Norin terkejut manakala Matthew serta merta menarik pergelangan tangannya keluar restoran.“Eh, eh! Kau mau bawa aku ke mana!?”“Ikut saja!”Norin terdiam mengikuti instruksi Matthew sampai mereka tiba di lobby.“Selamat pagi, Nona Norin!” sapa Aiden setelah keluar dari mobil.“Tuan Aiden?” Norin mengernyit heran saat Matthew membawanya bertemu Aiden.“Cepat masuk!” Matthew menuju ke sisi lain mobil setelah membukakan pintu belakang untuk Norin.“What!?”“Silakan, Nona!” Aiden ikut mendesak Norin karena gadis itu tidak juga masuk ke mobil.“Tapi … ergh!” Norin terpaksa menuruti titah Matthew dan Aiden.Mobil melaju cepat setelah Aiden mendudukkan dirinya pada kursi penumpang di samping sopir.***“Ini di mana?” Norin bingung ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan kawasan perumahan elit di sisi timur kota Queenstown.“Akan ku ceritakan nanti di tempat lain yang lebih aman, tentunya setelah kau menceritakan padaku apa yang kau dapatkan dari rumah Bernard.”Matthew sengaja
“Millie adalah boneka kesayangan Mora.”Benjamin menjawab pertanyaan Norin dengan berbagai rasa yang berkecamuk di dalam batinnya.“Hah!?”Baik Matthew, Norin, maupun Aiden menganga lebar mendengar jawaban Benjamin. Mereka tercengang bersamaan.Benjamin menghela napas perlahan. Ia memaklumi respon dari tiga orang di dekatnya ini.“Banyak hal buruk terjadi setelah tragedi naas itu, Matthew. Kecelakaan The Eye of Ocean itu menjadi titik awal kehancuran keluarga kita,” ujar Benjamin menatap nyalang ke arah Matthew.Semua orang terdiam. Semua bibir mengatup. Masing-masing dari mereka larut dengan pikiran masing-masing.Hening. Sunyi. Dingin. Kaku.Ya, seperti itu lah suasana di kediaman Benjamin Sebastian saat ini. Sama sekali tidak terdapat keakraban dan kehangatan.“Tapi …,” suara Benjamin memecah keheningan.“Aku sangat bersyukur kau selamat, Matthew! Aku tidak menyangka kau akan kembali. Aku pikir … aku pikir kau … kau …,” Benjamin tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.“Akan bernasib sa
“Jadi, apa yang terjadi dengan rumah orang tuaku?” tanya Matthew to the point.Benjamin tidak heran mengapa Matthew datang untuk mempertanyakan hal itu.“Aku … rumah itu … aku menjualnya!” aku Benjamin lirih.“Kenapa? Punya hak apa kau atas rumah kami!?” cecar Matthew tidak sabar.“Ini, buka lah! Itu yang mau aku tunjukkan” pinta Benjamin seraya menatap intens ke arah Matthew.Sebuah brankas sudah diletakkan Benjamin di atas meja. Dengan izin darinya, Matthew segera membuka dan mengeluarkan isinya.“Ya Tuhan!” pekik Matthew sedikit tertahan setelah membuka berkas-berkas di tangannya.“Apa? Ada apa?” Norin tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.“Ini …?” gumam Matthew lirih. Tatapannya masih tertuju pada lembaran-lembaran kertas di tangannya.“Apa, Matthew!?” tanya Norin lagi bernada kesal.“Ada apa, Tuan? Berkas apa itu?” Aiden juga tak mampu meredam rasa penasarannya.“Surat Perjanjian Penyerahan Kuasa Kepada Ahli Waris. Lalu yang ini, Surat Kepemilikan Saham!”Bernard membaca lembaran-
“Sebelum pemberitaan tentang peralihan kekuasaan saham itu beredar, terjadi perampokan di kediaman Althan Anderson.”“Perampokan!?” tanya Norin dan Matthew bersamaan.Benjamin memandang Matthew dan Norin bergantian. Ia juga tidak menyangka sebelumnya kalau hari ini akan tiba. Yaitu hari dimana dirinya akan sering mengenang tentang kejadian masa lampau yang menyakitkan itu lagi.“Waktu itu …,” Benjamin memulai ceritanya kembali.*FLASHBACK 20 TAHUN LALU*“Ben?” panggil Mirabeth kepada Benjamin melalui sambungan telepon.“Hai, Abeth! Ada apa menghubungiku?” sahut Benjamin to the point.“Kau yakin tidak ingin ikut di acara pelayaran perdana The Eye of Ocean?” Mirabeth bertanya untuk kesekian kalinya.Terdengar tawa kecil Benjamin dari seberang telepon. “Hahaha! Maafkan aku, Abeth, tapi aku benar-benar tidak bisa. Kau tahu sendiri, kan? Ada hal lebih urgent yang harus segera aku selesaikan,” tolak Benjamin halus.“Yeah … sayang sekali. Apa benar-benar tidak bisa diusahakan? Eum … bagaiman
Di tengah kesedihan Benjamin atas kepergian Mirabeth, Althan, serta Matthew, bersyukur masih ada satu alasan baginya untuk merasakan sisa kebahagiaan bagi keluarga kecilnya.Ternyata niatnya untuk pergi meninggalkan rumah kediaman Althan Anderson justru dicegah oleh Frederick Gustav Anderson dan Evelyn Anderson, orang tua dari Althan Anderson.Gustav dan Eve justru meminta agar Benjamin mau tetap tinggal di rumah itu dan merawat apa yang ada di sana dengan sepenuh hati.Pria itu tidak sabar ingin segera menyampaikan kabar baik ini kepada istri dan anaknya tercinta.Namun, jantungnya seakan berhenti berdetak seketika saat ia baru saja kembali dari pertemuannya dengan Gustav dan Eve.“Loh? Kok gerbangnya …?”Firasat buruk seketika menyeruak dalam benak pria itu manakala ia melihat gerbang utama terbuka lebar.Setelah memarkir mobil Althan yang ia gunakan, Benjamin segera berlari ke dalam rumah yang pintunya pun tidak tertutup.“Millie! Mora!”Benjamin berteriak-teriak memanggil istri da
“Norin! Norin! Cepat kemari! Ada yang membawaku dengan paksa! Mereka mengeluarkanku dari rumah sakit! Kemari, Norin!”Di tengah pertemuan pentingnya dengan Benjamin Sebastian, Norin menerima kabar dari William melalui telepon, bahwa kakaknya itu sedang dalam masalah.Sontak kepanikan menguasai diri Norin dan membuatnya gusar seketika.“Apa!? Ha-hallo? Hallo!? William!?”Sambungan telepon terhenti begitu saja. Norin seketika bangkit berdiri, membuat ketiga pria di sekitarnya menatap heran.“Ada apa?” tanya Matthew mendongak ke arah Norin.“William … William … ada yang membawa paksa William keluar dari rumah sakit!” jawab Norin gusar.Matthew lantas bersilang pandang dengan Aiden yang tampak tenang.“Aku harus pergi!” seru Norin tanpa menunggu respon dari siapapun.Gadis pirang itu segera beranjak dari tempatnya.“Norin tunggu!” panggil Matthew tegas, sontak langkah Norin terhenti untuk menoleh ke arah pria itu.“Kami harus pergi sekarang, Paman. Aku ambil berkas ini. Dan yang ini, ambil
“Algojo?”Norin seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari William.“Sudah ku bilang, begitu keluar dari rumah sakit, kau harus segera berlatih bela diri. Untuk itu lah aku meminta El Jova untuk melatihmu.”Matthew menyampaikan tujuannya.Norin kembali menganga mendengar ucapan Matthew. “Kau gila, Matthew? William baru saja keluar dari rumah sakit! Kondisinya belum benar-benar pulih!”“Eits, jangan salah, Nona, prosedur yang aku gunakan tentu sudah berdasarkan approval dari tim medis. Aku juga sudah berkonsultasi kepada dokter terkait dengan latihan-latihan apa saja yang bisa diterapkan padanya. Tenang saja!” sahut El Jova disertai tawa kecil.William dan Norin terdiam.“Cukup untuk hari ini. Biarkan dia beristirahat dulu!” Matthew memberi titah kepada El Jova.“Hahah! Oke, oke! Aku akan datang lagi besok,” sahut El Jova sembari mengangkat kedua tangan pada Matthew, lalu kembali menatap William. “Pastikan kau lebih baik dari hari ini, Wil!”William dan Norin menatap
Pukul delapan ketiganya sudah selesai menikmati hidangan makan malam. “Jadi apa rencanamu dengan semua ini, Matthew?” William memulai topik pembahasan begitu mereka berada di ruang kerja Matthew.Matthew meneguk wine di tangannya sebelum memberikan jawaban.“Pertama, El Jova sengaja aku hadirkan untuk melatihmu. Kemampuan bela dirimu tidak cukup kuat untuk melawan keluarga Gregorius.”“Untuk apa? Kita tidak butuh melawan mereka dengan otot. Cukup pakai otak!” sergah Norin menyela percakapan.“Jangan salah. Seorang Vincent Gregorius tidak segan melakukan penumpahan darah jika menurutnya memang perlu,” tandas Matthew dingin. Ingatannya kembali memutar memori dua puluh tahun lalu, di mana ia menyaksikan sendiri banyak anak-anak terbunuh oleh tiga pria dewasa tanpa alasan yang jelas. “Saat tragedi kebakaran kapal itu aku melihat banyak anak-anak yang dibunuh tanpa sebab oleh tiga orang penjahat. Aku yakin itu semua ada kaitannya dengan rencana busuk Vincent,” tandas Matthew melanjutkan
“What the hell!!” Bernard merasakan keanehan-keanehan saat berada di apartemen Norin. Bermula dari suara pecahan benda dari kamar sebelah, disusul dengan suara gaduh dari pantry. “Ada apa sebenarnya ini!?” Racau pria itu saat berbalik arah dari kamar ke pantry. “Ya Tuhan, bebaskan aku dari situasi mencekam ini, please!” desis Norin kesal. “Astaga, kenapa tempat sampah di pantry bisa jatuh berantakan?” pekik Bernard sambil menuju ke tempat sampah yang tergeletak di lantai. Norin, Sissy, dan semua orang yang bersembunyi di apartemen itu merasa tenggorokannya tercekat saat Bernard melangkah menuju pantry. “Tuan, biar saya yang periksa!” Sissy buru-buru menghentikan langkah Bernard. “Lebih baik Anda temani Nona Norin. Biar saya yang bereskan sampahnya.” Brak!! Pintu kamar terbuka, lalu tertutup dalam sekejap. “Astaga, maaf aku telah menjatuhkan lampu tidur!” pekik Nancy seraya keluar kamar. Dengan begitu, perhatian Bernard serta yang lain teralihkan ke arah Nancy. “Nancy? Are y
“Apa!?”Matthew dan yang lainnya tersentak mendengar informasi yang baru saja diucapkan Norin.“Astaga kita harus bagaimana!?” tanya Norin panik.“Cepat sembunyi!” celetuk William ikut panik.“Sissy, Nancy, cepat singkirkan semua gelas ini ke pantry. Jangan sampai Bernard melihatnya!” ucap Norin sedikit gemetar melihat belasan gelas dan botol wine yang tersaji di ruang tengah.Mendengar itu, Sissy dan Nancy bergerak cepat membereskan perkakas itu.“Semuanya masuk ke ruangan lain. Kosongkan kamar Norin!” ujar Matthew memimpin yang lain.“Hanya ada dua kamar di sini, sekarang ditempati Sissy dan Nancy selama mereka tinggal di sini,” tutur Norin menjelaskan.“Tidak apa-apa, sembunyi saja di sana, ayo!” Matthew bergerak menuju ke kamar Sissy dan Nancy, diikuti yang lain.“Norin, kau ke depan sekarang dan temui Bernard. Usahakan keberadaannya di sini tidak lama,” ujar Matthew kepada Norin.Ting! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!Di luar, Bernard semakin tidak sabar menunggu pintu dibukakan un
Di kediaman mewah keluarga Gregorius, Draco, orang kepercayaan Vincent Gregorius, tanpa ragu mengetuk pintu ruang pribadi atasannya.“Masuk!” teriak Vincent dari dalam ruangan.“Permisi, Tuan! Ada kabar terkini dari para anak buah yang saya tugaskan untuk mengusut kasus kemarin,” ujar Draco tanpa ragu.“Sudah puluhan tahun kau bekerja denganku, Draco. Kau paham kan informasi seperti apa yang bisa aku terima?” balas Vincent memperingati.“Informasi ini sudah valid, Tuan. Mereka sudah menemukan siapa pelaku penembakan tempo hari.”Ucapan Draco berhasil memantik keingintahuan Vincent. “Siapa mereka? Siapa yang telah berani berurusan denganku?”“Masuklah, kalian!” seru Draco kepada anak buahnya yang masih menunggu di luar ruangan.BRAKKK!!!Seorang pria babak belur dengan kedua tangannya yang terborgol tiba-tiba jatuh tersungkur memasuki ruangan di mana ada Vincent serta Draco di dalamnya.“Bangun, Bodoh!” bentak salah satu anak buah Draco sambil menarik paksa tubuh pria itu agar berjalan
Mendengar fakta buruk tentang kebusukan perilaku Vincent Gregorius di masa lalu, telah sukses memupuk kebencian yang telah tertanam di dalam benak Matthew selama puluhan tahun.Ia mengepal geram membayangkan kelakuan biadab Vincent kala itu.Namun, satu notifikasi tanda pesan masuk telah mampu membuat pria yang tengah menginterogasi Orland Xef itu kehilangan konsentrasi.“Kita pulang sekarang!” titah Matthew kepada Aiden dan Bryan.“Siap, Tuan! Saya siapkan armada sekarang,” sahut Aiden yang lantas segera menghubungi pilot pribadi Matthew.Kedua anak buah Matthew berjalan mengikuti atasannya keluar.“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” pekik Orland Xef yang sontak membuat langkah Matthew terhenti.Putra tunggal keluarga Anderson itu menoleh. “Kembali ke Queenstown dan bekerja untukku. Aku butuh bantuanmu untuk memberi Vincent terapi moral.”“Tapi … aku sedang melarikan diri darinya. Aku yakin cepat atau lambat, dia pasti tahu kalau akulah orang di balik kekacauan yang terjadi tempo ha
WELLINGTON, NEW ZEALAND“Siapa kalian!?”Seorang pria memekik terkejut karena tempat tinggalnya tiba-tiba didatangi oleh tamu tak diundang.Aiden menatap wajah pria itu lebih cermat, lalu mengangkat selembar potret wajah di tangannya hingga keduanya tampak sejajar.“Benar dia orangnya, Tuan,” ujar Aiden setelah memastikan bahwa mereka tidak salah orang.“Brengsek! Siapa kalian!? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang!?” Komplain sang pemilik kamar.“Seandainya kedatangan kami disambut dengan baik, kami tidak mungkin bersikap arogan semacam ini,” tutur Matthew tanpa sesal sedikit pun!CEO itu memberi kode kepada Bryan agar menutup serta mengunci pintu utama.Setelah mengangguk paham, Bryan melakukan perintah seperti yang diinginkan Matthew.“Jadi … ini tempat tinggal Anda sekarang, Tuan Orland Xef?” Tatapan Matthew tampak begitu tajam saat menuturkan pertanyaannya.“Ap-apa maksudmu!? Siapa kalian ini? Kenapa kemari!?” Orland Xef sampai terbata saat berucap. Ia memperhatikan Matthew
Hugo sama sekali tidak menyangka kalau El Jova berada di pihak musuh yang telah berhasil menewaskan pemimpinnya.“Apa maumu?” tanyanya kepada El Jova.“Jawab pertanyaan Matthew. Katakan yang sejujurnya. That’s it.”“Kau dan Tuan Zif sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain. Tapi kenapa kau berdiri di pihak lawan kami dan melakukan penyerangan?” ujar Hugo kesal.“Kelompokmu yang lebih dulu menyerang! Kenapa kalian melakukan penembakan di acara peresmian keluarga Vincent Gregorius?” tanya Matthew menginterupsi.“Ada urusan apa kau dengan keluarga Gregorius? Kami menyerang mereka, bukan kau!” hardik Hugo kepada Matthew.Plak!Tamparan keras kembali diberikan Matthew untuk tawanannya itu. “Kau melukai orang-orang tidak bersalah, Bodoh!”“Aku tidak tahu! Aku hanya melaksanakan perintah. Tuan Zif memberi perintah kepadaku, Max, dan juga George untuk melakukan penembakan beruntun itu!” teriak Hugo membela diri.“Untuk apa Zif memberi perintah itu?” sela El Jova penasaran. “Ap
Bryan serta Jarvis yang masing-masing sedang kepayahan melawan lima orang anggota mafia Eagle Snake, seketika tercengang manakala suara desingan peluru menggema di tepian danau Wakatipu, Queenstown, New Zealand.Keduanya menyadari, pasalnya, mereka datang menemui sekelompok mafia ini hanya bertiga dengan Matthew. Sisanya adalah para lawan, termasuk Max yang sempat mereka tawan.“Tuan Matthew,” gumam Jarvis dan Bryan bersamaan. Pandangan semua orang terarah pada Matthew yang sedang dikekang oleh lima orang lain anggota Eagle Snake, anak buah Zif Bayyer.“Tuan Zif!” pekik Hugo tercengang!“Tu-tuan!” gumam para anggota Eagle Snake yang lain.“Argh …! Brengsek! Bangsat!” Zif mengerang kesakitan, diikuti dengan umpatan-umpatan kekesalan saat ia merasakan tangan kanannya menjadi tempat bersarang sebuah timah panas.Pistol glock yang semula diarahkan Zif untuk menembakkan peluru ke dada Matthew pun terjatuh begitu saja.Pimpinan Eagle Snake itu menoleh ke sisi kanan untuk mengetahui siapa y
“Siapkan Max dan jaga baik-baik. Jangan lepaskan dia sebelum aku mendapatkan apa yang aku mau dari Zif Bayyer.”Terdengar suara Matthew memberikan koordinasi kepada El Jova melalui sambungan telepon.“Oke. Sepuluh menit lagi kami berangkat,” jawab El Jova sebelum menutup telepon.El Jova menyimpan kembali ponselnya ke saku jaket yang dipakainya.“Taylor, keamanan markas aku percayakan padamu,” ujar El Jova pada salah satu member El Warrior yang berjaga di pintu utama markas.“Dengan senang hati, Tuan! Walaupun sebenarnya saya lebih senang jika bisa ikut berpesta dengan Anda malam ini,” sahut Taylor menyemangati.“Hahah! Jangan lupa, kau masih punya luka bekas tusukan di perutmu,” ucap El Jova sambil menunjuk perut Taylor memakai dagunya.Taylor tertawa kecil mendengar ucapan pemimpinnya. “Hahah! Baru minggu lalu kita berpesta membasmi musuh. Sekarang Tuan sudah harus berpesta menghadapi musuh yang lain. Ternyata musuh kita ada di mana-mana, Tuan.”“Tentu saja! Selama masih ada kubu-kub
Bernard merasa sedikit janggal saat berjalan menuju ruang IGD dan tidak lagi mendapati orang-orang yang ia kenal.Seharusnya, entah Matthew atau yang lainnya ada di depan ruangan itu seperti hari kemarin.“Ke mana mereka? Kenapa tidak ada yang menunggui Norin?”Sementara ini Bernard hanya bisa bermonolog sambil terus melangkah.Ceklek!Pria itu merasa antusias saat melihat salah seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang IGD.“Permisi, saya ingin tahu perkembangan kondisi pasien atas nama Notin Nathania,” kata Bernard kepada sang perawat.“Norin Nathania?” ulang wanita di hadapannya.“Iya. Norin Nathania yang semalam dirawat di ruang IGD karena terkena luka tembak.”Bernard terus berusaha menyebutkan apapun yang berkaitan tentang Norin demi mendapatkan informasi.“Oh … pasien luka tembak yang semalam membutuhkan transfusi darah, ya?” “Nah! Iya, benar! Bagaimana kondisinya sekarang? Apa masih kritis di ruang IGD?”“Tidak, Tuan. Pasien itu sudah membaik. Beliau sudah dipindahkan k