Norin merasa sedang bergelantungan pada gigir yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkannya ke dalam jurang. Bagaimana tidak? Matthew tiba-tiba muncul di dalam hidupnya dan berpotensi merusak semua rencana yang sudah ia susun selama ini bersama William.“Sudah ku bilang … jangan sajikan kebohongan, karena kau belum tahu sedang berhadapan dengan siapa. Jadi …,” Matthew sengaja menggantung kalimatnya beberapa saat. “ … demi kebaikanmu dan kelancaran rencanamu bersama William, lebih baik katakan, kenapa kalian ingin menghancurkan Bernard?”Perkataan Matthew ini menjadi bukti bahwa Norin tidak bisa sembarangan meremehkannya.Gadis yang terbaring tak berdaya dalam kungkungan Matthew itu sudah hampir putus asa. Ia tidak tahu harus mereka-rekakan kebohongan seperti apa lagi untuk terus menyembunyikan rencana besarnya bersama William.“Hey! Apa yang kau lakukan!?”Di tengah keputusasaan Norin, tiba-tiba suara lantang seorang pria terdengar menggema di apartemen Norin.Bugh!“Hah!?” Norin menganga
“Katakan sekali lagi!”Dor!“Aaa …!”“Matthew!”Suara desingan peluru yang ditembakkan, terdengar bersamaan dengan teriakan Norin dan William seusai Matthew meneriakkan pertanyaannya kembali.Tidak pernah terbayangkan oleh Norin selama ini kalau ia akan mendengar suara pistol ditembakkan dalam apartemennya.Suasana tegang sudah semakin memanas. Matthew sudah tidak sanggup lagi menahan telunjuknya untuk tidak menarik pelatuk. Amarah di dalam dirinya sudah terlanjur meledak.Maka, agar tidak melukai siapapun di ruangan ini, Matthew mengarahkan pistolnya pada dinding di sisi kanannya sebagai object pelampiasan.Seketika Norin memejamkan matanya rapat-rapat seraya memanfaatkan kedua tangannya untuk menutup telinga saat suara tembakan itu berbunyi nyaring.Demikian juga dengan William. Ia juga tidak menyangka kalau Matthew benar-benar akan menembakkan pistol itu di ruangan ini.Sama seperti Norin, dada William pun berdebar begitu kencang karena menyaksikan kemarahan Matthew yang sangat meng
Matthew meminta Aiden untuk mencari beberapa kandidat hunian untuk tempat tinggal mereka.Aiden cukup tercengang mendengarnya.“Tapi, Tuan …,” Aiden masih berusaha menelaah tujuan Matthew.“Bukankah Anda sama sekali tidak berniat untuk menetap di sini, kecuali mendapatkan rumah masa kecil Anda kembali?”Aiden melontarkan pertanyaan itu tanpa ragu, karena memang sejak awal bukan seperti ini rencana mereka.“Benar, Aiden. Tapi kadang banyak hal terjadi di luar rencana,” ujar Matthew seraya mendengus pelan. Kepalanya menggeleng kecil memikirkan fakta yang baru saja ia ketahui.“Apa alasannya, Tuan?” bukan bermaksud mencecar Matthew dengan pertanyaan, tetapi Aiden ingin mendapat penjelasan lebih detail.“Norin dan William … mereka juga bernasib sama denganku. Mereka mempunyai dendam kepada keluarga Gregorius.”Matthew memberikan penjelasan dengan menahan perasaan miris dalam batinnya.“Benarkah?” Aiden seakan tidak menyangka akan mendengar kabar ini. “Apa yang sebenarnya dilakukan keluarg
Pagi-pagi benar Matthew sudah melangkahkan kaki di koridor Queenstown Hospital Center. Ia berhenti tepat di depan pintu ruang rawat inap bernomor 201, atas nama Tuan William Harry.Ceklek!“Hah!?” Norin terperanjat kaget saat tiba-tiba pintu ruangan dibuka tanpa ada suara ketukan lebih dulu.Gadis itu mengerucutkan bibirnya begitu melihat Matthew berdiri di ambang pintu yang telah terbuka itu.“Kau? Untuk apa kemari!?” nada bicara Norin terdengar ketus, seolah Matthew ini adalah orang yang paling ingin ia hindari sepanjang hidupnya.“Aku …,” Matthew yang selalu tegas setiap kali berhadapan dengan siapapun, entah mengapa kali ini merasa mentalnya menciut saat berhadapan dengan Norin yang masih diliputi kemarahan.“Iya, kamu! Siapa lagi!?” nada bicara Norin kian meninggi.“Aku … tentu saja aku datang untuk melihat kondisinya!” ujar Matthew disertai dengan tangan menunjuk ke arah William yang masih terbaring tanpa daya di atas brankar.Ia lega bisa menemukan jawaban yang menurutnya pali
Norin sangat tercengang mendengar informasi yang disampaikan Matthew sekarang.“Da-dari mana kau tahu?” gadis itu masih enggan untuk percaya pada apa yang disampaikan Metthew.“Aku juga ada saat kecelakaan itu,” jawab Matthew berucap malang. “Lalu ada seorang kapten yang menyelamatkanku. Darinya aku mengerti siapa pemilik saham The Royall Shipping Club yang sebenarnya.”Deg!“Norin, dengarkan aku baik-baik. Aku adalah putra tunggal dari Althan Anderson, dan kamu adalah keturunan dari Oliver Osmond, dengan begitu tidak seharusnya kita membiarkan keluarga Gregorius menguasai apa yang harus kita pertahankan!”Matthew menatap tajam ke arah Norin, membuat keduanya saling membaca pancaran mata satu sama lain.“Kau … kau benar … aku dan William juga sedang mencari kebenaran itu, untuk itulah aku sengaja bekerja di perusahaan itu agar bisa mencari tahu informasi tentang kecelakaan kapal pesiar itu sebanyak-banyaknya,” ujar Norin sependapat.Matthew belum merespon. Tatapannya menyelidiki sesua
“Jadi …?” Matthew menunggu informasi yang ingin dia dengar dari Julian.Julian Stomph menghela napas sebelum kembali buka suara. “Benjamin Sebastian. Kami membeli sertifikat tanah itu dari pria bernama Benjamin Sebastian.”“Apa!?” tanya Matthew dan Aiden bersamaan.Baik Matthew maupun Aiden sama-sama terhenyak setelah mendengar Julian Stomph menyebutkan nama Benjamin Sebastian.“Benjamin Sebastian?” Aiden mengulang ucapan Julian. Pandangannya bertemu dengan tatapan Matthew yang juga tampak tercengang.“Iya, Benjamin Sebastian. Dia yang sudah menjual sertifikat itu kepada kami,” ujar Julian meyakinkan.“No! Benjamin Sebastian … dia pamanku! Mana mungkin dia menjual satu-satunya rumah peninggalan orang tuaku!?” tolak Matthew dengan lantang.Sontak Julian membelalakkan matanya seakan tak percaya. “Hah!?”“Tu-Tuan …?” Aiden mengerjap beberapa kali. Ia seperti sedang terhempas dari tebing tinggi setelah mendengar pengakuan Matthew yang mencengangkan.“Paman Benjamin … dia adik kandung ibuk
Tepat jam 7 malam seorang pria suruhan Bernard datang menjemput Norin, sesuai dengan ucapannya siang tadi.Norin sengaja mengenakan mini dress press body berwarna merah kirmizi dengan sepasang tali spaghetti menggantung pada pundaknya.Sedikit belahan pada bagian paha kiri membuat tampilan Norin semakin terlihat anggun menawan.“Sempurna! Semangat, Norin!”Gadis itu bermonolog menyemangati dirinya sendiri setelah selesai memakai lipstick berwarna senada dengan dress yang dipakainya.“Silakan, Nona!” ucap sang driver seraya membukakan pintu mobil untuk Norin.Gadis itu masuk lalu duduk manis di bangku belakang usai mengucapkan terima kasih.***Tidak lebih dari setengah jam mobil yang membawa Norin sudah berhenti di halaman depan sebuah rumah megah yang menjulang tinggi.“Selamat datang, Sayang!”Bernard menghampiri Norin untuk memberikan sambutan kecil kepada kekasihnya itu.“Hai, Baby! I miss you!” Norin mulai membangun nuansa hangat agar misinya malam ini mencapai goal.Bernard meny
Norin sama sekali tidak menduga kalau minuman yang sudah ia campur dengan obat tidur justru diraih Bernard dan disodorkan ke arahnya.‘Loh? Gawat!’ batin Norin mulai panik.“Eh, hahaha … eum … aku tidak yakin!” ucap gadis itu sedikit terbata.Kening Bernard mengernyit mendengarnya. “Tidak yakin? Kau meragukan seleraku, huh?”“Oh bukan, bukan! Eum maksudku … ah, bagaimana kalau aku melihatmu mencoba minumannya lebih dulu?” tawar Norin beralasan.“Hahah! Astaga, Honey, aku bahkan sudah puluhan kali mencobanya. Aku sengaja mengimpor dari Italy. Aku baru ingat untuk berbagi ini denganmu.”Bernard semakin merasa heran dengan sikap Norin yang tidak seperti biasanya. Pria itu paham betul kalau gadis pujaan hatinya memang tergolong penggemar wine. Kecil sekali kemungkinan Norin akan menolak wine yang diberikan untuknya.“Ya-yeah tidak apa-apa. Untuk memastikan saja kalau wine itu benar-benar memiliki kualitas terbaik, bukan? Hahah! Minumlah dulu, Sayang,” Norin mengarahkan tangan Bernard yang
“What the hell!!” Bernard merasakan keanehan-keanehan saat berada di apartemen Norin. Bermula dari suara pecahan benda dari kamar sebelah, disusul dengan suara gaduh dari pantry. “Ada apa sebenarnya ini!?” Racau pria itu saat berbalik arah dari kamar ke pantry. “Ya Tuhan, bebaskan aku dari situasi mencekam ini, please!” desis Norin kesal. “Astaga, kenapa tempat sampah di pantry bisa jatuh berantakan?” pekik Bernard sambil menuju ke tempat sampah yang tergeletak di lantai. Norin, Sissy, dan semua orang yang bersembunyi di apartemen itu merasa tenggorokannya tercekat saat Bernard melangkah menuju pantry. “Tuan, biar saya yang periksa!” Sissy buru-buru menghentikan langkah Bernard. “Lebih baik Anda temani Nona Norin. Biar saya yang bereskan sampahnya.” Brak!! Pintu kamar terbuka, lalu tertutup dalam sekejap. “Astaga, maaf aku telah menjatuhkan lampu tidur!” pekik Nancy seraya keluar kamar. Dengan begitu, perhatian Bernard serta yang lain teralihkan ke arah Nancy. “Nancy? Are y
“Apa!?”Matthew dan yang lainnya tersentak mendengar informasi yang baru saja diucapkan Norin.“Astaga kita harus bagaimana!?” tanya Norin panik.“Cepat sembunyi!” celetuk William ikut panik.“Sissy, Nancy, cepat singkirkan semua gelas ini ke pantry. Jangan sampai Bernard melihatnya!” ucap Norin sedikit gemetar melihat belasan gelas dan botol wine yang tersaji di ruang tengah.Mendengar itu, Sissy dan Nancy bergerak cepat membereskan perkakas itu.“Semuanya masuk ke ruangan lain. Kosongkan kamar Norin!” ujar Matthew memimpin yang lain.“Hanya ada dua kamar di sini, sekarang ditempati Sissy dan Nancy selama mereka tinggal di sini,” tutur Norin menjelaskan.“Tidak apa-apa, sembunyi saja di sana, ayo!” Matthew bergerak menuju ke kamar Sissy dan Nancy, diikuti yang lain.“Norin, kau ke depan sekarang dan temui Bernard. Usahakan keberadaannya di sini tidak lama,” ujar Matthew kepada Norin.Ting! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!Di luar, Bernard semakin tidak sabar menunggu pintu dibukakan un
Di kediaman mewah keluarga Gregorius, Draco, orang kepercayaan Vincent Gregorius, tanpa ragu mengetuk pintu ruang pribadi atasannya.“Masuk!” teriak Vincent dari dalam ruangan.“Permisi, Tuan! Ada kabar terkini dari para anak buah yang saya tugaskan untuk mengusut kasus kemarin,” ujar Draco tanpa ragu.“Sudah puluhan tahun kau bekerja denganku, Draco. Kau paham kan informasi seperti apa yang bisa aku terima?” balas Vincent memperingati.“Informasi ini sudah valid, Tuan. Mereka sudah menemukan siapa pelaku penembakan tempo hari.”Ucapan Draco berhasil memantik keingintahuan Vincent. “Siapa mereka? Siapa yang telah berani berurusan denganku?”“Masuklah, kalian!” seru Draco kepada anak buahnya yang masih menunggu di luar ruangan.BRAKKK!!!Seorang pria babak belur dengan kedua tangannya yang terborgol tiba-tiba jatuh tersungkur memasuki ruangan di mana ada Vincent serta Draco di dalamnya.“Bangun, Bodoh!” bentak salah satu anak buah Draco sambil menarik paksa tubuh pria itu agar berjalan
Mendengar fakta buruk tentang kebusukan perilaku Vincent Gregorius di masa lalu, telah sukses memupuk kebencian yang telah tertanam di dalam benak Matthew selama puluhan tahun.Ia mengepal geram membayangkan kelakuan biadab Vincent kala itu.Namun, satu notifikasi tanda pesan masuk telah mampu membuat pria yang tengah menginterogasi Orland Xef itu kehilangan konsentrasi.“Kita pulang sekarang!” titah Matthew kepada Aiden dan Bryan.“Siap, Tuan! Saya siapkan armada sekarang,” sahut Aiden yang lantas segera menghubungi pilot pribadi Matthew.Kedua anak buah Matthew berjalan mengikuti atasannya keluar.“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” pekik Orland Xef yang sontak membuat langkah Matthew terhenti.Putra tunggal keluarga Anderson itu menoleh. “Kembali ke Queenstown dan bekerja untukku. Aku butuh bantuanmu untuk memberi Vincent terapi moral.”“Tapi … aku sedang melarikan diri darinya. Aku yakin cepat atau lambat, dia pasti tahu kalau akulah orang di balik kekacauan yang terjadi tempo ha
WELLINGTON, NEW ZEALAND“Siapa kalian!?”Seorang pria memekik terkejut karena tempat tinggalnya tiba-tiba didatangi oleh tamu tak diundang.Aiden menatap wajah pria itu lebih cermat, lalu mengangkat selembar potret wajah di tangannya hingga keduanya tampak sejajar.“Benar dia orangnya, Tuan,” ujar Aiden setelah memastikan bahwa mereka tidak salah orang.“Brengsek! Siapa kalian!? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang!?” Komplain sang pemilik kamar.“Seandainya kedatangan kami disambut dengan baik, kami tidak mungkin bersikap arogan semacam ini,” tutur Matthew tanpa sesal sedikit pun!CEO itu memberi kode kepada Bryan agar menutup serta mengunci pintu utama.Setelah mengangguk paham, Bryan melakukan perintah seperti yang diinginkan Matthew.“Jadi … ini tempat tinggal Anda sekarang, Tuan Orland Xef?” Tatapan Matthew tampak begitu tajam saat menuturkan pertanyaannya.“Ap-apa maksudmu!? Siapa kalian ini? Kenapa kemari!?” Orland Xef sampai terbata saat berucap. Ia memperhatikan Matthew
Hugo sama sekali tidak menyangka kalau El Jova berada di pihak musuh yang telah berhasil menewaskan pemimpinnya.“Apa maumu?” tanyanya kepada El Jova.“Jawab pertanyaan Matthew. Katakan yang sejujurnya. That’s it.”“Kau dan Tuan Zif sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain. Tapi kenapa kau berdiri di pihak lawan kami dan melakukan penyerangan?” ujar Hugo kesal.“Kelompokmu yang lebih dulu menyerang! Kenapa kalian melakukan penembakan di acara peresmian keluarga Vincent Gregorius?” tanya Matthew menginterupsi.“Ada urusan apa kau dengan keluarga Gregorius? Kami menyerang mereka, bukan kau!” hardik Hugo kepada Matthew.Plak!Tamparan keras kembali diberikan Matthew untuk tawanannya itu. “Kau melukai orang-orang tidak bersalah, Bodoh!”“Aku tidak tahu! Aku hanya melaksanakan perintah. Tuan Zif memberi perintah kepadaku, Max, dan juga George untuk melakukan penembakan beruntun itu!” teriak Hugo membela diri.“Untuk apa Zif memberi perintah itu?” sela El Jova penasaran. “Ap
Bryan serta Jarvis yang masing-masing sedang kepayahan melawan lima orang anggota mafia Eagle Snake, seketika tercengang manakala suara desingan peluru menggema di tepian danau Wakatipu, Queenstown, New Zealand.Keduanya menyadari, pasalnya, mereka datang menemui sekelompok mafia ini hanya bertiga dengan Matthew. Sisanya adalah para lawan, termasuk Max yang sempat mereka tawan.“Tuan Matthew,” gumam Jarvis dan Bryan bersamaan. Pandangan semua orang terarah pada Matthew yang sedang dikekang oleh lima orang lain anggota Eagle Snake, anak buah Zif Bayyer.“Tuan Zif!” pekik Hugo tercengang!“Tu-tuan!” gumam para anggota Eagle Snake yang lain.“Argh …! Brengsek! Bangsat!” Zif mengerang kesakitan, diikuti dengan umpatan-umpatan kekesalan saat ia merasakan tangan kanannya menjadi tempat bersarang sebuah timah panas.Pistol glock yang semula diarahkan Zif untuk menembakkan peluru ke dada Matthew pun terjatuh begitu saja.Pimpinan Eagle Snake itu menoleh ke sisi kanan untuk mengetahui siapa y
“Siapkan Max dan jaga baik-baik. Jangan lepaskan dia sebelum aku mendapatkan apa yang aku mau dari Zif Bayyer.”Terdengar suara Matthew memberikan koordinasi kepada El Jova melalui sambungan telepon.“Oke. Sepuluh menit lagi kami berangkat,” jawab El Jova sebelum menutup telepon.El Jova menyimpan kembali ponselnya ke saku jaket yang dipakainya.“Taylor, keamanan markas aku percayakan padamu,” ujar El Jova pada salah satu member El Warrior yang berjaga di pintu utama markas.“Dengan senang hati, Tuan! Walaupun sebenarnya saya lebih senang jika bisa ikut berpesta dengan Anda malam ini,” sahut Taylor menyemangati.“Hahah! Jangan lupa, kau masih punya luka bekas tusukan di perutmu,” ucap El Jova sambil menunjuk perut Taylor memakai dagunya.Taylor tertawa kecil mendengar ucapan pemimpinnya. “Hahah! Baru minggu lalu kita berpesta membasmi musuh. Sekarang Tuan sudah harus berpesta menghadapi musuh yang lain. Ternyata musuh kita ada di mana-mana, Tuan.”“Tentu saja! Selama masih ada kubu-kub
Bernard merasa sedikit janggal saat berjalan menuju ruang IGD dan tidak lagi mendapati orang-orang yang ia kenal.Seharusnya, entah Matthew atau yang lainnya ada di depan ruangan itu seperti hari kemarin.“Ke mana mereka? Kenapa tidak ada yang menunggui Norin?”Sementara ini Bernard hanya bisa bermonolog sambil terus melangkah.Ceklek!Pria itu merasa antusias saat melihat salah seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang IGD.“Permisi, saya ingin tahu perkembangan kondisi pasien atas nama Notin Nathania,” kata Bernard kepada sang perawat.“Norin Nathania?” ulang wanita di hadapannya.“Iya. Norin Nathania yang semalam dirawat di ruang IGD karena terkena luka tembak.”Bernard terus berusaha menyebutkan apapun yang berkaitan tentang Norin demi mendapatkan informasi.“Oh … pasien luka tembak yang semalam membutuhkan transfusi darah, ya?” “Nah! Iya, benar! Bagaimana kondisinya sekarang? Apa masih kritis di ruang IGD?”“Tidak, Tuan. Pasien itu sudah membaik. Beliau sudah dipindahkan k