POV Bella.Lama aku menunggu kabar dari Abi, sudah hampir satu jam aku bolak-balik memeriksa ponsel yang aku letakkan di atas meja. Sampai akhirnya, sudah dua jam aku menunggu dan tetap tidak ada kabar. Bahkan, panggilanku tidak dijawab olehnya. Merasa sudah tidak sabar, tanpa berpikir panjang aku pun bergegas ke ruangan Abi. "Mau ke mana, Bell?" tanya Mbak Mei saat aku keluar ruangan."Mau ke pantry membuat kopi, aku begadang semalaman, ngantuk!" jawabku beralasan."O, oke!""Bawakan satu juga untukku, Bell." Kak Raka yang sekarang jauh lebih pendiam akhirnya mau membuka suara juga."Hemm," jawabku lalu pergi dengan langkah tak sabar.Kubuka pintu tanpa ketukan atau salam terlebih dahulu. "Abi!" sentakku begitu aku masuk.Kulihat Abi sedang bersi tegang dengan wanita tua itu, dari gesture Abi, sepertinya dia sedang mengusirnya.Begitu aku datang, Abi langsung menoleh dan menghampiriku dengan wajah penuh rasa bersalah."Bell, maaf, aku lupa," kata Abi begitu sampai di hadapanku, mem
"Maksudku mamanya Tari, Bell. Nyonya Priawan. Jangan marah dulu, dong." Abi meraih tanganku lalu mengecupnya singkat. Aku tahu dia sedang mencoba untuk merayu."Terima kasih sudah ada di sampingku," ucapnya dengan senyum yang mengembang sempurna. Sontak membuat jantungku berdebar-debar.Kutatap lekat wajah suamiku."Bi,""Hem?" jawabnya singkat masih dengan tatapan maut menusuk jantung."Benarkan aku murahan?"Ia tersenyum lagi. "Justru kamu yang paling berharga dan tidak ternilai," jawab Abi menatapku dalam.Dengan mata berkaca-kaca, kuulurkan kedua tanganku, ia meraihnya dan membawaku ke dalam pelukannya. Seolah tahu bahwa aku sedang membutuhkannya."Kamu yang paling berharga dan utama untukku, Bell," ulangnya mengusap punggungku lembut."Meski kamu harus kehilangan, termasuk kehilangan keluargamu? Bahkan, aku juga yang menyebabkan kamu kehilangan saham di Hayuda. Karena aku pergi tanpa kabar dan membuatmu ....""G*la?" sergahnya.Kutepuk punggung yang saat ini ada di hadapanku kasar
"Kamu mau tahu jawabannya, Abi?" tanya Papa, kali ini dia mulai mau menoleh ke arahku."Ya, Abi mau tau, sesakit apapun alasan kalian, meski akan membuatku semakin terluka. Tetap aku ingin mengetahuinya," jawabku mantap.Ia tak menghela napas."Mama mu sendiri yang menyuruh Papa untuk menikah lagi."Degh ... apa lagi ini? Benar-benar kenyataan yang membuatku kaget setengah mati, sungguh mencengangkan."Ambisi Mama-mu untuk mendapatkan harta dari keluarga Papa, membuatnya melakukan bermacam cara. Tidak kunjung hamil di usia pernikahan kami yang sudah menginjak 5 tahun, membuatnya menginginkan Papa untuk menikahi sahabatnya sendiri yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mamamu, agar harta tidak jatuh ke tangan saudara Papa.""Jadi, mereka bersahabat? Dan maksud Papa, kalian memanfaatkan mamaku untuk mendapat harta?!" tanyaku tak percaya."Nggak, Bi, Papa sempat menolak saat itu. Papa tidak ingin menikah untuk harta. Papa tahu rasanya menikah namun tidak bahagia. Papa tidak mau mengul
POV BellaApa yang terjadi pada Abi? Jam makan siang yang dia janjikan akan menyempatkan diri untuk makan siang denganku hingga jam kantor selesai. Ia belum juga terlihat kembali, padahal dia berjanji untuk menjemputku sore ini.Hingga satu jam usai jam kerja, aku masih setia menunggu Abi di depan gang kecil yang biasa kami gunakan untuk bertemu dan berpisah. Yang membuatku semakin cemas adalah ponsel Abi tidak bisa aku hubungi sejak ia pergi hingga sampai detik ini. Ponsel itu masih mati."Abi, kemana sih kamu, Bi?" tanyaku pada diri sendiri."Bell, ngapain kamu di sini? Udah mau Maghrib lo," Kak Raka datang menghampiriku, mbuyatkan lamunanku."Aku menunggu taksi, Kak," jawabku beralasan."Mau pulang bareng? Kamu cancel aja taksinya," tawar Kak Raka. Kalau dulu aku akan sumringah mendengar tawaran ini dan tidak akan menyia-nyiakannya. Berbeda dengan sekarang, rasanya enggan dan takut. Takut jika Abi melihat dan salah paham padaku."Nggak usah, Kak. Kakak duluan aja. Sepertinya taksi
POV BellaAkhirnya suara adzan subuh membangunkanku juga, setelah aku bisa tidur beberapa jam yang lalu. Ya, Abi sempat mengalami demam semalam dan membuatku harus terjaga. Yang aku lihat saat pertama kali terbangun tentu adalah suhu tubuh Abi. Kuperiksa bagian kening, pipi, dan leher, tampaknya sudah membaik. Alhamdulillah.Saat ini yang bisa aku lihat hanyalah Abi yang begitu terpukul, lemah,dan rapuh. Terbukti, dalam tidurnya pun sudut mata Abi masih terlihat basah. Aku paham dan aku mengerti, Abi juga manusia yang punya batas kesabaran. Ada kalanya dia lelah dan ingin menyerah. Namun, tetap saja hal ini tidak boleh berlarut, aku harus melakukan sesuatu sebelum semua bertambah semrawut. Terutama hubungan Abi dan Papa. Mereka adalah darah daging yang harus saling menjaga, tidak boleh saling memusuhi. Bergegas aku melaksanakan sholat subuh setelah kulihat Abi masih setia dalam tidurnya lalu aku ke dapur untuk menyiapkan sarapan."Asri, mungkin nanti Abi tinggal di rumah. Kamu jaga
"Kumat, Abi. Aku pergi!" celetukku lalu kubuka pintu meninggalkan Abi."Eh, Sayang yakin nggak titip, itu ....""Tutup mulutmu, Abi!" teriakku melihat kanan dan kiri lalu kembali ke arah Abi. Tak lupa ku arahkan jari telunjukku padanya agar dia diam. Aku tahu dia akan menggodaku dengan menawarkan hal-hal aneh untuk penunjang kegiatan malam itu."Pergi nggak!" usirku mengangkat tangan ke arah super market."Oke, siap," kata Abi lalu menyalakan mesin mobilnya.Kuhela napas setelah Abi benar-benar pergi lalu aku pun segera berjalan menuju pintu gerbang seperti biasa. Namun, kali ini terasa berbeda karena aku harus berjalan menuju gerbang sambil memikirkan bagaimana cara agar aku bisa ke rumah sakit. Bagaimana pun juga aku harus melakukan sesuatu untuk Papa dan Abi. Aku yakin ada kesalah pahaman diantara mereka. Kulihat Papa begitu menyayangi Abi begitu juga Abi. Meski sama-sama keras kepala namun terlihat jelas kasih sayang diantara mereka. Mana mungkin harus bermusuhan. Membayangkanny
Aku tersentak kaget, bahkan ponsel yang masih menempel di telingaku sempat merosot jatuh dan mengakibatkan panggilanku pada Mama terputus. "Abi?" Kuambil ponsel yang terjatuh di lantai lalu memasukkannya ke dalam tas. Gemetar, itu yang aku rasakan saat ini."Kamu membohongiku?! Pulang!" sentak Abi menarik tanganku. Membawaku menjauh dari kamar rawat Papa. Kukumpulkan seluruh keberanian lalu dengan cepat aku menghempaskan tangan yang senantiasa memelukku setiap malam itu."Abi, kamu jangan egois. Kamu nggak lihat kondisi Papa kamu?" "Aku nggak peduli! Aku nggak ada hubungan lagi dengan mereka!" ucapnya kasar dengan mata berapi-api."Mereka? Apa maksudmu dengan mereka? Papamu hanya sendiri, seorang diri. Terbaring di dalam dan kamu bilang nggak peduli? Anak macam apa kamu, Bi?!" kataku dengan suara pelan namun penuh penekanan. Ya, aku tidak mau ada kegaduhan yang bisa membuat pasien lain terganggu dan berakhir dengan pengusiran."Bell, berapa kali aku bilang jangan berhubungan denga
"Bella?" kata papa dengan suara serak."Mau minum, Pa?" tanyaku menawarkan.Papa mengangguk. Kubantu papa untuk sedikit duduk agar lebih mudah untuk minum."Kenapa kemari, Bell?" tanya Papa kembali berbaring."Mulai sekarang Bella yang akan menemani Papa di sini."Papa tersenyum samar, lalu menghela napas. Pandangannya pun tampak menerawang. Entah apa yang dipikirkan olehnya saat ini."Pulanglah, Bell ... papa nggak mau kamu dan Abi harus ribut karena Papa. Papa bisa jaga diri Papa sendiri," ucap Papa membuatku merasa sangat tidak berguna."Apa Papa ingin kami menjadi anak durhaka yang tidak mau merawat Papanya yang hanya sendirian?" celetukku."Kamu ...?""Iya, Pa. Bella sudah tau semuanya. Mulai sekarang Bella lah keluarga Papa.""Tapi, Abi ....""Jangan pikirkan masalah Abi, Pa. Itu biar menjadi urusan Bella," putusku."Papa cuma nggak mau kalian bertengkar," ulangnya."Insyaallah nggak akan, Pa," jawabku, saat ini yang terpenting adalah membuat Papa tidak stress dan banyak pikira
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta