Begitu melihat Jessie sudah datang, Alesha langsung menghampiri calon adiknya itu.
"Jessie, ikut Kakak, ya!" pinta Alesha langsung menggandeng tangan Jessie.
Jessie yang masih dalam keadaan bingung hanya menurut, wanita satu anak itu mengajak Jessie ke salah satu kamar yang ada di sana.
Dua orang perias sudah menunggu, bahkan sebuah gaun pengantin sederhana tampak tergantung siap untuk dikenakan.
"Kak, ini apa?" tanya Jessie yang benar-benar tidak bisa merespon dengan apa yang terjadi.
"Pernikahan kalian, agar seterusnya bisa bersama tanpa ada yang menghalangi," jawab Alesha mengulas senyum, ia mendudukkan Jessie di kursi depan meja rias.
Jessie tidak berkata apa-apa lagi, ada rasa bahagia juga takut. Bahagia karena Arkan benar-benar akan menikahinya, takut jika dia tidak bisa membahagiakan pemuda itu.
Setelah satu jam, akhirnya Jessie sudah dirias dan memakai gaun pengantin yang dipilihkan Arkan.
Alesha menuntun Jessie keluar menuju r
Jessie merangkum kedua sisi wajah Arkan, ia mendaratkan bibir ke bibir pemuda yang kini sudah sah menjadi suaminya. Meski awalnya Arkan menolak, tapi begitu merasa jika Jessie berinisiatif memulai duluan, akhirnya ia pun membalas, ia merengkuh tubuh Jessie yang berada di atasnya.Arkan menjatuhkan tubuh Jessie ke ranjang, kini posisinya berada di atas. Ia menyesap hingga sesekali melumat daging tak bertulang nan manis milik Jessie. Lidahnya merangsek ke dalam rongga mulut, mengabsen deretan gigi hingga membelitkan lidah. Satu tangannya mulai masuk ke dalam piyama, mengusap lembut pundak hingga bukit kembar milik istrinya.Jessie memejamkan mata, merasakan desiran berkali-kali lipat dalam aliran darahnya ketika kulit Arkan terus menyentuh tubuh. Rongga dadanya bergemuruh tatkala lidah Arkan mulai turun dan mengabsen setiap jengkal kulit mulus Jessie.Arkan mendongakkan kepala, menatap wajah Jessie yang mulai bersemu merah. "Jes, kamu
Setelah pernikahan sederhana mereka, Arkan dan Jessie kembali ke apartemen milik Arkan. Kini Jessie tak perlu lagi mengurus perusahaan yang membuatnya terlalu lelah karena Finlay sudah mengambil alih sepenuhnya."Ar, nanti aku mau pergi sama Jihan, ya! Mau jenguk Shelly." Jessie tengah memakaikan dasi pada kerah Arkan."Sudah melahirkan, ya?" tanya Arkan seraya menatap Jessie yang sedang fokus mengikat dasi.Jessie hanya mengangguk, ia merapikan dasi Arkan kemudian mengusap perlahan agar tidak kusut."Sudah," gumamnya seraya menepuk perlahan kemeja bagian depan.Jessie mendongak menatap Arkan, ia tersenyum manis pada suaminya itu hingga akhirnya Arkan mendaratkan kecupan di kening."Apa mau aku antar?" tanya Arkan menawari.Jessie menggelengkan kepala, ia menggandeng lengan suaminya dan berjalan menuju meja makan untuk sarapan. Seperti biasanya, Jessie hanya makan oatmeal dan susu sedangkan Arkan memakan menu yang memang disiapkan khusus ole
Begitu sampai di apartemen, Arkan langsung mengambilkan minum agar Jessie bisa mengkonsumsi obatnya. Arkan begitu khawatir karena ruam di kulit tangan Jessie mulai muncul lagi."Kenapa tadi tidak menghindar saja, lihat sekarang penyakitmu malah kambuh." Arkan duduk di sebelah Jessie dengan air muka penuh kecemasan.Jessie mengulas senyum setelah selesai meminum obatnya, ia menatap Arkan penuh kasih sayang karena tahu jika suaminya itu begitu sangat mencemaskan dirinya."Aku nggak apa-apa kok, Ar! Lagian tadi aku yang salah, bagaimana bisa aku menghindar," ujar Jessie.Arkan menggenggam telapak tangan Jessie, mengangkatnya dan mendekatkan ke bibir, ia mengecup punggung tangan istrinya dengan penuh kelembutan."Baiklah, tapi lain kali tolong hindari kejadian seperti itu, oke! Aku khawatir itu mempengaruhi kondisi tubuhmu," kata Arkan yang kemudian merengkuh tubuh Jessie dalam pelukan.
Arkan menatap wajah Jessie yang sudah tertidur pulas dalam pelukannya, ia sesekali membelai surai Jessie serta mengecup keningnya, Arkan tersenyum ketika mengingat kedua kalinya ia bertemu dengan Jessie hingga akhirnya memilih melakukan long distance relationship.Setelah bertemu dengan Jessie di Mall tempatnya bekerja, Arkan tidak bisa menghilangkan senyum Jessie dari ingatannya. Ia merasa gelisah setiap waktu dan berharap agar bisa bertemu lagi dengan gadis yang membuat hatinya bergetar, dan melupakan gadis yang sempat ia cintai.Setelah dua hari tidak tahu siapa nama gadis yang membuat hatinya gelisah, serta menerka akankah bisa bertemu lagi. Siang itu senyum merekah tampak terpajang di wajah Arkan, ia melihat gadis yang sudah mengganggu tidurnya ternyata satu kampus dengannya, gadis yang tak lain adalah Jessie, tampak sedang berjalan menuju area parkir dengan kedua temannya.Arkan mengambil langkah lebar, ia tidak akan menyia-ny
Arkan langsung duduk, menatap Jessie yang masih sesekali menyeka ingusnya, ia begitu penasaran kenapa gadis yang mampu menggetarkan hatinya itu menangis."Kenapa nangis?" tanyanya penuh kelembutan.Jessie masih menyeka ingusnya, ia kemudian terlihat mengatur napasnya lalu sedikit menggeser tubuhnya menghadap Arkan."Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, sebenarnya tidak penting. Tapi, karena kamu temenku, jadi lebih baik aku bilang," ucap Jessie sedikit bertele-tele karena bingung cara menyampaikannya."Teman?" Arkan mengangkat satu sudut alisnya."Iya, tentu saja teman." Jessie tersenyum canggung melihat ekspresi Arkan yang tampaknya tidak senang."Aku pikir kamu berpikir lebih," ujar Arkan yang membuat Jessie bingung sampai mengerjapkan mata berkali-kali."Ma-maksudnya?"Arkan menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan, membuat Jessie semakin bingung dengan sikap dan reaksi pemuda itu."Aku suka sama kamu," ungkapnya bic
Jessie duduk bersama Arkan di ruang tunggu tempat dokter spesialis kandungan di sebuah rumah sakit. Arkan sebelumnya sudah menghubungi Tian dan meminta pendapat kakak sepupu istrinya itu perihal keinginan Jessie untuk bisa memiliki bayi. Awalnya Tian pun terkejut, tapi jika keinginan Jessie tidak dituruti, Tian takut kalau itu akan membuat suasana hati Jessie memburuk sehingga bisa memicu kambuhnya penyakit Jessie. Hingga pada akhirnya Tian pun memberi saran pada Arkan untuk berkonsultasi terlebih dahulu.Jessie terlihat meremas jemarinya dengan sesekali menatap pintu ruang praktek dokter yang mereka datangi, jelas ada rasa gugup dan takut yang singgah di hatinya. Arkan yang sadar dengan kegugupan Jessie pun meraih telapak tangan sang istri, ia memindahkan tangan Jessie ke pangkuannya, menggenggamnya erat dengan senyum hangat yang hanya ia tujukan untuk wanita yang kini sudah menjadi miliknya itu."Ada apa? Kamu takut?" tanya Arkan.&
Selepas Arkan pergi, Jessie terlihat duduk di sofa yang terdapat di kamar. Di pangkuannya terdapat benang wol dan jarum untuk merajut, ternyata dia membeli peralatan itu saat di supermarket.Sejak Arkan mengatakan jika dirinya boleh hamil, Jessie tiba-tiba ingin sekali bisa menjadi seorang ibu sepenuhnya, ia tengah belajar merajut dari sebuah video channel dengan seksama, Jessie ingin membuat syal juga sepatu bayi.Jessie pun mulai tahap demi tahap secara perlahan, ia begitu bahagia dengan kegiatan yang sedang dilakukan. Setidaknya itu menghindarkan dirinya dari stres dan rasa bosan.Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, Jessie pun menghentikan aktivitas merajutnya dan menyimpan peralatan ka dalam lemari. Jessie membersihkan diri hingga kemudian ia tampak berdiri di depan lemari pakaiannya dengan masih menggunakan bathrobe. Jessie menatap deretan lingerie yang belum pernah ia pakai sama sekali."Apa ak
Arkan duduk di atas tempat tidur bersandarkan headboard, ia menatap Jessie yang berbaring memunggungi dirinya. Akhirnya Arkan ikut berbaring dan merapat pada istrinya, ia melingkarkan lengan ke perut Jessie tapi tidak mendapat respon dari istrinya."Jes, kamu benar-benar tidak ingin memaafkan?" tanya Arkan yang disusul sebuah kecupan di pundak Jessie."Tidak ada yang perlu meminta dan dimaafkan," jawab Jessie dengan nada ketus, jelas sebenarnya dia marah.Arkan membalikkan tubuh Jessie hingga posisinya kini terlentang, tapi Jessie memejamkan mata karena merasa enggan melihat wajah Arkan."Jes, aku benar-benar takut. Takut jika menyakitimu," ucap Arkan yang kini sudah dalam posisi setengah berbaring."Aku tahu Ar, hidupku tidak mudah semenjak aku mengidap penyakit ini, aku tidak bisa makan apa yang dimakan orang lain, aku tidak bisa pergi ke tempat yang orang lain pergi, dan