Waktu menunjukkan pukul tiga. Aku tidak perlu bingung sekarang siang atau malam. Suara jam yang berdetak terdengar begitu jelas pastilah malam hari. Tak lama sesudah itu, aku masih berdiam diri. Memikirkan beberapa hal dan merenung. Aku masih belum bisa tertidur.
Bagai pertapa ulung, hampir tiap detak waktu dalam sisa waktu malam kini aku habiskan untuk merenung. Mengulang kembali kisah-kisah dimasa silam. Berkuyup keringat dalam perang meredamkan bara dendam dalam dada. Bahkan, menimang-nimang semua harapan adalah aktifitas rutin yang setia menemani kesendirianku kini. Aku merenung, dan terus merenung.
Pada suatu sisi, aku memang selalu meyakini bahwa kepasrahan adalah satu-satunya cara untuk menghadapi pahit getirnya takdir, sambil melakukan hal-hal yang baik. Sehingga dengan itu, menurutku seburuk apapun takdir itu, aku akan menjadi baik dalam keburukanku sendiri.
"Ah persetan dengan semua ini, mungkin ini sudah jalan hidupku. Aku akan melakukan apa yang aku
Suasana berubah canggung. Otak seketika berhenti memerintah mulut dan kerongkongan untuk bersuara. Senyum yang indah bak peragawati. Matanya lentik seperti permata biru. Alisnya serasi. Bibirnya merah dan terlihat lebih gres. Pipinya ranum. Hidungnya mancung. Kulitnya putih seperti polesan pualam. Senyum kami berduel mesra dalam indahnya pandangan pertama. Sungguh, semua yang terlihat adalah bukan imajinasi. Bukan juga sebuah delusi, atau ilusi. Ini adalah kenyataan. Kenyataan yang sempurna. Aku seraya berangan tanpa harapan pasti,ruang mulai terasa pengap, suara mulai gaduh beriring seirama dengan berputarnya waktu. Aku sekarang sedang menatap takjub. Mataku kini berbinar-binar, aku baru saja menemukan sesuatu yang selama ini ada dalam benak ini. "Hey! kau tidak apa?" terdengar suara itu membangunkan aku dari lamunan. "Oh! iya kenapa?" gagap aku menjawab. "Hem.. mantelku basah, apa kau bisa meyimpannya untukku?" katanya sambil melepaskan mantel
Tanpa peduli dengan namanya perasaan cinta, karena perasaan menurutku hal tercengeng yang pernah kumiliki sebagai manusia umumnya, dan sosok wanita yang begitu membelalakkan mataku ini, telah membuat perasaanku tumbuh menjadi sebuah pohon misteri yang terkadang terasa menakutkan untuk aku ungkapkan, bagaimana tidak! Akar-akar pohon itu telah beberapa kali merobek kisi demi kisi hatiku yang kubangun secara sempurna sejak aku dikenalkan dengan apa namanya kehidupan secara logika dan fakta-fakta nyata, namun sekarang hancur sekejap tak tersisa tertindih batang pohon raksasa yang berlabel cinta. Apa aku telah munafik atau kah ini sebuah kebetulan yang patut aku abadikan untuk dapat membentuk sejarah dunia. Aku tetap bingung dan bimbang, kenapa diri ini begitu lemah dan tak berdaya, lalu dengan apa aku bangkit dari papan putih tertata rapi yang menopang hidupku, ketika benar-benar bisa mendengar suara merdu dan wajah cantik yang begitu sempurna sekarang ini, “aku sungguh merasa t
Kota berbalut malam. Tanpa bulan. Hanya salju perlahan turun diatas kota, buram, sunyi tertoreh. Lara terasa mengendap. Dan Belinda, sejak sore betah merangkul tanganku. Tak lama kami sampai di bar, tetapi ketika baru saja masuk aku tersentak ada dua orang pria besar yang menghampiriku ketika itu, mereka dengan sigap menarikku membuatku berjarak dengan Belinda saat ini. Aku mencoba memberontak tapi mereka memegang kedua tanganku dengan kuat."Hey! siapa kalian lepaskan aku!!" Kemudian dari kejauhan Bernanrdo datang mendekati Belinda, saat pertama datang ia masih dengan sikap tenangnya bertanya dengan Belinda, "Hey! sayang dari mana saja kau, aku sudah menunggumu sejak tadi." katanya sambil mengelus wajah Belinda dengan tangannya. Belinda terlihat menunduk, sepasang matanya menangis. Bahkan saat ia ingin menahan tangisannya. Air dimata itu tetap saja mengalir, bukan seperti gerimis, tangisan yang sangat dalam. "Ku mohon lepaskan dia, aku hanya meminta
Aku tahu banyak lelaki berlari membawa luka dalam dirinya. Dan mungkin bagiku, aku harus berlari dengan lubang dalam diriku. Bagaimana pun juga, hidup harus berjalan. Barangkali rencana terbodoh dalam hidupku adalah membunuh waktu. Karena aku sadar sebagai manusia biasa pasti sulit untuk melakukan itu. Aku tidak bisa menyentuh jemari panjangnya yang terjulur hingga puncak langit tertinggi. Padahal dia sangat dekat denganku. Akan tetapi, aku tidak pernah menemukan celah untuk mengalahkannya. Gelap merundung hidupku yang kosong. Kehampaan semakin memenuhi akhir hidup. Hening menyeruak dalam jiwa. Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya dibendung oleh kabut. Ketika sampai di rumah aku langsung pergi kekamar mandi, untuk membersihkan sisa darah dan memar di wajahku. Saat melihat wajahku yang babak belur didepan cermin, aku kembali jengkel tangaku terkepal lalu memukul dinding kamar mandi. Di dalam kamar, kubaringkan tubuh
"Agen waktu? apa maksudmu prof, dan siapa dia yang telah mati." tanyaku karena belum paham dengan apa yang dia katakan. "Aku mengenal ayahmu dia adalah agen waktu Akira, kini dia sudah mati dibunuh oleh suruhan seseorang." katanya membuatku terkejut seketika. "Ayahku seorang agen waktu prof? bukankah dia seorang pelaut. Dan siapa orang yang membunuhnya!!!" geram aku karena mendengar pernyataan tersebut, aku tidak terima kalau memang ayahku di bunuh oleh seseorang yang belum aku ketahui. "Benar!! dia adalah agen waktuku. Memang sebelum itu dia seorang pelaut, tapi setelahnya dia bekerja bersamaku. Soal yang menyuruh berandalan kemarin untuk membuhuh ayahmu, aku pun tidak tahu siapa sebenarnya dia? tapi aku pernah bilang kepadamu sebelum ini banyak ilmuwan yang membuat mesin waktu tapi tidak semua dari mereka orang yang baik. Mereka bekerja pada seseorang yang mendanai penelitiannya." profesor menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi padaku. Perasaa
Ini adalah masa dimana teknologi semakin marak tidak terkendali, beberapa ilmuwan mulai berpikir untuk menciptakan planet baru selain bumi sebagai tempat untuk kehidupan manusia. Sana sini berita mulai heboh menjalar tentang ‘planet’ dan ‘alat canggih’, dua hal itu seakan berlomba-lomba ingin menunjukkan keesistensiannya dan kehebatannya sebagai suatu yang paling menakjubkan di abad ini. "Ada dimana kita sekarang prof?" tanyaku yang masih terperana melihat sekitar. "Ini adalah tahun dimana tempat aku tinggali sekarang, selamat datang dimasa depan Akira. Kau harus biasakan dirimu dengan dunia ini." ucap profesor Javier. "Hey! prof apakah kau pernah ke jaman dinosaurus hidup?" tanyaku bergurau. "Tentu pernah! tapi hanya sekali, jika kau kesana, aku pastikan kau tidak akan pernah ingin lagi ke tempat seperti itu!" katanya membuatku penasaran dengan apa yang ia maksud. "Memangnya kenapa prof? kau tidak suka dengan tempat itu!?" tanyaku. "I
Setelah beberapa saat kami sampai disebuah bangunan besar yang kokoh dengan benda-benda unik mengelilingi halaman sekitar. Itu adalah robot-robot ciptaan profesor Javier, untuk membantu pekerjaannya profesor menciptakan robot yang super canggih. Aku menengadahkan kepalaku menatap ujung pintu yang tinggi. Bagaikan akan menyibak awan menembus langit tak terbatas. Pintu gerbang berbahan logam nampak jelas terlihat di hapadapanku. “Waw”. Itulah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku ketika aku terkesima memandangi pintu logam nan gagah yang ada di hadapanku sekarang ini. Aku berada sekitar jarak 3 meter dari gerbang yang rapat tertutup. Ketika kaki ini mulai melangkah satu dengan kaki kananku, terdengar sebuah gerakan yang membuatku terkejut. Suara yang berasal dari gerbang besi berwarna gelap itu. Suara berdecit saat pintu itu otomatis terbuka sendiri. “Grek…..grek……..grek………..”. Belahan dari pintu gerbang mulai terbuka. Aku mengerutkan kedua dahiku. B
Tidak mau melewatkan momen langka sekaligus aneh ini,hingga aku beranikan diri berjalan menuruni tangga dan menuju ruang tengah lalu bertemu dengan seseorang pria, gemuk, gelap yang sedang merunduk ia seperti dirundung pilu dengan kesedihannya. Tidak ada suara-suara selain suara malam yang menyahut pertanyaan konyol yang keluar dari dalam mulut ini. "Si.. siapa dia, orang atau apa!?" Malam makin dingin dan angin tidak lagi memberikan kompromi. Sementara itu, bintang-bintang dan cahaya rembulan sudah tertutup awan. Entah sejak kapan. Hanya sebuah atau sesosok gelap yang sedang duduk diatas sofa itu. Aku berusaha mendekatinya. Jantungku kembali berdegup. Degupan dahsyat yang memompa adrenalin. Kuriositasnya bekerja. Aku tidak ingin membuang waktu berada di tempat ini dengan semua hal aneh ini. Sepasang mata dan seutas senyum di bibir tergambar pada sebuah wajah melalui pantulan cahaya kilat yang menyambar baru saja. Sebuah ekspresi yang sulit tergambarkan d
Di depan kami samar-samar sudah terlihat gerbang barat sebuah desa, sesampainya di gerbang kami sangat terkejut, beberapa bagian benteng sudah rusak dan ada banyak bekas pertempuran. Terlihat penjaga gerbang berlari ke dalam desa, sepertinya akan memberitahu warga yang lain kalau kami akan datang. Kami segera berjalan menuju ke tengah desa. Alvar menuju ke papan pengumuman di dekat pohon beringin besar di tengah desa. Kami berjalan dengan ekspresi muka penuh tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"Wahai saudara-saudaraku, apa yang terjadi di desa kalian ini?” tanya Alvar keras kepada para warga yang menyambut kedatangankami."Desa ini telah diserang banyak kawanan hewan buas. Kami sudah berusaha semampu kami untuk melawan dan mempertahankan desa ini, namum mereka sepertinya sudah sulit untuk bisa di kendalikan.” jawab seorang penjaga gerbang mewakili warga."Hewan-hewan itu bermata merah, mereka seperti diperintah oleh suatu kekuatan.”
Malam sedang membawaku berjalan di atas roda mimpi yang berputar kala tidur lelapku. Ya, berjalan, bukan berlari. Karena aku ingin menikmati setiap alunan khayalan yang melintas di depanku. Sekelilingku putih, sangat putih tak berujung. Aku terus berjalan dan berjalan hingga putih di sekitarku semakin lama semakin redup ditelan kegelapan. Kemudian aku mendengar bunyi “Tik..tok..tik..tok..” Seperti suara mesin jam yang sedang mengayun jarum detiknya.Aku juga melihat seperti ada sinar dari luar yang menembus ke dalam duniaku. Bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan. Tempat ini sepertinya tidak asing. Aku teliti lagi dan mencoba mengingat tempat ini. Lalu aku merasakan getaran pada pergelangan tanganku seiring dengan suara yang juga tidak asing."Akira! Kau dimana!?" ternyata itu suara profesor Javier, "Prof.." sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba saja suara itu lenyap seketika.Jalanan sangat sepi, bulan masih tersenyum cerah. Lampu jalan masi
Tanganku meraba-raba sekitar. Basah. Perlahan, aku menyadari aroma yang menguar dari tempatku berada. Daun. Kelopak mataku terbuka. Pupil mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya sang surya yang hampir kembali keperaduannya. Setelah terbuka sepenuhnya, aku terduduk dan menatap sekitar. Padang rumput. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah. Sebulir peluh menetes melewati rahangku. Jantungku berpacu cepat, berlomba-lomba dengan adrenalin yang mengalir deras melalui pembuluh darahku. Tak sedetik pun aku memelankan langkah, berzig-zag di antara pepohonan, melompati akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Menjemput maut yang siap menyambut kematianku. Tubuhku telah bermandi keringat. Kali ini aku semakin merajalela. Menanggalkan alas kakiku, berlari dan terus berlari, tanpa mempedulikan cabang dan ranting pohon yang mengoyak pakaianku, menggores kulitku, dan meninggalkan rasa perih yang menusuk. Aku bisa saja berhenti. M
Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Aku memalingkan wajahku ke arah seorang pemuda yang tegap berdiri di tengah-tengah cekungan bekas dari pertarungan.Berkali-kali aku menarik napas dengan cepat hingga menimbulkan suara dengusan yang bisa terdengar oleh orang yang ada di sekitarku.Angin sore menerpa permukaan kulit memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu menggangguku, "Akira jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya, dia hanya ingin membuatmu lupa akan dirimu sendiri.. Dia berusaha menyinggung tentang masa lalumu itu." ucap Alvar."Apa kau tidak percaya Akira!? raja kegelapan bisa menghidupkan orang yang telah mati untuk dijadikan pengikutnya. Dengan kata lain temanmu itu sudah di jadikan boneka oleh raja kegelapan untuk menjalani ke inginannya." ujar Cahir."Sudah cukup Cahir, kau terlalu banyak berbual. Apa tujuanmu datang kesini hanya untuk
Sementara itu saat ini suasana semakin mencekam, aku bisa melihat aura kemarahan antara Alvar dan Jugo. Mereka sudah siap menyerang dengan senjatanya masing-masing. "Sebaiknya kita selesaikan saja masalah ini, dari pada kau terus menghalangi perjalanan kami saat ini." tantang Alvar."Kalau itu maumu, aku akan menerimanya. Tapi hari ini aku hanya ingin bertarung dengan Akira, menurutku kau sangat mudah untuk di kalahkan. Sekarang aku ingin menjajal kekuatan dari seorang yang sudah lama di ramalkan untuk menyelamatkan negeri ini." ucap Jugo seakan merendahkan Alvar saat itu.Alvar pun tidak terima karena Jugo sudah meremehkannya saat itu, "Kau jangan banyak bicara Jugo. Kekuatanmu tak sebanding dengan Akira, bahkan kupastikan untuk mengalahkanku pun kau tidak akan sanggup sekarang!" geram Alvar."Aku tidak sepertimu Alvar, kekuatanku sudah terlatih selama ini. Negeri ini bahkan bergantung pada diriku!" ucap Jugo yang semakin congkak."Kalau begitu kau akan
Tetesan air langit kini tiada lagi berhamburan ke bumi. Sang raja cahaya kini mulai menampakkan dirinya yang tersipu malu, terhalang oleh mega. Di balik celah-celah batuan terjal kaki gunung melesat kilatan-kilatan cahaya teduh dan cerah. Menghapus warna hitam di langit saat ini. Pagi telah menyambutku.Suara napasku yang beradu cepat bersama langkah kakiku yang sedang berlari. Ku lewati pohon-pohon besar di depanku. Aku sudah tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa sampai di tujuanku dengan cepat dan selamat."Sebuah danau!" ujar Alvar.Aku dan Alvar menghentikan langkah sementara ketika kami sampai di sebuah sungai di hadapan kami sekarang, kami yang kehausan karena sepanjang hari sudah berlari dan bertarung dengan beberapa musuh di perjalanan pun meminum air dari sungai tersebut, dan menyimpannya sedikit untuk bekal melanjutkan perjalanan."Kita akan beristirahat sebentar disini Alvar!" ujar aku.
Kami mencoba mengobati kekhawatiran dengan menggumamkan beberapa bait lagu tentang musim panen sambil berjalan diantara pohon-pohon ek yang besar dan berlumut. Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu, kegelapan total mulai turun dan bulan muda belum terbit. Kami melihat sekeliling, memasang telinga untuk gerakan atau suara apapun yang tampak berbahaya.Kami tak mendengar apapun selain suara burung hantu dan jangkrik, kami juga tak melihat apapun selain deretan pepohonan dan semak belukar di sekitar tempat itu. kami kembali menggumamkan lagu sampai telinga ini mendengar suara kemeresak tepat di belakang.Secepat kilat kami berbalik, mencabut busur dan sedetik kemudian sebuah anak panah sudah terpasang. Mata kami mengarah tajam kearah belukar dibelakang, darah ini mengalir lebih cepat dalam nadinya, suara degup jantung terdengar bertalu-talu ditelinga sendiri.Perlahan kami mendekati sumber suara dan tiba-tiba belukar itu bergoyang. Kami terlonjak, mena
"Jarak antara tempat ini ke Haven sekitar dua bulan perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Alvar, “Kau tak akan sampai ke Haven tepat waktu tanpa kuda.”Temannya itu tertawa pahit sambil membalik kelinci panggang yang dijerangnya di atas api.“Beruntungnya aku karena kuda yang kubawa dari Yelow Gate terluka parah dan akhirnya mati ketika aku diserang segerombolan Dargo di dekat Creek Hollow,” Bale menggeram dan meludahkan kata Dargo seperti kutukan, “Aku sangat beruntung berhasil membantai sebagian besar dari mereka tanpa terluka. Kuku-kuku mereka seperti dilumuri racun.”Wajah Alvar menjadi semakin suram setelah mendengar cerita rekannya itu. Dargo memang suka membuat onar dan menyerang para pelancong yang melintas di dekat sarang mereka. Namun seingat Alvar jalan besar di Creek Hollow berjarak puluhan league dari Pegunungan Berbatu, dimana gua-gua Dargo berada."Bawalah kepingan uang ini bersamamu, mun
Ketika sudah semakin larut malam, kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat. Karena keadaan di sekitar tempat kami berpijak sekarang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan dikarenakan kabut asap yang semakin tebal, padangan kami benar-benar di butakan karena hal itu. Kami tidak tahu kondisi yang kami lewati di depan bagaimana, tapi melihat kejadian yang terjadi pada Alvar tadi, kemungkinan masih banyak jalan yang berbahaya untuk kami lewati.Aku terperanjat bangun dari tidur setelah mendengar suara lolongan serigala di kejauhan, begitu juga Alvar karena terkejut yang mendengar aku bangun secara tiba-tiba. Kami segera bangkit duduk dari alas tidur dan melingkarkan jari-jari ini di gagang pedang yang tak pernah jauh dari tubuh kami untuk berjaga-jaga. "Ada apa Akira!?" tanya Alvar."Tidak apa, perasaanku tidak enak. Aku kira ada yang memperhatikan kita sekarang." jawab aku.Aku tak pernah menyukai serigala. Terlalu banyak pengalaman buruk tentang me