Hugo lantas terdiam seribu bahasa. Pertanyaan Rossie seperti anak panah yang menghujam jantungnya. Ia tidak tahu alasan apa yang akan diberikan untuk sang adik. Seketika keahlian Hugo untuk mengeles seperti bajaj langsung musnah. “Kenapa kau diam Hugo? Apa kau juga tidak akan memebritahukanku siapa Edric sebenarnya?” cecar Rossie. “Sudahlah Ro. Kenapa kau ini cerewet sekali? Benar Chan untuk tidak membahas pria tidak penting itu. Untuk apa kau mengingatnya segala?” terang Hugo yang semakin membuat Rossie ingin tahu. “Kenapa kalian seakan menyembunyikan tentang pria itu? Ada apa dengannya?”“Karena memang tidak perlu untuk diingat Ro. Sama sekali tidak penting. Sudahlah.” Hugo kembali menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap untuk melajukannya pelan. Sesekali ia melirik ke arah sang adik yang masih tidak terima. Well, tentu saja tidak semudah itu membuat Rossie menutup mulut. “Apa benar Chan yang menghabisi nyawa pria itu?”Mendengar pertanyaan Rossie yang tidak masuk akal, Hugo mem
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia