Drrtt drrtt drrtt ....
Nama ibunya tertera di layar ponsel. Khairul segera menekan tombol berwarna hijau, kemudian menempelkan benda pipih berbentuk segi empat panjang itu ke telinganya."Assalamu alaikum, Ma," sapanya
"Wa alaikum salam." Terdengar sahutan seorang wanita tua di seberang sana.
"Apa kabar, Ma? Maaf Khairul belum bisa kirim uang untuk Mama dan Papa, karena Khairul belum gajian," ucapnya.
"Alhamdulillah, Kami selalu sehat, Nak. Jangan dipikirkan soal gajian. Uang yang kamu kirimkan lebih dari cukup untuk menopang kebutuhan kami sehari-hari." Ibunya tertawa.
"Alhamdulillah ... semoga Mama dan Papa selalu sehat," doa Khairul.
"Kamu sendiri gimana? Bagaimana dengan pekerjaan kamu, Nak?"
"Alhamdulillah ... selalu lancar, Ma. Itu berkat doa Mama dan Papa. Teman-teman disini semuanya baik terhadap Khairul."
"Syukurlah, Nak. Semoga hidupmu selalu diberkahi. Oh, ya, Nak, boleh nggak Mama tanya ses
"Tidak ada apa-apa, Pak. Bapak mau ke mana pagi-pagi begini?" "Saya mau ke rumah Naila," ucapnya. "Kamu mau ikut?" Naila? Mendengar nama Naila di sebut, tiba-tiba matanya berbinar. "Oke." Dia segera menyahut. " Kita disana tidak lama kan?" "Iya, cuma sebentar saja. Pagi ini juga kita akan kembali ke sini untuk melanjutkan pekerjaan." Ammad terus melangkah menuju mobil. "Kamu saya tunggu di mobil ya," serunya. Pemuda itu mengangguk. Dia pun segera masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian dia sudah muncul kembali dengan mengenakan celana training dan kaus lengan pendek berwarna abu-abu. Ammad tersenyum. Ia mengacungkan jempolnya. ❣️❣️❣️ "Memangnya ada apa, Pak? Kenapa Bapak pagi-pagi begini mau ke rumah Naila? Seperti tidak ada waktu lain aja." tany
"Om pun kangen Nayra. Maafkan Om ya, baru sekarang bisa mengunjungi Nayra dan Mama," ucap Ammad. Laki-laki itu duduk di kursi dengan posisi memangku gadis kecil itu. "Tidak apa-apa, Om. Om kan sibuk kerja," sahut Nayra. Ia menatap laki-laki dewasa di hadapannya. Khairul terpaku menyaksikan keintiman itu. Bosnya yang terlihat begitu dekat dengan seorang gadis kecil, layaknya seorang ayah kepada anak perempuannya. Sekejap kemudian dia tersenyum simpul. "Pantas saja dia berhasil merebut hati anak perempuan Naila. Ternyata begini caranya," gumam laki-laki itu di dalam hatinya. "Om, paman ini siapa sih?" Nayra menunjuk Khairul yang berdiri di dekat mereka. "Oh ... kenalkan paman ini, namanya Khairul. Nayra boleh memanggilnya Paman Khairul, Om Khairul atau Pak cik Khairul juga boleh," jawab Ammad. "Panggil saja Om Khairul, Nayra," ucap Khairul. Khairul menyodorkan tangannya kepada gadis kecil itu. Nayla pun menyambutnya dengan sebuah
"Tidak, Rul. Hanya kepada saya saja Nayra bersikap seperti itu. Entahlah, saya juga tidak tahu. Saya rasa anak kecil itu memiliki perasaan yang peka. Hanya kepada orang yang benar-benar tulus menyayanginya, dia mau menyayangi orang itu. Anak kecil kan nggak bisa bohong, Rul." "Iya Pak, tapi apakah memang benar, Bapak cuma pengen yang begini-begini saja, tidak ada kelanjutannya yang lebih serius gitu?" tanya Khairul. "Kayaknya cuma cukup sampai sini saja, Rul. Saya cukup tahu diri dengan tidak menghinakan wanita yang saya sayang sebagai istri siri atau istri sementara saya selama disini. Naila terlalu mulia untuk itu, Rul." "Memangnya kamu ada solusi?" tanya Ammad. "Solusinya sih gampang, Pak. Serahkan saja Naila kepada saya," ucap Khairul sambil tertawa. "Macam-macam saja kamu, Rul. Naila itu bukan milik saya. Dia milik orang tuanya. Jadi mintalah kepada orang tuanya. Memangnya kamu benar-benar serius? Kalau kamu tidak serius, kamu akan
Khairul tengah asyik menikmati makan siangnya. Nasi putih dengan lauk kepala patin gangan asam dan segelas es teh yang melengkapi makan siangnya dengan begitu sempurna. Meskipun menu masakan ini adalah khas Banjar, tetapi dia berusaha menikmatinya dengan sepenuh hati. Sebagai orang proyek, dia sudah terbiasa menikmati masakan di luar dari masakan daerahnya. Lidahnya sudah terbiasa beradaptasi dengan aneka macam rasa masakan. Terkadang ia merindukan masakan dari daerahnya. Gulai ikan patin dan asam pedas ikan baung. Bahkan setiap kali ia pulang ke Pekanbaru, ibunya selalu memasak masakan itu dan ia sangat menyukainya. Akan tetapi, di daerah ini mungkin tidak pernah ia temukan, karena tidak ada warung makan yang menjual masakan khas Pekanbaru di sini. Laki-laki muda itu tersenyum. Tiba-tiba ia merindukan orang tuanya dan kampung halamannya nun jauh di pulau Sumatera sana. Drrtt.. Khairu
Drrtt drrtt .... Sebuah notifikasi pesan dari aplikasi hijau bergambar telepon di ponselnya membuyarkan lamunan Naila. Dia meraih ponselnya dan tertera nama Khairul di layar. Wanita itu tersenyum simpul. [Met malam, Ade. Lagi apa?] [Lagi berbaring, Bang. Ini mau siap-siap tidur] [Berarti Abang mengganggu dong?] Naila menggelengkan kepala sambil terus memainkan jarinya untuk mengetik pesan buat Khairul. [Tidak, Bang. Nai belum ngantuk kok. Santai aja] [Oh,ya? Makasih ya, Nai. Udah menemani Abang ngobrol malam ini] [Nai, boleh Abang tanya nggak?] [[Boleh, Bang. Mau tanya apa?] [Apa makanan kesukaan Nayra?] [Ayam goreng] [Kayak Upin dan Ipin saja] Naila tersenyum membaca chat laki-laki itu. [Emang dia pengikut Upin dan Ip
Pagi bersemi dengan indah. Matahari tampak malu-malu muncul di ufuk timur. Sinarnya belum begitu terasa menghangatkan mayapada. Naila baru saja selesai menerima setoran hafalan dari Nayra. Dia menutup Al Qur'an tikrar nya dan meletakkannya kembali di atas meja "Mama," ucap Nayra Naila menoleh. Dia menatap lekat wajah putrinya. "Ada apa, Nak?" "Om Ammad ke sini lagi nggak ya, Ma? Nayra pengen sarapan bersama om Ammad lagi," ucap gadis kecil itu. Nayla tersenyum. Dia mengusap kepala putrinya. "Om Ammad tidak bisa sering-sering ke sini, Nak. Om Ammad kan kerja. Nanti kalau om terlambat kerja karena sarapan bersama Nayra, gimana? Kan kasihan," ucap Naila menjelaskan. "Andaikan tempat kerja om Ammad itu dekat dengan rumah kita, mungkin Mama bisa bantu Nayra untuk meminta tolong om agar setiap hari sarapan di rumah kita, tapi tempat kerja om Ammad kan jauh dari rumah kita.
Tepat pukul delapan pagi, Naila sampai di warung ibu Diana. Setelah memarkir sepedanya di tempat biasa, ia bergegas melangkah memasuki ruangan warung yang masih tampak sepi. Kepalanya masih berdenyut ingat insiden tadi pagi saat Khairul datang dan mengajak sarapan putrinya. Khairul. Tiba-tiba melintas nama itu dibenaknya. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba laki-laki itu datang ke rumah. Bahkan tanpa mengajak Ammad yang merupakan sahabat dan juga bosnya. Dia datang sendiri dengan membawa sarapan buat mereka. "Nai." Sebuah suara mengagetkannya. Dia tertunduk menyaksikan sosok ibu Diana yang berdiri tak jauh dari dirinya. "Pagi-pagi sudah bengong. Ada apa, Nai?" tanya ibu Diana. Naila menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya masalah Nayra. Biasa itu. Maklumlah," sahut Naila. "Kenapa lagi dengan Nayra? Merengek minta ketemuan sama si Ammad?" "Iya. Tadi temannya Bang Ammad berkunjung ke rumah, tapi Bang Ammad tak ikut. Na
Khairul mengusap wajahnya dengan kasar seraya mengucapkan istighfar berkali-kali. Baru saja ia memulai, ia sudah mendapat batu sandungan. Tak main-main. Justru dari atasannya sendiri. Dia heran, kenapa Nayra begitu lengket dengan Ammad. Gadis kecil itu bahkan menangis saat tahu bahwa om Ammad-nya tidak ikut saat dia berkunjung ke rumahnya tadi pagi. Khairul menggelengkan kepala. Apa istimewanya laki-laki itu? Jangan pernah bilang kalau laki-laki yang merupakan atasannya itu tulus. Toh pada hakekatnya, mereka sama saja. Mendekati anaknya buat mengambil hati ibunya yang konon sangat susah untuk di sentuh. Sudah tujuh tahun Naila menjanda dan begitu banyak laki-laki yang tertarik padanya. Naila tak juga bergeming. Entah laki-laki seperti apa yang di carinya. "Resiko mau menjalin hubungan dengan seorang janda," keluh pemuda itu dalam hati. Dia harus menaklukkan dua hati sekaligus! Drrtt... Khairul meraih ponsel yang terletak di
Berhadapan dengan situasi seperti ini, waktu terasa begitu lambat bagi Khairul. Detik demi detik sangat berharga baginya. Laki-laki itu terlihat tengah berjalan mondar-mandir di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Pikirannya melayang mengingat sang istri di dalam sana yang tengah berjuang menjelang proses persalinan. Penantian ini terasa begitu mencekam. "Tidak apa-apa. Naila pasti kuat kok," tegur sang Mama melihat anak lelakinya tampak begitu gelisah. "Dia begitu kesakitan, Ma. Khairul tidak tega melihatnya." "Setiap wanita yang mau melahirkan memang begitu. Mana ada yang melahirkan tidak sakit, Rul?" Perempuan itu memberi isyarat putranya untuk mendekat. "Memangnya sakit sekali ya, Nek?" celutuk Nayra. Gadis kecil itu baru saja pulang dari sekolah. Dia sampai ke rumah sakit dan tidak sempat menemui sang ibunda, karena Naila sudah keburu
"Hadiah?" tanya Nayra. "Ini adalah hadiah untuk kalian." Naila mengambil kotak kecil berwarna merah dari dalam tasnya. "Sebuah kotak? ucap Khairul. "Ayo kita main tebak-tebakan, Nayra, apa isi kotak dari Mama?" "Paling-paling perhiasan. Biasanya gitu, kan?" Gadis kecil itu mengamati kotak berbentuk segi empat panjang di depannya. "Dulu Papa juga pernah memberikan Mama dan Nayra perhiasan kalung," ucap Nayra sembari meraba lehernya. Gadis itu sudah diizinkan oleh ibunya untuk memakai kalung pemberian Khairul tempo hari. "Daripada main tebak-tebakan, yuk dibuka saja!" Perempuan itu tersenyum penuh makna. Khairul mulai membukanya. Selapis kertas berwarna merah yang membungkus kotak itu kini telah robek oleh tangannya. "Tespek!" Tiba-tiba hatinya bergetar. Tangannya bergerak mengambil benda itu. "Garis dua, De?" Lak
Seminggu kemudian ...Matahari bersinar malu-malu kucing. Cahayanya menyapa rerumputan, menyapu embun yang membasahinya semalaman. Keceriaan dan kegembiraan menyambut hari minggu begitu terasa di hati mereka bertiga, Khairul, Naila dan Nayra.Mobil meluncur dengan tenang, menyusuri jalanan yang mulai ramai. Khairul sengaja menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia ingin memberikan kesempatan kepada anak istrinya untuk menikmati keindahan kota kelahirannya.Baru kali ini dia bisa mengajak keduanya jalan-jalan. Setelah acara resepsi perkawinan dan resmi pindah ke rumah baru, dia langsung di sibukkan oleh pekerjaan. Pekerjaan yang sangat menyita waktu dan perhatiannya, setelah lebih dari sebulan dia tidak masuk kantor dan hanya memantau perusahaan dari orang-orangnya saja.Pertemuan, rapat, meeting dengan tim perusahaan serta klien penting menjadi agenda hari-harinya belakangan ini, bahkan di saat har
Malam ini terasa kurang bergairah. Meskipun Naila sudah berusaha untuk memasakkan makanan kesukaan Nayra, tetapi gadis kecil itu masih tampak murung dan tidak selera makan. Kondisi tidak menyenangkan yang sangat terasa bagi Khairul, mengingat dia belum tahu permasalahan yang sebenarnya. Laki-laki itu baru bisa pulang ke rumah menjelang magrib. Seharian ini dia mengunjungi beberapa tempat sekaligus untuk bertemu dengan klien penting. "Ada apa? Abang lihat rona wajah Nayra terlihat murung?" Keduanya baru saja bisa masuk ke kamar tidur, setelah sebelumnya harus menidurkan Nayra terlebih dahulu. Naila yang duduk di pinggir ranjang kemudian suaminya menyusul duduk di sampingnya. "Ada masalah baru lagi, Dek?" tanyanya. "Tidak apa-apa, Bang. Biasa, hanya urusan anak kecil." "Urusan anak kecil?" ulang laki-laki itu. Ade bertengkar dengan Nayra?"
"Putri ayah ngomongnya seperti itu?" Ammad meletakkan kembali tubuh mungil Fitri ke dalam box bayi kemudian segera meraih ponselnya, memposisikan lagi wajahnya menghadap ke kamera."Ayah nggak pernah membeda-bedakan di antara anak-anak ayah," bantahnya. Laki-laki itu serius menatap wajah Nayra melalui layar ponselnya."Ayah yang ngomongnya begitu! Kenapa Ayah bilang nggak janji? Nayra, kan kangen sama Ayah," keluh gadis cilik itu.Nayra mendudukkan tubuhnya di pembaringan, sementara ponselnya dia letakkan menyandar di guling karakter hello Kitty."Ayah pun kangen sama Nayra. Hanya saja bulan-bulan yang akan datang, Ayah sangat sibuk dengan perusahaan baru.""Kirain sibuk sama dede Fitri," gerutu Nayra.Ammad tercekat. Untuk sejenak dia terdiam. Hanya netranya menatap iba pada Nayra, gadis manja tak berayah yang sejak bertahun-tahun lalu lengket denganny
Bukan tanpa alasan Ammad memilih tempat tinggal di daerah pinggiran kota, bahkan cenderung lebih ke nuansa pedesaan. Bukan karena dia tidak memiliki uang lebih untuk membeli rumah di kota, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan suasana baru bagi Rosita dan anak-anak.Sebenarnya ayah mertuanya menawarkan sebuah rumah mewah untuk didiami oleh mereka, tapi dengan tegas dia menolak. Laki-laki itu sudah merasa cukup dengan sebuah perusahaan yang akan dikelola setelah mereka kembali menikah. Ammad tidak tidak mau ayah mertuanya terlalu banyak membantu, lagipula dia masih mampu membeli rumah tanpa bantuan siapapun, walaupun rumah itu tidak semewah rumah yang dimiliki oleh Khairul, rumah yang didedikasikan untuk Naila dan Nayra.Mengingat perempuan itu, membuatnya semakin sadar betapa skenario Allah itu begitu indah. Setiap manusia sudah ada jodohnya masing-masing. Istilah bahwa jodohmu adalah cerminan dirimu itu tidaklah salah.
Bab 81"Abang akan membawamu ke suatu tempat," ujarnya ketika sang istri mengajaknya untuk pulang."Tenang aja, De. Di rumah kan ada abang-abangnya, nenek, kakek, bahkan kak Khadijah pun juga menginap di rumah. Apa yang mesti Ade takutkan? Lagipula Semua orang pasti paham kita tengah merayakan hari pernikahan kita atau barangkali malam pertama!" Laki-laki itu tertawa melihat wajah masam sang istri."Bang, kita ini sudah tua! Anak sudah banyak. Harus ingat waktu. Kalau anak muda yang nggak ada dipikirkan sih hayu aja. Semalaman juga Ade mau jalan sama Abang," ujar Rosita."Memangnya Ade nggak senang, malam ini Abang ajak makan malam berdua?""Bukannya nggak senang, Bang, cuma kepikiran Fitri aja," balas Rosita."Abang juga ingat waktu kok. Ini tidak akan lama. Kita akan pergi ke suatu tempat, karena Abang ingin menunjukkan sesuatu." Laki-laki itu mulai mempercepat la
Abang tidak menyesal, kan sudah menikah dengan Ade?" cicit Rosita..Pernikahan ini bahkan seperti keajaiban buatnya!"Tidak, De. Ini, kan sudah kita bicarakan sebelumnya, sejak jauh-jauh hari pula. Untuk apa Abang menyesal?""Ade takut Abang tidak bahagia menjalani pernikahan ini.""Abang bahagia, insya Allah. Melihat kalian bahagia, Abang pun turut bahagia," ujarnya.Laki-laki merendahkan suaranya. Dia ikut duduk di samping istrinya, mengelus punggungnya."Kok Abang ngomongnya seperti itu?" Rosita menatapnya dalam-dalam.Abang bahagia Rosita Abang bahagia percayalah senyumnya teramat manis"Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai ke titik ini. Inilah jalan hidup kita dan kita harus bahagia menjalaninya."❣️❣️❣️"Jangan lama-lama ya, Bang. Ade takut kalau Fitri haus." Wanita itu berkali-k
Betapa banyak hal yang sudah mereka lewati dan secara perlahan akan bertemu di persimpangan jalan. Bukan karena tidak saling cinta, tapi kehidupan akan terus berjalan meskipun kita berusaha untuk menahan. Waktu akan terus bergerak dan sedetik pun kita tak bisa untuk mencegah."Sekarang Abang ikhlas, Nai. Jalani hidup dan rumah tanggamu. Jangan sisakan luka dan biarkan cinta diantara kita hanya sebagai kenangan. Kenangan manis dan pahit sekaligus.""Tak perlu kita saling memvonis siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak ada kesalahan yang sempurna, pun tak ada kebenaran yang sempurna. Kebenaran sejati hanya milik Allah.""Kita hanya manusia biasa yang memiliki rasa dan keinginan. Seperti kamu yang sudah belajar untuk melupakanku dan mencintai suamimu, aku pun akan mencoba melakukan hal yang sama, melupakanmu dan mencintai istriku kembali, belajar melupakan kesalahan-kesalahan dan masa