Matahari telah terbenam di ufuk barat. Siang telah sempurna berganti menjadi malam. Kegelapan begitu terasa. Hanya kelap kelip lampu seperti bintang yang bertebaran di cakrawala
Ammad baru saja selesai melaksanakan salat Maghrib. Seperti biasa, dia pun segera berdzikir dan berdoa semoga Allah selalu melindunginya dimanapun dia berada.
Hufft..
Laki-laki itu menghela napas panjang. Tiba-tiba seraut wajah melintas di kepalanya. Seorang wanita muda berwajah manis dan bertubuh mungil menari-nari di benaknya. Naila, seorang wanita muda yang belakangan ini menarik hatinya.
Sosoknya yang begitu bersahaja. Seorang single parent yang berjuang untuk menafkahi putri kecilnya dan seorang ibu yang sudah tua. Naila yang begitu polos dan wajahnya senantiasa memancarkan keteduhan bagi siapapun yang memandangnya. Dia merasa begitu nyaman saat dekat dengan wanita itu
Sebuah ketukan di pintu kamar membuy
"Kenapa kamu senyum-senyum, Rul? Emangnya ada yang lucu?" Ammad mengerutkan dahinya. Pemuda itu malah tertawa terpingkal-pingkal "Tidak, Pak. Tidak ada yang lucu sih. Cuma saya senang kalau Bapak sekarang sudah mulai bisa bergaul akrab dengan perempuan. Secara kan selama ini Bapak tidak mau bergaul akrab dengan perempuan lain, walaupun istri Bapak jauh di kampung sana," jelas Khairul. "Loh, kan malah bagus. Berarti saya tipe cowok yang setia dong," kata Ammad ikut tertawa. "Cuma lucu aja, Pak. Masa orang seperti Bapak yang merupakan bos kami disini, tidak tertarik untuk begituan. Sementara di lingkungan kita sendiri sebagai orang proyek, sudah bukan rahasia lagi. Ketika istri jauh dan tidak bisa mengikuti kita kemari, pasti kesempatan itu akan dimanfaatkan untuk 'bermain'." Pemuda itu mengerlingkan matanya. "Astagfirullah .... Khairul, kamu ada-ada saja. Kita tidak boleh seperti itu," sergah Ammad. "Saya ini juga laki-laki normal. Jang
Ammad langsung masuk ke dalam kamarnya ketika mereka sampai di mess. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya membuat laporan pekerjaan proyek hari ini, sebelum dia memulai chatting dengan Naila. Ah, lagi-lagi Naila. Laki-laki itu hanya bisa tersenyum kecut. Apalagi mengingat percakapannya tadi dengan Khairul saat makan malam di sebuah warung pinggir jalan. Mungkin ia bisa membohongi semua orang. Khairul, orang-orang yang berada di sekitar Naila, bahkan Naila sendiri, tapi ia menyadari, ia tak akan pernah sanggup membohongi dirinya sendiri. Ammad mengenal wanita itu saat dia pertama kali makan di warung ibu Diana. Saat itu pandangan matanya tak pernah lepas dari sosok wanita muda yang menyediakan makanan untuknya. Wajah itu begitu teduh, polos dan sederhana. Wajahnya manis tanpa polesan make up. Tak bosan rasanya dia memandangnya Merasa penasaran, dia mencoba menanyakan tentang wanita itu kepada san
Sudah berapa kali wanita muda itu menguap, tapi ia berusaha untuk menahan rasa kantuk yang menyerangnya. Dia masih menunggu Ammad yang berjanji akan menghubunginya malam ini. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia menatap nanar layar ponselnya. Laki-laki itu tengah berada dalam kondisi online, tapi entah kenapa, sampai saat ini dia masih belum menghubungi Naila. Naila tidak mau menghubungi laki-laki itu lebih dulu. Bukan karena apa. Dia hanya takut mengganggu pekerjaan Ammad. Dia tahu, malam-malam pun laki-laki itu masih bekerja dan yang bisa dilakukan olehnya sekarang adalah hanya menunggu. [Selamat malam, Ade. Maaf ya, Abang baru bisa menghubungi sekarang. Abang harus menyelesaikan pekerjaan Abang terlebih dahulu. Sekali lagi, maaf ya, De] Naila menghela nafas lega. Dia segera mengetik untuk membalas chat Ammad. [Tidak apa-apa, Bang. Naila paham dengan pekerjaan Abang] [Terima kasih atas pengertiannya, De. Abang senan
Laki-laki itu menatap nanar ponsel yang masih berada dalam genggamannya. Pemandangan yang barusan dilihatnya itu sungguh membuat hatinya trenyuh. Dia tak bisa membayangkan seandainya berada di sana, sarapan bersama mereka. Sekilas kamera ponsel Naila berhasil menampilkan tiga buah piring berisi nasi dengan lauk irisan telur dadar dan tiga gelas teh. Hanya itu sarapan mereka, tapi Ammad bisa melihat betapa gembira mereka di pagi hari ini. Laki-laki itu menghela nafas panjang. Ah, Naila. Dia tidak habis pikir dengan wanita itu. Di tengah keadaan ekonomi keluarganya yang serba keterbatasan, Naila selalu menolak tawaran bantuan darinya. Entah sudah berapa kali Naila menolak pemberiannya dan entah harus dengan cara apalagi supaya wanita itu mau menerima pemberiannya. Padahal demi Tuhan, dia ikhlas memberikan semua itu untuk Naila. Bukan karena modus ingin menjadikannya sebagai kekasih, istri atau apapun istilahnya seba
Heran, di mana-mana selalu saja orang-orang mempertanyakan hubungannya dengan Naila. Rahman, Khairul, bahkan ibu Diana pun selalu bertanya masalah yang satu itu. "Tumben mukamu kusut, Mad. Ada apa?" tanya ibu Diana ketika Ammad baru saja memasuki warung makan itu. Ahmad menghela nafas panjang. Dia tersenyum kecut. "Gimana nggak kusut, Bu? Orang-orang di proyek pada membicarakan saya dengan Naila," keluhnya. Wanita separuh baya itu tertawa terpingkal-pingkal. Suaranya bahkan menarik perhatian orang-orang yang sedang asyik menikmati makanan siang ini. "Kamu sih terlalu malu-malu. Coba dong agresif sedikit. Dekatilah Naila, jujur dengan perasaan sendiri. Jangan bikin dirimu menyesal di kemudian hari, kalau akhirnya Naila menjalin hubungan dengan laki-laki lain," tutur ibu Diana. "Kalau Naila menjalin hubungan dengan laki-laki lain, apakah saya berhak untuk melarangnya? Bahkan sampai saat ini saya hanya mampu memberikan dia status sebagai
Ammad baru saja menyelesaikan shalat magrib di dalam kamarnya. Dia meraih ponsel dan menatap nanar kalender yang ada di layar ponselnya itu. Ya Allah, masih setahun lagi dia harus tinggal di sini. Masih setahun lagi kontraknya baru selesai. Bagaimana mungkin dia bisa menjauhi wanita itu? Sedangkan desakan di hatinya selalu menginginkan untuk bertemu dan berada di dekatnya. Apalagi jika mengingat Nayra. Gadis kecil itu begitu menyayanginya. Dia dan Naila mungkin bisa mengatur agar mereka tidak usah bertemu lagi. Komunikasi hanya sebatas lewat telepon. Pertemuan mungkin bisa dibatasi, hanya di warung ibu Diana saja. Dia dan Naila mungkin bisa mengatur semua itu, tapi bagaimana dengan Nayra? Gadis kecil itu tidak tahu apa-apa dengan masalah di antara mereka. Dia hanya tahu bahwa dia sekarang sudah memiliki seorang paman yang sangat menyayangi dan menjadi tempat dia mencurahkan kasih sayang seorang anak kepada ayahnya. Dia lagi senang-senangnya memiliki sesosok l
Naila menggelengkan kepala. "Bukan, Ma. Itu temannya Bang Ammad. Namanya Khairul," sahut Naila. "Kenalan baru lagi nih?" celetuk Syifa. Wanita itu rupanya menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Padahal dia tengah sibuk menggoreng bawang. "Iya, Kak Syifa. Dia temannya bang Ammad," ucap Naila. "Masih sendiri atau sudah berkeluarga?" tanyanya. "Tidak tahu, Kak. Soalnya ini juga baru kenal. Tidak sopan kan kalau langsung nanya, apakah dia masih sendiri atau sudah berkeluarga," jawab Naila. Dia menggelengkan kepala. "Bukannya kayak gitu, Nai. Siapa tahu aja dia suami orang. Kan repot." "Persahabatan itu tidak mengenal status, Kak. Lagian Naila juga tidak pernah berpikir macam-macam. Naila hanya ingin berteman. Itu aja," balas Naila "Kamu itu Nai, dasar keras kepala. Sudah sering di bilangin, tapi tidak pernah mau menerima nasehat. Kalau mau berteman dengan laki-laki itu carilah laki-laki yang masih sendiri bukan yang sudah berkelua
Iya, nggak apa-apa, Nai. Lain kali aku akan ke warung bersama Pak Ammad untuk menemuimu. Boleh kan kalau kita berteman?] [Boleh sekali. Nai senang berteman dengan siapa aja, asalkan orangnya baik dan sopan. Oh ya, kamu dapat nomor Nai dari Bang Ammad ya?] [Iya nih. Maaf ya, Pak Ammad tidak bilang ke kamu kalau dia ngasih nomor kamu kepadaku] [Tidak apa-apa, Bang Khairul. Ya udah, Nai lagi sibuk nih di dapur. Nanti kita ngobrol lagi ya] [Ya Nai, Aku juga sambil kerja. Selamat beraktifitas ya] [Oke Bang Khairul, selamat bekerja juga. Jaga diri Abang baik-baik ya. Tetap semangat! 👍👍] Khairul menatap nanar layar ponselnya. Dia tak menyangka akan mendapat sambutan seperti itu dari Naila. Sambutan yang begitu manis dengan tutur kata yang sopan dan menunjukkan bahwa si empunya pesan merupakan pribadi yang sangat menari
Berhadapan dengan situasi seperti ini, waktu terasa begitu lambat bagi Khairul. Detik demi detik sangat berharga baginya. Laki-laki itu terlihat tengah berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Pikirannya melayang mengingat sang istri di dalam sana yang tengah berjuang menjelang proses persalinan. Penantian ini terasa begitu mencekam. "Tidak apa-apa. Naila pasti kuat kok," tegur sang Mama melihat anak lelakinya tampak begitu gelisah. "Dia begitu kesakitan, Ma. Khairul tidak tega melihatnya." "Setiap wanita yang mau melahirkan memang begitu. Mana ada yang melahirkan tidak sakit, Rul?" Perempuan itu memberi isyarat putranya untuk mendekat. "Memangnya sakit sekali ya, Nek?" celutuk Nayra. Gadis kecil itu baru saja pulang dari sekolah. Dia sampai ke rumah sakit dan tidak sempat menemui sang ibunda, karena Naila sudah keburu
"Hadiah?" tanya Nayra. "Ini adalah hadiah untuk kalian." Naila mengambil kotak kecil berwarna merah dari dalam tasnya. "Sebuah kotak? ucap Khairul. "Ayo kita main tebak-tebakan, Nayra, apa isi kotak dari Mama?" "Paling-paling perhiasan. Biasanya gitu, kan?" Gadis kecil itu mengamati kotak berbentuk segi empat panjang di depannya. "Dulu Papa juga pernah memberikan Mama dan Nayra perhiasan kalung," ucap Nayra sembari meraba lehernya. Gadis itu sudah diizinkan oleh ibunya untuk memakai kalung pemberian Khairul tempo hari. "Daripada main tebak-tebakan, yuk dibuka saja!" Perempuan itu tersenyum penuh makna. Khairul mulai membukanya. Selapis kertas berwarna merah yang membungkus kotak itu kini telah robek oleh tangannya. "Tespek!" Tiba-tiba hatinya bergetar. Tangannya bergerak mengambil benda itu. "Garis dua, De?" Lak
Seminggu kemudian ...Matahari bersinar malu-malu kucing. Cahayanya menyapa rerumputan, menyapu embun yang membasahinya semalaman. Keceriaan dan kegembiraan menyambut hari minggu begitu terasa di hati mereka bertiga, Khairul, Naila dan Nayra.Mobil meluncur dengan tenang, menyusuri jalanan yang mulai ramai. Khairul sengaja menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia ingin memberikan kesempatan kepada anak istrinya untuk menikmati keindahan kota kelahirannya.Baru kali ini dia bisa mengajak keduanya jalan-jalan. Setelah acara resepsi perkawinan dan resmi pindah ke rumah baru, dia langsung di sibukkan oleh pekerjaan. Pekerjaan yang sangat menyita waktu dan perhatiannya, setelah lebih dari sebulan dia tidak masuk kantor dan hanya memantau perusahaan dari orang-orangnya saja.Pertemuan, rapat, meeting dengan tim perusahaan serta klien penting menjadi agenda hari-harinya belakangan ini, bahkan di saat har
Malam ini terasa kurang bergairah. Meskipun Naila sudah berusaha untuk memasakkan makanan kesukaan Nayra, tetapi gadis kecil itu masih tampak murung dan tidak selera makan. Kondisi tidak menyenangkan yang sangat terasa bagi Khairul, mengingat dia belum tahu permasalahan yang sebenarnya. Laki-laki itu baru bisa pulang ke rumah menjelang magrib. Seharian ini dia mengunjungi beberapa tempat sekaligus untuk bertemu dengan klien penting. "Ada apa? Abang lihat rona wajah Nayra terlihat murung?" Keduanya baru saja bisa masuk ke kamar tidur, setelah sebelumnya harus menidurkan Nayra terlebih dahulu. Naila yang duduk di pinggir ranjang kemudian suaminya menyusul duduk di sampingnya. "Ada masalah baru lagi, Dek?" tanyanya. "Tidak apa-apa, Bang. Biasa, hanya urusan anak kecil." "Urusan anak kecil?" ulang laki-laki itu. Ade bertengkar dengan Nayra?"
"Putri ayah ngomongnya seperti itu?" Ammad meletakkan kembali tubuh mungil Fitri ke dalam box bayi kemudian segera meraih ponselnya, memposisikan lagi wajahnya menghadap ke kamera."Ayah nggak pernah membeda-bedakan di antara anak-anak ayah," bantahnya. Laki-laki itu serius menatap wajah Nayra melalui layar ponselnya."Ayah yang ngomongnya begitu! Kenapa Ayah bilang nggak janji? Nayra, kan kangen sama Ayah," keluh gadis cilik itu.Nayra mendudukkan tubuhnya di pembaringan, sementara ponselnya dia letakkan menyandar di guling karakter hello Kitty."Ayah pun kangen sama Nayra. Hanya saja bulan-bulan yang akan datang, Ayah sangat sibuk dengan perusahaan baru.""Kirain sibuk sama dede Fitri," gerutu Nayra.Ammad tercekat. Untuk sejenak dia terdiam. Hanya netranya menatap iba pada Nayra, gadis manja tak berayah yang sejak bertahun-tahun lalu lengket denganny
Bukan tanpa alasan Ammad memilih tempat tinggal di daerah pinggiran kota, bahkan cenderung lebih ke nuansa pedesaan. Bukan karena dia tidak memiliki uang lebih untuk membeli rumah di kota, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan suasana baru bagi Rosita dan anak-anak.Sebenarnya ayah mertuanya menawarkan sebuah rumah mewah untuk didiami oleh mereka, tapi dengan tegas dia menolak. Laki-laki itu sudah merasa cukup dengan sebuah perusahaan yang akan dikelola setelah mereka kembali menikah. Ammad tidak tidak mau ayah mertuanya terlalu banyak membantu, lagipula dia masih mampu membeli rumah tanpa bantuan siapapun, walaupun rumah itu tidak semewah rumah yang dimiliki oleh Khairul, rumah yang didedikasikan untuk Naila dan Nayra.Mengingat perempuan itu, membuatnya semakin sadar betapa skenario Allah itu begitu indah. Setiap manusia sudah ada jodohnya masing-masing. Istilah bahwa jodohmu adalah cerminan dirimu itu tidaklah salah.
Bab 81"Abang akan membawamu ke suatu tempat," ujarnya ketika sang istri mengajaknya untuk pulang."Tenang aja, De. Di rumah kan ada abang-abangnya, nenek, kakek, bahkan kak Khadijah pun juga menginap di rumah. Apa yang mesti Ade takutkan? Lagipula Semua orang pasti paham kita tengah merayakan hari pernikahan kita atau barangkali malam pertama!" Laki-laki itu tertawa melihat wajah masam sang istri."Bang, kita ini sudah tua! Anak sudah banyak. Harus ingat waktu. Kalau anak muda yang nggak ada dipikirkan sih hayu aja. Semalaman juga Ade mau jalan sama Abang," ujar Rosita."Memangnya Ade nggak senang, malam ini Abang ajak makan malam berdua?""Bukannya nggak senang, Bang, cuma kepikiran Fitri aja," balas Rosita."Abang juga ingat waktu kok. Ini tidak akan lama. Kita akan pergi ke suatu tempat, karena Abang ingin menunjukkan sesuatu." Laki-laki itu mulai mempercepat la
Abang tidak menyesal, kan sudah menikah dengan Ade?" cicit Rosita..Pernikahan ini bahkan seperti keajaiban buatnya!"Tidak, De. Ini, kan sudah kita bicarakan sebelumnya, sejak jauh-jauh hari pula. Untuk apa Abang menyesal?""Ade takut Abang tidak bahagia menjalani pernikahan ini.""Abang bahagia, insya Allah. Melihat kalian bahagia, Abang pun turut bahagia," ujarnya.Laki-laki merendahkan suaranya. Dia ikut duduk di samping istrinya, mengelus punggungnya."Kok Abang ngomongnya seperti itu?" Rosita menatapnya dalam-dalam.Abang bahagia Rosita Abang bahagia percayalah senyumnya teramat manis"Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai ke titik ini. Inilah jalan hidup kita dan kita harus bahagia menjalaninya."❣️❣️❣️"Jangan lama-lama ya, Bang. Ade takut kalau Fitri haus." Wanita itu berkali-k
Betapa banyak hal yang sudah mereka lewati dan secara perlahan akan bertemu di persimpangan jalan. Bukan karena tidak saling cinta, tapi kehidupan akan terus berjalan meskipun kita berusaha untuk menahan. Waktu akan terus bergerak dan sedetik pun kita tak bisa untuk mencegah."Sekarang Abang ikhlas, Nai. Jalani hidup dan rumah tanggamu. Jangan sisakan luka dan biarkan cinta diantara kita hanya sebagai kenangan. Kenangan manis dan pahit sekaligus.""Tak perlu kita saling memvonis siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak ada kesalahan yang sempurna, pun tak ada kebenaran yang sempurna. Kebenaran sejati hanya milik Allah.""Kita hanya manusia biasa yang memiliki rasa dan keinginan. Seperti kamu yang sudah belajar untuk melupakanku dan mencintai suamimu, aku pun akan mencoba melakukan hal yang sama, melupakanmu dan mencintai istriku kembali, belajar melupakan kesalahan-kesalahan dan masa