah dengar, tetapi melihat ekspresi Hugo dan Alexander yang terhenyak meyakinkan pria itu."Rossie mengalami amnesia karena benturan pada kepalanya," ujar Dokter tersebut. "Jadi jika nanti ia terbangun dan tidak mengenal salah satu dari kalian, saya harap tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Karena itu bisa membuatnya ikut bingung." Wajah garang Alexander yang jarang bahkan tidak pernah menunjukkan ekspresi takut, kini tampak dengan jelas. Ini lebih menakutkan dibanding melawan De Santis yang terkenal sebagai mafia terbesar di Roma. "Rossie," lirih Alexander. "Tapi apakah mungkin ingatannya bisa kembali?" "Entahlah saya belum bisa memastikan," jawab Dokter Frank pasrah. "Apa tidak ada pengobatan untuk mengembalikan ingatannya? Kami akan bayar berapapun," ujar Hugo. "Belum ada Tuan. Lagipula saya belum tahu kondisi lebih lanjut. Saya baru bisa memberikan terapi kepadanya
Setelah berdiskusi dengan Alexander dan Hugo, Chan memutuskan untuk menetap di Italia. Ia akan mengurusi bisnisnya dari jarak jauh. Jika memang sangat diperlukan, maka Chan akan terbang ke Los Angeles dengan menggunakan helikopter. Cukup melelahkan memang, tetapi itu semua Chan lakukan demi Rossie. Apapun yang sudah dilakukan oleh Rossie di masa lalu tidak menyurutkan rasa cinta Chan kepada Rossie. Chan memberi sebuah rumah di area Roma dengan arsitektur industrial dengan warna putih yang mendominasi. Bagian halaman depan sangat lengang dan ditumbuhi beberapa pohon untuk menghasilkan oksigen yang segar. Selain itu pada pula air mancur yang menciptakan suara gemericik air menenangkan. Selama perjalanan Rossie hanya terdiam dan tampak gamang. Ia berusaha menguak kenangan dalam benak meskipun itu sangat sulit. Pun belum mendapatkan jawaban mengapa bisa berakhir di rumah sakit dengan ingatan yang hilang secara keseluruhan. "Ayo turun," ajak Chan. Rossie mengikuti perintahnya dan mengay
"Iya, kau pernah bilang aku adalah model terkenal di sana. Aku ingin mendatangani tempat yang mungkin bisa membuat ingatanku kembali. Bertemu dengan teman lamaku, bisakah?" pinta Rossie yang membuat Chan terdiam sesaat. Melihat Chan yang terdiam dan tidak memberikan jawaban, Rossie melemparkan tatapan ke arah sang kekasih dan mengusap lengannya. "Chan, can you hear me?" "Oh ya," ujar Chan yang seakan terbangun dari lamunan sementaranya. "Ke Los Angeles?" "Ya, kau tidak ingin mengantarku?" tanya Rossie sekali lagi. Ia bisa melihat keresahan di wajah sang kekasih. "Tentu saja, aku antarkan kau kesana. Tapi tidak dalam waktu dekat Rossie." Kembali mengiris bawang Bombay dengan tipis. Permintaan Rossie kali ini harus didiskusikan terlebih dahulu bersama Alexander. Mereka sudah sepakat untuk tidak membawa Rossie ke Los Angeles. Karena memori masa lalu yang cukup kelam dari Edric. "Kenapa tidak dalam waktu dekat? Kau sibuk?" Rossie meletakkan bokong dan berhadapan dengan Chan. Mengamat
Menarik tangan Rossie untuk menuju ke dapur dan menyiapkan makanan. Rossie hanya menurut tanpa memberikan banyak pertanyaan kepada Chan. Hingga akhirnya ia duduk di kursi tanpa sandaran di meja tinggi. Sementara itu Chan membuka lemari untuk mencari bahan makanan yang bisa digunakan untuk mengganjal perut. "Apakah kita harus makan mie? Ramyeon sebelum kita makan besar? Atau langsung sewa restoran dan makan malam romantis di sana?" tanya Chan. Rossie tidak menjawab. Ia masih sangat penasaran dengan isi ruangan rahasia itu. Jika memang hanya sebuah gudang, mengapa Chan buru-buru menutupnya? Seakan ada satu hal yang tidak ingin Rossie ketahui. "Sayang, ada apa? Kenapa kau hanya diam saja? Aku memberikan banyak pilihan untukmu. Apakah kita langsung makan malam romantis saja? Atau makan mie instan dulu?" tanya Chan sekali lagi. Kali ini pribadi Chan menatap Rossie lekat-lekat. "Apa saja," jawab Rossie singkat. Mendengar jawaban yang kelewat dingin itu, Chan mendekati Rossie dan duduk
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia